Menjadi Korban, Mengadu Kepada Siapa dan Kemana-kah?

ARTIKEL HUKUM

Tuhan (ternyata) dapat Menjadi Hakim yang Sangat Buruk dan Tidak Adil saat Mengadili Pendosa (Pelaku Kejahatan), dengan Merampas Hak Keadilan dari sang Korban dengan Menghapus Dosa Pelaku

Siapakah Pencipta Pelangi? Pencipta yang Sama dengan yang Menciptakan Kejahatan, Kecurangan, Ketidakjujuran, Orang Jahat, Kekumuhan, Penyakit, Kotoran-Sampah, dan Maksiat

Terdapat sebuah kisah, dari penuturan seseorang yang pernah penulis simak, seorang Warga Negara Asing dalam satu mobil dengan warga lokal pada satu ruas jalan di dalam jalan toll di Indonesia, mengalami keadaan yang tidak menyenangkan : kendaraannya mogok secara mendadak di dalam toll, datang mobil derek liar (yang tampaknya) dibiarkan “besar kepala” oleh otoritas pengelola jalan toll (tidak mungkin tidak tahu, dan lestari karena dibiarkan meraja-lela tanpa penindakan berarti), menderek mobil tersebut tanpa persetujuan pemilik mobil (pemaksaan serta pemerasan berkedok “menolong” alias aksi premanisme itu sendiri) sebelum kemudian dibawa ke sebuah bengkel yang sejak semula telah bersekongkol dengan sang “derek liar” dengan biaya reparasi yang tinggi sesuka hati pemilik bengkel tanpa dibolehkan memilih bengkel lainnya.

Sang Warga Negara Asing kemudian bertanya kepada sang warga lokal, “Terhadap pemerasan semacam ini, kita bisa melaporkannya ke mana?” Sang warga lokal kemudian menjawab, “Melapor kepada Yang Maha Kuasa!” Pertanyaan yang hendak penulis ajukan sebagai kontra-narasi, “Menurut Anda, kepada siapakah Tuhan akan berpihak, kepada pihak korban ataukah kepada pelaku kejahatan? Buktinya, Tuhan lebih PRO terhadap pelaku kejahatan dengan menghapus dosa-dosa para pendosa, yang artinya melupakan dan mengabaikan serta merampas hak-hak atas keadilan para korbannya. Tuhan telah memihak para pelaku kejahatan (para pendosa), sehingga atas dasar apa seseorang korban mengharapkan agar dirinya mendapatkan keadilan dari Tuhan dengan cara mengadu ataupun melaporkan perbuatan pelakunya kepada Tuhan?

Ideologi-ideologi  curang pada berbagai keyakinan keagamaan semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sejatinya merupakan dogma ataupun doktrin yang bersifat “korup”, dalam artian justru mempromosikan dosa, mengkompromikan maksiat, melegalkan perbuatan buruk, melestarikan perbuatan jahat, memberi makan umpan sifat-sifat curang, mengembang-biakkan sikap-sikap pengecut (anti sikap ksatria), yang pada pokoknya agar ada “dosa yang dapat dihapus” atau setidaknya agar ada “dosa yang dapat ditebus”. Agar terdapat “dosa untuk dihapuskan”, maka segala cara menjadi “halal”.

Sama halnya, bila Tuhan dapat bersikap demikian “korup” dengan menghapus dosa-dosa para pelaku kejahatan, disamping artinya telah menghapus juga hak-hak korban untuk melaporkannya serta menuntut keadilan, namun mengapa disaat bersamaan Tuhan tidak pernah menyebut-nyebut perihal turut menghapus pahala ataupun perbuatan-perbuatan baik dari sang pelakunya? Itu sama artinya, “Dua Berbanding Nol” dikondisikan serta tercipta keadaannya, antara sang korban dan pelaku kejahatan di mata serta di tangan Tuhan. Menjadi korban, karenanya, merugi di dunia dan di akherat. Tidak mengherankan bila dunia manusia mengenal hal irasional (bukan anomali) bernama fenomena “Sindrom Stockholm”, dimana korban menjelma menjadi sesama pelaku kejahatan—terjadi semata ketika sang korban mendapati dirinya merugi seorang diri dengan menjadi seorang korban.

Itulah sebabnya, puluhan “nabi” telah diturunkan oleh Tuhan ke dunia manusia ini, namun hingga saat kini tiada satu pun “utusan Tuhan” tersebut yang berhasil menghapus dan membuat punah satu pun kejahatan paling primitif yang dikenal oleh umat manusia di muka Bumi ini. Pertanyaannya, mengapa kejahatan maupun maksiat paling primitif sekali pun, hingga saat kini tiada satu pun yang berhasil dimusnahkan oleh para “utusan Tuhan” demikian, sekalipun kita ketahui dan sebagaimana kerap didengung-dengungkan, Tuhan Maha Kuasa?

Disebutkan pula, segala sesuatunya tanpa terkecuali, terjadi atas dasar izin, rencana, kehendak, serta restu dari Tuhan. Yang artinya pula, segala maksiat dapat terjadi, segala perbuatan jahat dapat tetap eksis serta lestari, disamping segala perbuatan buruk semacam “derek liar pemeras” demikian dapat terjadi, tidak lain ialah atas dasar rencana, izin, kehendak, serta restu dari Tuhan itu sendiri sebagai pelaku “otak intelektual”-nya, aktor di balik layar, maupun sebagai pelaku utamanya. Mencoba melawan atau setidaknya menentang pelaku “derek liar” demikian (ataupun mencoba memusnahkan maksiat ataupun membuat punah perbuatan dosa-jahat lainnya), sama artinya hendak melawan kekuasaan sekaligus kediktatoran rezim tiran Tuhan.

Ketika kita atau seorang warga, selaku korban tindak kejahatan warga lainnya, hendak mengadu ataupun melapor kepada Tuhan, itu sama seperti hendak mengadu dan melapor kepada sang “pelaku otak intelektual”-nya itu sendiri. Sudah barang tentu, Tuhan tidak akan mengkriminalisasi dirinya sendiri (non self incrimination), terbukti dari Tuhan yang justru menyediakan “karpet merah” bagi para pendosa berupa iming-iming “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, semata karena para pendosa (pelaku kejahatan) tersebut semata hanya menjadi bidak pion pada papan catur kekuasaan Tuhan, yang tidak berdaya untuk memiliki dan menentukan nasibnya sendiri selain menjadi “kambing hitam” kekuasaan dan rencana Tuhan.

Karena itulah, dalam rezim Agama Dosa yang bersumber dari Kitab Dosa (alih-alih Agama Suci yang bersumber dari Kitab Suci), menjadi korban adalah hal yang “tabu”. Mengapa menjadi korban, adalah “tabu”? Semata karena tiada tawaran keadilan apapun bagi kalangan korban, selain hanya “gigit jari” dan merugi seorang diri tanpa perlindungan apapun. Para pelaku kejahatannya, alih-alih diberikan “punishment”, justru diberikan “reward” berupa “angin surga” bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sekalipun senyatanya “to good to be true”, alias suatu imajinasi penuh fantasi yang amat liar dari seorang pendosa yang penuh dosa.

Ketika sang korban masuk ke alam surgawi, tidak terkecuali sang pelaku kejahatan turut dihapus dosa-dosanya, turut dilempar ke alam surgawi. Alhasil, sang pelaku kejahatan dan sang korban kembali menjadi tetangga di alam surgawi sebagai penghuni. Jadilah, kejahatan yang sama terjadi untuk kedua kalinya di alam duniawi dan di alam surgawi, suatu “dunia manusia jilid kedua”. Sang pencuri, kembali mencuri. Sang penipu, kembali menipu. Sang perampok, kembali merampok. Sang penganiaya, kembali menganiaya. Sang pen-zinah, kembali berzinah. Bahkan, Tuhan pun turut ditipu dan dicuri oleh sang pelaku—siapa suruh, beraninya memasukkan pencuri dan penipu ke alam surgawi?

Bila Tuhan PRO terhadap korban, maka tiada “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang dapat ditawarkan bagi para pendosa (pelaku kejahatan). Sebaliknya, ketika Tuhan memberikan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” kepada para pendosa, maka adalah mustahil korban mendapatkan keadilan. Namun, Tuhan telah membuat pilihannya, yakni menawarkan iming-iming “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Dengan demikian, ketika kalangan korban memilih untuk melaporkan atau mengadukan perbuatan sang pelaku kejahatan, kepada Tuhan, itu sama seperti mengharap Tuhan untuk menjilat ludahnya sendiri yang telah menjanjikan iming-iming “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi para pendosa selaku pelaku perbuatan dosa yang berdosa.

Entah bagaimana dan mengapa, apakah masyarakat kita telah demikian buta, sehingga memandang ajaran curang penuh “korup” sebagai “Agama SUCI” serta “Kitab SUCI”. Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengajukan pertanyaan sederhana kepada masing-masing para pembaca, ayat-ayat berikut merupakan “Agama SUCI” yang bersumber dari sebuah “Kitab SUCI”, ataukah sebaliknya “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA” bagi para pendosa selaku umat pemeluknya (dosawan, bukan suciwan):

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Janganlah dan tidak perlu bagi kita untuk mengharap terlampau banyak, dari suatu bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk “Agama DOSA” yang disumberi oleh “Kitab DOSA”. Bila “dosa” menjadi bintang pemandu dan kompas petunjuk hidup mereka, maka ibarat tinggal menetap dalam satu kandang bersama dengan para “manusia (yang menyerupai) hewan predator”, cepat atau lambat menjadi korban, dimana para pelakunya tetap saja merasa yakin seyakin-yakinnya telah mendapat tiket masuk menuju alam surgawi, seburuk apapun perbuatan mereka dan seberapa parah pun kerugian maupun luka yang diderita oleh korban-korbannya.

Dahulu kala, jauh sebelum “Agama DOSA” maupun “Kitab DOSA” dilahirkan ke muka Bumi, tiada satu pun kalangan penjahat (pendosa yang berdosa) yang meyakini bahwa mereka akan masuk ke alam surgawi setelah ajal menjelang. Namun saat kini, ketika “Agama DOSA” yang disumberi oleh “Kitab DOSA” telah diterbitkan, para pendosa berbondong-bondong berbuat dosa, mengoleksi dosa, menimbun diri dengan dosa, bergelimang dosa, dimana para korban terus berjatuhan satu per satu dan bergelimpangan tanpa daya.

Sejak terlahirkannya “Agama DOSA” yang disumberi oleh “Kitab DOSA”, standar moralitas umat manusia hancur dan rusak serusak-rusaknya. Peradaban manusia bergerak balik menuju kebiadaban. Bila membunuh dan merampok kaum yang berbeda disebut sebagai “cinta damai” dan “toleran”, lantas seperti apa yang disebut dengan “tidak damai” dan “intoleran”? Penulis menyebutnya sebagai sebuah “MITOS YANG SANGAT TIDAK LUCU”, sekaligus dangkal dan patut merasa prihatin.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.