Mengapa Orang Baik Sering Disakiti, Dikecewakan, Dilukai, dan Dijahati? Karena Orang baik di Mata Orang Jahat, adalah Sasaran sekaligus MANGSA EMPUK

ARTIKEL HUKUM

Hanya Pohon yang Banyak Buahnya Saja yang Akan Dilempari Batu, menjadi Wajar bila Orang Baik Selalu Dijahati. Seolah-olah adalah Dosa, bila Tidak Mengganggu dan Mencuri Buah yang Tumbuh di Pinggir Jalan. Seolah-olah adalah Dosa, bila Tidak Menyakiti dan Melukai Orang-Orang Baik

Kakek saya pernah bercerita, pemburu kayu selalu terlebih dahulu mencari dan menyasar pohon yang tumbuh tegak lurus ke atas! Banyak pohon yang tumbuh miring ke sana dan ke sini, tapi berapa banyak sisa pohon di hutan sana yang tumbuh lurus ke atas?” (Basuki Cahaya Purnama)

Menjadi orang baik, terlebih orang suci, jelas-jelas eksistensinya akan membuat orang-orang jahat (terlebih orang yang berdosa, pendosa) merasa diremehkan serta “terancam”, semata karena keberadaan serta eksistensi orang-orang baik maupun para suciwan membuat mereka melihat betapa berbeda dirinya, betapa jauh dirinya, dan betapa jahat-kotornya mereka—berbanding terbalik dengan orang-orang baik yang bersih dan orang-orang suci yang murni. Karenanya, keduanya menjadi tampak kontras ketika berhadapan dengan orang-orang kotor yang penuh oleh noda dosa dan tercemar oleh perbuatan-perbuatan jahat yang tercela.

Filosofi tersebut di atas mudah untuk dipahami oleh orang awam, bahwa orang membutuhkan perbandingan untuk menyadari dan memahami sesuatu serta dimana posisi dirinya. Antara panas dan dingin, hitam dan gelap, begitupula antara baik dan jahat, membutuhkan setidaknya dua buah subjek yang saling kontras satu sama lain sebagai tolak ukur perbandingannya. Keberadaan orang-orang baik dan suci, membuat para penjahat dan pendosa menyadari betapa jahat dan berdosa diri mereka—dan mereka tidak suka atas fakta tersebut, sehingga ingin memusnahkan eksistensi manusia yang membuat mereka terlihat demikian berjarak dalam kesenjangan perbedaan demikian sehingga tiada lagi perbandingan diantara antar manusia.

Menyadari betapa kotor dan ternoda diri mereka, akibat melihat adanya subjek lain sebagai perbandingan secara kontras, menjadi merasa terancamlah mereka oleh fakta bahwa adalah mustahil manusia “kotor” bersatu dengan surga dan Tuhan yang “bersih-murni”. Memusnahkan orang-orang baik, sama artinya mengamankan posisi mereka, sehingga orang-orang jahat dan penuh oleh noda dosa pun akan tampak seperti para “suciwan”. Hal tersebut menyerupai orang-orang pada suatu komunitas, seluruhnya berwajah buruk rupa, maka diantara para buruk rupawan, yang “tidak buruk-buruk sekali” wajahnya akan dinilai sebagai orang tertampan / tercantik. Namun, ketika muncul satu orang gadis / pria yang benar-benar anggun rupawan dan sedap dipandang, masuk sebagai anggota komunitas mereka, maka dunia para gadis “buruk rupa” pun ibarat menemui titik baliknya, seolah runtuh atau “kiamat” bagi mereka. Karenanya, sang gadis / pria yang cantik / tampan demikian dipadang sebagai sebuah ancaman nyata bagi para “buruk rupa”, yang perlu dilenyapkan dari muka bumi, jika perlu secar “berjemaah” oleh para buruk rupawan.

Memang mengherankan sekaligus aneh namun nyata, ditengah-tengah masyarakat kita yang konon tergolong sebagai bangsa yang “agamais”, terdapat banyak para netizen yang melakukan pencarian serta penjelajahan pada dunia maya dengan kata kunci : “kenapa orang baik selalu menderita”, “kenapa orang baik selalu difitnah”, “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”, “mengapa orang baik sering tersakiti dan tertipu”, “kenapa orang baik selalu tersakiti”, “mengapa orang baik bisa berbuat jahat” “orang baik sering tersakiti”, hingga pertanyaan seperti “apakah Tuhan akan membalas orang yang menyakiti kita”, serta ragam “kenapa” dan “mengapa” lainnya. Apakah pertanyaan-pertanyaan demikian, dekat dengan keseharian Anda serta tidak asing bagi pengalaman hidup Anda?

Perihal “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”, secara ilmu genetika, itu adalah asumsi yang mustahil. Orang baik, menjadi baik karena faktor dilahirkan demikian, kode genetik yang bertanggung jawab atas kebaikan hati orang-orang baik, seperti apapun latar belakang kehidupan mereka sedari kecil hingga bertumbuh dewasa, sekalipun hidupnya selama ini penuh kekecewaan dan tersakiti. Sama halnya, orang jahat menjadi jahat bukan karena dominasi faktor lingkungan, namun karena dilahirkan menjadi orang jahat alias faktor genetika.

Orang-orang cerdas, terlahir cerdas, bukan karena dididik menjadi cerdas. Orang-orang dengan IQ “tiarap”, adalah dilahirkan demikian adanya, bukan karena faktor “salah asuh”. Genetik, menjadi tulang punggung, sementara faktor pendidikan dan perlakuan dari keluarga serta lingkungan, adalah bahan-bahan mentah untuk dicerna oleh sang pembawa genetik. Faktor lingkungan, hanya mengakibatkan ragam “gradasi”, namun tidak revolusif ibarat membalik suatu karakter menjelma berbeda seratus delapan puluh derajat.

Sebagai bukti, berikan buku sebanyak isi perpustakaan bagi orang-orang dengan “down syndrome”, apakah mereka akan menjelma “jenius”? Steve Jobs, drop out dari kampusnya, namun berhasil mendirikan industri teknologi informasi raksasa. Begitupula Alfa Edison, dikeluarkan oleh gurunya di sekolah karena dinilai sebagai anak yang “gagal”, namun genetik Edison berkata lain. Kita tidak hidup di dunia yang ideal sesuai logika awam kita, alam semesta bekerja dengan hukum dan caranya sendiri, serta lengkap dengan segala cacat dan ketidak-sempurnaannya.

Dilahirkan sebagai orang baik atau dilahirkan sebagai orang jahat, adalah deterministik kode genetika yang dominan, memang pernyataan demikian tampak absurd, namun fakta memang selalu pahit dan getir rasanya. Terhadap kalimat “mengapa orang baik bisa berbuat jahat”, penjelasannya pun senada dengan penjelasan sebelumnya di muka, orang baik adalah orang baik, orang jahat adalah orang jahat, tidak mungkin tercampur-aduk dalam satu individu. Yang ada ialah, orang yang berpura-pura baik, dan itu jamak kita jumpai di tengah masyarakat kita. Namun, bukan berarti tidak ada varian antara “orang baik yang tidak suka berbuat nakal” dan “orang baik yang masih suka sesekali berbuat nakal alias usil”.

Nakal, tidak identik dengan jahat, keduanya adalah dua hal yang belainan. Karenanya, variasi tipe manusia bisa sangat beragam, dan itulah fungsi faktor lingkungan serta pengasuhan. Orang-orang yang memiliki kode genetik “baik” plus “tidak suka berbuat jahat” ataupun “tidak suka berbuat nakal”, adalah orang-orang langka, langka karena telah banyak menjadi “mangsa empuk”—sehingga kemungkinannya ialah sudah punah dimangsa atau bersembunyi dan mengisolasi diri tanpa banyak terlibat dengan masyarakat luar.

Terhadap kalimat semacam “kenapa orang baik tersakiti, dihina dan sering meneteskan airmata”, jawabannya ialah semata karena orang-orang baik merupakan “mangsa empuk” sekaligus “sasaran buruan yang paling menggoda” di mata para manusia-manusia yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat dengan melukai, menyakiti, maupun merugikan orang lain yang menjadi korbannya. Cobalah renungkan pertanyaan introspektif berikut, jika Anda seorang preman yang “premanis” serta “hewanis-predatoris” (preman mana juga yang “humanis” terlebih “Tuhanis”?), siapakah yang akan Anda jadikan “mangsa empuk”, preman lain yang bertubuh besar dan ganas-beringas ataukah orang-orang yang “ahimsa” (anti kekerasan fisik) serta penyabar?

Memang ironis, di tengah situasi serba “agamais” bangsa ini, Indonesia, dimana masyarakat kita mengenakan baju “agamais”, rajin ibadah, serba “halal lifestyle”, ceramah perihal kebaikan dan kesucian, mengaku ber-Tuhan lengkap dengan ayat-ayat yang mengagungkan nama Tuhan dikumandangkan setiap harinya, namun orang-orang baik yang justru dilukai dan disakiti. Betapa pengecutnya, justru menjadikan orang-orang baik yang dikenal “ahimsa” (tidak melakukan kekerasan fisik) sebagai “mangsa empuk”. Oleh sebab itulah, orang-orang baik tidak perlu mempromosikan dirinya, bila tidak ingin dijadikan “mangsa empuk”. Hanya para “manusia predator”, yang membutuhkan promosi yang mengiklankan tentang dirinya kepada khalayak ramai.

Bukan hanya manusia “agamais” yang menzolimi orang-orang baik, Tuhan pun tampaknya tidak pro terhadap korban (manusia-manusia baik), terbukti dari dihapuskannya dosa-dosa para manusia-manusia pendosa yang penuh dosa karena menjadikan orang-orang baik (para korbannya) sebagai “mangsa empuk” yang disakiti, dilukai, maupun dirugikan. Bila Tuhan mereka saja lebih pro terhadap penjahat yang berdosa dan penuh dosa, kompromistis terhadap perbuatan jahat dan pelakunya, dengan menghapus dosa-dosa maupun kejahatan-kejahatan sang pendosa yang jahat, maka apa yang dapat kita tuntut dan harapkan dari “standar moral” umat manusia demikian, sementara itu seorang “humanis” tidak mungkin lebih mulia watak-karakternya ketimbang “Tuhanis”.

Menjadi ironis pula, seorang hakim di pengadilan, mengatas-namakan putusannya sebagai “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, justru menghukum vonis pidana penjara bagi para penjahat, sementara itu Tuhan dikenal “Maha Pemurah” serta “Maha Pengampun”, dimana bahkan para pendosa pun dihapus dosa-dosanya dengan membiarkan para korban dari para pendosa tersebut menjadi meradang serta “gigit jari”. Seolah masih belum cukup sampai di situ, masyarakat yang turut menyaksikan, lebih memilih turut pula mem-“bully” korban alih-alih menghardik dan mencela tindakan pelaku kejahatan yang menjahati korban—semata-mata karena kondisi korban sedang begitu lemah dan tertekannya (“mangsa empuk” aksi bullying di mata masyarakat umum kita dewasa ini), lagi-lagi menjadi “mangsa empuk” aksi perundungan bangsa “tukang bully” bernama Bangsa Indonesia ini, alias menjadi korban untuk kedua kalinya, korban dianiaya oleh pelaku kejahatan plus menjadi “korban perasaan” aksi perundungan.

Perihal mengapa orang baik, masih bisa marah? Karena orang baik pun ada tingkatan derajatnya. Antara orang baik hingga puncaknya ialah menjadi orang suci, adalah dua hal yang berlainan ranah gradasinya. Dimana bahkan, Ajahn Brahm maupun dalam Sutta Pitaka bagian Jataka (salah satu bagian dari Tripitaka), disebutkan bahwa “Orang suci sekalipun sesekali tetap perlu menunjukkan taringnya, agar tidak (mengundang godaan) di-bully orang-orang nakal”. Orang suci sudah pasti orang baik, namun orang baik belum tentu sudah suci. Orang suci, merupakan gradasi tertinggi dari orang dengan tulang-punggung sifat baik, yang bisa dilatih dan ditempa oleh orang-orang dengan berkah genetik sifat baik. Orang baik masih juga manusia, karenanya marah dan kecewa ketika disakiti, adalah wajar dan manusiawi adanya—justru yang tidak humanis dan tidak manusiawi adalah orang-orang jahat yang menjahati sang orang korban maupun para masyarakat kita yang menonton turut mendiskreditkan pihak korban.

Disebutkan bahwa, orang baik selalu mendahulukan orang lain. Dalam dunianya, kebahagiaannya adalah menyediakan sedikit ruang untuk dirinya sendiri karenanya selalu tersingkir oleh orang-orang dengan sikap egoistik. Mengapa orang baik sering dihina? Karena orang baik tak pernah diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri, dan selalu patuh terhadap “aturan main”. Ia hanya harus menerima, meski bukan ia yang memulai perkara. Mengapa orang baik sering terlihat sedih dan tak jarang meneteskan air mata? Karena orang baik tidak ingin membagi kesedihan. Ia terbiasa mengobati sendiri lukanya. Mengapa orang baik sering kali tertipu? Karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti hatinya, berbaik sangka serta sungkan membebani orang lain. Ia tidak menyisakan sedikitpun prasangka buruk pada orang yang ia pandang akan mampu mengkhianatinya.

Bukankah penggambaran di atas merupakan penggambaran sempurna perihal “mangsa empuk” di mata para “manusia predator” yang “hewanis”? Ingat kembali semboyan “homo homini lupus”, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Terlahir sebagai orang baik di Indonesia dewasa ini, sungguh terlahir pada tempat dan waktu yang salah. Terdapat beberapa nasehat yang cukup relevan penulis himpun, sebagai salah satu pertolongan pertama bagi orang-orang baik yang kerap menjadi “mangsa empuk”, antara lain:

- Jangan pernah berdebat dengan seseorang yang percaya kebohongan mereka sendiri.

- Aku tidak tahu apa yang lebih buruk, orang yang berbohong atau orang yang berpikir aku cukup bodoh untuk mempercayai kebohongannya.

- Mereka yang kita sayangi yang berada di dekat kita, bisa lebih melukai diri kita.

- Kamu tidak hanya menghianatiku; kamu menghianati kita. Kamu tidak hanya menghancurkan hatiku; kamu menghancurkan masa depan kita.

- Bagaimana dia bisa mencintaimu, ketika dia memperlakukanmu seolah-olah dia bahkan tidak menyukaimu.

- Kebanyakan orang berbohong, karena mereka lebih memperhatikan apa yang mereka lewatkan daripada apa yang mereka miliki.

- Jangan marah, jangan balas. Lakukan lebih baik, jauh lebih baik. Naiklah terus ke atas. Jadilah begitu tenggelam dalam kesuksesanmu sendiri sehingga kamu akan lupa itu pernah terjadi.

- Berhentilah menyeberangi lautan untuk orang yang bahkan tak bersedia merepotkan dirinya melompati genangan air untukmu.

- Cinta memang layak diperjuangkan, tapi menjadi tak layak jika kamu yang berjuang sendirian dan “bertepuk sebelah tangan” untuknya.

- Memang sakit untuk melepaskan, tapi akan lebih sakit lagi jika terus bertahan.

- Tak perlu merasa cemburu saat melihat mantan pacarmu bersama orang lain. Karena orang tua kita mengajarkan untuk memberikan mainan yang sudah tidak terpakai ke orang yang kurang beruntung.

- Jika kau bisa mencintai seseorang lebih dari yang pantas ia terima, kau juga bisa menyakitinya lebih dari yang seharusnya ia terima.

- Jangan sok menjauh sama seseorang yang belum berhasil, karena saat dia berhasil kamu bukan tipenya lagi.

- Selalu tidurlah dengan satu mata terbuka. Jangan pernah menganggap remeh. Teman terbaikmu mungkin saja adalah musuhmu. [Sara Shepard, The Lying Game.]

- Janganlah menilai seseorang hanya dari hasil tampak luar dari pekerjaannya. Ada usaha tidak terlihat di balik layar yang ia usahakan, yang perlu kita hargai.

Ada pula yang menyebutkan, bahwa menjadi orang baik memang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Komitmen terbesarnya ialah pastinya cepat atau lambat, menjadi “mangsa empuk” orang-orang yang tidak berhati nurani dan tidak bertanggung-jawab. Jika tidak dimanipulasi, diperalat, serta dieksploitasi (dimanfaatkan), maka akan diperlakukan secara jahat dan tidak sepatutnya. Ketika orang yang baik dimanfaatkan lalu kemudian memanfaatkan balik pelakunya, maka ia sudah gugur untuk menyandang gelar kriteria “orang yang baik”.

Begitupula ketika seseorang yang baik diperlakukan secara jahat dan tidak patut, lalu balik memperlakukan sama jahatnya atau bahkan lebih jahat lagi, maka sudah tidak pantas dikatakan sebagai orang yang baik, terlebih sebagai agama yang baik dan suci (semisal, ayat-ayat yang memerintahkan umatnya untuk “membalas dizolimi dengan pembunuhan”). Maka, salah satu opsi yang dapat kita pilih ialah tetaplah menjadi orang baik-baik, agar dunia bisa membedakan mana yang benar-benar baik dengan yang hanya berpura-pura baik. Tetaplah menjadi orang baik, dengan begitu eksistensi kita seumur hidup menjadi “ancaman” bagi orang-orang jahat tersebut—oleh sebab karena ada orang baik, maka mereka menyadari bahwa para pendosa dan pelaku kejahatan tidak layak mendapatkan tempat kehormatan di alam surgawi.

Ketika terdapat orang-orang yang berusaha menjatuhkan kita, maka itu menjadi pertanda bahwa kita berada di atas mereka. Orang baik, meski bisa saja berbuat suatu perlawanan balik yang sama kejinya dari perbuatan orang-orang jahat terhadapnya, dan punya kesempatan ataupun peluang untuk melakukan pembalasan dendam yang lebih menyakitkan bagi pelakunya, namun mereka tetap juga memilih untuk menahan diri serta kontrol diri. Bukan karena mereka “bodoh” karena tidak membalas, akan tetapi ia tidak ingin menjadi seperti mereka yang telah berbuat jahat kepada dirinya. Ia tidak ingin membalas perbuatan mereka agar jati dirinya berbeda dengan mereka yang jahat. Itu jugalah, yang membuat orang baik menjadi berbeda dengan orang jahat.

Ketika orang-orang menggunjingkan tentang kita di belakang kita, maka itu menunjukkan bahwa kita telah berada jauh di depan mereka. Tidak dapat selamanya kita menghindari kenyataan adanya orang-orang tidak bertanggung-jawab yang memiliki niat tidak baik terhadap kita, mencari-cari kesempatan serta celah untuk menyudutkan dan mendiskreditkan posisi kita hingga terpojok pada kondisi serba salah. Ketika itu terjadi, tetaplah teguh tanpa goyah, bertahan pada pendirian dan idealisme diri yang kita ketahui betul sebagai jalan kebenaran dan kejujuran, sekalipun terkucilkan dan tersisihkan sebagai konsekuensinya. Itulah sebabnya, menjadi orang baik butuh keberanian yang jauh lebih besar untuk mengatasi kerisauan diri daripada tingkat nekat orang-orang jahat ketika berbuat kejahatan.

Jangan pula biarkan orang-orang jahat tersebut berhasil menjatuhkan kita dari semula orang baik menjadi orang yang sama jahatnya dengan mereka. Namun demikian, ada kalanya (bahkan seringkali) orang-orang baik merasa dirinya tidak adil bila berdiam diri diperlakukan secara tidak adil—yakni tidak adil terhadap dirinya sendiri karena membiarkan dirinya disakiti dan dirugikan orang lain tanpa perlawanan apapun. Apakah berdiam diri melihat orang lain menjahati diri kita dan mendapati diri kita terlecehkan, terluka, hingga menderita kerugian, merupakan perbuatan baik itu sendiri? Realitanya, kita bukan hanya perlu berbuat baik terhadap orang lain, namun juga terhadap diri kita sendiri, yaitu bersikap adil terhadap diri kita sendiri.

Senada dengan itu, Sang Buddha jauh sebelum ini pernah menyatakan, “Perbuatan baik artinya, tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri kita sendiri.” Karena itulah, kita pun memiliki tanggung jawab untuk memastikan kondisi diri kita tetap baik dan sehat, tanpa membiarkan orang lain merampas keutuhan diri kita, serta tanpa membiarkan diri kita disakiti hingga menderita kerugian seorang diri. Kesabaran tanpa kebijaksanaan, tidak ubahnya cara bodoh untuk mati terbunuh secara sia-sia, seolah-olah kita gagal untuk menghargai eksistensi diri kita sendiri.

Karena itulah, ada kalanya serta seringkali terjadi, berdiam diri ketika disakiti bukanlah sebuah opsi untuk dipilih. Seringkali, perlawanan menjadi opsi terbaik yang kita miliki demi kebaikan diri kita—itulah, paradoks kehidupan, lunak namun juga harus bersikap keras dan tegas bila waktunya tiba dan memerlukan kita untuk melunak atau sebaliknya. Menjadi orang baik, bukan artinya melepaskan hak asasi kita untuk melakukan aksi bela diri serta menjaga kehormatan maupun harkat dan martabat kita. Penegak hukum yang baik, akan berani bersikap tegas terhadap pelaku kejahatan, jika perlu mengeksekusi sang pelaku di tempat, demi melindungi kebaikan masyarakat umum.

Bela diri adalah hak, menjaga kehormatan dan martabat diri adalah hak, yakni hak asasi manusia setiap individu, tidak terkecuali termasuk sebagai hak pribadi orang-orang baik. Karena sifatnya ialah hak, maka bukanlah menjelma orang jahat bila hak-hak tersebut dipakai dan digunakan oleh orang-orang baik. Disebut sebagai orang jahat, yakni ketika seseorang mengambil, merampas, atau menggunakan sesuatu tanpa hak. Itulah yang perlu kita pahami betul ketika kita merupakan tipikal orang baik, agar tidak menjadi objek eksploitasi oleh masyarakat kita di luar sana yang bisa jadi hanya memandang kita sebagai “sapi perahan” ataupun “mangsa empuk”. Bela diri serta perlawanan, adalah hak, dan itu tidak mencemari status diri kita sebagai orang baik ataupun mengurangi kemurnian hati kita—korban punya hak untuk melawan dan menolak perlakuan buruk maupun perbuatan tidak patut yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya.

Perihal lika-liku menjadi orang baik dan suci dan kehidupan “kesucian yang cerdas ber-otak” (bukan “kesucian yang bodoh tanpa otak”), seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, mengisahkan ilustrasi yang penuh inspirasi sebagai berikut:

KETIKA SI ULAR JAHAT HENDAK MENJADI SUCIWAN

Cerita mengenai ular berikut ini diturunkan dari sebuah cerita Jataka Kuno, salah satu teks dalam Tripitaka. Cerita ini menunjukkan bahwa untuk “peduli”, tidak selalu berarti menjadi lembek, lemah, dan pasif.

Seekor ular jahat hidup di sebuah hutan di pinggur sebuah desa. Dia kejam, licik, dan jahat. Dia akan menggigit warga untuk senang-senang—demi kesenangannya belaka. Ketika si ular jahat sudah berusia lanjut (menurut perhitungan tahun ular, tentunya), dia mulai merenungkan apa yang terjadi pada para ular ketika ajal mereka tiba dan meninggal dunia.

Selama hidupnya, dia telah sering melecehkan agama dan ular-ular yang menurutnya naif dan bodoh, percaya saja pada omong kosong seperti itu. Sekarang dia mulai tertarik pada agama.

Tidak jauh dari liangnya, di puncak bukit, tinggal seekor ular suci. Semua orang suci bertempat tinggal di puncak bukit atau gunung, demikian juga ular suci. Ini sudah tradisi. Tidak pernah kita dengar orang suci tinggal di rawa-rawa.

Suatu hari, si ular jahat memutuskan untuk mengunjungi sang ular suci. Ia memakai jas hujannya, kacamata hitam, dan topi supaya teman-teman tidak mengenalinya. Kemudian dia mulai merayap ke atas bukti menuju Wihara sang ular suci.

Ia tiba ketika ceramah sedang berlangsung. Sang ular suci duduk di atas sebuah batu dengan ratusan ular mendengarkan dengan penuh perhatian. Si ular jahat merayap di pinggiran kerumunan, dekat dengan jalan keluar, dan mulai ikut mendengarkan ceramah.

Makin didengarkan, makin terasa masuk akal bagi dirinya. Dia mulai merasa yakin, lalu terinspirasi, dan akhirnya, terubahkan. Seusai ceramah, dia menghadap sang ular suci, dengan linangan air mata yang membanjiri wajah, dia mengakui kejahatannya selama ini, dan berjanji, mulai sekarang dia akan menjadi ular yang sama sekali lain dari yang sebelumnya.

Dia bersumpah di depan sang ular suci untuk tidak lagi menggigit manusia. Dia akan menjadi baik. Dia akan mulai menunjukkan kepedulian. Dia akan mulai mengajarkan kepada ular-ular lain bagaimana menjadi baik. Dia bahkan memasukkan uang ke kotak dana di dekat jalan keluar (saat semua ular melihatnya, tentu dong).

Walaupun sesama ular dapat bercakap-cakap, itu terdengar seperti desis yang sama bagi telinga manusia. Si ular jahat, eh, mantan ular jahat, tidak bisa mengatakan kepada orang-orang bahwa dia sekarang seekor “cinta damai”.

Orang-orang desa masih menghindarinya, walaupun mereka mulai bertanya-tanya atas lambang Cinta Damai Internasional yang disematkan dengan jelas di dadanya.

Suatu hari seorang penghuni desa, asyik mendengarkan walkman-nya, berjingkrak-jingkrak tepat di sebelah si ular, dan si ular sama sekali tidak menyerang; dia hanya tersenyum seperti halnya pemuka agama.

Semenjak itu, orang-orang desa menyadari bahwa si ular jahat tidak lagi berbahaya. Mereka berjalan melewati si ular sewaktu dia duduk bersila dalam meditasinya di luar liangnya. Lalu beberapa anak nakal dari desa mulai mengganggunya.

“Hei, tukang rayap!” mereka mengejeknya dari jarak yang aman. “Tunjukkan taringmu, jika kamu memang punya, hai cacing kegedean. Dasar dodol, tempe, bikin malu spesiesmu saja!”

Dia tidak suka dipanggil tukang rayap, walaupun ada benarnya juga, ataupun cacing kegedean, tetapi bagaimana dia bisa membela diri? Dia sudah bersumpah tidak akan menggigit. Oh, mengapa kebaikan hati ini, justru menjelma bumerang? Mengapa menjadi seekor ular yang baik hati, sungguh getir dan pahit?

Menyaksikan si ular sekarang begitu pasif, anak-anak itu menjadi makin berani dan mulai melemparinya dengan batu dan gumpalan tanah. Mereka tertawa kalau ada yang kena. Si ular mengetahui bahwa dia bisa saja merayap cukup cepat untuk menggigit semua anak-anak itu, sebelum Anda usai mengucapkan “World Wildlife Fund”.

Namun sumpahnya mencegah dia melakukan hal itu. Lalu anak-anak itu makin mendekat dan mulai memukulinya dengan tongkat. Si ular menerima pukulan yang menyakitkan itu, tetapi sekarang dia sadar, bahwa dalam dunia nyata, kita harus tegas menjadi jahat untuk melindungi diri.

Ternyata agama hanyalah omong kosong. Jadi dia merayap dengan menahan sakit ke atas bukit untuk mengunjungi sang “ular suci” palsu dan akan melepaskan sumpahnya.

Sang ular suci melihatnya datang, dengan tampang lusuh dan lecet-lecet, dan bertanya, “Kenapa kamu?”

“Ini semua salahmu!” si ular jahat mengeluh dengan tampang kesal dan kecewa.

“Apa maksudmu ‘ini semua salahku’?” protes sang ular suci.

“Kamu mengajarkan ku untuk tidak menggigit. Sekarang lihat apa yang terjadi pada diri ku! Agama mungkin cocok di wihara, tetapi dalam kehidupan nyata...”

“Oh, kamu ular bodoh!” sang ular suci menyela, “Oh, ular dungu! Oh, ular bego! Memang benar aku menyuruhmu berhenti menggigit, tetapi aku tidak pernah menyuruhmu berhenti berdesis kan?”

Terkadang, dalam kehidupan, orang suci sekalipun harus “mendesis” untuk menjadi baik, tetapi tidak ada yang perlu menggigit.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.