Apakah Virus Penyebab Wabah Pandemik, adalah Ciptaan dan Kehendak Tuhan?

ARTIKEL HUKUM

Tanpa Turut Campur Tangan Tuhan Sekalipun, Gempa Bumi dan Gunung Meletus Tetap Akan Terjadi Sepanjang Tahun, ALAMIAH Saja Sifatnya, BY NATURE, Tidak Terkecuali Kemunculan dan Mutasi Virus Penyebab Wabah

Menerka-Nerka Kehendak dan Isi Pikiran Tuhan, Itulah Spekulasi Sekaligus Penistaan (Fitnah) terhadap Tuhan

Para warga yang menolak “protokol kesehatan (cegah dan atasi virus penyebab wabah)” dikala kesehatan serta ekonomi negeri diluluh-lantakkan oleh pandemik yang diakibatkan oleh virus penyebab wabah yang dapat menular antar manusia serta dapat mematikan terhadap warga tertular yang memiliki kondisi fisik penyulit seperti usia lanjut maupun karena faktor daya tahan tubuh yang (kebetulan sedang) lemah karena adanya penyakit penyerta lainnya, mendeklarasikan bahwasannya mencoba mengatasi dan melawan wabah sama artinya mencoba melawan kehendak Tuhan. Mereka, secara arogan mencoba menantang serta menentang, akibat kesombongan atas kesehatannya, berkeberatan bersikap kooperatif sekadar seperti menjaga jarak dan mengenakan masker secara patut dan layak. Apakah kontra-narasi demikian, yang terang-terangan mencoba menentang himbauan pemerintah, merupakan opini yang dapat dipertanggung-jawabkan?

Semua hal, menurut sudut pandang dogmatis berbagai keyakinan keagamaan “samawi”, adalah merupakan rencana, kehendak, kuasa, restu, serta izin dari Tuhan. Tanpa izin maupun kehendak dari Tuhan, maka segala sesuatu apapun tidak akan mungkin dapat terjadi. Namun, yang mereka lupakan ialah, kita bukanlah Tuhan juga bukan seorang “nabi” (messenger), karenanya tidak memiliki hak maupun kemampuan untuk membaca isi pikiran dan kehendak Tuhan, selain sekadar menjadi seorang spekulator yang sekadar pandai berspekulasi, dengan resiko memfitnah Tuhan.

Bisa jadi, itu bukanlah kehendak Tuhan, namun para umat menyebutkan bahwa semua itu adalah berdasarkan kehendak Tuhan. Pengetahuan perihal “protokol kesehatan”, bisa jadi dan besar kemungkinan adalah petunjuk dari Tuhan agar manusia berjuang membebaskan diri dari pandemik yang muncul secara alamiah saja sesuai kondisi alam yang ada dan terus berubah disampin berevolusi. Menurut Anda, siapakah biang keladi dibalik kasus pemidanaan seperti tindak pidana asusila pelecehan seksuil maupun kasus-kasus seperti “predator anak” yang kerap berkeliaran di luar sana mencari mangsanya?

Kembali merujuk pada dogma kelewat spekulatif di atas, jelas bahwa aktor intelektualnya ialah Tuhan itu sendiri, sebagai perancang modus dan aksi-aksi kejahatan, dimana pelakunya sekadar bidak catur (pion) untuk mencobai para korbannya. Lantas, mengapa sekadar diperalat oleh Tuhan untuk mencobai korbannya, sang pelaku tindak pidana asusila yang kemudian dijerat serta dijebloskan ke dalam penjara sebelum kemudian dicampakkan ke dalam lembah neraka?

Umur umat manusia telah sama tuanya dengan umur Planet Bumi ini, sehingga mengapa Tuhan masih merasa membutuhkan percobaan yang tidak kunjung usai ini dan tanpa mau belajar dari percobaan-percobaan sebelumnya seolah manusia adalah objek eksperimen bak “kelinci percobaan”? Diperkosa dan dijadikan korban perkosaan, dalam rangka memperkuat mental sang korban? Adapun trauma yang diperoleh oleh sang korban, trauma berupa luka batin untuk seumur hidupnya secara permanen. Itulah, akibat berspekulasi perihal kehendak dan isi pikiran Tuhan, pada gilirannya justru menista dan memfitnah Tuhan yang semestinya dijunjung keagungannya.

Bisa jadi, wabah akan punah bila seluruh rakyat bahu-membahu dan bergotong-royong menerapkan “protokol kesehatan”, sehingga mata rantai penularan virus penyebab wabah menjadi terputus, maka dalam tempo sekian waktu, negeri bebas dari pandemik. Tidak tertutup kemungkinan, itulah kehendak Tuhan yang sebenarnya, dan yang lebih mungkin ketimbang spekulasi yang menyebutkan, “Tuhan sudah bosan dengan manusia sehingga akan dipunahkan lewat wabah ciptaan Tuhan”. Virus Corona, sebagai contoh, sudah sejak lama menjadi virus di ekosistem satwa kelelawar. Mutasi virus, juga merupakan hal yang alamiah saja sifatnya, by nature, bagai aliran air dan udara mengukir bentang alam bebatuan yang tampak indah sehingga menjadi objek wisata yang menarik kunjungan para turis mancanegara maupun domestik.

Alkisah, terjadi banjir besar yang melanda suatu perkampungan. Hujan terus-menerus melanda dan mengguyur sepanjang hari, banjir tidak kunjung mereda, justru tinggi permukaan air kian meninggi. Seorang warga, yang sudah terpaksa mengungsi ke lantai tertinggi dari rumahnya, kini dipaksa oleh permukaan air banjir agar sang warga yang taat beribadah tersebut untuk kembali mengungsi ke atap rumah. Namun, banjir tidak kunjung surut sekalipun telah berminggu-minggu menunggu di atap rumah dalam kondisi serba kekurangan. Sang warga yang merupakan umat yang taat dan yakin pada Tuhan, berdoa memohon pertolongan Tuhan. Pada saat bersamaan, berbagai perahu penolong kiriman pemerintah simpang-siur menawarkan evakuasi bagi warga yang terdampak banjir, untuk diungsikan ke posko di tempat yang lebih tinggi. Sang warga selalu menolak dievakuasi, dan hanya menginginkan pertolongan dari Tuhan.

Selama ini, sang warga telah demikian rajin beribadah, sehingga layak bila dirinya kini memohon agar ditolong dan diselamatkan oleh Tuhan. Sebulan berlalu, banjir masih bertahan sekukuh pendirian sang warga yang telah dehidrasi akut. Satu bulan kemudian, sang warga hampir tewas, mencoba berkomunikasi kembali kepada Tuhan, “Wahai Tuhan, mengapa Engkau tidak kunjung menolong umat hamba-Mu ini, ketika benar-benar membutuhkan uluran tangan Engkau, wahai Tuhan? Apakah Engkau telah menjadi tuli, wahai Tuhan? Engkau yang telah memberikan air banjir ini, Engkau yang bertanggung-jawab atas derita ini!

Mendadak terdengar suara gelegar petir tinggi di angkasa, angin menderu-deru dengan ganasnya, awan putih seketika kembali menjelma menjadi hitam mendung, Tuhan pun terpaksa merepotkan dirinya ditenagh banyak kesibukannya untuk menanggapi dengan nada sinis, “Dasar umat BEGO, dari kemarin sudah dikirimkan bantuan untuk mengevakuasi. Akan tetapi Anda justru menantang dengan sikap ‘banyak maunya’. Jangan salahkan dan jangan kambing-hitamkan Tuhan, Tuhan bukanlah kambing juga bukan hitam warnanya!” Yang bodoh, ialah sang umat manusia itu sendiri. Sang umat tewas dalam kebodohannya, alias karena kedunguan cara berpikirnya yang begitu kerdil menilai situasi.

Tindak pidana kriminil pun terjadi atas dasar kehendak, izin, restu, rencana, serta kuasa Tuhan (menurut dogma agama samawi, tentunya). Karenanya, mencoba mengatasi tindak kejahatan dengan dibuatnya peraturan perundang-undangan khususnya hukum pidana berupa norma larangan lengkap dengan ancaman sanksinya, beserta lengkap aparatur penegak hukum dan lembaga peradilannya, apakah sama artinya hendak berperang melawan Tuhan? Bila rezeki memang bersumber dari pemberian Tuhan, Tuhan yang mengaturnya, maka untuk apa seseorang berjuang mencari nafkah secara giat membanting-tulang secara rutin dan penuh komitmen setiap harinya, bahkan “kejar setoran”, lembur setiap hari tanpa kenal libur, mengapa tidak bersantai-santai saja bila memang telah ditakdirkan menjadi makmur dari segi ekonomi?

Ketimpangan ekonomi, dimana sumber-sumber kapitalisasi modal dikuasai oleh segelintir pemodal kuat dan borjuis, mengakibatkan kesenjangan ekonomi demikian lebar, sehingga pemerintah merasa perlu untuk melakukan intervensi berupa subsidi silang bagi warga miskin agar tidak menjadi semakin miskin dengan menerapkan pajak progresif bagi kalangan berada. Praktik kartel harga serta monopoli usaha ataupun duopoli yang menyerupai “mafia bisnis” dalam dunia niaga, tanpa eksistensi dan intervensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dapat dipastikan harga pasar dapat disetir dan dipermainkan sesuka hati oleh segelintir pengusaha, yang pada muaranya ialah kian menderitanya rakyat banyak.

Apakah itu artinya, Tuhan sedang “tidur”? Bahkan pemerintah masih pula menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi untuk sejumlah komoditas pangan, penerapan kebijakan fiskal dan moneter dalam rangka mencegah sistem “pasar bebas” yang dikhawatirkan mampu mendikte pasar lewat teori “the invisible hand” ala Adam Smith, “nabi” kaum liberalisasi ekonomi. Adam Smith, dapat kita sebut sebagai sosok atau tokoh yang benar-benar umat beriman yang mengimani kekuasaan dan kehendak Tuhan. Sama halnya, bila Tuhan berkehendak seseorang pendek umur, maka untuk apa berjuang dalam pola hidup sehat? Sebaliknya, bila seseorang telah ditakdirkan Tuhan untuk panjang umur, apakah artinya gaya hidup tidak sehat menjadi terbuka lebar secara lapang?

Tidur atau tidak sedang tidurnya Tuhan, pensiun atau tidak telah pensiunnya Tuhan, berkehendak atau tidak berkehendaknya Tuhan, atau bahkan ada atau tidak adanya izin dari Tuhan, tetap saja gempa bumi, gunung meletus, badai petir, angin puyuh, ombak tsunami, akan tetap terjadi sebagai hal yang alamiah saja sifatnya, mengingat itulah hakekat Planet Bumi ini yang terdiri dari lempeng-lempeng yang mengambang di atas magma cair yang meletup-letup, dan terkadang saling bertumbukan membentuk cincin gunung berapi yang aktif, gempa, hingga tsunami ketika sumber gempa atau tumbukan lempeng terjadi di dasar bawah samudera. Kita menyebutnya sebagai, Hukum Alam, yang sifatnya alamiah saja, “auto pilot”.

Bila tubuh manusia, telah berevolusi dan terus berevolusi, maka tidak terkecuali virus, saudara dekat umat manusia yang mana mereka semua telah diciptakan sebagai saling bersaudara. Sang virus menghadapi manusia yang berevolusi, dan manusia pun menghadapi sang virus yang turut telah berevolusi dan akan terus berevolusi serta. Evolusi merupakan hal yang alamiah saja sifatnya, mengingat terjadi berdasarkan bekerjanya Hukum Alam yang bekerja dengan aturan serta hukumnya sendiri sekalinya Hukum Alam tersebut telah diciptakan dan ditetapkan saat pembentukan Planet Bumi dan alam semesta ini.

Sekadar sebagi contoh, Anda menggoreng tahu atau ikan, maka tahu dan ikan tersebut akan berubah warna menjadi kecoklatan serta kering. Apakah Tuhan terlibat, secara “kurang kerjaan” mengatur serta menentukan seperti apakah warna kecoklatan serta gradasinya dari tahu maupun telur dan ikan yang sendang ia gorengkan? Apakah setiap harinya, Tuhan harus disibukkan secara “kurang kerjaan” menentukan miliaran bebek dan ayam akan bertelur sekian butir pada pagi hari ini per masing-masing unggas tersebut? Menaruh benda organik terlampau lama tanpa lemari pembeku, mengakibatkan benda organik tersebut, seperti sayur, daging, dan buah-buahan, akan menjelma busuk dan basi. Apakah Tuhan secara “kurang kerjaan”, terlibat dalam proses fermentasi oleh mikroba sebelum membuat benda organik menjadi tampak basi serta berbau busuk?

Kini, mari kita mengikuti sebuah permainan logika yang akan penulis bawakan sebagai alat uji, tepatnya “uji moril” terhadap spekulasi maupun ajaran dogmatis umat beragama samawi yang merasa dirinya yang paling mengetahui betul isi pikiran dan kehendak Tuhan—seolah-olah dirinya adalah seorang “nabi” yang menjadi penyambung lidah antara Tuhan dan umat manusia. Kita tahu bahwa disebutkan oleh mereka, para umat agama samawi, bahwasannya bencana dan kecelakaan adalah “the act of God”. Namun, mengapa juga produk-produk asuransi jiwa maupun asuransi kesehatan, disamping asuransi rumah ataupun gedung pabrik dan kendaraan, dilegalkan dan disahkan di republik agamais bernama Indonesia ini? Bukankah itu sama artinya sang umat manusia, hendak membentengi diri dari cobaan dan kuasa maupun kehendak Tuhan?

Bila Tuhan berkehendak suatu penduduk pada suatu daerah yang terlanda bencana alam seperti gempa bumi disertai tsunami, akan tewas, maka tidaklah perlu pemerintah merepotkan diri menciptakan serta merancang alat canggih yang mampu mendeteksi bencana gempa dan tsunami dengan harapan dapat menyelamatkan warga. Tidak perlu pula pemerintah membuat dan menyiarkan prediksi seputar cuaca kapan dapat menanam sayur-mayur dan kapan harus mewaspadai angin kencang disertai hujan deras dengan potensi terjadi banjir? Bila Anda memang demikian beriman pada Tuhan, minta pilot dan otoritas bandara untuk tidak memantau dan memprediksi cuara dari menara pemantau cuara di bandara, namun sepenuhnya “berpulang pada Tuhan”. Anda lupa, bahwa otak di kepala Anda adalah untuk digunakan, karena otak juga adalah ciptaan serta pemberian dari Tuhan sebagai anugerah tertinggi.

Bila Tuhan berkehendak seorang pejabat untuk korupsi, terbukti dari berhasilnya sang koruptor mendapatkan dana hasil korupsi, maka untuk apa pemerintah dan rakyat mendirikan serta memberikan dukungan moril kepada lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi? Bukankah itu artinya melawan kehendak Tuhan yang telah memberikan rezeki kepada sang koruptor? Bila Tuhan telah memberikan tumor dan kanker ke dalam tubuh seorang pasien, untuk apakah juga kalangan dokter mencoba melawan kehendak Tuhan dengan mengoperasi tubuh sang pasien untuk mengangkat tumor dan kankernya? Argumentasi demikian juga dapat digunakan ketika menghadapi pihak-pihak “sok moralis” yang mencoba menentang operasi plastik estetik demi kecantikan wajah maupun koreksi tubuh seseorang. Bila Tuhan tidak berkehendak si pasien untuk mati, maka ia takkan meninggal dunia sekalipun mengidab kanker stadium akut. Sebaliknya, bila Tuhan berkehendak sang pasien untuk meninggal dunia, maka ia tetap akan tewas sekalipun menjalani pembedahan medik yang rumit dan merepotkan.

Karenanya, seringkali dan acapkali, agama samawi menjelma keyakinan keagamaan dengan dogmatis yang demikian “sok tahu” alias “kenabi-nabian”, menciptakan umat-umat manusia yang hanya pandai berspekulasi dan mengatas-namakan Tuhan, menjadikan mulut milik mereka sebagai mulut Tuhan, sebagai seorang yang tahu pasti bahwa ini dan itu adalah kehendak atau ciptaan Tuhan, yang mana mencoba mengatasi bencana sama artinya mencoba melawan Tuhan. Pada sisi itulah, agama samawi menjadi “musuh” dari keberlangsungan suatu peradaban umat manusia yang beradab, serta pada titik itu jugalah menjadi patut untuk “diperangi” oleh segenap bangsa beradab—lewat kontra-narasi yang lebih logis dan rasional disamping dapat dipertanggung-jawabkan. Logika dan rasio, juga merupakan ciptaan dan pemberian Tuhan, mengapa dinafikan?

Bila memang Tuhan memang telah berkehendak, maka pertanyaan yang kini penulis ajukan kepada seluruh para pembaca di Tanah Air, ialah, mengapa perintah-perintah dan kehendak Tuhan berikut ini, yang telah benar-benar tertulis secara eksplisit leterlijk berikut, tidak dijalankan dan dilaksanakan secara tegas dan konsisten? Berikut ajaran dogmatis “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”), yang menyatakan secara eksplisit tanpa dapat ditafsirkan lain:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Bila kesemua itu, yang disebut di atas sebagaimana perintah-perintah untuk menghabisi nyawa manusia individu lainnya, adalah benar adanya dan harus diyakini tanpa keraguan, maka pertanyaannya ialah mengapa Tuhan yang demikian “Maha Kuasa”, masih membutuhkan tangan-tangan umat manusia untuk melaksanakan dan menegakkan jalan Tuhan tersebut di atas? Mengapa tidak cukup Tuhan putus “urat nadi” manusia yang hendak ia tewaskan, dengan memutus pemasukan ekonomi sumber nafkah kehidupannya, sehingga akan dipastikan mati perlahan-lahan karena kelaparan?

Fakta empirik realitanya, lebih banyak umat manusia yang membangkang perintah Tuhan tersebut, sehingga tetap saja manusia individu yang diperintahkan untuk dibunuh demikian, masih hidup sebagai sesama warga masyarakat hingga detik ini. Itulah, ketika menjadi umat yang “moderat” sama artinya menjadi umat manusia yang humanis sekaligus pembangkang terhadap perintah-perintah Tuhan. Sementara menjadi beriman, sama artinya menjadi radikal serta “haus darah”, semata karena mengindahkan perintah Tuhan dan menegakkannya. Sebaliknya, umat “Agama SUCI”, semakin radikal dirinya karena mengimani dan menjalankan setiap isi ajaran dalam “Kitab SUCI”, maka akan kian “ahimsa” dan kian “suciwan” dirinya menjelma.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.