ARTIKEL HUKUM
Agamais namun Disaat Bersamaan PREMANIS BARBARIS & HEWANIS PREDATORIS
Seseorang yang Benar-Benar Tidak Terkalahkan adalah Orang yang Kebetulan sedang Beruntung atau yang Selalu Diliputi Keberuntungan, Orang yang Beruntung Tidak dapat Disakiti Preman ataupun Pelaku Kejahatan Manapun
Bangsa Indonesia mengklaim sebagai bangsa “agamais” lewat busana maupun ritual yang dilakukan olehnya setiap hari secara berjemaah sekaligus norakisme maupun narsisme. Namun, sudah menjadi rahasia umum, alih-alih bersikap “humanis” ataupun “Tuhanis”, bangsa kita lebih menyerupai wajah para “hewanis” sekaligus “premanis” yang mana selalu saja menjadikan kekerasan fisik sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah, untuk memaksakan kehendaknya, untuk meminta dihormati, maupun untuk sekadar pamer kekuatan ataupun kekuasaan (baca : mempertontonkan kedangkalan peradaban). Orang-orang tidak berotak, wajar bila hanya dapat pamer dan mengandalkan “otot” untuk menganiaya ataupun bermain kekerasan fisik.
Indonesia, bukanlah negara yang tergolong aman, dapat kita buktikan dengan melakukan pertanyaan berikut ini kepada diri kita sendiri masing-masing: Jangankan melihat dengan mata kepala sendiri menyaksikan, apakah saya pernah, menjadi korban aksi premanisme, atau bahkan pernah mengalami terjadi aksi premanisme lebih dari satu kali oleh sesama Bangsa Indonesia pelakunya? Jawabannya sudah hampir dapat dipastikan untuk kita tebak dan jawab bersama secara serentak dan berjemaah, “YA, masing-masing dari kita pernah mengalaminya sebagai korban aksi premanisme! Bukanlah hal yang asing maupun hal yang aneh lagi.”
Pernah penulis alami, bahkan lebih dari satu kali kejadian, di sebuah jembatan penyeberangan orang, seorang pencuri bersama komplotannya justru melakukan aksi premanisme alih-alih merasa malu dan takut ketika aksinya dipergoki oleh penulis selaku korban. Sungguh “aneh bin ajaib”, korban yang justru dibuat takut menghadapi sang penjahat yang telah berbuat jahat, dimana sang penjahat yang justru lebih galak daripada korbannya, dimana sang pencuri tidak takut (terlebih merasa malu) karena telah berbuat sejahat itu, bahkan masih pula melakukan aksi premanisme seolah-olah melakukan aksi pencurian belum cukup jahat—suatu “kejahatan marathon”, membuat serangkaian dan serentetan kejahatan alih-alih mencukupi satu buah kejahatan.
Lantas, kita sebagai warga, bagaimana caranya menghadapi preman maupun aksi-aksi premanisme serupa yang banyak berkeliaran bak anjing liar predator dan pemangsa buas beringas dan ber-“rabies” di luar sana menunggu korban-korban untuk diburu dan dimangsa dengan ganasnya, mengingat mereka “dipelihara” oleh negara oleh sebab negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat? Melapor pada Tuhan, Tuhan justru selama ini lebih PRO terhadap pelaku kejahatan (pendosa yang berdosa) dengan menghapus dosa-dosa orang-orang jahat yang penuh dosa.
Melapor kepada polisi, faktanya dari pengalaman penulis berhadapan dengan para kepolisian di berbagai kantor kepolisian, polisi justru LEBIH PREMAN DARIPADA PREMAN, bahkan “preman berseragam” yang lebih arogan karena diperlengkapi monopolistik penggunaan senjata api maupun monopoli akses peradilan pidana. Karenanya, kedua opsi di atas, sama sekali bukanlah jawaban yang ideal. Sekalipun dipaksakan, dan sang pelaku aksi premanisme digiring masuk ke ruang peradilan sebagai seorang “pesakitan” (terpidana), seringkali aksi-aksi premanisme hanya diganjar beberapa bulan kurungan sebagai vonis hukuman, sebelum kemudian kembali dibebaskan dan kembali menghantui para korbannya dalam rangka “balas dendam” (sekalipun akar penyebabnya ialah sang pelaku premanisme itu sendiri)—terutama meneror pihak warga pelapor yang pernah menjadi korban sang kriminal, untuk dijadikan korban yang kedua kalinya, ketiga kalinya, dan kesekian kalinya. Ingatlah betul-betul pesan berikut, khusus untuk konteks di Indonesia, negara (dalam hal ini pemerintah lewat aparatur penegak hukum-nya) tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat, karenanya kita selaku warga perlu benar-benar melindungi diri kita sendiri secara baik-baik dan secara bergerilya.
Lantas, bagaimana cara paling ideal dalam menghadapi dan menyikapi aksi-aksi premanisme oleh para preman yang masih banyak berkeliaran di luar sana, dengan begitu bebasnya seolah tidak tersentuh oleh Hukum Negara (kecuali Hukum Karma), mengintai buruan dan para calon korbannya yang tidak berdaya, dimana bisa jadi kita adalah salah satu diantaranya? Pelangi yang indah wujudnya, diciptakan oleh Tuhan. Namun preman yang jahat dan busuk perilaku, juga diciptakan oleh pencipta yang sama. Secara kajian dogmatis sebagian besar keyakinan keaagamaan, segala sesuatu terjadi atas se-izin, kehendak, restu, serta rencana Tuhan. Karenanya, aksi premanisme pun terjadi tidak lepas dari keterlibatan Tuhan sebagai “aktor intelektual”-nya di balik layar menjadi “the Big Boss” alias “Godfather” dari para kriminal tersebut.
Korban maupun sang preman pelakunya, sekadar menjadi pion alias bidak catur yang sama-sama tidak berdaya di atas papan catur permainan Tuhan—begitu berdarah-darah, sang korban menderita luka ataupun kerugian lainnya, sementara sang preman yang sekadar diperalat tangannya oleh Tuhan, kemudian dilempar ke neraka. Apa untungnya atau faedahnya dibalik semua kegilaan dan kejahatan demikian? Siapa juga yang berminat dilahirkan sekadar untuk dijadikan alat kejahatan (dalam rangka memberikan “cobaan”) oleh Tuhan, seolah-olah Tuhan belum cukup puas mencoba-cobai umat manusia meski umur umat manusia sudah setua umur Planet Bumi ini? Umat manusia yang gagal saat diberikan cobaan, kemudian di lempar ke tong sampah raksasa bernama neraka, menjadi “salah siapakah”, salah manusia atau salah penciptanya yang menciptakan manusia lengkap dengan seperangkat ketidak-sempurnaannya? Bila menilik dari sikap aroganisme maupun kesewenangan-wenangan Tuhan yang diktatoriat demikian, maka sejatinya Tuhan pun menyandang gelar “Maha Preman”.
Kembali pada pertanyaan semula, pertanyaan seperti bagaimana atau kiat menghadapi preman, sungguh banyak dipertanyakan oleh masyarakat kita, seolah-olah negara tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat—memang tidak pernah hadir selain saat hendak menilang kendaraan bermotor atau ketika hendak melakukan pungutan liar terhadap warga, terbukti dari cobalah Anda menelepon polisi ketika terjadi aksi premanisme, apakah polisi akan hadir siap melayani masyarakat sebagaimana jargon penuh slogan mereka? Kantor Kepolisian perlu diubah namanya menjadi Kantor “PHP” (pemberi harapan palsu) serta “MGB” (makan gaji buta).
Kini, penulis akan ungkap “rahasia dibalik rahasia”, suatu seni kebenaran yang memang benar-benar “benar” adanya, yakni suatu konsep yang penulis pinjam dari terminologi Buddhisme, apa yang disebut sebagai Ovada Patimokkha, yang terdiri dari empat buah gatha / syair terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.” Bagi yang terbiasa menyepelekan dan meremehkan, tidak akan memahami rahasia dibalik gatha tersebut, dimana pada kesempatan ini penulis akan mengungkapkannya secara lugas.
Sehingga terhadap pertanyaan, “Bagaimana cara melindungi diri dari orang-orang jahat, tidak terkecuali dari preman?” Tidak ada jalan lain selain hanya berjodoh dengan orang-orang baik, keberuntungan selalu berpihak pada kita (sekalipun berjumpa preman di jalan), serta menjadi orang suci (setidaknya menjadi orang baik) sehingga menjadi sebentuk petaka bagi sang penjahat (maupun sang preman) itu sendiri ketika mencoba menyakiti seorang suciwan ataupun ketika melukai / merugikan orang-orang baik. Jawabannya secara tegas ialah Ovada Patimokkha, yang terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.” Dengan menjadi orang baik (ataupun suci), kita telah melindungi diri kita sendiri serta membangun benteng perlindungan diri kita sendiri.
Faktanya, bukan hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus premanisme, namun dapat pula kita terapkan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Semisal, atas pertanyaan, bagaimana cara dan rahasia untuk hidup sehat serta panjang umur? Jawabannya secara tegas ialah Ovada Patimokkha, yang terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.” Aplikasikan pada kehidupan sehari-hari, dimana hukum sebab-akibat maupun hukum tabur-tuai ini akan bekerja bagi kita bagaikan hukum alam itu sendiri. Kita dapat menjadi perancang jalan hidup kita sendiri, dengan cara menanam benih Karma sebagaimana kita ingin memetik suatu buah Karma. Menanam durian, tumbuh buah durian. Menanam bakau, tumbuh buah bakau.
Bagaimana cara serta rahasia untuk membangkitkan taraf hidup dan ekonomi keluarga, dari “melarat menjadi konglomerat”? Solusinya secara tegas ialah Ovada Patimokkha, yang terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.” Tidak ada jalan pintas, semua adalah perihal komitmen serta konsistensi. Menabur kemalasan, menuai kemalasan. Menabur kecurangan, menulai kemalangan.
Bagaimana cara mengatasi serta menghadapi teror-teror akibat pengaruh mistik semacam “black magic” ataupun roh-roh halus pengganggu hidup kita maupun yang menghantui rumah kediaman kita? Mantranya secara tegas ialah Ovada Patimokkha, yang terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.” Tidak ada “mantra instans” ataupun jalan instans selain membentengi diri dengan ketiga aspek dari syair Ovada Patimokkha di atas.
Mereka yang mencelakai orang-orang baik, terlebih terhadap orang-orang suci, sungguh akan menjelma bumerang dahsyat yang berbalik kepada sang pelaku kejahatan itu sendiri. Devadatta melukai Sang Buddha, bumi ini yang kemudian membelah dan menelan Devadatta hidup-hidup kedalamnya. Hanya orang bodoh serta kelewat dungu, yang berani dan tidak takut mencoba melukai seorang suciwan maupun orang-orang baik (para kalangan premanisme termasuk salah satunya, “si dungu”). Menjadi orang baik, tampaknya merugikan, namun anggaplah itu sebagai investasi jangka panjang, dimana kita akan memiliki polis asuransi bernama “kejahatan akan berbalik menjadi bumerang bagi pelaku kejahatan itu sendiri”, Kantor Kepolisian dipersilahkan gulung tikar.
Ketika kita tidak lagi membutuhkan eksistensi peran seorang Polisi, maka sejatinya kita telah “menang” (bahkan kemenangan besar) menghadapi arogansi dan diktatoriat Kepolisian, dan menjadi mandiri dari segi urusan nasib hidup, semata mengandalkan perlindungan dari Hukum Karma sebagai benteng pertahanan sekaligus perlindungan utama kita. Itulah sebabnya, Sang Buddha tidak pernah membutuhkan hal semacam Laporan Kepolisian, dimana Hukum Karma mencatat semuanya secara “auto pilot” dimana hakim serta eksekutornya pun bekerja secara “auto pilot” tanpa perlu dilaporkan ataupun diadukan. Melapor kepada Polisi, hilang seekor kambing ujungnya akan dapat kehilangan seekor sapi, demikian anekdot yang berkembang dalam kalangan profesi hukum.
Bagaimana cara menyikapi kondisi global yang penuh ketidak-pastian, penyakit yang merajalela, wabah yang menjelma pandemik, bencana alam tanah longsor, banjir, kekeringan, gunung meletus, tsunami, dan berbagai “the act of God” lainnya, seolah-olah hidup sebagai seorang manusia belum cukup sukar penuh kerepotan dan riskan bagai di ujung tanduk? Jawabannya secara tegas ialah Ovada Patimokkha, yang terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.”
Tidak ada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini, kita yang paling bertanggung-jawab atas hidup dan hasil dari perbuatan kita sendiri. Ketika kita telah berhasil merealisasi tahap pencapaian kesucian Arahat, kita bahkan telah “memutus belenggu rantai karma” (break the chain of kamma), maka tiada lagi siklus tumimbal lahir, tidak lagi berkondisi, dimana dewa kematian tidak lagi berkuasa atas kita, dan buah Hukum Karma tidak lagi dapat mempermainkan kita.
Tidak selamanya kita dapat terlahir kembali sebagai seorang hartawan, penguasa, pengusaha, raja, tuan tanah, presiden, direktur, majikan, bangsawan, dan lain sebagainya. Hidup dan perputaran siklus samsara bagaikan roda yang berputar, sebagaimana kita pernah terlahir sebagai seorang budak, bangsa terjajah, pekerja serabutan, gelandangan tanpa rumah, buruh, terlilit kemiskinan akut, dan lain sebagainya. Hidup bagaikan ajang spekulasi penuh pertaruhan yang tidak memiliki kepastian, selain ketidakpastian itu sendiri, serangkaian fakta perihal anicca, dukkha, dan anatta.
Singkatnya dan ringkasnya, apapun pertanyaannya, apapun itu masalahnya, apapun itu problematikanya, apapun kemelutnya, apapun benang kusutnya (kalau bisa, jangan sampai menunggu “kusut”), Jawabannya secara tegas ialah Ovada Patimokkha, yang terdiri dari: “Hindari perbuatan buruk; Perbanyak perbuatan bajik; Sucikan Pikiran, Itulah ajaran para Buddha.” Terdengar membosankan? Faktanya, jarang diantara kita yang mampu untuk menjalankan apa yang dinasehatkan oleh Sang Buddha dalam Ovada Patimokkha tersebut di atas.
Masyarakat kita yang “agamais”, justru tidak takut berbuat dosa, bangkan bangga berbuat dosa, mengkoleksi segudang dosa yang tidak lagi terhitung jumlahnya, pesta dosa, menimbun diri dengan dosa, hidup dari berbuat dosa, makan dari nasi hasil berbuat dosa, jadilah berstatus sebagai bergelar “PENDOSA”. Hanya seorang pendosa yang membutuhkan hal-hal “konyol” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, seolah-olah korban tidak berhak untuk mendapatkan keadilan dari langit. Perihal perbuatan bajik, masyarakat “agamais” kita lebih kerap memandang Tuhan sebagai “Doraemon lengkap dengan kantung ajaibnya” atau sebagai “Mesin ATM” untuk dieksploitasi bak “sapi perahan”. Mereka terlampau pemalas untuk menanam Karma Baik dan terlampau serakah untuk menunggunya hingga berbuah dan matang sebelum dipetik. Perihal menjalani hidup suci, bahkan menikah pun (anti hidup selibat) dianggap sebagai “ibadah”, seolah-olah mencuri dan berzinah dapat ditolerir dan diberi kompromi penghapusan dosa sehingga menjadi bersih-suci kembali bak merendam pakaian yang penuh dosa mengerak dengan larutan deterjen. Bagaimana mungkin, seorang pendosa berceramah ataupun mimbar kepada publik perihal perbuatan baik, suci, benar, bebas dari maksiat? (kecuali, sudah “putus urat malu”-nya).
Itulah sebabnya, pepatah dalam kalangan Buddhistik menyebutnya : Orang baik melindungi diri dan terlindung oleh akibat perbuatan baik yang ditanam olehnya sendiri selama ini. Sementara itu orang-orang jahat (para pendosa), adalah memang sudah selayaknya bila mendapatkan buah Karma Buruk, berupa disakiti, dirugikan, ataupun dilukai oleh para penjahat dan para pendosa lainnya. Bagaimana mungkin, seorang penipu menolak terkena modus penipuan oleh penipu lainnya? Meskipun, realitanya banyak penipu yang tidak memiliki kesadaran demikian, asyik menipu namun menolak tertipu. Bagaimana ceritanya, seseorang yang selama ini gemar melakukan perbuatan mencuri hak-hak orang lain kemudian berkeberatan ketika hak-haknya dirampok dan dirampas oleh para pencuri lainnya? Itu tidak masuk diakal, namun faktanya memang sebagian besar masyarakat kita ialah irasional dan tidak berakal sehat—alias memiliki apa yang penulis sebut sebagai “akal sakit milik orang sakit”.
Mengapa Bangsa Indonesia, kian menyerupai Bangsa “Preman”, agamais namun preman? Jangankan premanisme, radikalisme pun ternyata memiliki justifikasi diri lewat perintah-perintah dogmatis bahkan menjadi seolah menjadi misi suci berupa perintah “Tuhan”, menjadi misi untuk menegakkan “jalan Tuhan”, sebagaimana dapat kita jumpai pada ideologi yang diusung oleh “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”), dalam beberapa kutipan berikut:
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."
- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Sang preman pun akan berkata kepada sang korban, “Masih untung Anda tidak saya bunuh, sekadar saya curi dan rampok harta Anda!” Sang korban pun menanggapi sebagai berikut, “Jadi, saya harus mengucapkan ‘terimakasih’ begitu, kepada Anda, karena tidak membunuh saya, namun sekadar merampok dan mencuri hak-hak saya?” Bila sang korban menambahkan, “Anda tidak takut masuk neraka?” Sang preman pun akan dengan ringan saja menjawab sembari sumringah seolah-olah tanpa dosa, dengan kalimat panjang-lebar bagaikan penjahat sedang berceramah (menceramahi korbannya), sebagai berikut:
“Agar janji-janji Tuhan tentang penghapusan dan penebusan dosa tidak mubazir, maka adalah RUGI bila tidak menjadi seorang pendosa. Justru karena itulah, Tuhan tidak pernah menghapus maksiat ataupun dosa kejahatan apapun dari muka Bumi, meski puluhan nabi telah diturunkan sebagai utusan Tuhan, justru dilestarikan oleh Tuhan. Bila tidak ada dosa maupun maksiat, dosa apa lagi yang bisa ditebus ataupun dihapus oleh Tuhan, sang Maha Pengampun juga Maha Pemurah?
“Buat apa repot-repot tanam Karma Baik. Buat apa kontrol diri tidak berbuat kejahatan. Buat apa sukar-sukar latihan kesucian diri. Tuhan telah memberikan ‘kabar baik’ bagi kami para pendosa, silahkan berbuat dosa dan maksiat, selebihnya Tuhan yang akan menghapus dosa-dosa para pendosa.
“Saya adalah umat yang soleh juga beriman, karena rajin beribadah dan meyakini sepenuhnya ajaran, perintah, maupun janji-janji Tuhan, tanpa keraguan sedikit pun terhadap janji-janji penghapusan ataupun penebusan dosa yang Tuhan berikan dan janjikan kepada kami, para PENDOSA.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.