Katakan TIDAK, untuk Setiap Bentuk Penyimpangan Moralitas, Sekecil Apapun, Tanpa Perlu Tawar-Menawar

LEGAL OPINION

Pilihannya hanya Dua, Selalu Kompromi (Penuh Kompromi) atau Tiada Kompromi (Penuh Ketegasan)

Untuk Hal Teknis, Bisa Dinegosiasikan. Namun untuk Urusan Etika dan Prinsip terkait Moralitas, Tiada Kompromi

Question: Sebagai pegawai, meski hanya sekadar menjalankan perintah atasan di perusahaan saat bekerja di kantor, tetap saja hati nurani tidak bisa bohong, kenyataan bahwa semua pekerjaan di kantor saya itu penuh manipulasi, kebohongan, kepalsuan, tipu-muslihat, rekayasa, keburukan, kejahatan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya yang bisa merugikan orang lain, merugikan kompetitor perusahaan, merugikan pemerintah, merugikan masyarakat, merugikan lingkungan hidup, maupun merugikan konsumen, semata demi kepentingan memperbesar keuntungan pribadi perusahaan maupun pemilik perusahaan tempat saya bekerja.

Saya pikir, yang penting saya dapat pemasukan nafkah dari gaji bulanan, selebihnya biarkan dosa si pemilik perusahaan. Saya hanya menjalankan perintah saja dari atasan, mengerjakan apa yang diperintahkan untuk saya kerjakan, bukan untuk kepentingan maupun untuk keuntungan pribadi saya semua hasil perbuatan kejahatan perusahaan ini. Apakah saya egois, dan apakah keliru memposisikan diri dengan paradigma demikian?

Brief Answer: Secara hukum negara, keterlibatan dengan mengatas-namakan apapun (tidak terkecuali karyawan yang merasa hanya sekadar mengikuti perintah majikan), turut-serta memberikan andil bagi terjadinya perbuatan-perbuatan hukum yang tergolong melawan / melanggar hukum, maka dapat dijerat sebagai pelaku penyertaan (deelneming, pelaku “turut serta”), terlepas dari keuntungan sepenuhnya dinikmati oleh pihak penyuruh (majikan) maupun oleh si pelaku “turut serta” (buruh / pegawai)—sedikit banyak, terdapat kontribusi masing-masing pihak atas berlangsung dan terjadinya suatu pelanggaran terhadap hukum yang merugikan warga lainnya.

Untuk lebih jelasnya, lihat kasus pidana penyuapan yang menjerat pengacara senior Otto Cornelis Kaligis, yang menyuruh anak-buahnya untuk menyuap hakim di pengadilan terkait perkara klien yang ditangani oleh kantor hukum miliknya (kolusi), namun kemudian mencoba menuduh serta melimpahkan seluruh tuduhan kepada anak buahnya (baca : mengkambing-hitamkan atau mengorbankan anak buah) sekalipun kepentingan dan keuntungan sepenuhnya dinikmati oleh OC Kaligis, bukan oleh anak buah yang hanya sekadar mendapat nafkah bulanan dan sekadar menjalankan perintah atasan—dimana di mata seorang pekerja, secara politis, wajib hukumnya untuk patuh pada segala bentuk kemauan maupun perintah sang atasan.

Sementara secara Hukum Karma, kontribusi kejahatan terjadi lewat tangan orang-orang yang menjadi pelaku, baik pelaku penggagas, penyedia sarana, perancang, hingga para eksekutornya tanpa terkecuali siapa pun yang turut terlibat di dalamnya. Hanya demi upah bulanan yang tidak seberapa nilai nominalnya, sangatlah tidak “worthed” bagi kalangan pekerja / pegawai untuk mengotori tangannya dengan melakukan kejahatan demi serta untuk kepentingan sang majikan, dimana hasil kejahatan sepenuhnya dinikmati oleh sang pemberi perintah.

PEMBAHASAN:

Yang jarang dipahami dan disadari para kalangan pegawai, buruh, pekerja, karyawan, atau istilah lain apapun itu yang merujuk pada suatu subjek peran yang terkait pada unsur perintah, pekerjaan, dan upah, terdapat “social cost” sebagai bayarannya dibalik keterlibatan dalam praktik-praktik kecurangan pelaku usaha, yakni lingkungan pergaulan, tidak terkecuali lingkungan pekerjaan, secara tidak disadari olehnya akan mampu secara gradual merubah dan menggeser “standar moral” mereka yang terlibat di dalamnya menjelma sama negatif-nya dengan sang pemberi perintah atau si masinis / nahkoda yang membawa jalannya kegiatan dan arah kebijakan kantor / perusahaan dan membawa serta mereka yang turut menjadi penumpangnya.

Bagaimana cara bekerjanya pergeseran “standar moralitas” seseorang dalam suatu komunitas, institusi, atau organisasi lingkup relasi pekerjaan? Lewat pintu gerbang bernama “kompromistis”, seseorang pegawai yang pada mulanya masih idealis mulai menutup matanya atas praktik gelap dan kotor hingga ilegal sang pelaku usaha. Perlahan namun pasti, keterlibatannya makin masif dan semakin dalam ke dalam “lumpur” yang gelap dan hitam, akibat mendapat perintah oleh sang atasan untuk menjadi salah satu aktor pelaku di dalamnya, suka atau tidak suka, harus dijalani olenya akibat daya tekan secara politis dan secara sosiologis relasi yang timpang antara atasan dan bawahan, antara pemberi kerja dan pekerjaan.

Bila kita ibaratkan idealisme ialah simbolik arah Utara, maka kompromi pertama akan terjadi adanya pergeseran sebesar tiga puluh derajat ke arah Timur, bertitik-tolak pangkal dari itu, lalu disusul kompromi lainnya berupa pergeseran tiga puluh derajat ke arah Timur, selanjutnya kembali harus berkompromi (karena pelanggaran hukum oleh sang pelaku usaha seolah sudah menjadi “menu” sehari-hari di kantornya) dengan disusul kembali pergeseran tiga puluh derajat dari tempat ia semula terakhir kali berpijak dan berdiri, dan tibalah ia ternyata sudah berada pada jalan ke arah Timur, bukan lagi menghadap ke arah Utara.

Pergeseran demi pergeseran terjadi secara gradual, seolah tidak kontras bila kita membandingkan secara “parsial yang tipis”, semisal arah Timur dan Utara, tidaklah terlalu jauh, atau semisal antara arah Utara dan Timur Laut tampak tidak demikian kontras. Namun, akibat pelanggaran hukum maupun pembunuhan nurani terjadi secara masif setiap harinya kegiatan operasional kantor sang karyawan, terjadi kembali pergeseran “standar moralitas” akibat faktor bernama “kompromi” (terhadap realita), sang karyawan kembali menggeser “standar moral”-nya dalam rangkap untuk bertahan hidup sebagai anggota komunitasnya bekerja, namun disertai sebentuk delusi bahwa pergeserannya ialah tiga puluh derajat dari titik-tolak arah Timur ke arah Selatan—perhatikan, titik tolaknya bukan lagi arah Utara sebagai “standar moral” jati dirinya!

Terdapat sebentuk pengelabuan diri di sini, yang mana disadari oleh alam bawah sadar yang bersangkutan, namun agar tidak tampak pahit dan menyedihkan, alam sadar-nya dipaksa secara dikecoh untuk memungkiri fakta empirik yang sebenarnya terjadi, fakta bahwa dirinya telah “menyimpang jauh”. Kembali lagi pergeseran tiga puluh derajat dan tiga puluh derajat ke arah Selatan. Sampai pada akhirnya, ia tiba pada suatu tempat berpijak baru, suatu individu yang telah berubah seratus delapan puluh derajat dari segi perilaku, kebiasaan, perbuatan, serta idealisme dirinya telah berbeda dari dirinya yang semula berpijak ke arah Utara, kini adalah diri pribadi yang tampak asing, yakni seseosok pribadi yang berdiri ke arah Selatan. Bagaikan dua sosok yang saling berbeda, semata karena saling bertolak-belakang dari segi haluan hidup.

Efek gradual yang lebih tidak kentara, bila arah pergeserannya terjadi secara “tipis” dari hari ke hari secara repetisi, bukan tiga puluh derajat pergeseran seperti contoh di atas, namun bisa jadi hanya sekadar nol koma satu derajat setiap harinya, maka dalam tempo satu tahun sudah cukup untuk seseorang berangsur-angsur menjadi pribadi yang bertolak-belakang dari diri pribadinya yang semula. Bila pergeseran “standar moral”-nya ialah tiga puluh derajat, masih cukup tampak kontras, dan hanya dalam enam kali pergeseran, maka telah berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, bila pergeserannya hanya nol koma satu derajat, akan tampak lebih halus tingkat gradualnya, tanpa terkesan kontras sehingga kian sukar disadari oleh diri pribadi bersangkutan, berubah dalam senyap, “the silent killer”.

Ketidak-sempurnaan persepsi umat manusia rata-rata, ialah ketidak-mampuan dalam membuat titik acuan dan mudah lupa dari masa semula berasal dan beranjak. Mereka, atau sebagian besar diantara kita, menjadikan titik berpijak kita saat kini sebagai titik acuan untuk cerminan diri kita di esok hari ini juga, sehingga tidak tampak kontrasnya. Dengan cara begitulah, seseorang dari bertubuh ideal menjelma berperut buncit, tanpa ia sadari dan terkaget-kaget mendapati kondisi tubuhnya sendiri. Tiba-tiba dan mendadak saja, bila kita menengok jauh ke belakang sana, ternyata kita sudah tumbuh besar dan dewasa, dengan klaim “tidak kita sadari, sudah tumbuh menjadi sebesar ini”.

Senyatanya, jika kita menjadikan titik acuannya ialah diri kita saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kontrasnya akan demikian kentara lagi—semisal, tiada seorang pun diantara kita yang saat masih bocah bercita-cita menjadi seorang penipu, suka ingkar janji, pengecut yang hanya berani secara keroyokan dan bersenjata tajam, gemar berbohong, menyalah-gunakan kepercayaan melarikan diri dari tanggung-jawab, dan segala kerendahan martabat lainnya.

Tidak ada umat manusia yang berubah secara radikal dari pendosa menjadi suciwan ataupun sebaliknya, dari orang baik menjadi orang jahat maupun sebaliknya, dari benci menjadi cinta ataupun sebaliknya, dari lemah menjadi kuat ataupun sebaliknya, dari tampan menjadi buruk rupa ataupun sebaliknya, dari bodoh menjadi cerdas maupun sebaliknya, serta varian ragam contoh lainnya. Yang selalu ada dan terjadi ialah, kesemua itu terjadi secara perlahan dan gradual, tanpa terdapat kontras yang kentara, bahkan tingkat atau selisih pergeserannya dalam satu momen waktu ke momen waktu lainnya, tampak tidak kasat mata, semisal hanya sekian persen inci. Manusia ialah makhluk evolusioner, bukan makhluk revolusioner. Itu adalah bagian dari warisan dari bakat yang diturunkan lewat seleksi alam nenek-moyang kita, umat manusia.

Hendaknya kita tidak berdelusi diri dengan mengatakan secara penuh keyakinan, bahwa kitalah yang menguasai dan mengendalikan situasi mentalitas dalam diri kita, karena senyatanya bisa jadi kita-lah yang dikuasai dan telah dikendalikan oleh situasi di luar diri, yang berangsur-angsur menggeser dan menghanyutkan kita tanpa disadari akibat pergeseran “standar moral” yang terjadi dalam jarak yang tipis dan senyap, nyaris tanpa disadari. Itulah sebabnya, rambu-rambu serta pedoman hidup, bernama prinsip diri, menjadi acuan utama yang dapat mengingatkan kita ketika kita telah melenceng dan menyimpang terlampau jauh, agar lekas kembali ke arah yang semestinya.

Jamak kita jumpai para pecandu produk bakaran tembakau, dengan penuh keyakinan mengklaim bahwa dirinya yang menguasi produk tembakau tersebut kapan ia hendak menghisapnya dan kapan ia tidak akan menghisapnya. Namun, realita yang terjadi di lapangan, dirinya yang dikuasai oleh produk bakaran tembakau tersebut bahkan mengemudikan kendaraan roda empat secara mengebut di jalan tol sembari menghisapnya di dalam mobil dengan membawa serta penumpang di dalamnya yang beresiko mengalami kecelakaan maupun terpapar polusi udara—level keparahan candu yang tergolong tingkat parah, namun masih pula berdelusi bahwa dirinya yang menguasai barang madat tersebut. Fenomena demikian juga kita jumpai pada para pencandu obat-obatan terlarang, “delusi menguasai” sekalipun dicengkeram dan dikuasai begitu dalam. Manusia bukanlah “makhluk bermain” seperti dikumandangkan Aristoteles, namun “makhluk irasional”.

Ada kalanya dan masalahnya, terdapat suatu titik dimana ketika penyimpangan telah demikian jauh dan kontrasnya, maka tampak seolah kembali pada titik semula bukanlah lagi menjadi suatu opsi yang dapat dijangkau. Ketika nasi telah menjadi bubur, bahkan bubur yang basi hingga berjamur, akibat terlampau jauh salah melangkah atau terlalu jauh terseret serta, menjadi percuma pepatah “Ketika kita salah melangkah, putar haluan sekarang juga”.

Bagaikan reputasi yang rusak dan ternoda, selamanya akan sukar dipulihkan—sehingga, idealnya, untuk urusan prinsip, tiada kompromi sejak semula. Kondisikan situasi mental dan moralitas di sekitar kita, dengan memilih lingkungan kerja serta lingkungan komunitas yang baik serta ideal, sebelum “menyesal selalu datang terlambat”. Lingkungan pergaulan seperti pekerjaan, tidak untuk diremehkan ataupun disepelekan daya penetrasinya ke dalam ranah infiltrasi pergeseran moralitas dan degradasi mentalitas seseorang.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.