TINDAK PIDANA KORPORASI, Konsep yang Rawan Disalahgunakan Mafia Hukum

LEGAL OPINION

Pilih Mana, Uang Kembali (Pilih Tindak Pidana Koporasi, Sanksi Denda); atau Pilih Pidanakan Pengurusnya (Penjara bagi Direktur Perusahaan) lalu Gugat Perdata Perusahaannya?

Kita memiliki lembaga Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Negeri yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan ribuan personel, lengkap dengan peralatan canggih dan mampu berkoordinasi dengan institusi pemerintahan lainnya terutama seperti dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pertanahan Nasional (BPN), maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga memudahkan melacak aset dan mengetahui secara pasti harta-kekayaan milik seorang warga maupun badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan keuangan negara maupun kejahatan lainnya. Yang jarang diketahui publik serta lebih jarang lagi dilakukan oleh Kejaksaan kita di Indonesia, ialah peran dan fungsi Kejaksaan selaku “PENGACARA NEGARA” (ranah perdata)—Secara pribadi, penulis melihat bahwa fungsi satu tersebut seolah-olah telah dimati-surikan akibat tidak pernah digalakkan oleh internal organisasi Kejaksaan di Indonesia, sekalipun dari segi jumlah personel, para Jaksa tersebut tergolong “gemuk” dan tidak optimal.

Fakta teoretisnya ialah, negara lewat instansi Kejaksaan kita tidak perlu terlampau bertumpu pada mekanisme pemidanaan untuk memulihkan kerugian negara, karena pada prinsipnya dapat menempuh upaya secara perdata, tidak lain ialah lewat mekanisme gugatan perdata ke Pengadilan Negeri oleh para Jaksa kita dari kejaksaan, sebagaimana semboyan dalam disiplin ilmu hukum pidana kita, “Ultimum Remedium”, dimana pemidanaan adalah sebagai langkah satu-satunya serta sebagai cara terakhir. Faktanya, lain di-teori dan lain di-praktik, seketika itu juga tuntutan pidana dimajukan, sementara itu ranah gugatan perdata seolah-olah di-tabukan, dan para kalangan Kejaksaan kita “tutup mata” terhadap opsi keperdataan untuk memulihkan kerugian negara.

Jika yang menjadi tujuan pihak Kejaksaan untuk menjerat suatu korporasi dengan konsep “tindak pidana korporasi” ialah dalam rangka agar korporasi bersangkutan dijatuhi sanksi pidana berupa denda (berwujud “sejumlah uang”, untuk dibayarkan oleh korporasi yang menjadi pihak Terpidana, kepada kas negara untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh negara), maka itu tergolong cara instan sekaligus jalan pintas bagi cerminan kemalasan pihak aparatur Kejaksaan itu sendiri.

Fakta yuridisnya sejak lama sebelum ini, para Jaksa di Kejaksaan mengemban juga kewenangan, peran, serta fungsi sebagai “pengacara negara” (dalam ranah gugat-menggugat secara perdata), dimana pihak Kejaksaan bisa saja terlebih dahulu mengajukan gugatan dalam kedudukan sebagai Penggugat, untuk meminta sejumlah ganti-kerugian atas perbuatan melawan hukum sang korporasi sebagai Tergugatnya, barulah kemudian pihak Kejaksaan turut pula mempidanakan pengurusnya dengan penjara. Dengan cara demikian, pengurus suatu korporasi tidak akan berani untuk mencoba-coba menyalahgunakan badan hukum perusahaan miliknya sebagai alat atau sarana melakukan kejahatan—oleh sebab terdapat potensi konsekuensi yuridis berupa pemidanaan dibaliknya, baik terhadap pengurusnya (dipidana penjara) maupun terhadap korporasi bersangkutan (dirampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara).

Ketika atau jika pihak Kejaksaan justru bersikap “potong kompas” (hendak memulihkan kerugian negara secara “jalan instan”) dengan seketika memakai pendekatan konsep “tindak pidana korporasi” yang hanya dapat bermuara semata pada vonis sanksi hukuman pidana berupa denda “sejumlah uang” (badan hukum adalah “benda mati”, tidak mungkin dipidana penjara, kecuali di-“hukum mati” dengan cara dicabut izin pendiriannya dan di-likuidasi), maka alhasil pengurus dari korporasi bersangkutan menjadi tidak lagi bisa disentuh oleh hukum untuk didakwa, dituntut, dan dijerat pidana—sehingga membuka peluang “moral hazard” dimana para mafia hukum berpotensi menjadikan opsi-opsi demikian menjadi demikian transaksional.

Seorang anggota Kepolisian maupun pihak Kejaksaan, dapat melakukan pendekatan politis terhadap pihak pengurus suatu korporasi (di ruang tertutup dan kedap suara serta temaram, tentunya), membuat ancaman dengan tujuan untuk memeras pihak pengurus korporasi yang sedang disasar untuk dikriminalisasi, dimana tawaran yang mereka berikan ialah : Pilih mana, jika dijerat sebagai atau dengan konsep “tindak pidana korporasi” maka resiko “the worst case scenario” yang bisa terjadi ialah sebatas vonis hukuman pidana berupa denda “uang”, sementara itu pengurusnya tidak dapat dipidana penjara karena larangan “double jeopardy”. Sementara jika memilih pengurus yang dipidana penjara, maka korporasinya tetap bisa digugat secara perdata untuk dihukum membayar sejumlah ganti-kerugian berupa “uang” ke kas negara. “Anda pilih yang mana?

Salah satu contoh konkret dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan sebagaimana lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “penipuan” register Nomor 1448 K/Pid/2015 tanggal 22 Februari 2016, yang menjadi Terdakwanya ialah PT. Sinergi Anugerah Perkasa (sebuah badan hukum Perseroan Terbatas, sehingga semestinya ialah “Tindak Pidana KORPORASI”, namun dalam perkara ini pejabat direkturnya yang justru dijerat), yang diwakili oleh direkturnya bernama ARIEF GUNAWAN Alias ARIEF Bin REMI MOERTEDJO, terkait suatu aksi pembelian dimana harga jual-beli tidak kunjung dibayarkan oleh pihak Terdakwa, karenanya didakwa sebagai telah dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 378 KUHP.

Dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 161/Pid.B/2015/PN.Bjm., tanggal 01 Juli 2015, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menyatakan Terdakwa ARIEF GUNAWAN Alias ARIEF Bin REMI MOERTEDJO terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana;

- Melepaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Rechtsvervolging).

- Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”

Pihak Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukum;

“Bahwa Judex Facti tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana yang terungkap di dalam persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan sesuai dengan tuntutan hukum, yaitu ternyata Terdakwa melakukan perbuatan rangkaian kebohongan dalam transaksi bisnis kontrak jual beli batu bara sejak awal mempunyai niat tidak bersedia membayar pembelian batu bara kepada PT. Anugerah Borneo Community sebesar Rp3.166.365.000,00 dengan cara melakukan rangkaian perbuatan yaitu membuat surat pernyataan tanggal 28 Juli 2012, bahwa Terdakwa akan melunasinya, tetapi Terdakwa tidak memenuhinya, selanjutnya Terdakwa juga membuat standing subjection tetapi tidak dapat dicairkan, yang kemudian Terdakwa juga menerbitkan cek Nomor CE439220 ternyata Bank melakukan black list terhadap pemiliknya yaitu Terdakwa, yang berakibat menimbulkan kerugian kepada PT. Anugerah Borneo Community (PT. ABC);

“Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut maka Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penipuan’ melanggar Pasal 378 KUHPidana sesuai dakwaan pertama Penuntut Umum;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 161/Pid.B/2015/PN.Bjm., tanggal 01 Juli 2015 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, sehingga amarnya sebagaimana tertera di bawah ini:

“Menimbang, bahwa dalam menjatuhkan pidana, maka telah dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan atas diri Terdakwa;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 161/Pid.B/2015/PN.Bjm., tanggal 01 Juli 2015;

MENGADILI SENDIRI:

1. Menyatakan Terdakwa ARIEF GUNAWAN Alias ARIEF Bin REMI MOERTEDJO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan”;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ARIEF GUNAWAN Alias ARIEF Bin REMI MOERTEDJO tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;

3. Menyatakan lamanya Terdakwa berada di dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan agar Terdakwa segera ditahan.”

CATATAN PENUTUP SHIETRA & PARTNERS:

Dengan telah dipidananya (dijatuhi vonis hukuman serta menjalani masa hukuman dalam penjara) pihak Terpidana, maka apakah artinya melepaskan atau menghapus tanggung-jawab perdata sang Terpidana terhadap kerugian finansial yang diderita oleh pihak korbannya? Sang korban, tetap berhak mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti-kerugian dari pihak pelaku, meski sang pelaku telah divonis pidana dan telah menjalani seluruh masa hukumannya di penjara). Sama halnya, dalam kasus tindak pidana korupsi, mengapa korporasinya yang dijerat dengan “tindak pidana korporasi” alih-alih digugat secara perdata?

Berdasarkan prinsip asas non “double jeopardy”, dalam artian terhadap sebuah perbuatan pidana pada satu waktu, tidak dapat divonis pidana untuk kedua kalinya, alias penghukuman berganda secara pidana ialah terlarang menurut norma hukum pidana negara beradab mana pun. Mengingat serta berhubung sang korporasi telah dipidana dengan memakai dalil “tindak pidana korporasi”, alhasil hanya kerugian negara yang dapat dipulihkan lewat vonis pidana denda berupa “uang” yang harus dibayarkan oleh pihak Terpidana (dalam hal ini, Terpidananya ialah korporasi, suatu badan hukum, bukan pengurusnya). Sementara itu, pengurusnya menjadi tidak dapat dituntut ataupun didakwakan, karena terbentur asas non “double jeopardy”.

Opsi skenario sebaliknya, pihak Jaksa Penuntut Umum cukup berfokus mendakwa serta menuntut pidana penjara pihak pengurus dari korporasi yang dimanajerial olehnya, serta disaat bersamaan menggugat ganti-kerugian secara perdata korporasi bersangkutan untuk memulihkan kerugian negara ketika keuangan hasil kejahatan lebih banyak masuk ke rekening badan hukum korporasi bersangkutan daripada masuk ke rekening pribadi pihak pengurusnya atau ketika korporasi tersebut memiliki aset-aset yang cukup memadai untuk disita dan dieksekusi secara perdata.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.