MANUSIA AGAMAIS Vs. ROBOT KOMPUTERISASI dalam Layanan Publik, Pilih yang Mana?

ARTIKEL HUKUM

Tingkat Kejujuran sebuah ROBOT ternyata Jauh Melampaui Bangsa Agamais yang ber-Tuhan, Ironis namun Nyata, Realita, dan Fakta Adanya

Bangsa yang “agamais”, semestinya dipenuhi oleh para manusia suci (suciwan) atau setidaknya berisi manusia-manusia yang baik, luhur, agung, berbudi luhur, penuh kejujuran, kredibel, akuntabel, berintegritas, dapat dipercaya, moralis, serta bertanggung-jawab, semata karena mereka rajin beribadah, berceramah perihal kebaikan, kejujuran, dan keluhuran, mengaku ber-Tuhan, serta meyakini surga dan neraka, maupun tentang hari kiamat. Ironisnya, kini berbagai peran para Aparatur Sipil Negara (manusia “agamais”) di Indonesia sudah akan dan tengah telah digantikan sepenuhnya oleh kehadiran peran sebuah robot. Mengapa demikian?

Pemerintah pusat mendalilkan, meminimalisir tatap muka antara warga yang mengajukan permohonan pelayanan publik dan Aparatur Sipil Negara, akan mampu menekan angka korupsi maupun kolusi (penyalah-gunaan wewenang) pihak Pegawai Negeri Sipil yang bisa jadi memeras dengan tujuan meminta pungutan liar terhadap warga. Berkat bantuan kemajuan teknologi dewasa ini, sebagian kegiatan dan layanan publik di Kantor Pertanahan, dapat digantikan oleh kecanggihan teknologi digital lewat otomatisasi sebuah sistem via internet, sehingga sistem yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional) menjadi pihak garda terdepan dalam aspek pelayanan publik bagi warga pemohon pelayanan pertanahan.

Dahulu, sebelum era digitalisasi seperti dewasa ini, begitu mengerikannya menghadapi para pejabat dan petugas pada berbagai Kantor Pemerintahan, apapun serba diperas pungutan liar, apapun serba dipersukar, apapun serba tidak transparan, apapun serta tidak akuntabel, warga pemohon layanan publik yang dimonopolisir oleh para petugas Kantor Pertanahan tersebut benar-benar diposisikan lemah daya tawarnya sehingga hanya dapat bersikap pasrah dijadikan “sapi perahan”—hanya itulah, nilai diri warga di mata para Aparatur Sipil Negara kita, terutama di Kantor Pertanahan. Faktanya, para Aparatur Sipil Negara pada Kantor Pertanahan tersebut adalah para “agamais” yang rajin beribadah, lengkap dengan busana “agamais” disamping serba “halal lifestyle”.

Lantas, mengapa para “agamais” pada berbagai Kantor Pertanahan tersebut justru hendak digantikan oleh robot berupa sistem komputerisasi yang dibentuk dan dibangun pemerintah pusat? Faktanya, setelah berbagai kegiatan pelayanan pertahanahan pada seluruh Kantor Pertanahan di Indonesia telah digantikan oleh peran sebuah robot berwujud sistem terkomputerisasi, para masyarakat luas yang kemudian bersorak-sorai—sementara itu para Aparatur Sipil Negara yang selama ini menyalah-gunakan kewenangannya dalam hal ini memeras warga untuk memungut sejumlah pungutan liar, sekalipun upah bagi para Aparatur Sipil Negara tergolong diatas rata-rata upah pekerja swasta, merasa “gigit jari” serta sang robot dipandang mengancam ketebalan pundi-pundi pada kantung saku mereka.

Berbagai perizinan usaha, ketika masih era manual, sarat “tatap muka” dengan pihak aparatur, yang dapat dipastikan menyerempet pada pemerasan berkedok “prosedur”, dimana prosedur (baik prosedur yang benar ada prosedurnya ataupun prosedur fiktif) dapat disimpangi dengan sejumlah “uang pelicin” agar diperlancar. Jika bisa dipersukar serta dipersulit, mengapa dipermudah? Ketika masih zaman manual, mencari dan menghimpun putusan pengadilan menjadi perkara yang tidak dapat dipisahkan dari sejumlah biaya yang harus dikucurkan untuk memuaskan para pengawai di gedung pengadilan yang wajanya menyerupai hewan predator ganas yang bertaring dan berliur ketika menatap mangsa buruannya untuk diterkam, sekalipun sifatnya ialah hak warga dan masyarakat atas putusan yang menjadi dokumen publik sifatnya.

Dahulu, saat layanan digitalisasi belum semarak dewasa ini, pelayanan publik secara manual tatap-muka di Kementerian Hukum, adalah terburuk dari segi kualitas maupun keramahan dan pelayanan personel “front desk” pada instansi tersebut. Kini, sejak Kementerian Hukum hampir sepenuhnya menerapkan pelayanan secara TANPA “tatap muka”, alias robot sebagai garda terdepannya, Kementerian Hukum RI benar-benar patut menjadi lembaga yang paling dicintai oleh masyarakat, paling membantu masyarakat, paling memudahkan masyarakat, serta paling dapat diandalkan oleh masyarakat. Tampaknya para robot memenangkan kompetisi terhadap para aparatur yang manusia “agamais” pada seluruh kementerian maupun lembaga di Indonesia, dalam hal pelayanan publik. Mengapa bisa terjadi demikian?

Kini, semua itu dapat dilakukan via elektronik “online”, tanpa perlu lagi tatap-muka terhadap pejabat ataupun aparatur sipil negara mana pun, sehingga proses pengajuan perizinan menjadi demikian “humanis” sekalipun pihak yang memberikan pelayanan ialah robot yang “robotis”. Bahkan, kini putusan pengadilan benar-benar transparan dibuka kepada publik, dapat diakses oleh siapapun, kapan pun, dan dimana pun. Pemerintah pusat, dalam ini masing-masing petinggi pada lembaga instansi pemerintah seperti Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Hukum, maupun Mahkamah Agung RI, telah menunjukkan “political will” yang pro terhadap rakyat.

Mengapa, para “agamais” tersebut, justru kalah jauh terhadap integritas sebuah “robotis”? Sang “robotis” tidak beribadah, tidak juga mengenal Tuhan, tidak ber-“halal lifestyle”, tidak mengenal alam surga ataupun neraka, namun mengapa para “agamais” kita justru kalah jauh dari segi integritas dan kejujurannya terhadap sebuah “robotis”? Mengapa sang manusia “agamais” bisa disuap, sementara sang “robotis” tidak bisa disuap? Jangan-jangan, Tuhan lebih mencintai dan lebih menyukai sang robot ketimbang sang “agamais”.

Polisi, semestinya menjadi maskot pelindung, pengayom, serta pahlawan bagi masyarakat. Sayangnya, di Indonesia, polisi yang sekalipun “agamais”, faktanya lebih preman daripada preman, bahkan lebih arogan ketimbang preman, sungguh menyerupai “preman berseragam” lengkap dengan senjata api yang dilegalkan untuk dimiliki oleh sang “preman berseragam” untuk menakut-nakuti warga (jika Anda memang pemberani, wahai Bapak Polisi, copot seragam dan senjata api Anda, mari kita berduel satu lawan satu dengan tangan kosong secara JANTAN, beranikah Anda?).

Siapapun pernah mengalami dan sudah menjadi rahasia umum, polisi dengan serakahnya menilang semata dengan mencari-cari kesalahan ataupun cari-cari alasan untuk menilang yang ujung-ujungnya menawarkan “damai” dengan sejumlah “uang damai” (motifnya sejak semula ialah untuk memeras, bukan untuk menegakkan tertib lalu-lintas). Kini, mengapa simbolik pahlawan dan malaikat bumi bernama polisi tersebut, yang juga “agamais”, hendak digantikan oleh sistem tilang elektronik berbasis pengawasan sistem dan monitor terkomputerisasi yang artinya robot menjadi garda terdepannya?

Pihak petinggi di POLRI dalam siaran pers-nya menerangkan, mengurangi interaksi antara anggota satuannya (polisi) dengan masyarakat pengguna jalan, dapat menekan angka kolusi penyalah-gunaan kekuasaan dan wewenang mereka dari aksi-aksi semacam pungutan liar. Telah ternyata, robot masih lebih adil dan lebih berwibawa daripada sang Bapak Polisi yang selama ini menjabat, berseragam, dan berprofesi sebagai seorang polisi didahului oleh sebuah sumpah jabatan untuk melayani masyarakat secara jujur dan adil penuh kehormatan dan wibawa kebenaran.

Sang polisi bahkan lebih buruk dan lebih tercela daripada kalangan preman, oleh sebab para preman tidak memiliki sumpah jabatan untuk melayani dan melindungi masyarakat sehingga ia tidak melanggar sumpah jabatan ataupun Kode Etik apapun ketika menyakiti dan merugikan korbannya. Sebaliknya, sekalipun para polisi telah terlebih dahulu diperlengkapi dengan sumpah jabatan hingga dibekali Kode Etik, mereka, para polisi tersebut, lebih preman daripada preman, “preman berseragam”. Sebuah robot, tidak ada memiliki Kode Etik maupun sumpah jabatan, namun mengapa lebih bisa diandalkan oleh masyarakat dalam urusan tilang-menilang ini, ketimbang sang Bapak Polisi yang “agamais”?

Peradilan, perkara gugat-menggugat, sudah sejak lama dikenal sistem komputerisasi bernama “eCourt” hingga “eFilling”, “eSummon”, dan tentunya “eLitigation”. Kini, para pihak yang saling gugat-menggugat tidak perlu saling bertatap-muka dengan panitera, hakim, maupun para pegawai dan pejabat pengadilan. Mulai dari urusan pendaftaran gugatan, pembayaran uang panjar, memasukkan berkas perkara, hingga tahap putusan, semua secara sistem komputerisasi, tanpa tatap-muka sama sekali mulai dari proses awal hingga akhir. Kita selaku masyarakat pencari keadilan, bertatap-tatapan dengan robot dan berinteraksi dengan robot. Sebuah robot tidak bisa korupsi, hanya bisa “ERROR” ataupun “korsleting”.

Dapat kita pastikan, para personel di lembaga peradilan adalah orang-orang pilihan (tentunya, bagaimana mungkin kita hendak mengakui bahwa para pegawai dan pejabat peradilan diisi oleh para “penyamun” pemeras masyarakat saat proses rekruitmennya? Ataukah seorang penyamun senior mengangkat dan menunjuk penyamun junior lainnya untuk menjabat), orang-orang berbakat, orang-orang berintegritas, serta pastinya “agamais”. Faktanya, kesemua asumsi demikian akan terputar-balik serta runtuh seketika ketika kita pernah berurusan dengan lembaga pengadilan di kota dan daerah mana pun. Semua corak dan polanya serupa, yakni KORUP serta penuh KOLUSI dari semua lini dan semua jajaran dijajaran atas maupun jajaran personel pegawai bawahnya. Sungguh, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, antara lembaga peradilan dan sarang penyamun, tidak saling berbeda, bagai pinang dibelah dua. Yang membedakan, gedung peradilan dibuat manis dan tampak agung lengkap dengan seragam para aparaturnya yang rapih dan bersih. Namun dari segi esensi, tidak ubahnya para penyamun yang bersarang di sebuah sarang yang membawa kemasan “peradilan” yang “adil” atau “keadilan” sebagai kedok jargonnya.

Mengapa Mahkamah Agung RI, justru merasa perlu untuk mengubah sistem peradilan yang ada selama ini, yakni sistem yang manual, menuju era digitalisasi secara “online”? Bukankah para aparaturnya adalah orang-orang “pilihan”, disumpah jabatan sebelum menjabat, “agamais”, serta tentunya ber-”halal lifestyle” disamping takut neraka dan menghendaki surga, disamping juga mengaku ber-Tuhan (mengakunya). Mengapa sebuah robot, justru kini telah menjadi andalan bagi masyarakat umum pencari keadilan ketika harus berurusan dengan urusan gugat-menggugat? Menghadapi aparatur yang manusia, kini menjelma momok yang sangat ditakutkan karena berkonotasi dengan “akan diperas” serta pamer monopolistik kewenangan, sekalipun ia adalah manusia yang mengaku ataupun bergaya hidup “agamais”—atau, semakin “agamais” semakin menakutkan dan semakin harus kita jauhi.

Setelah penulis lama melakukan penelusuran literasi maupun pengamatan selama hampir separuh abadnya lahir, tumbuh, serta besar di Indonesia, penulis menemukan satu buah akar penyakit yang polanya tersebar merata di Indonesia, yakni akibat disponsori kampanye hitam (black campaign) oleh dogmatis “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”), dalam beberapa kutipan berikut:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Para manusia “agamais” tersebut beralibi (beralasan) kepada para korban pungutan liar dan pemerasannya (ketika menyalahgunakan wewenang monopolistik yang diemban olehnya, yang mana jahat durhakanya ialah justru memeras warga yang selama ini menjadi sumber pembayar pajak untuk sumber gaji para Aparatur Sipil Negara tersebut), bahwa “Masih untung Anda hanya sekadar saya peras pungutan liar, tidak sampai saya rampok dan bunuh!” Sang warga yang menjadi korban pemerasan terselubung itu pun, hanya dapat menanggapi sinis plus apatis, “Jadi, saya harus mengucapkan ‘terima kasih’ begitu, karena Anda tidak membunuh dan merampok harta saya, namun sekadar memeras saya?

Memang ironis, “agamais” namun disaat bersamaan tidak takut berbuat dosa (maksiat maupun perbuatan jahat), melestarikan dosa, mendekatkan diri dengan dosa, menimbun diri dengan dosa, menabung dosa, mengoleksi dosa, mencari-cari dosa, berbuat dosa hingga segunung dosa, jungkir-balik demi dosa, rela merepotkan diri maupun orang lain semata karena dosa, hidup dari dosa, memperkaya diri dari dosa, hidup dan mati untuk dosa, dari dan untuk dosa, membesarkan diri dengan dosa, berbangga diri menjadi pendosa, hobi berbuat dosa, menyembah dosa, menghamba pada dosa, dimana kita dapat berkata pada mereka, “Begitukah cara Anda memuliakan Tuhan, dengan justru mendekatkan diri pada dosa? Begitukah yang Anda sebut beribadah dan ber-Tuhan, yakni mempertebal dosa, bahkan masih pula seorang pendosa yang penuh dosa kemudian berceramah perihal perbuatan bajik dan tentang kesucian hidup dan mengharap masuk surga?

Sang pendosa pun kembali ber-alibi, secara penuh percaya diri, dengan kalimat sebagai berikut : “Karena ada dosa, maka ada penebusan dosa maupun pengampunan dosa. Tuhan telah mewahyukan ‘kabar baik’, bahwa para pendosa akan ditebus ataupun dihapus dosa-dosanya, jaminan masuk surga. Artinya, Tuhan telah membuat kehendaknya, yakni untuk terus melestarikan maksiat, dosa, dan perbuatan jahat lainnya. Para nabi diturunkan oleh Tuhan ke dunia manusia, namun tiada satu pun maksiat ataupun dosa yang berhasil diberantas dari muka bumi. Justru, dosa dan maksiat perlu dilestarikan, agar janji-janji Tuhan tentang penebusan ataupun penghapusan dosa, bisa tetap eksis dan kita wariskan pada generasi penerus. Justru adalah berkat kami inilah, para pendosa, janji-janji penebusan ataupun penghapusan dosa dari Tuhan tidak menjadi mubazir, serta lestari. Bagi korban, salahkan Tuhan, jangan salahkan penjahat yang berdosa yang sekadar memanfaatkan amnesti-dosa yang diberikan oleh Tuhan. Bahkan mencuri dan berzinah pun tetap masuk surga, apalagi sekadar pungutan liar? Itulah, standar moral baru umat manusia yang dikehendaki Tuhan, jangan pernah takut berbuat dosa. Takutlah menjadi korban, namun tidak perlu takut menjadi pelaku kejahatan

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.