Membius Diri Memang Memabukkan, sementara Kesadaran dapat Sangat Menyakitkan. Namun apakah Kita Harus Menipu Diri Sepanjang Waktu dan Lari dari Kenyataan? Mengapa Juga Harus Melarikan Diri dari Kenyataan seolah Realita adalah Musuh, sekalipun Realita Tidak Pernah Memusuhi Kita?
Fakta Memang Pahit Adanya, sehingga Jangan Bersikap Seolah-Olah hanya Anda ataupun Kita yang dapat Merasakan Derita Dunia yang karenanya Merasa Iri Hati terhadap Orang Lain yang Tampak Lebih Bahagia secara Subjektif (Sindrom “Rumput di Halaman Rumah Tetangga Tampak Lebih Indah daripada Rumput di Halaman Rumah Sendiri”)
Seseorang yang membutuhkan pertolongan, pastilah orang yang bermasalah, dan kita sepakat perihal hal tersebut. Sebagaimana halnya bangsa yang memprihatinkan, adalah bangsa yang membutuhkan "pahlawan".
Seperti halnya, tanpa keraguan kita meyakini bahwa orang-orang yang mencari pertolongan medik adalah orang yang sakit, orang yang mencari penanganan psikolog maupun psikiater adalah orang yang memiliki masalah kejiwaan, serta mereka yang mencari penyedia jasa hukum adalah orang yang memiliki kendala terkait hukum.
Letak masalahnya ialah, apakah seseorang yang mengidab fobia terhadap kecoak, harus mencari psikolog, dan ketika ia juga memiliki masalah fobia yang sama dengan serangga lainnya, juga harus selalu menemui seorang psikolog?
Sama halnya, kehidupan setiap makhluk hidup yang masih berkondisi pada tumimbal-lahir, senantiasa diliputi oleh “dukkha” (tidak terpuaskan dan dirudung serangkaian derita seperti sewaktu-waktu dan setiap harinya harus makan, minum, mandi, merawat tubuh, membuang kotoran, belajar, bekerja, bercukur, dsb). Bertubi-tubi, masalah menghadang, memaksa kita untuk pontang-panting. Masalah terutama ialah, fakta tidak pernah terpuaskannya seorang manusia—namun delusi menutupi mata kita agar tidak mengakui fakta tersebut. Praktis, selama ini kita menyuapi pikiran kita dengan berbagai delusi serta fatamorgana lainnya, karenanya tidak heran membuat banyak diantara kita cenderung merusak dan menyakiti dirinya sendiri dengan meng-konsumsi barang madat yang memabukkan disamping merusak kesehatan.
Mencapai satu prestasi, hendak terobsesi oleh prestasi dan pencapaian lainnya. Ketika obsesi tidak terpenuhi, itulah “dukkha” berwujud kekecewaan, ambisi, keserakahan, dan lain sebagainya yang bertendensi emosi yang berkecamuk tanpa terkontrol. Hidup ini, benar-benar riskan bagaikan telur di ujung tanduk, tiada yang dapat menjamin kita tidak dapat menjadi korban “tabrak lari”, terkena pemutusan hubungan kerja, pembeli yang cidera janji membayar, jatuh pailit, ketakutan bahwa suami / istri akan berselingkuh, anak yang nakal dan ugal-ugalan, penyakit yang tidak pernah diundang namun tetap juga berkunjung, dan tragedi lainnya diluar kendali kita. Karenanya, apa pula yang dapat kita sombongkan dari hidup yang serba diluar kendali kita ini? Meninggal dunia, tidak mampu kita membawa serta harta-materi milik kita, timbul kemelekatan dan kesengsaraan, jadilah hantu penasaran yang terus bergentayangan, sementara itu anak dan cucu bersengketa memperebutkan harta warisan. Semua itu bukanlah kisah fiksi pada sinetron telenovela, namun dapat kita jumpai atau kita dengar sendiri dalam keseharian.
Begitu pula, menolong seseorang pada kehidupan saat kini, apalah artinya bila yang bersangkutan masih saja akan terus bertumimbal-lahir pada berbagai alam kehidupan. Kita semua, tanpa terkecuali, pernah terlahir sebagai seorang raja, sebagai seorang ratu, sebagai seorang budak, bangsawan, rakyat jelata, pengusaha, buruh, hartawan, pengemis gelandangan, berwajah rupawan, bertampang buruk, bertubuh kekar, bertubuh kecil, cantik, tidak sedap dipandang, sebagai dewa, sebagai brahma, sebagai hewan, sebagai setan gentayangan, sebagai asura, serta sebagai makhluk penghuni alam neraka. Bagaikan roda yang terus berputar, satu waktu berada di atas, dan pada waktu lainnya bergerak ke bawah. Ibarat memberikan mereka ikan, apakah untuk seumur hidup mereka sendiri? Lebih baik berikan mereka alat untuk memancing dan mandiri, kita cukup mengajarkan dan memberikan jalan baginya untuk itu.
Pertolongan yang dapat kita berikan atau yang diberikan oleh para makluk dewata kepada kita demikian, adalah temporer saja sifatnya. Ibarat penyakit, hanya mengobati gejala, tanpa menyelesaikan akar masalahnya, maka kita akan terus-menerus dibakar serta terbakar oleh “dukkha” (terdiri dari lobbha, dosa, dan moha). Oleh sebab itulah, Sang Buddha menolong umat manusia dan para dewata dengan cara menunjukkan jalan, sebagai penunjuk jalan, jalan untuk terbebas dari “dukkha”, dimana kita sendiri yang perlu berjuang untuk melangkahkan kaki menempuh di jalan tersebut, jalan menuju akhir dari “dukkha”, Nibbana—terputusnya BELENGGU RANTAI KARMA (break the chain of kamma).
Hidup, adalah permainan Karma, dimana kita-lah yang sedang dipermainkan, bukan sebagai pemain. Ada orang-orang yang dengan mudahnya dapat menjual produk-produk yang menyerupai “sampah”, sementara ada pula orang yang begitu sukarnya menjual produk-produk bermutu tinggi dengan harga murah sekalipun. Ada orang-orang yang kompeten dan memiliki segudang keterampilan, namun gagal mencari pekerjaan. Akan tetapi ada pula orang-orang yang dengan bekal keterampilan seadanya, namun mudah mencari dan menemukan pekerjaan. Ada orang yang telah berjuang dan bekerja sedemikian keras, namun tetap tidak berhasil mengangkat taraf kehidupannya. Sementara itu ada sebagian orang yang dengan santainya berhasil menapaki tangga karir menuju ke puncak. Semua itu, adalah faktor “diktatoriat buah dari Hukum Karma”. Demikian diktator serta otoriter-nya buah Karma, dipermainkan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Namun kita tidak perlu mengkambing-hitamkan si “Karma”, Karma hanyalah “akibat”, salahkan “sebab”-nya.
Mengapa? Semata karena Sang Buddha bukanlah “budak” dari manusia maupun dewa, yang harus disibukkan dan direpotkan oleh urusan pribadi para manusia dan para dewata tersebut lengkap dengan segala keinginan, keluhan, celotehan, serta rengekannya yang kekanakan. Sang Buddha punya urusan yang lebih penting untuk disibukkan. Mengapa? Karena bukanlah Sang Buddha yang membutuhkan manusia ataupun para dewata, namun manusia dan para dewata yang membutuhkan Sang Buddha sebagai Guru Agung yang mampu membimbing, menunjukkan arah, serta memberikan teladan hidup.
Bayangkan, seorang anak mengalami sakit gigi, lantas berdoa kepada Tuhan dengan permohonan agar sakit giginya disembuhkan. Keesokan harinya, setelah sakit gigi mereda, sang anak memohon dan meminta kembali kepada Tuhan agar dirinya dapat menikmati es krim atau ayam goreng serta makanan enak lainnya. Tidak lama kemudian, sang anak kembali meminta mainan, uang jajan yang lebih besar, ini dan itu, banyak sekali. Menurut Anda, siapakah yang sejatinya telah “memperbudak” dan siapa pula yang tengah “diperbudak” dalam konteks kejadian demikian, adalah sang anak ataukah sang Tuhan itu sendiri?
Jika saja Tuhan masih boleh berbicara kepada umat manusia, kerena lidah milik Tuhan telah disandera dan dimonopoli oleh “nabi” (karenanya pula menjadi mustahil bagi seorang manusia untuk dapat berkomunikasi kepada Tuhan tanpa mediator seorang nabi), inilah yang mungkin akan dikatakan oleh Tuhan, “Memangnya saya ini Doraemon yang punya kantung ajaib atau mesin ATM? Kamu yang berhutang, mengapa saya yang harus bayarkan hutang-hutang kamu? Mau enaknya saja!”
Perhatikan ilustrasi berikut, yang memiliki kedekatan dengan kehidupan kita pada lazimnya di keseharian. Seorang bocah usia bangku sekolah, berdoa kepada Tuhan meminta agar diberikan nilai tinggi pada hasil ujian sekolahnya, diberi kesempatan bermain di taman hiburan yang disukai, dibelikan mainan kesayangan, dan mencoba berbagai manisan maupun permen coklat yang ingin dicicipinya. Menjelang remaja, sang remaja berdoa meminta kepada Tuhan, agar diberikan pacar yang cantik atau yang tampan, dihadiahi predikat juara kelas, menjadi artis film drama, tidak di-bully senior maupun oleh teman sekelas, punya guru kelas yang baik dengan tidak memberikan banyak Pekerjaan Rumah, agar diizinkan bermain seharian tanpa harus menyibukkan diri dengan buku pelajaran, berbuat nakal tanpa tertangkap tangan, sesekali menyontek, mengusili adik di rumah, dan kenakalan remaja lainnya.
Menjelang sedikit lebih dewasa, kini doanya kepada Tuhan ialah agar dapat masuk dan diterima oleh Perguruan Tinggi yang top dan terkenal sehingga membuat bangga orangtua serta untuk pamer kepada teman-teman, memiliki pakaian yang bermerek dan membeli baru seminggu sekali, memiliki kendaraan pribadi, memiliki gaya hidup glamor khas anak muda yang bebas, disanjung oleh teman sepergaulan, dipuji oleh guru dan dosen, mencetak prestasi dalam berbagai kompetisi. Menjelang dewasa, sang dewasa berdoa kepada Tuhan, agar dirinya diberikan pekerjaan yang menarik di perkantoran yang berpendingin ruangan, teman kerja yang asyik serta atasan yang humanis, kekasih serta tunangan yang selama ini menjadi pujaan hatinya, dapat berpetualang ke seluruh penjuru dunia dengan biaya yang ditanggung oleh kantor, membeli dan memiliki unit rumah atau apartemen sendiri, memiliki kantor usaha sendiri yang keren, memiliki ribuan karyawan yang rajin dan penurut, dan semakin banyak lagi keinginan untuk dimintakan dalam doanya.
Ketika telah menjadi orangtua, ia mulai berdoa agar cepat diberikan anak, dapat memiliki penghasilan yang cukup bahkan berlebihan untuk menghidupi keluarga, istri / suami yang penyayang dan setia, bebas dari penyakit ataupun rasa bosan dan letih, senantiasa tidak terjebak oleh kemacetan jalanan yang menjemukan, tidak berjumpa kolega yang menjengkelkan, tidak perlu bertemu dengan mertua yang cerewet dan usil, pelanggan yang patuh membayar sesuai jadwal, mendapat warisan yang melimpah, dan masih banyak lagi keinginan lainnya yang tidak akan habis untuk dimintakan setiap harinya. Ia bahkan tidak pernah terlebih dahulu bertanya dalam doanya kepada Tuhan, “Wahai Tuhan, apakah Anda sedang sibuk? Atau saya telepon kembali esok hari? Kapan Tuhan punya waktu luang untuk mendengarkan segudang permintaan saya? Maaf mengganggu waktu istirahat Bung Tuhan.” Setidaknya, akan lebih etis serta lebih sopan bila si manusia bertanya dahulu kepada Tuhan, "Tuhan, saya dapat antrian nomor keberapakah?" Masih panjang antriannya, lima tahun lagi.
Ketika menjadi seorang kakek-nenek, doanya ialah agar cepat-cepat memomong cucu yang manis dan penurut, tidak sakit sendi kaki dan pinggang, tidak cepat pikun, tidak punya penyakit menyebalkan, dapat tetap bugar dan kekar seperti ketika masih berusia belia, tidak berjalan secara bungkuk terlebih menggunakan bantuan tongkat, tidak nyeri rematik, tidak ompong, tidak mengompol, mata tidak rabun, masih bisa bermain sepak-bola, anak dan cucu yang berbakti, dan lain sebagainya. Ketika telah meninggal dunia, doanya ialah agar dosa-dosanya dihapuskan (bagaimana dengan keadilan serta nasib dari pihak korban-korbannya selama ini?) serta agar dimasukkan ke dalam alam surgawi.
Lihat, betapa di-sibuk-kan serta direpotkannya Tuhan, oleh berbagai keinginan yang tiada habisnya dari seorang manusia sejak ia lahir hingga meninggal dunia. Itu baru satu orang, silahkan kalikan dengan jumlah manusia yang pernah terlahir ke muka Bumi ini—umur umat manusia sudah setua umur Planet Bumi ini—belum lagi manusia-manusia lainnya yang menyusul akan dilahirkan dan terlahirkan ke dunia ini. Tuhan merasa “disandera” dan “tersandera” oleh berbagai keinginan umat manusia, seolah-olah Tuhan tidak benar-benar “Maha Tahu” mana yang baik bagi umat manusia. Tentu, Tuhan harus bertanggung-jawab, karena Ia-lah yang melahirkan manusia ke dunia ini.
Ingin sekali Tuhan menjawab, sebagai berikut : “Maaf, Tuhan sedang tidak ada di rumah, sedang bersembunyi”, “Maaf, Tuhan sedang cuti hamil”, “Maaf, Tuhan sedang butuh tidur siang”, “Maaf, Tuhan sedang liburan tamasya ke Planet Mars”, “Maaf, Tuhan sedang memberi makan si Doggy yang bertampang bodoh itu”, “Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi”, atau alasan lain yang cukup menghibur untuk menjadi alibi menghindari manusia dengan berbagai kemauannya yang tidak pernah terpuaskan, semakin lama semakin banyak dan lebih banyak lagi tuntutannya. Sementara itu, umat manusia di dunia meneriakkan yel-yel disertai spanduk, bagaikan sedang berdemonstrasi menutupi seluruh ruas jalan menuntut agar “Tuhan tidak boleh tidur, nanti langit bisa runtuh!”
Hanya dalam Buddhisme, Tuhan digambarkan demikian canggih (sophisticated)—dan tentunya, boleh tidur sepanjang apapun Ia kehendaki, cuti dan pensiun juga boleh, silahkan saja, bebas. Betapa Tidak, Tuhan dicitrakan secara cerdas menciptakan Hukum Alam serta Hukum Karma, sehingga semuanya termasuk alam semesta dan kehidupan setiap umat manusia tanpa terkecuali, diatur olehnya secara “auto pilot”.
Karenanya, si Tuhan dapat berlibur dan bersantai, tidur siang sepanjang hari, menghadiri undangan resepsi pernikahan tetangganya, atau mengambil pensiun dini, tanpa perlu khawatir. Manusia silahkan menanam benih Karma Baik, bila ingin menikmati buah Karma Baik. Bukanlah Tuhan yang harus turun-tangan menyiksa manusia, namun buah Karma Buruk yang berbuah ketika waktunya matang sebagai hakim serta algojo yang melakukan eksekusi.
Karena segala sesuatunya tunduk serta digerakkan oleh Hukum Alam, Hukum Semesta, serta Hukum Karma, maka sekalipun Tuhan kemudian mengambil cuti besar tahunan sekalipun, planet-planet di luar sana tidak akan bergeser keluar dari jalur lintasannya, matahari masih akan tetap terbit di pagi hari, bulan akan timbul ketika matahari tenggelam, bumi masih terus berotasi menghasilkan berbagai musim, musim semi pasti terbit ketika musim dingin yang membekukan berlalu, ayam-ayam pasti akan bertelur juga (serta masih berkokok bukan mengembik), sapi masih menghasilkan susu segar untuk kita minum atau untuk dijadikan keju, benih-benih pasti akan bertunas, anak-anak akan lahir dan terlahir ke dunia, kuncup bunga pasti akan berkembang dan merekah dengan indahnya, sampah-sampah yang berserakan pasti akan memancarkan bau busuk, jentik-jentik larva nyamuk akan menjadi nyamuk pengganggu, orang-orang baik berbuat baik dan menanggung konsekuensi Karmanya sendiri, sementara orang-orang jahat berbuat jahat dan menanggung konsekuensi Karmanya sendiri, yang tekun berlatih akan memiliki massa otot dan tubuh yang langsing, yang waktunya menua akan memiliki rambut memutih dan rontok, dan lain sebagainya.
Semua itu, sifatnya adalah sebagai sebuah “konsekuensi logis”, yakni diatur oleh sebuah hukum yang bernama : Ada sebab, maka ada akibat. Ada akibat, maka ada sebab yang mendahuluinya. Sesederhana itu saja, dimana kabar baiknya, Tuhan tidak perlu ikut-campur menjadi “mafia bola” seolah-olah mengatur skor pertandingan sebuah ajang kompetisi sepak bola. Tuhan cukup bersantai, menjadi penonton, dan menikmati “pop corn rasa mentega” seraya menyeruput minuman soda dari balik layar televisinya pada rumahnya di atas langit sana.
Pada prinsipnya, manusia yang membutuhkan Tuhan ataukah sebaliknya, Tuhan yang membutuhkan manusia? Bila kita mendudukkan seolah-olah Tuhan-lah yang paling membutuhkan eksistensi manusia, maka jadilah, Tuhan harus bersedia disibukkan serta direpotkan oleh berbagai keinginan dan doa umat manusia di dunia ini yang tidak terhitung lagi jumlah serta ulah-kemauannya yang tidak akan pernah habis dituruti maupun untuk dipenuhi dari satu kemauan mengarah kepada kemauan berikutnya yang lebih dan lebih lagi. Siapa juga jika begitu, yang menjadi sang “bos” di sini, Tuhan ataukah manusia karenanya? Manusia cukup meminta, maka permintaan dikabulkan, bukankah itu menyerupai relasi antara “majikan dan karyawan”?
Hanya dalam Buddhisme, Tuhan diperbolehkan untuk berkata dan menjawab, “Minta? Tanam sendiri, dasar pemalas!” Hanya dalam Buddhisme, manusia mengenal kata “meritokrasi” tanpa ada manusia yang dianak-emaskan. Hanya dalam Buddhisme, Tuhan dapat menolak permintaan berlebihan dari umat manusia yang memohon penghapusan dosa, “Ingin minta dihapus dosa Anda? Anda yang berhutang ke orang lain, lalu saya yang harus menanggung pelunasan dan membayarkan hutang Anda?”
Hanya dalam Buddhisme, Tuhan bebas membebas-tugaskan dirinya sendiri. Hanya dalam Buddhisme, manusia belajar untuk bertanggung-jawab atas diri dan kehidupannya sendiri. Hanya dengan menjadi manusia yang humanis dan bertanggung-jawab, maka kita sebagai umat manusia sudah sangat memuliakan dan mengagunggkan kemuliaan dan keagungan Tuhan. Demikianlah kerap kali perlu kita renungkan, Tuhan punya hak untuk pensiun, dan mungkin saja sudah lama pensiun ketika dunia ini tercipta lengkap dengan segala hukumnya.
“Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima.” [Sang Buddha Gotama, dalam Sutta Udumbara]
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.