ETIKA KETIMURAN Bangsa Sopan Santun disaat Konteks Pandemik Wabah Virus Menular Antar Manusia

"If someone takes responsibility without force, that is love." [Radhanath Swami]

Ketika seseorang mengambil tanggung jawab turut menerapkan protokol kesehatan tanpa paksaan dari pihak eksternal diri, itulah cinta. Maka, apakah masyarakat kita benar-benar mencintai bangsa Indonesia ini?

"Loving yourself isn't vanity, it's sanity." [Katrina Mayer]

Mencintai kesehatan dan keselamatan diri sendiri bukanlah sebuah keegoisan, tetapi sebuah kewarasan. Ketika masyarakat bersikap egois terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri dengan menantang dan mencobai Tuhan serta serdadu virus COVID penyebab wabah-Nya, itulah kegilaan.

Akibat tetangga yang egois, tumbuh jentik nyamuk medium debam berdarah pada rumahnya. Tetangga dan warga lainnya yang menjaga kebersihan rumahnya, beresiko tergigit nyamuk dan menderita kerugian dari segi kesehatan hingga keselamatan.

Sadarilah, kita tidak hidup seorang diri di tengah-tengah masyarakat urban maupun rural dewasa ini, namun hidup berdampingan dengan warga lainnya. Jadilah pribadi manusia yang penuh tanggung jawab terhadap sesama. BIla tidak ingin dicelakai orang lain, maka jangan celakai orang lain. Ada buah Hukum Karma, bagi pelaku yang dengan sengaja maupun secara lalai mencelakai orang lain.

Mereka yang berbicara dengan cara yang ramah dan penuh senyum, adalah belum tentu tulus bersopan-santun dan bertata-krama, terutama bila itu terjadi dikala pandemik akibat wabah virus menular antar manusia, orang tersebut hidup bermasyarakat tanpa mengindahkan prokokol kesehatan seperti tidak mengenakan masker serta tidak pula menjaga jarak. Karenanya, niat batin mereka patut untuk kita ragukan.

Hanya karena EGOISME dan AROGANSI, disaat pandemik virus menular antar manusia, hidup di tengah-tengah masyarakat dan mengajak berbicara tanpa bersedia mengenakan masker secara layak juga tanpa saling menjaga jarak. Tidak perduli apakah dirinya menjadi agen penularan wabah, tidak juga perduli apakah orang lain bisa jadi akan tertular olehnya dan berdampak fatal.

Bersikap egois, seperti sengaja tidak mengenakan masker ketika menghadap seseorang yang telah mengenakan masker, berdalih bahwa dirinya tidak akan tertular oleh orang yang telah mengenakan masker, namun disaat bersamaan dirinya membawa resiko menulari orang lain yang didekati maupun yang diajak berbicara--terutama ketika ia bersin / batuk dan mengenai kelenjar mata dari lawan bicara yang mengenakan masker sekalipun.

Berikan "punishment" kepada warga yang tidak memiliki itikad baik serta tidak menghormati ataupun menghargai kesehatan ataupun keselamatan orang lain, dengan tidak meladeni dan segera menjauhinya, alih-alih memberikan "reward" berupa menanggapinya. Tidak perlu memaksakan diri untuk memberi penghormatan kepada orang-orang yang tidak menghormati hak-hak kita.

Mengapa masyarakat kita, bersikap seolah-olah sesukar itu memakai masker dan menjaga jarak? Alih-alih “berkorban” (semudah itu saja, masih tidak mau patuh), justru “mengorbankan” kepentingan kesehatan orang lain. Begitu EGOIS-nya sebagian masyarakat Indonesia. Bila tidak perduli pada kesehatan sendiri dengan membiarkan diri tertular, maka itu urusan mereka sendiri (menyesal selalu datang terlambat), namun mereka tidak berhak untuk mencelakai orang lain yang bisa jadi tubuhnya tidak sekuat mereka dan menjadi fatal bila tertular.

Anda bisa jadi tidak percaya wabah COVID selama Anda tinggal di hutan seorang diri, namun Anda tidak punya hak untuk mencelakai orang lain yang saling berbagi sumber daya ruang dan udara dengan Anda. Ketika Anda hidup di tengah masyarakat, maka itu bukan lagi urusan Anda pribadi, namun kepentingan orang lain serta banyak orang.

KESOMBONGAN atas kesehatan diri sendiri, menyepelekan dan meremehkan keadaan kesehatan orang lain, mengabaikan kepentingan kesehatan orang lain. Itukah yang disebut sebagai sopan-santun dan tata-krama etika Ketimuran? Berikan “punishment” kepada mereka yang tidak mampu menghargai kesehatan orang lain, alih-alih memberikan mereka “reward”. Lebih galak yang ditegur ketimbang yang menegur, itu namanya tidak malu dan tidak takut berbuat jahat. Membawa potensi resiko tertular bagi orang lain, adalah “dosa” serta “Karma Buruk”. Bila mereka tidak bersedia menghargai orang lain dan merasa berani mencobai Tuhan, maka takutlah pada buah Karma Buruk akibat melalaikan kepentingan orang lain.

Mereka berdalih, bila Tuhan berkehendak kita mati maka kita akan mati, dan bila Tuhan berkehendak kita hidup maka kita tetap hidup. Jika memang begitu, maka buat apa ada rumah sakit dan apotek? Tutup saja semua rumah sakit dan apotek. Semua penyakit diciptakan serta bersumber dari Tuhan, namun faktanya rumah sakit dan apetek selama ini tidak pernah sepi dari pasien sekalipun tiada wabah.

Bila Anda bisa terkena diabetes, flu batuk, demam, radang ketika luka, sariawan, infeksi bernanah, dan penyakit lainnya yang lazim kita alami, maka atas dasar apa kita berdelusi bahwa kita kebal dari wabah COVID? Anda pikir siapa diri Anda, hendak MENCOBAI Tuhan? Mengapa seolah-olah Agama membuat Umatnya menjadi AROGAN terhadap Tuhan?

Sekalipun mentari dan sinar UV sedang terik-teriknya, namun bila mikro droplet dan bioaerosol beterbangan dari orang yang bersin atau batuk di dekat kita, atau bila tangan mereka habis memasukkan makanan ke dalam mulut tanpa mencuci tangan dan kemudian memegang barang sebelum kemudian berpindah tangan ke tangan orang lain, tetap saja virus akan memasuki saluran pernafasan dan sinar matahari tidak dapat membunuh virus yang bersarang masuk ke serta di dalam tubuh manusia. Gunakan otak dan IQ Anda, karena otak dan IQ adalah pemberian Tuhan. Seseorang mustahil memiliki EQ maupun SQ, bila mereka memiliki IQ yang memprihatinkan.

Vaksin bukanlah barang baru di Indonesia, imunisasi yang kita atau anak kita pernah terima, termasuk vaksin. Redaksi hukum-hukum.com telah disuntik "vaksin COVID" (berpartisipasi pada program pemerintah). Apakah Anda telah turut mendukung langkah pemerintah dengan ikut serta "imunisasi COVID"?

Sediakan setidaknya dua hari cuti paska penyuntikan vaksin (imunisasi vaksin COVID) karena biasanya terjadi keluhan demam, meriang, dan pusing, dan datang ke tempat penyuntikkan vaksin dengan mengenakan baju lengan pendek karena titik penyuntikkan ialah pangkal lengan dekat bahu.

Sepulang dari tempat penyuntikkan vaksin, segera pulang ke rumah dan persiapkan diri untuk beristirahat penuh, jangan keluyuran ke tempat lain sekalipun pada mulanya tampak tidak ada keluhan sama sekali, karena keluhan baru akan muncul secara mendadak sekitar enam jam kemudian.

Vaksin, bukanlah pilar utama mengatasi wabah. Protokol kesehatan dan kesadaran untuk berdisiplin diri menerapkannya secara penuh komitmen, merupakan pilar utama pencegahan mata rantai penularan wabah COVID. Garda terdepan, bukanlah tenaga kesehatan, namun kita semua tanpa terkecuali, warga masyarakat. Pandemik COVID akan berakhir, bila Anda dan kita semua tidak lagi mencoba MENCOBAI Tuhan.

Imunitas yang tinggi, akibat konsumsi multivitamin maupun vaksin, bukan berarti dapat bersikap serampangan. Para "orang terjangkit tanpa gejala" (OTG), adalah orang-orang dengan imun yang tinggi, namun bukan artinya tidak dapat tertular dan menulari orang lain (menjadi agen penular), justru jauh lebih berbahaya karena menjadi "silent killer".

Imunitas bagaikan mobil diperlengkapi alat pengaman "air bag", bukan berarti kita perlu cari penyakit dengan menabrakkan mobil kita atau mencopot pedal rem mobil kita. Diri sendiri meski telah dilindungi "air bag" dan (terutama) orang lain secara lebih fatal, bisa celaka akibat sikap-sikap yang bertanggung jawab atas tubuh dan sikap kita.

Di tengah derasnya arus informasi yang simpang-siur, jadikan pendapat para pakar yang kompeten dibidang epidemik sebagai rujukan utama, seperti virolog, epidemiolog, serta para dokter. Jangan dengarkan ataupun termakan perkataan para "tukang becak" di pasar yang mana tidak dapat dipertanggung-jawabkan pendapat dan opininya selain sekadar berspekulasi atas dasar asumsi penuh delusi yang tidak empiris.

Virus Corona telah menjadi endemik, bukan lagi pandemik? COVID dapat diputus mata rantai penularannya, dalam tempo 1/2 hingga 1 bulan, virus ini mati di dalam tubuh seseorang yang terjangkit, dan bila tidak terjadi penularan baru karena mata rantai penularan bila berhasil terputus tuntas, maka dunia bisa bebas dari wabah, sehingga niscaya, bukan mustahil. Dunia ini telah terlalu penuh oleh penyakit, mengapa harus ditambah Corona? Bagaimana jika virus ini kelak, bermutasi makin ganas dan semakin mematikan serta makin menular? Bisa saja besok atau kelak, "si sombong" yang akan menjadi korbannya.

Para prinsipnya, JANGAN MENANTANG wabah, cepat atau lambat kita menjadi tua, dan tidak selamanya daya tahan tubuh prima, menjadi komorbit, sampai akhirnya tertular dan berpotensi menderita gejala kronis, atau bahkan menjelma fatal dan benar-benar mematikan "si sombong". Bila ketika kita terluka dan masih membutuhkan disinfektan untuk membunuh kuman, artinya tubuh kita tidak kebal dari virus manapun.

Sebar-luaskan informasi dan imbauan sosial ini, bila kita semua masih mencintai negeri dan republik ini, sebagai bagian dari kontra-narasi terhadap mereka yang hendak menghancurkan bangsa ini dengan sikap arogan serta sifat egois mereka yang tidak mencerminkan etika bangsa Ketimuran.