LEGAL OPINION
Pilih Mana, Peradilan Pidana di Dunia Manusia ataukah Peradilan Hukum Karma?
KEADILAN NISBI Vs. KEADILAN KARMA, Pilih yang Mana?
Ketika seorang aparatur penegak hukum, menembak mati seorang kriminal ketika sang kriminal melakukan aksinya terhadap korban, atau seorang algojo ketika benar-benar mengeksekusi hukuman mati terhadap seorang terpidana, maka apakah sang aparatur penegak hukum maupun sang algojo, adalah sedang “membunuh” ataukah sebaliknya, sedang “menyelamatkan”? Disini, kita berbicara perihal perspektif serta sudut pandang, dari sudut pandang yang parsial maupun yang imparsial (holistic).
Bagi sang pelaku dan para kriminal lain yang mungkin merasa teracam atas eksekusi serupa, tindakan aparatur penegak hukum maupun algojo demikian tentu mengundang kontroversi serta penolakan keras, dibenturkan dengan “hak asasi manusia” (seolah para korban mereka tidak memiliki hak asasi manusia serupa untuk hidup), dan segala kritikan terhadap hukuman mati dan lain sebagainya, dimana tentunya, membonceng lembaga swadaya masyarakat yang selama ini dkenal kerap menjadikan segala kebijakan pemerintah sebagai “pelanggaran HAM”.
Sebaliknya, dalam sudut pandang korban maupun bagi masyarakat luas pada umumnya, tindakan aparatur penegak hukum maupun para algojo tersebut adalah dalam rangka menolong dan menyelamatkan, yakni menyelamatkan korban serta masyarakat dari ancaman dari pelaku kejahatan serupa. Tentu saja, antara kepentingan korban dan kepentingan pelaku kejahatan, saling bertolak-belakang, dan tidak perlu kita membuat mereka saling berkompromi. Pelaku kejahatan, ingin meraup keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya dengan merugikan korbannya, sementara itu tentu saja, pihak korban tidak bersedia dirugikan sesedikit apapun.
Untuk itulah, aparatur penegak hukum maupun kalangan profesi algojo perlu melepaskan dirinya dari kemelut wacana serta kontroversi apapun, semata bersikap tegas dengan berfokus pada fungsi dan tujuan utama mereka, yang bila ditimbang, jauh lebih besar faedah ketimbang mudarat. Semua kebijakan, aktif maupun pasif, tentu mengundang kontroversi (tarik-menarik antar kepentingan), namun ketika faedah dibalik suatu kebijakan adalah lebih besar daripada mudarat, maka tetap perlu dieksekusi. Itulah simbolisasi makna sebuah “timbangan”, sebagaimana maskot dari keadilan hukum—bukan seorang dewi yang justru membutakan atau membuat seolah-olah buta dirinya sendiri.
Sama halnya, tidak terkecuali publikasi kasus-kasus hukum dalam website yang penulis asuh ini, telah terdapat beragam warga yang mengajukan komplain, dan menuduh penulis sebagai telah melakukan sebuah “pembunuhan karakter” terhadap nama mereka, sehingga rekam-jejak mereka tersebar-luas ke dunia maya dan diketahui oleh semua orang yang hendak mempekerjakan mereka ataupun hendak berbisnis dengan mereka. Beruntunglah, mereka cukup tahu diri, tidak mengklaim bahwa penulis telah mencemarkan “nama baik” mereka, semata karena memang mereka tidak memiliki “nama yang baik” untuk dicemarkan, nama mereka sudah tercemar sejak semula, dicemarkan oleh pemilik nama bersangkutan itu sendiri.
Seketika itu pula, penulis tolak tuntutan mereka untuk menghapus rekam-jejak mereka, dan mempersilahkan mereka untuk menggugat ataupun melaporkan penulis pada pihak berwajib bila memang mereka telah dirugikan oleh penulis sebagaimana klaim mereka. Meski demikian, hingga saat kini, tiada satu pun dari mereka yang menerima tantangan-balik dari pihak penulis. Mereka lebih patut menggugat diri mereka sendiri, siapa yang menyuruh dan mengapa juga melakukan perbuatan tercela dengan merusak reputasi diri sendiri? Siapa pun telah mengetahui dan menyadari, menyesal selalu datang terlambat. Apa yang sudah menjadi “bubur” dan sejarah, tidak dapat dihapus—atau Anda akan disebut sebagai “manipulator sejarah”, sama tidak mungkinnya suatu dosa dapat dihapuskan seolah-olah Tuhan adalah sebuah “penghapus” ibarat “tukang cuci” piring yang kotor setelah Anda asyik berpesta kotoran semasa hidup.
Berani berbuat, berani bertanggung-jawab. Mereka mendalilkan, perbuatan mereka telah diganjar hukuman pidana dan telah mereka jalani, karenanya mereka menolak hal-hal semacam sistem “blacklist oleh sistem keuangan perbankan”, Surat Keterangan Catatan Kepolisian, maupun rekam-jejak lainnya semata agar mereka dapat tampil bak orang suci-bersih di tengah masyarakat, jika perlu kembali terpilih sebagai pejabat Kepala Daerah. Mereka lupa, reputasi bukan perihal lamanya masa hukuman, juga bukan perihal berapa besar sanksi denda yang dijatuhkan oleh pengadilan, namun perihal rekam-jejak itu sendiri. Ada ancaman sanksi hukum, ada pula sanksi sosial, dimana sanksi sosial diemban oleh pers maupun media massa, itulah yang perlu dan patut disadari betul oleh masyarakat kita sebelum berniat melakukan aksi kejahatan, dan berpikir ulang jutaan kali sebelum menceburkan diri ke dalam lembah aksi kejahatan.
Mungkin memang penulis telah berbuat jahat kepada para kriminal tersebut (termasuk seluruh jurnalis dan insan pers lainnya yang meliput pemberitaan para kriminal dan menyebar-luaskan informasi tersebut), sekalipun sejatinya penulis hanya mengutip mentah-mentah dan utuh-utuh substansi putusan pengadilan—yang mana juga artinya sumber primer berupa putusan telah ada sebelum publikasi yang penulis lakukan, dimana putusan pengadilan menjadi dokumen yang tergolong informasi milik publik yang terbuka bagi umum, bukan hal yang berupa rahasia terlebih disebut sebagai pengecualian dengan telah dijalaninya sanksi hukuman pidana.
Namun, disaat bersamaan, tanpa dapat dipungkiri, penulis telah pula menolong serta menyelamatkan jutaan masyarakat kita dari ancaman mempekerjakan ataupun bekerjasama dengan seorang mantan penipu maupun pelaku penggelapan, premanisme, koruptor, radikalisme, maupun jenis-jenis penjahat dengan kejahatan yang tidak manusiawi lainnya. Maukah Anda, mempekerjakan atau berbisnis dengan seorang mantan terpidana kasus penipuan? Bahkan, sang mantan ex-terpidana kasus penipuan itu sendiri tidak berkenan mempekerjakan seorang pegawai sesama ex-terpidana penipuan.
Secara pribadi, baik diri pribadi penulis ketika merekrut pekerja ataupun dalam menjajaki rekan bisnis, maupun ketika memberikan analisa terhadap calon rekanan bisnis dari klien dalam rangka layanan jasa “legal audit” untuk kepentingan klien, terdapat setidaknya tiga jenis orang yang akan penulis rekemendasikan untuk di-“blacklist”, yakni seorang mantan terpidana penipuan, penggelapan, serta pelaku pemalsuan (bila koruptor maupun pelaku aksi radikalisme, sudah tidak perlu lagi untuk disebutkan, dihukum mati pun kita tidak akan pernah keberatan, kecuali kalangan di lingkaran kalangan mereka yang akan merasa turut terancam).
Lagipula, segudang bukti riset dan penelitian para genom (ahli genetika manusia), menyebutkan dengan suara cukup bulat yang kian terafirmasi bahwa kejahatan ada hubungannya dengan dominasi faktor kode genetik, dengan semboyan yang cukup termasyur namun membuat prihatin, “kejahatan adalah dilahirkan serta diwariskan”. Betul-betul penting untuk melakukan pencermatan terhadap faktor bibit, bebet, serta bobot, sebelum Anda hendak menikahi dan memiliki anak dan keturunan dengan seseorang sebagai suami / istri, apakah silsilah keluarganya memiliki sejarah kejahatan demikian ataukah bersih.
Meski, menjadi pertanyaan saat kini yang cukup menyentil oleh penulis, apakah menjadi seseorang yang patuh terhadap hukum, atau bahkan menjadi seorang “korban” juga merupakan tanggung-jawab dari kode genetik sang korban yang bekerja di latar-belakang, tanpa disadari menjadikannya seorang “korban”? Kode genetik, sungguh-sungguh bertanggung-jawab membajak cara berpikir dan cara melihat seorang manusia, sangat otoriter, seolah-olah manusia adalah sekumpulan massa budak dari genetik—meski, belum ditemukan relevansinya dengan ruang bebas untuk kita melakukan suatu “pilihan bebas” sehingga kita dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara moril maupun secara hukum atas setiap perbuatan kita yang melanggar hukum.
Sebagai contoh, bila genetik kita sekalipun menuntut tubuh kita untuk menumbuhkan rambut, kita tidak bisa menolaknya, yang bisa kita lakukan sebagai ruang bebasnya ialah dengan cara memotong rambut, menatanya dengan telaten dan rutin, menggunting kuku secara rutin, mencukup kumis secara rajin, dan segala upaya lainnya yang nyata. Bila kepala Anda cukup “plontos” karena genetik Anda tidak mengizinkan Anda untuk memiliki rambut yang tumbuh di atas kepala Anda, maka cukuplah Anda menggunakan ruang bebas milik Anda untuk memakai rambut palsu (kabar baiknya, kita tidak perlu minta izin kepada genetik kita, si diktator). Kita sudah harus cukup berpuas diri masih memiliki ruang bebas ini. Mungkin kita jatuh sakit akibat anemia, salah satu faktor genetik pula, namun kita bisa mengatasinya dengan menggunakan ruang bebas diri, semisal dengan cara rutin mengkonsumsi suplemen ataupun pergi ke lembaga medik.
Sama seperti “penyakit (karena faktor) keturunan”, penyakit tersebut bersifat laten, potensial, tidak pernah penyakit itu sendiri memusingkan apakah kita punya ruang bebas untuk memilih sehat atau tidaknya, penyakit itu sendiri dapat tetap muncul dengan segala eksesnya, cepat atau lambat, namun ataukah ia butuh pemicu untuk dapat muncul? Disebutkan sebuah penelitian, talenta berbahasa asing, sebagai contoh, sifatnya ialah genetik yang bisa non-aktif kemudian dorman untuk selamanya ketika jarang dipicu sedari dini. Kabar baiknya, kita tidak pernah perlu memusingkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kita cukup berbuat dan berpikiran secara lurus, bersih, baik, dan akuntabel. Biarkanlah selebihnya dipusingkan oleh para ahli genetika.
Meski demikian, hendak kita tidak meremehkan terlebih menyepelekan faktor dominasi genetik atas manusia. Penyakit fisik maupun mental, termasuk penyakit pikiran dan disfungsi moralitas, seringkali merujuk pada cacat genetik yang dimiliki sang pelaku, dan itu diwariskan turut-temurun. Lihat, dunia ini tidak bekerja seideal maupun seindah yang selama ini kita bayangkan. Penjahat dilahirkan, begitupula seorang kriminil pelaku aksi kriminal lainnya, adalah dilahirkan sebagai “born to be a criminal”. Pahlawan dilahirkan, “manusia sampah” pun dilahirkan. Bila para guru di sekolah mengatakan, orang perlu ditempa agar terbentuk, namun kode genetik di dalam tubuh kita yang bekerja setiap harinya bisa jadi punya pendapat miliknya sendiri, dan ia bekerja dalam senyap tanpa pernah meminta pendapat kita.
Mereka, para pelakunya, sedari sejak semula sudah harus menyadari konsekuensi dibalik perbuatan mereka. Tidak ada, orang yang melakukan aksi penipuan, penggelapan, ataupun pemalsuan terjadi karena adanya hal semacam tekanan batin yang mendesak seperti halnya seseorang membunuh karena melakukan aksi bela diri yang “overmacht” sifatnya atau akibat ketidak-sengajaan (kelalaian, baru tidak menjadi lalai bila “tabrak lari”). Ketiga jenis kejahatan yang penulis uraikan di atas, selalu terjadi karena faktor kesengajaan, niat buruk, keserakahan, serta moralitas yang memang rusak disamping akal yang tidak sehat. Mereka tergolong orang yang “sakit”, namun tidak menyadarinya disamping tidak akan mengakuinya, terlebih merasa perlu untuk mencari pertolongan.
Dapat kita bayangkan betapa tidak adilnya sistem penalisasi perkara pidana di Indonesia, dengan melakukan aksi “pukul rata” vonis hukuman bagi sang pelaku kejahatan penipuan ataupun penggelapan, tanpa mau menyadari ataupun memahami kondisi korban. Mungkin selama ini kita berasumsi, besarnya dana penipuan yang berhasil ditipu oleh sang terdakwa kasus penipuan, yang menjadi barometer ataupun parameter lamanya sanksi hukuman pidana penjara seorang terpidana.
Namun, penulis berpendapat itu adalah persepsi yang KELIRU BESAR. Idealnya, ialah didampingi dengan faktor latar-belakang dari pihak korban, apakah uang yang ditipu oleh sang pelaku dihimpun oleh korban dalam tempo kurun waktu yang lama ataukah yang cukup singkat. Sebagai contoh, seorang milioner kehilangan uang senilai jutaan rupiah akibat tertena modus penipuan. Bagi sang korban, itu setara bekerja selama 1/10 hari sesuai “background” profesinya sebagai seorang pengusaha papan atas yang memiliki bisnis multinasional. Sebaliknya, bila korbannya ialah seorang pekerja papan bawah, uang senilai demikian bisa jadi setara 10 TAHUN ia bekerja dengan tingkat upahnya sekarang ini. Menghukum pelaku atas dua jenis skenario di atas, dengan lama vonis yang sama, apakah sudah adil, patut, serta dibenarkan secara logika maupun nurani berkeadilan?
Sebagai contoh, korban bukanlah kalangan borjuis yang telah mengumpulkan uang selama puluhan tahun atau bahkan seumur hidupnya, yang rencana semula untuk tujuan uang pensiun dirinya, sebelum kemudian dibawa lari ataupun ditipu serta tertipu oleh sang pelaku. Sang pelaku, hanya diganjar vonis hukuman pidana penjara satu tahun, sama sekali tidak setara dengan kerugian yang diderita oleh sang korban—katakanlah uang tersebut setara gaji sang korban bekerja selama dua puluhan tahun, artinya terdapat selisih sembilan belas tahun menjadi kerugian yang di-“hadiah”-kan oleh pihak pengadilan kepada pihak korban. Tidaklah perlu untuk menyinggung perihal adanya opsi komplomenter berupa menggugat secara perdata, kemenangan perkara perdata seringkali justru membuka lembaran masalah baru perihal kesukaran dalam mengeksekusi amar putusan yang kerap kali “menang di atas kertas”.
Dakwaan terhadap seorang pelaku penipuan, sekalipun dikabulkan oleh hakim di pengadilan, tidak jarang tetap dirasakan tidak adil bagi keadilan berdasarkan tingkat kerugian yang diderita oleh pihak korban, itu pun penuh liku-liku yang menguras mental. Salah satunya sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “penipuan” register Nomor 1448 K/Pid/2015 tanggal 22 Februari 2016, dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukum;
“Bahwa Judex Facti tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana yang terungkap di dalam persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan sesuai dengan tuntutan hukum, yaitu ternyata Terdakwa melakukan perbuatan rangkaian kebohongan dalam transaksi bisnis kontrak jual beli batu bara sejak awal mempunyai niat tidak bersedia membayar pembelian batu bara kepada PT. Anugerah Borneo Community sebesar Rp3.166.365.000,00 (tiga milyar seratus enam puluh enam juta tiga ratus enam puluh lima ribu rupiah) dengan cara melakukan rangkaian perbuatan yaitu membuat surat pernyataan tanggal 28 Juli 2012, bahwa Terdakwa akan melunasinya, tetapi Terdakwa tidak memenuhinya, selanjutnya Terdakwa juga membuat standing subjection tetapi tidak dapat dicairkan, yang kemudian Terdakwa juga menerbitkan cek Nomor CE439220 ternyata Bank melakukan black list terhadap pemiliknya yaitu Terdakwa, yang berakibat menimbulkan kerugian kepada PT. Anugerah Borneo Community (PT. ABC);
“Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut maka Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penipuan’ melanggar Pasal 378 KUHPidana sesuai dakwaan pertama Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 161/Pid.B/2015/PN.Bjm., tanggal 01 Juli 2015 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, sehingga amarnya sebagaimana tertera di bawah ini:
“Menimbang, bahwa dalam menjatuhkan pidana, maka telah dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan atas diri Terdakwa;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 161/Pid.B/2015/PN.Bjm., tanggal 01 Juli 2015;
MENGADILI SENDIRI:
1. Menyatakan Terdakwa ARIEF GUNAWAN Alias ARIEF Bin REMI MOERTEDJO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ARIEF GUNAWAN Alias ARIEF Bin REMI MOERTEDJO tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
3. Menyatakan lamanya Terdakwa berada di dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa segera ditahan.”
KESIMPULAN & PENUTUP:
Bagaimana, apakah Anda tertarik untuk “cukup” mendekam di balik sel jeruji penjara selama satu tahun lamanya (anggap saja “cuti besar”, dimana negara yang menanggung uang makan Anda sembari menikmat ”hotel rodeo” sembari keluar mendapat gelar “S2 penjahat”), namun mengantungi uang hasil penipuan senilai miliaran rupiah yang bisa jadi tidak akan habis untuk ongkos makan dan mencari rumah hunian seumur hidup sehabis menjalani masa penghukuman di penjara? Belum tentu Anda akan berhasil menghimpun uang sebanyak itu, seumur hidup pun Anda bekerja membanting-tulang.
Ketika tiba saatnya ajal menjelang, Anda pun dapat berkata penuh rasa bangga diri kepada Tuhan : “Saya berhak dimasukkan ke surga, segala dosa-dosa saya telah bersih karena saya telah menjalani masa hukuman di penjara!” Korban pun, bisa jadi hanya bisa “gigit jari”, kalah cerdik dengan sang penipu. Tuhan pun, bahkan tertipu, dan hanya bisa berkomentar, “Betul juga, ia telah diadili dan dihukum di dunia manusia. Dilarang ‘double jeopardy’ (penghukuman dua kali atas suatu perbuatan). Memang hebat manusia penipu ciptaan saya ini, bahkan dapat menipu penciptanya sendiri. Seperti manusia yang menciptakan kalkulator, dimana kalkulator dapat menghitung lebih cepat daripada manusia dan mengalahkan manusia.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.