Manusia Tidak Terlahir Polos seperti Kertas yang Putih Bersih, namun Membawa Serta Kekotoran Batin yang Laten Sifatnya

LEGAL OPINION

Hakim dan Pengadilan, Tidaklah Seindah dan Seadil Itu. Hakim adalah Manusia yang Masih Diliputi Kekotoran Batin, Bukan Robot yang Objektif dan Netral Murni

Question: Banyak orang mengaku-ngaku atau membuat kesan sebagai orang yang baik dan penuh perhatian, ternyata hanya penipu yang sangat licik. Kebaikannya hanya untuk pemancing dan perangkap bagi korban targetnya. Banyak pencuri berkedok penolong. Bahkan pengemis pun berdusta, dengan berpura-pura berkaki buntung ataupun berpura-pura miskin, mengeksploitasi kebaikan hati orang lain. Tidak jarang pula kemurahan hati justru menjadi bumerang bagi diri kita sendiri dikemudian hari. Balas air susu dengan air tuba, cerminan tiadanya hati nurani. Tidak kalah banyaknya dengan pembohong yang memasang topeng bak malaikat, masih pula berceramah perhihal kebaikan dan kesucian.

Bukankah aneh, Negeri Indonesia bangsa-nya mengaku ber-Tuhan, rajin beribadah, tepat ibadah lebih menjamur daripada jamur, namun pertanyaannya ialah mengapa juga sulit sekali menemukan orang jujur yang otentik (benar-benar jujur) di republik serba halal-lifestyle ini? Mereka menjaga betul-betul makanan yang dimasukkan ke dalam mulut mereka, namun dari segi ucapan hingga perilaku, kotor dan jahat sekali. Yang perlu kami ketahui, bagaimana dengan hakim di pengadilan, apakah memang betul-betul orang yang tergolong berhati murni seperti “malaikat” dan adil tanpa kompromi seperti Judge Bao yang termasyur dari China itu? Jangan sampai, kita selaku masyarakat justru menyerahkan nasib kita ke tangan manusia yang berhati iblis, celaka dua kali itu namanya.

Brief Answer: Sukar untuk mengandalkan sepenuhnya sosok seperti hakim di pengadilan, karenanya tidak sedikit fenomena dimana para pebisnis memilih untuk memakai forum penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute settlement) pada lembaga semacam arbitrase (lokal maupun asing) dimana “Arbiter” (sejenis hakim) pemeriksa dan pemutus perkaranya ialah seorang Arbiter, alias warga sipil biasa—hanya saja diberi kewenangan memeriksa dan memutus perkara karena kesediaan dan kesepakatan para pihak yang saling bersengketa untuk menundukkan dirinya pada yurisdiksi lembaga arbitrase bersangkutan lengkap dengan segala aturan main dan putusan Arbiternya. Sekalipun demikian, tetap saja, sang Arbiter besar kemungkinan adalah manusia biasa yang belum tergolong “suciwan”, karena tidaklah mengherankan bila kita masih dapat menemukan putusan lembaga Arbitrase yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan substansi putusannya baik amar maupun pertimbangan hukum para Arbiter.

Tidak sukar menemukan kejanggalan pada beragam putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung di Indonesia. Hingga saat kini, SHIETRA & PARTNERS telah mendapati setumpuk putusan yang jelas-jelas dan terang-terangan melanggar norma hukum yang telah diatur oleh negara maupun preseden yang sebelumnya telah ada, lengkap dengan segala kejanggalannya yang “vulgar”. Lembaga peradilan yang berisi hakim-hakim yang kotor, dapat menjadi ajang legitimasi (terhadap) kejahatan bilamana seorang penjahat tersebut mampu dan sanggup untuk membayar (menyuap) sang hakim. Penggugat, Tergugat, ataupun pihak Terdakwa, yang mampu membeli amar putusan, (akan) dimenangkan. Alhasil, korban menderita kerugian untuk kedua kalinya.

PEMBAHASAN:

Jangankan kita berbicara perihal hakim, yang notabene manusia atau orang lain yang tidak kita kenal dan tidak saling mengenal, bahkan untuk ukuran orang terdekat kita, seperti sanak-keluarga, hingga orangtua kandung sendiri, dapat bersikap egoistik, bias persepsi, bias kepentingan, eksploitatif, manipulatif (terutama “manipulasi emosi”), serta tidak adil terhadap diri kita. Karena itulah, kita tidak dapat berharap terlampau banyak pada faktor ekternal diri kita, karena kesemua itu diluar kendali kita yang tidak dapat dijadikan objek untuk sebuah obsesi diri pribadi—termasuk dan terkecuali obsesi untuk mendapatkan keadilan di ruang-ruang peradilan dimana hakim pemutusnya merupakan para manusia non-suciwan yang masih terlibat dengan, diliputi, serta dikuasai oleh kekotoran batin serta kebodohan batin.

Jangankan hakim yang tidak kenal baik dan dekat sosok dirinya, bahkan orangtua kandung sendiri pun dapat demikian egoistik terhadap sang anak kandung. Bahasan di bahwa ini disusun oleh Trudi Griffin, LPC, MS. Trudi Griffin adalah konselor profesional berlisensi di Wisconsin dengan spesialisasi kecanduan dan kesehatan mental. Dia memberikan terapi bagi mereka yang mengalami masalah kecanduan, kesehatan mental, dan trauma di sarana kesehatan masyarakat dan klinik swasta, serta memiliki gelar akademik dibidang konseling kesehatan mental klinis dari Marquette University pada 2011, sebagaimana diakses redaksi pada tanggal 24 Mei 2021 dari https:// id.wikihow .com/Menghadapi-Ibu-yang-Egois, dengan judul “Cara Menghadapi Ibu yang Egois”.

Gambaran mengenai ibu yang egois mungkin terdengar seperti sebuah paradoks, namun sayangnya gambaran itu dapat menjadi situasi nyata yang berbahaya dan sulit untuk dihadapi—terutama oleh seorang anak yang memiliki jiwa “berbakti”. Kesulitan dalam menghadapi ibu yang egois disebabkan karena orang-orang yang egois cenderung bertindak sesuka hati, terlepas dari apa yang orang lain inginkan ataupun kesulitan yang selama ini kita hadapi, sehingga sukar untuk mendapatkan perubahan, negosiasi, ataupun setidaknya sebuah kompromi, bagai berbincang dengan sebuah tempok yang keras dan tebal. Banyak diantara masyarakat kita yang memiliki anggapan umum, baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa seorang ibu memiliki sikap yang peduli sehingga keegoisan yang ia tunjukkan terasa membingungkan dan satir memerihkan, serta sukar dipahami fenomenanya.

Langkah Pertama : Mengenali Keegoisan

Keegoisan tidaklah identik dengan tidak memberikan apa yang diinginkan. Ketika kita menyebut seseorang ‘egois’, sering kali yang kita maksud adalah “Ia tidak memberikan apa yang aku inginkan”. Sebagai contoh, jika kita meminta ibu membelikan sesuatu yang kita harapkan dan ibu kita menolak, namun ia justru menggunakan uangnya untuk membeli sepatu baru, kita mungkin berpikir “Ibu bersikap egois”. Bisa jadi, asumsi praduga demikian belum tentu sepenuhnya benar. Mungkin saja ia memang membutuhkan sepatu baru untuk pergi bekerja. Sering kali orang tidak suka ketika tidak bisa mendapatkan yang diinginkan, dan hal tersebut wajar. Cobalah berpikir sejenak dan cari tahu apakah keputusan tersebut dibuat berdasarkan keegoisan ibu Anda, atau karena ada hal lain.

Kita juga mungkin memandang sebuah perilaku sebagai bentuk keegoisan, ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan kita sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sebaliknya, jika kita meminta ibu membelikan sepatu baru karena sepatu kita sudah usang dan ibu kita menolaknya, namun ia lantas menggunakan uang untuk berbelanja barang-barang yang tidak penting, hal tersebut mungkin mencerminkan perilaku egois karena ia tidak memenuhi kebutuhan kita yang sebenarnya, atau seperti ketika kita yang merupakan pencari nafkah sedang mengalami kondisi kesulitan ekonomi sementara itu ibu kita justru sibuk berfoya-foya, itulah salah satu pertanda.

Langkah Kedua : Perhatikan apakah Hasil Akhir dari Kompromi Bersifat Berat Sebelah

Keegoisan sering kali memicu munculnya situasi yang bersifat berat sebelah (kata kunci tersebut, sangat penting bagi kita untuk mengidentifikasi situasi yang kita hadapi). Ini artinya, salah satu pihak mendapatkan keuntungan lebih banyak sementara pihak yang lain mengalami kerugian secara timpang sebelah. Terkadang, hasil atau situasi seperti ini tidak dapat dihindari. Dengan berkompromi, kedua pihak dapat mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua pihak. Jika ibu kita ternyata tidak pernah atau sering kali enggan berkompromi, ada kemungkinan ia bersikap egois.

Sebagai contoh, jika ibu kita tidak pernah mengizinkan kita menggunakan mobil untuk bertemu teman-teman karena ia ingin kita meluangkan waktu bersamanya, hal tersebut dapat menjadi contoh dari bentuk keegoisannya. Akan tetapi, jika ia mengizinkan kita menggunakan mobil hanya pada akhir pekan saja karena ia ingin kita tidur lebih awal di hari-hari sekolah, hal tersebut merupakan sebuah kompromi: Kita tetap dapat bergaul dengan teman-teman, namun ibu kita juga memastikan bahwa kita tetap sehat dan produktif.

Contoh lain yang cukup mencerminkan keegoisan yang dapat kita jumpai dikeseharian, ialah ketika ibu pulang dari kantor dan meminta kita untuk menghentikan aktivitas, semata agar kita mengobrol dengannya, terlepas dari tanggung jawab atau komitmen lain yang kita miliki. Keinginan untuk mengobrol dengan kita mengenai kabar sehari-hari adalah hal yang baik, namun menuntut perhatian setiap saat bukanlah hal yang baik. Ia mungkin menyebut kita “tidak tahu terima kasih” jika kita tidak menanggapi tuntutannya dengan cara yang ia inginkan, atau mengulang-ulang kembali lagu lama, bahwa dirinya yang telah bersusah-payah melahirkan dan merawat kita sedari balita.

Akan tetapi, keinginan untuk mengobrol dengan kita tidak selalu menunjukkan keegoisan. Menunjukkan keinginan dalam cara yang tidak tepat juga tidak selalu mencerminkan keegoisan. Jika ibu meminta kita menghentikan aktivitas (semisal dari tugas rumah) untuk mengobrol dengannya, dan kita mengatakan bahwa kita tidak bisa diganggu karena harus menyelesaikan pekerjaan, ia harus menerimanya dan menanyakan waktu alternatif untuk mengobrol. Ini merupakan bentuk kompromi sehat yang menerima dan menghargai kebutuhan serta suara setiap pihak—yakni antara kita dan ibu. Ini juga bukan sebuah keegoisan, meskipun pada awalnya permintaan tersebut terkesan mengesalkan atau egois.

Terkadang, salah satu pihak perlu mengambil langkah mundur dalam rangka “mengalah” (dalam artian tidak mendapatkan apa yang diinginkan), namun secara umum, relasi yang sehat—bahkan antara orang tua dan anak—disemai dengan adanya semangat membentuk kesamaan keputusan akhir dan kompromi lewat sebuah konsensus. Contoh situasi tidak adil yang mungkin dihadapi oleh seseorang yang tidak lagi tinggal bersama ibunya adalah ketika ibunya selalu meminta “pinjaman” uang pada anaknya, tetapi tidak pernah membayar “pinjaman” tersebut dan menggunakan uang pinjamannya untuk bermain taruhan bersama teman-temannya (atau setidaknya, berfoya-foya). Seorang anak, selalu dalam posisi dilematis. Bagaimana mungkin, menagih uang pinjaman kepada orangtua kandung sendiri?

Langkah Ketiga : Perhatikan Adanya Tanda-Tanda Manipulasi Emosional

Manipulasi emosional merupakan ciri-ciri lain perilaku egois. Contoh manipulasi emosional oleh orangtua “manipulator”, yang terkadang ditunjukkan orangtua adalah jebakan perasaan bersalah atau “guilt trip”. Jebakan seperti ini mungkin bukan merupakan keegoisan yang ditunjukkan dengan sengaja oleh orangtua—ibu kita mungkin hanya ingin menunjukkan kasih sayangnya pada kita, namun caranya kurang tepat karena bersifat memaksa dan tidak sehat, dan justru dapat membuat kita kesal terhadapnya.

Sebagai contoh, katakanlah kita sedang memilih universitas dan mempertimbangkan beberapa pilihan universitas yang cukup jauh dari rumah. Ibu kita mungkin mencoba memanipulasi kita secara emosional agar memilih kampus yang lebih dekat dengan berkata, “Oke. Silahkan mendaftar pada kampus di kota lain pilihan kamu itu. Kamu sepertinya memang tidak peduli lagi jika ibu merasa kesepian seorang diri di rumah ini.”

Sebagai contoh lain, ibu mungkin mudah tersinggung jika kita berkata “tidak” atau menolak permintaannya. Misalnya, jika ia meminta kita mengerjakan sesuatu dan kita berkata bahwa kita tidak bisa melakukannya, ia mungkin mencoba ‘mengingatkan’ kita: “Ibu sayang sekali padamu. Tidak ada yang menyayangimu seperti ibu menyayangimu sedari sejak kecil dan merawatmu sehingga bisa tumbuh besar seperti sekarang.” Ia mencoba membuat kita merasa bersalah, bahwa kita telah mengabaikannya, atau ia membandingkan kita dengan anak dari keluarga lain yang ‘mencintai’ ibunya.

Jebakan perasaan bersalah dan jenis manipulasi emosional yang lain menandakan keegoisan karena orang yang melakukannya tidak mempertimbangkan kebutuhan ataupun kesukaran hidup kedua belah pihak (hanya berfokus pada kebutuhan maupun espektasi satu pihak saja). Ibu yang egois atau manipulatif akan selalu mendahulukan kebutuhannya atau keinginannya terlebih dahulu daripada kebutuhan maupun kepentingan pribadi diri kita. Pengorbanan diri kita, seolah tidak dipandang dan tidak berarti disamping tidak dihargai. Rasa sakit kita, tidak pernah didengarkan terlebih dipahami ataupun dimengerti. Sikap sang ibu, ialah bersikap seolah-olah hanya dirinya seorang yang dapat merasakan derita dalam kehidupan ini.

Jika ibu kita menunjukkan perilaku manipulatif (sebagai contoh, dengan membuat kita merasa bersalah dan jatuh ke dalam rasa bersalah sehingga mentalitas kita riskan disalah-gunakan pada momen rapuh-hati itu), kemungkinan besar ia tidak menyadari bahwa interaksi atau manipulasi seperti itu dapat menyebabkan kerugian yang besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang membuat orang lain merasa bersalah sering kali terlalu berfokus untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui teknik manipulasi ini, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa manipulasi tersebut tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena membuat orang lain menjauh.

    Langkah Keempat : Perhatikan apakah Ibu Kita Terlalu Mengabaikan atau Menelantarkan Kita.

Percaya atau tidak, terkadang orangtua bisa bersikap egois dengan memberikan Kita terlalu banyak kebebasan untuk melakukan apa pun. Mereka, tidak membekali kita dengan keterampilan maupun pengetahuan dasar hidup di tengah-tengah masyarakat yang keras ini dan butuh bimbingan seorang mentor ini. Meskipun aturan yang ditetapkan oleh ibu terlalu banyak dan sangat ketat, peraturan-peraturan tersebut telah dibuat sedemikian rupa sebagai batasan yang menjaga agar kita tetap aman, sehat, dan bahagia. Jika ibu membiarkan kita melakukan apa pun, kapan pun, tanpa memberitahu kita tentang batasan dan konsekuensi, ia telah bersikap egois karena tidak memberikan ‘kerangka’ yang perlu kita kembangkan.

Sebagai contoh, jika ibu tidak mau pusing ataupun direpotkan dengan membiarkan kita terjerumus dalam gaya hidup sosialisasi yang tidak sehat seperti menghisap produk tembakau atau meminum minuman beralkohol di bawah umur karena ia tidak ingin mendisiplinkan atau mendorong kita menghentikan kebiasaan buruk tersebut, ia menunjukkan perilaku yang egois. “Pengabaian emosional” merupakan tanda lain yang menunjukkan perilaku egois yang bersarang pada diri orangtua terhadap anaknya.

Jika kita sering merasa takut ketika berada di dekat ibu karena ia tidak sabar, mudah marah, dan terlalu mengekang, atau kita merasa putus asa ketika memohon agar ia mau memberikan izin, kemungkinan ibu kita adalah orang tua yang bersikap narsistik. Ini artinya, dalam bayangannya ialah yang harus menjadi fokus dalam hubungan kita ialah semata dengan dirinya seorang. Orang-orang yang bersikap narsistik akan berperilaku egois karena mereka tidak memiliki orientasi untuk berempati atau ketidakmauan (bukan kegagalan untuk) menempatkan diri mereka dalam posisi orang lain, serta memahami perasaannya.

Tanda lain yang menunjukkan adanya pengabaian emosional adalah, kita merasa tidak diakui oleh ibu, atau dimana kita merasa suara dan aspirasi kita sama sekali tidak dipandang dan diremehkan ataupun disepelekan. Mungkin ia pernah menanyakan tentang perasaan kita, namun ternyata tidak benar-benar mendengarkan jawaban kita dan menyepelekan perasaan Kita, menghakimi kita, sebelum kemudian justru lebih sibuk membicarakan mengenai dirinya sendiri (ibu-sentris). Bertanya, namun tidak bersedia mendengarkan jawaban (sebagai sebuah “basic manner”), adalah sebentuk pelecehan. Atau, mungkin ia pernah menolak ketika kita ingin memberitahunya tentang perasaan atau masalah yang kita hadapi. Hal-hal tersebut menandakan adanya sikap egois dan narsistik pada ibu Kita.

Melindungi Diri Sendiri dalam Rangka Menghadapi seorang “Selfish Mother

Kita mungkin merasa bahwa ibu bersikap egois karena ia terus menekan Kita untuk memilih jurusan perkuliahan tertentu yang ia sukai, meskipun kita tidak tertarik dan telah menyuarakannya. Contoh demikian menunjukkan bahwa ada kemungkinan ibu bersikap egois karena didorong oleh keinginannya secara sepihak untuk meraih pencapaian melalui tangan kita, terlepas dari apa pun yang harus dilakukan, dimana kita yang menanggung konsekuensinya. Akan tetapi, ada pula kemungkinan bahwa ia percaya ia melakukan yang terbaik dengan mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang—ia rasa—sesuai dengan bakat atau talenta kita (atau sesuatu yang dapat membawa kita menuju kesuksesan dimasa mendatang).

Pertimbangkan peran kita pada situasi tersebut. Apakah kita telah memberitahu ia bahwa kita menghargai opininya, namun tetap akan membuat keputusan oleh serta untuk diri kita sendiri? Atau kita hanya akan diam saja dan mengangguk, sampai ibu memberikan saran ke-100? Mungkin saja ia tidak tahu bahwa hal tersebut membuat kita terganggu jika kita tidak memberitahu atau meng-komunikasikan pendapat serta perspektif disamping keinginan diri kita secara pribadi.

Dapatkan Dukungan Sosial

Jika ibu selalu sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak memberikan perhatian atau dukungan emosional yang kita butuhkan, carilah dukungan sosial dari orang lain. Meskipun tidak ada yang bisa menggantikan sosok ibu, ingatlah bahwa kita sejatinya tidak membutuhkan sosok pengganti agar dapat merasa lebih baik, serta tidak perlu paksakan diri mencari dukungan dari orang lain yang belum tentu beritikad baik terhadap kita. Berinteraksilah teman-teman atau anggota keluarga yang lain untuk melawan tekanan yang kita dapatkan dari keegoisan seorang ibu—yang selalu memamerkan prinsip “ibu selalu benar, anak selalu salah”. Dukungan sosial yang didapatkan bisa melindungi kita dari tekanan dan membuat kita merasa lebih nyaman dan tenang dengan diri kita sendrii, baik dengan kehidupan kita secara keseluruhan maupun diri sendiri.

Berinteraksilah dengan komunitas yang terdiri dari orang-orang di jejaring sosial media maupun dengan teman-teman yang juga memiliki ibu yang egois. Ini dapat membantu kita menyadari bahwa kita tidak sendiri. Selain itu, interaksi seperti ini juga dapat memberikan manfaat; kita dan teman-teman (atau mereka yang bernasib sama) bisa bersama-sama mencari solusi untuk masalah yang dihadapi, saling menguatkan, dan saling berbagi “curahan hati”.

Tentukan Harga Diri Kita Sendiri

Jika ibu tidak peduli atau tidak acuh ketika kita mendapatkan pencapaian, kita sendirilah yang harus menunjukkan kepedulian serta apresiasi terhadap pencapaian diri kita sendiri tersebut dengan merayakannya bagi diri kita sendiri, atau berikan hadiah kecil bagi diri kita sendiri. Jika ibu membuat kita merasa tidak nyaman atau rendah diri karena ia ingin kita tampil ‘sempurna’ agar ia merasa bangga dengan dirinya sendiri, ingatkan diri sendiri bahwa hal tersebut adalah masalahnya, bukan masalah Kita.

Jangan biarkan orang lain, bahkan ibu kita sendiri, menentukan harga diri kita. Sisakan sebuah ruang untuk diri kita sendiri pada relung hati kita yang terdalam, sebagai tempat untuk berlindung serta menyimpan jati diri. Pada akhirnya, perasaan atau pandangan kita terhadap diri sendiri yang paling penting, karena kitalah yang berhak mengatur atau mengendalikan kehidupan dan masa depan kita sendiri. Kita-lah yang paling bertanggung-jawab atas hidup dan masa depan kita sendiri. Seperti kata pepatah, orangtua kita dapat meninggal dunia tanpa kita, dan kita pun dapat meninggal dunia tanpa orangtua.

Tidak ada orang lain yang lebih peduli pada kita kecuali diri sendiri sehingga dalam kasus seperti ini, opini kita sendiri-lah yang seharusnya memegang peran paling penting, dan kita perlu belajar untuk mandiri dalam berpikir dan mengambil keputusan, sebelum kemudian mengambil-alih tanggung-jawab atas hidup kita sendiri dari tangan orangtua kita. Berfokuslah untuk meraih tujuan-tujuan yang lebih besar dan sebisa mungkin, jangan terlalu memikirkan situasi atau masalah kita dengan ibu kita, agar tidak terkungkung seperti “katak dalam kungkungan ketiak orangtua yang mendominasi”. Orangtua kita telah pernah menikmati masa muda hidupnya, kita pun punya hak yang tidak kurang dari mereka.

Sebagai contoh, kita belajar agar menjadi orang yang cerdas, yang tidak jarang atas dasar dorongan dan desakan orangtua kita itu sendiri. Ketika kita telah menjadi cerdas, namun orangtua selalu merasa dirinya paling pandai dan kita selaku anak selalu bodoh dengan tidak pernah memberikan bobot kepada suara ataupun pendapat kita, itu sama artinya mendiskreditkan mentalitas seroang anak. Itulah saatnya, kita perlu menaruh perhatian dan hormat kepada diri kita sendiri, dan mengakui kekurangan orangtua kita tersebut, dalam rangka merawat dan mengasuh harga diri kita sendiri.

Ada beberapa jenis harga diri yang perlu kita ketahui. Harga diri ‘global’ (global self-esteem) merupakan sikap kita terhadap diri sendiri secara keseluruhan (sebagai pribadi yang utuh). Harga diri spesifik (specific self-esteem) merupakan sikap kita terhadap aspek-aspek tertentu pada diri kita, seperti prestasi di sekolah atau di tempat kerja, atau penampilan. Keduanya merupakan harga diri yang penting untuk dijaga agar Kita dapat merasa nyaman dengan diri sendiri. itulah, ada saatnya, kita perlu melepaskan diri kita dari kungkungan “ketiak” orangtua, dan belajar bersikap independen serta mandiri diatas kaki dan pikiran sendiri.

Selanjutnya ialah, harga diri adaptif (adaptive self-esteem) berkaitan dengan kejujuran kita pada diri sendiri. Harga diri ini membuat kita merasa jujur atau apa adanya, serta nyaman dengan diri sendiri. Sementara itu, harga diri maladaptif (maladaptive self-esteem) bersifat eksternal karena didapatkan dengan memenuhi standar-standar yang tidak sesuai dengan diri kita, atau dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, baik oleh diri kita sendiri ataupun dipaksakan oleh orangtua yang membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain ataupun terhadap anak versi espektasi sang orangtua.

Jika ibu bersikap egois, kita mungkin merasa harga diri kita rendah karena kita telah diajarkan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain atau dengan standar-standar yang sebenarnya tidak berarti bagi kita. Cobalah untuk mengubah kembali fokus kita untuk mencapai tujuan-tujuan, serta membangun karakter-karakter yang bermakna bagi kita (dan tidak dipaksakan oleh orang lain). Dengan begini, kita tidak akan begitu peduli terhadap apa yang orang lain, termasuk ibu kita, pikirkan tentang diri kita. Ada kalanya, kita bertanya dan mendengarkan kepada serta dari suara hati kita sendiri, bukan semata melulu apa pendapat atau kehendak orangtua kita yang belum tentu cocok dengan diri kita. Kita yang lebih tahu serta paham tentang diri kita sendiri.

Sebagai contoh, jika ibu selalu memberitahu bahwa kita perlu menurunkan berat badan, berolah-raga, dan tampil dengan penampilan lebih terawat serta atletis, bisa jadi Kita merasa harga diri kita rendah. Oleh karena itu, cobalah temukan apa yang berarti bagi kita, yang ada kalanya perlu kita cari sendiri bukan semata meminta pendapat dari orangtua. Jika kita ingin menurunkan berat badan agar merasa lebih bugar dan sehat, lakukanlah. Jika kita merasa bahwa kondisi fisik yang ada saat ini sudah tepat (atau menunjukkan siapa kita sebenarnya), berbanggalah dengan kondisi fisik kita. Tujuan yang harus kita capai adalah menerima diri sendiri disamping menetapkan standar-standar untuk diri sendiri, serta tidak membiarkan orang lain menetapkan standar mereka pada kita.

Sebagai contoh lain, jika kita memberitahu ibu bahwa kita mendapatkan kenaikan pangkat di tempat kerja, sementara ibu menanggapinya secara sinis dan berkata bahwa pekerjaan kita tersebut tidak bisa dibanggakan, pikirkan tentang motifnya untuk mengatakan hal seburuk itu, serta apakah ibu kita tersebut memiliki “basic manners” seorang atau selayaknya orangtua? Selain itu, pikirkan apa arti performa kerja yang baik bagi kita, dan diri kita sendiri. Ibu kita bisa jadi tidak memiliki pandangan atau pendapat yang sama dengan kita mengenai pekerjaan kita dan dampak yang bisa kita berikan. Ingatlah bahwa kita sendiri-lah yang paling memahami hidup kita, bukan ibu yang sekalipun telah melahirkan diri kita.

Sokonglah Diri Kita Sendiri

Jika Kita mampu lebih banyak menyokong diri sendiri daripada terus menerus bergantung pada ibu, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh keegoisan ibu kita (dan dapat menghadapinya dengan lebih baik, karena kepercayaan diri kita mendapat sokongan dari berbagai keberdayaan hidup kita yang telah berhasil dicapai). Belajarlah secara otodidak dan berjuanglah secara “bergerilya” agar dapat hidup mandiri dan independen sebagai pribadi yang soliter, sekalipun orangtua kita sama sekali tidak pernah mengajarkan kita keterampilan dasar hidup, serta tanpa perlu mengemis-ngemis dari mereka untuk diberikan bekal keterampilan itu. Kelak, kita akan merasa bersyukur, bahwa tidak banyak hutang budi kita terhadap mereka untuk “dibayarkan” kembali, karena orangtua kita belum tuntas dalam tugasnya membimbing dan memberikan bekal keterampilan dasar sebagai modal hidup.

Kita juga akan menyadari bahwa hubungan kita dengan orangtua menjadi layaknya hubungan antara orang-orang dewasa karena kemandirian dan kedewasaan kita pun berkembang—sekalipun orangtua tetap memperlakukan kita sebagai seorang anak-anak yang pendapatnya kurang dihargai dan tidak didengarkan. Keegoisan ibu kita tidak akan terlalu mengganggu dan hal tersebut tentunya membantu kita dalam menghadapi hubungan dengan ibu. Kita dapat menyokong diri sendiri dalam berbagai cara. Mulailah dengan berusaha untuk lebih sering membuat keputusan sendiri. Kita akan menyadari bahwa selama ini sebetulnya dapat membuat keputusan sendiri; hanya saja selama ini kita tidak pernah mengambil kesempatan tersebut, dan inilah saatnya untuk memulai sesuatu hal baru, yakni menjadi mandiri dan berdaya, independen.

Cara lain untuk menyokong diri sendiri adalah dengan berusaha memenuhi kebutuhan sendiri, agar setidaknya “self esteem” sang anak dapat mendapatkan tempat untuk berlindung dari gempuran “parent bullying”. Memenuhi kebutuhan diri, terutama belajar untuk menenangkan diri sendiri, dapat mendorong untuk tidak banyak bergantung pada ibu. Mulai untuk belajar hidup mandiri, adalah langkah awal membangun kepercayaan diri serta harga diri seorang anak.

Cobalah untuk identifikasi dengan melakukan pengamatan pribadi mengenani hal-hal yang bisa membuat kita tenang atau bahagia. Sebagai contoh, kita mungkin merasa sangat tenang ketika melakukan aktivitas tertentu seperti menulis. Jika kita mulai merasa kesal atau marah ketika terpicu oleh perilaku orangtua kita, kenali dan terima kekesalan atau kemarahan tersebut dan tangani dengan melakukan hal-hal yang kita tahu betul dapat membuat kita lebih tenang.

Manjakan Diri Kita di saat Kita Membutuhkannya

Sebenarnya mudah saja untuk mengetahui apakah orangtua kita tergolong pribadi yang egoistik atau tidaknya. Ketika orangtua kita tidak pernah menghargai betapa pun besarnya pengorbanan hidup yang kita berikan, serta tidak pernah ingin mengetahui masalah yang kita miliki, cenderung menghakimi tanpa pernah mau memahami diri kita, tidak menghormati suara dan aspirasi kita, maka itulah pertanda kita memiliki orangtua yang egois, dan kita mulai perlu memberanikan diri untuk mengakui dan menyadari kondisi realita yang pahit ini.

Jika kita memiliki ibu yang bersikap egois dan tidak mencurahkan cukup kasih sayang pada kita, maka “daripada menyalahkan kegelapan, lebih baik kita mulai menghidupkan pelita” dengan menunjukkan kasih sayang pada diri sendiri serta hadir saat kita benar-benar memerlukan diri kita sendiri dan hanya untuk diri kita sendiri seorang seperti pergi menyendiri, pergi bertamasya, pergi retret, pergi menonton di bioskop, dsb. Kita perlu belajar untuk bisa membuat diri kita dapat kita andalkan oleh diri kita sendiri, tanpa perlu lagi menaruh spekulasi ke tangan orang lain.

Cobalah sesekali menonton film di sinema atau makan di restoran yang kelihatannya menarik. Penting juga untuk tidak lupa memanjakan diri kita dengan perawatan tubuh, atau tenggelam dalam hobi produktif kita. Meski demikian, pastikan setiap dari kita tidak menjadikan hal-hal yang berbau materi, aktivitas yang tidak sehat, ataupun pergaulan yang negatif sebagai pengganti kasih sayang yang tidak pernah kita dapatkan di rumah dan di keluarga. Jika kita sampai bergantung pada hal-hal materi sebagai bentuk kasih sayang, dikhawatirkan akan kontraproduktif bagi orientasi kita perihal masa depan.

Ketika Kebaikan Hati Anak Justru Menjadi Bumerang bagi Kepentingan dan Kebaikan Sang Anak, Itulah Pertanda Ibu yang Egoistik, Mulailah Jaga Jarak

Ciri mudah kita berhadapan dengan seseorang yang egois, ialah ketika kebaikan hati kita justru menjadi bumerang bagi kebaikan diri kita. Dapat pula kita artikan, yang kita berikan kebaikan hati ialah orang yang egois. Lebih baik kebaikan hati kita salurkan kepada diri kita sendiri yang saat kini lebih membutuhkannya, agar kebaikan hati kita “tidak salah alamat”. Sang Buddha pernah mengajarkan, “kebaikan hati yang sehat dan baik” sifatnya ialah tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri kita sendiri.

Ketika kebaikan hati kita sebagai seorang anak yang ingin sekali berbakti (anak mana, yang tidak ingin berbakti pada orangtuanya?), namun kebaikan hati seorang anak justru menjadi bumerang bagi kepentingan sang anak, itulah “early warning” bagi kita untuk menyadari dan mengakui bahwa orangtua kita bukanlah sosok orang yang baik maupun ideal terhadap anak kandungnya sendiri. Mulailah untuk membangun “jarak” (baik dari segi fisik maupun komunikasi) antara kita dengannya, dan disaat bersamaan kita mulai belajar untuk mendekatkan diri kita dengan diri kita sendiri. Ingatlah, bahwa kita pun punya tanggung-jawab terhadap diri dan masa depan kita sendiri yang masih panjang untuk ditempuh oleh diri kita. Orangtua kita akan meninggal dunia dengan atau tanpa diri kita, begitupula sebaliknya, kita akan meninggal dunia kelak dengan atau tanpa orangtua kita.

Seorang tokoh pernah membagi dua jenis karakter pribadi manusia, yakni bertipe “matahari” dan bertipe “blackhole”. Manusia yang menyerupai “matahari”, memancarkan kehangatan serta sinar mentari bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Alhasil, setiap orang merasa nyaman berada di dekatnya. Sementara itu orang-orang bertipe “blackhole” justru menghisap dan menyerap energi kehidupan orang-orang yang berada di dekatnya tanpa pernah mengenal kata terpuaskan. Mungkin perih dan sedih, sebagai seorang anak kita mendapati kenyataan pahit bahwa orangtua kita belum tentu bertipe “matahari” bagi anak-anaknya, justru sebaliknya.

Ajahn Brahm membuat analogi yang cukup serupa, terdapat orang-orang dengan “duri tidak kasat mata” yang menyembul keluar dari sekujur tubuhnya, namun masing-masing individu terbagi menjadi varian orang dengan “duri” yang panjang dan tajam, “duri” yang pendek meski tajam, serta orang dengan “duri” yang tumpul serta sangat pendek. Ketika kita berjumpa dengan seseorang dengan “duri” yang tajam dan panjang, kita akan selalu merasa disakiti dan tersakiti ketika berada di dekatnya, dan terluka karena “tertusuk” akibat berdekatan dengan sang pemilik “duri”.

Menjauhlah dari ibu Kita

Langkah berikut mungkin terdengar radikal, namun kita perlu tetap membuka diri bagi opsi berikut. Jika ia tidak mau mendengarkan kita atau mengubah hal-hal yang membuat kita terluka dan kesal, sebisa mungkin lakukan apa yang dapat dilakukan untuk menjauhkan diri dari pengaruhnya. Cobalah untuk tidak terlalu banyak bergantung pada ibu kita; jika ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, tentunya kita tidak dapat bergantung atau bersandar padanya. Meskipun pada awalnya terdengar sulit, seiring berjalannya waktu dan ke depannya kita akan merasa lebih baik bahkan mulai berhasil belajar untuk hidup mandiri dan memiliki masa depan serta menjadi berdaya karena berhasil mengambil-alih tanggung-jawab hidup kita sendiri. Lebih baik “suka dan duka” oleh serta untuk diri kita seorang diri, daripada harus menanggung “duka dan duka” berbagai beban yang ditimpakan oleh orangtua kita.

Jika saat kini kita tidak lagi tinggal bersama ibu, cobalah batasi hubungan kita dengannya (semisal, kunjungi ibu kita hanya pada acara tertentu atau perkumpulan keluarga saja). Jangan terjebak dalam perasaan bersalah jika kita menjauhkan diri dari ibu, karena kita telah yakin seyakin-yakinnya bahwa ia selama bersikap egois yang karenanya merupakan “ibu bertipe egoistik), terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, atau narsistik, serta tidak dapat (atau tidak mau) berubah.

Meskipun perasaan bersalah bisa mendorong kita untuk memperbaiki hubungan, perlu diingat bahwa ada hubungan-hubungan, bahkan hubungan dengan ibu sendiri, yang terkadang tidak layak untuk diperbaiki karena memaksakan diri bisa jadi tidak sehat bagi kondisi mental kita sendiri. Dapat kita artikan, sangat penting untuk menilai situasi yang dihadapi secara jujur, objektif, dan akurat, serta memahami bahwa keegoisan sosok seorang ibu yang kita miliki dapat mengganggu kesehatan kita (terutama secara mental yang pada gilirannya berimbas secara fisik karena ada saling keterkaitan antara batiniah dan lahiriah).

Ketika kita justru menjadi tenggelam dalam depersi dibawah kungkungan bayang-bayang sang ibu yang diktator, sebagai contoh, kita akan cenderung menjadi pribadi yang tidak produktif yang mana cepat atau lambat kita akan terdorong untuk merusak diri kita sendiri karena kita tidak bahagia serta membenci kehidupan ini serta kondisi yang dialami oleh diri kita sendiri. Percayalah, ketika kita benar-benar mencoba merusak dan menyakiti diri, ibu kita yang egoistik tersebut tidak akan bertanggung-jawab—jangankan bertanggung jawab, mau tahu pun tidak.

Pahami, terdapat perbedaan prinsipil antara seorang anak yang meninggalkan orangtuanya, dan orangtua yang “mengusir” anaknya lewat perilaku yang tidak patut terhadap anak-anaknya. Jika kita “diusir” oleh sikap orangtua yang tidak adil dan tidak pantas terhadap kita sebagai anak, maka orangtua kita itu sendiri yang membuat diri mereka ditelantarkan oleh sang anak dan sekaligus menyia-nyiakan seorang anak yang berbakti. Ingat, sekali lagi, tidak ada anak yang tidak ingin menjadi anak yang berbakti. Yang seringkali ada ialah, anak yang “diusir” dan “terusir” dari keluarganya. Orangtua ingin hidup bahagia, anak pun ingin dan berhak untuk hidup berbahagia atas hidupnya sendiri. Seorang anak bukan dilahirkan untuk memuaskan “ego” milik orangtua. Seorang anak, terlahir ke dunia ini untuk menjalankan visi dan misi hidupnya sendiri, tanggung-jawab atas hidupnya sendiri, masalah hidupnya sendiri, serta suka dan duka hidupnya sendiri.

Menghadapi Ibu

Perlu diingat bahwa sangat sulit untuk mengubah perilaku dan pola pikir seseorang, terutama jika ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri atau bersikap narsistik. Jika ia pernah ditelantarkan ketika masih kecil, ia mungkin merasa tidak aman dalam menjalani hubungannya dengan orang lain dan inilah yang bisa membentuk kepribadian yang egois atau terlalu peduli pada diri sendiri. Jika kita mau memahami kondisi atau situasi yang ia hadapi, kita dapat mengubah pikiran tentang keegoisannya; jika tidak, setidaknya kita memiliki gambaran mengenai cara menghadapinya jika sewaktu-waktu kita harus berhadapan dengannya.

Sebagai contoh, jika kita merasa ia bersikap egois karena ia ditelantarkan ketika masih kecil, kita dapat mengingatkannya bahwa kita juga merasa ditelantarkan dan mengajaknya bekerja sama untuk memutuskan ‘belenggu’ tersebut dengan memperbaiki hubungan dan tidak membiarkan orang tua dari ibu kita dan masa lalunya menentukan masa depan yang sama untuk kita.

Berfokuslah pada perilakunya, bukan karakternya. Daripada mengatakan “Ibu egois!”, ubahlah keluhan kita menjadi, misalnya, “Kurasa terkadang ibu bersikap egois karena ______”. Kalimat tersebut menekankan perilaku tertentu yang ibu tunjukkan dan menahan kita untuk tidak menghakimi karakternya secara langsung dan general. Menghakimi karakternya hanya akan membuatnya bersikap defensif dan semakin kesal. Jika kita menegaskan tindakan tertentu yang ia lakukan, ia akan dengan lebih mudah memahami bahwa selama ini ia telah bersikap tidak baik. Menyebutnya egois tidak akan memberinya gambaran mengenai hal-hal yang perlu diubah secara spesifik.

Gunakan pernyataan dengan pronomina “Aku”. Dengan berkata “Ibu egois!” atau “Ibu bukanlah ibu yang baik!” hanya akan membuatnya bersikap defensif. Jika kita mencetuskan pernyataan dengan pronomina “Ibu”, kemungkinan ia akan menutup diri dan merasa diserang, bahkan jika ia sebetulnya mau mendengarkan keluhan kita. Oleh karena itu, gunakan pernyataan dengan pronomina “Aku” untuk tetap berfokus pada apa yang kita rasakan sebagai template gaya berkomunikasi. Patut diketahui, kita tidak bisa mengetahui begitu saja maksud ibu, namun setidaknya kita mengetahui persis dan lebih akurat mengetani apa yang dirasakan oleh diri kita sendiri.

Sebagai ilustrasi, daripada mengatakan “Ibu bersikap egois dan tidak pengertian”, gunakan pernyataan yang spesifik menggunakan pronomina “Aku”: “Aku merasa diabaikan ketika ibu sepanjang hari mengajakku berbicara tentang kehidupan ibu, atau mengulang-ulanginya setiap waktu. Aku akan merasa lebih dihargai jika ibu mau bertanya tentang kehidupanku maupun masalahku ataupun pendapatku secara sejujurnya dan menghargai suara ataupun kehendakku.”

Seyogianya menghindari pernyataan yang mencerminkan “keharusan”, seperti “Ibu harus lebih sering mendengarkanku” atau “Ibu harusnya menjadi ibu yang lebih baik”. Tetaplah berfokus pada subjek diri kita sendiri dan apa yang kita rasakan: “Aku tidak merasa didengarkan ketika ibu menyepelekan masalahku” atau “Aku kesal ketika ibu tidak mengakui pencapaianku” atau “Aku merasa dihakimi karena tidak mau mendengarkan ataupun memahami sudut pandangku.”

    Hindari pernyataan-pernyataan yang bersifat hiperbola atau berlebihan. Jika ibu Kita bersikap egois, mungkin kita merasa bahwa ia adalah orang yang paling egois di dunia dan telah menghancurkan kehidupan kita. Hiperbola demikian, membuat suara dan aspirasi kita tenggelam reputasinya di mata orang lain maupun orangtua kita, terkesan irasional sekalipun ada beberapa derajat diantaranya adalah benar adanya, sehingga tidak tepat sasaran. Meskipun hal tersebut terasa benar, kita akan lebih berhasil membicarakan masalah yang ada dengannya jika kita menghindari penggunaan bahasa yang bersifat hiperbola atau terlalu emosional.

Sebagai contoh, hindari pernyataan-pernyataan seperti “Keegoisain ibu menghancurkan hidupku!” Sebaliknya, gunakan pernyataan-pernyataan yang lebih tenang dan berimbang, seperti “Aku kesulitan bergaul dan bertemu dengan teman-temanku jika ibu tidak mengizinkanku dengan bebas menggunakan waktu luang-ku, bahkan di akhir pekan.” Fakta atau masalah yang dihadapi tetap sama, namun pernyataan kedua (yang bernada lebih tenang) tidak terkesan menghakimi atau menyalahkan ibu, sehingga tanggapan yang bisa kita dapatkan mungkin lebih baik.

Tekankan Kebutuhan Kita ketika Menyuarakan Aspirasi Diri

Keegoisan ibu mungkin didorong oleh kurangnya kesadaran terhadap kebutuhan kita. Ada kemungkinan ia mau berubah; ia hanya tidak menyadari perilakunya selama ini yang terlampau posesif terhadap anak seolah-olah anak adalah “properti kepemilikan” orangtuanya, sehingga tidak membiarkan anak untuk memiliki hidupnya sendiri ataupun memberikannya kesempatan serta peluang untuk memiliki hidupnya sendiri. Beritahu ibu tentang apa yang dibutuhkan dalam hubungan kita dengannya, kecemasan kita, harapan kita, dan berfokuslah pada hal-hal yang tidak dapat kita lakukan tanpa hal-hal tersebut. Sebagai contoh, kita mungkin ingin ibu mendengarkan kita, atau berharap ibu dapat lebih mendukung dan menyemangati kita, atau tidak terlalu kritis dan menghakimi kita secara berlebihan seolah-olah anak yang telah dewasa sekalipun tetap dipandang sebagai anak kecil yang “lebih bodoh” dari orangtuanya. Kita juga mungkin ingin agar ibu berhenti meminta kita melakukan semua yang ia inginkan demi kepentingan dirinya sendiri.

Ketika memberitahu kebutuhan kita (bukan hanya kebutuhan sang ibu), beritahu juga hal-hal lain yang kita harapkan dari hubungan antara kita dan beliau, yang tidak harus menjadi fokus untuk saat ini. Dengan cara demikian, ia tahu bahwa kita mau berkompromi dan tetap berpikiran rasional untuk tidak memintanya segera menunjukkan perubahan secara “radikal-revolusioner”, sesuai dengan yang kita harapkan.

Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Bu, aku ingin mendapatkan dukungan dan perhatian dari ibu. Aku merasa tersinggung ketika ibu tidak mengakui pencapaian yang kudapatkan dan tidak mau mendengarkan perkataanku. Aku ingin ibu meluangkan waktu setiap minggu untuk mendengarkan tentang kehidupanku, harapanku, kekecewaanku, masalahku, maupun pendapatku, bukan semata tentang diri dan kehidupan ibu.”

Tetapkan Batasan

Jika keegoisan ibu sampai pada taraf melampaui garis batas tolerir, sehingga membuat benar-benar kita terganggu atau bahkan menyakiti diri kita bila terus dibiarkan, misalnya dengan berkunjung ke kediaman kita tanpa memberitahu terlebih dahulu (katakanlah kita sedang tidak ingin dikunjungi olehnya ketika telah menetap di kediaman berbeda), atau dengan tidak memberikan kita privasi saat kita tinggal bersamanya, beritahu ia bahwa hal tersebut tidak pantas. Beritahu ia bahwa perilakunya sangat mengesalkan dan tidak bisa diterima. Mulailah dengan menetapkan batasan-batasan yang kecil. Trik yang dapat kita ikuti adalah dengan menetapkan batasan-batasan yang kecil terlebih dahulu. Setelah itu, lanjutkan dengan batasan-batasan yang lebih besar jika ibu sudah terbiasa dengan batasan-batasan yang kecil dan menunjukkan gelagat bersedia untuk berkompromi.

Sebagai contoh, jika ibu berkunjung ke rumah kita hampir setiap malam tanpa memberitahu terlebih dahulu, dan merasa marah atau tersinggung ketika kita sedang sibuk mengerjakan sesuatu, cobalah tetapkan batasan kecil dengan memintanya untuk mengabari kita terlebih dahulu sebelum berkunjung. Pada tahap selanjutnya, kita mulai dapat mencoba menetapkan batasan yang lebih besar dengan berkata bahwa kita juga ingin meluangkan waktu dengannya, namun ia perlu mengabari terlebih dahulu sebelum datang berkunjung dan ia hanya dapat mengunjungi kediaman kita pada hari Sabtu.

Jangan serahkan seluruh kendali atas hidup kita kepada orang lain, termasuk kepada orangtua kita, seolah-olah kita tidak memiliki tanggung-jawab serta tidak harus memikul konsekuensi atas kehidupan kita sendiri. Pahami juga, keinginan seorang ibu untuk meluangkan waktu atau melakukan aktivitas bersama kita tidak lantas berarti bahwa ia bersikap egois. Hal tersebut menjadi menjadi sebentuk “keegoisan yang lebih kasar”, jika ia enggan menerima maupun untuk mengakui kebutuhan dan keinginan kita ketika kita membicarakan hal-hal tersebut dengannya.

Berbicaralah dengan Tegas

Beritahu ia bahwa kita serius ketika berbicara mengenainya dan keegoisannya agar ia dapat memahami dengan lebih baik seberapa serius situasi yang sebenarnya dihadapi. Komunikasi asertif atau tegas tidak sama dengan komunikasi agresif. Ketika berkomunikasi secara tegas, Kita menjelaskan perasaan, pikiran, dan pandangan kita secara terbuka dan terus terang, sambil tetap menghargai kebutuhan dan sudut pandang orang lain. untuk itu, hindari betul jenis kalimat pernyataan yang kurang tegas, seperti : “Bu, terkadang ibu melakukan hal-hal yang lebih berfokus pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Mungkin aku salah, tetapi aku melihatnya seperti itu. Bisakah kita membicarakan mengenai hal itu kapan-kapan bila ibu ada waktu?

Alih-alih memakai jenis ragam bahasa yang “tidak langsung” (tidak “to the point” serta tidak ambigu yang membias), cobalah untuk bersikap lebih tegas dengan mengatakan, misalnya, “Bu, aku merasa tersinggung jika ibu terus menuntutku, bahkan ketika aku sudah memiliki rencana lain. Aku ingin membicarakan masalah ini dengan ibu. Kurasa hubungan kita bisa lebih baik dari hubungan saat ini. Aku mau berusaha jika ibu pun mau berusaha.”

Tegas, artinya konsisten di awal, di tengah, dan di bagian akhir dalam sebuah dialog. Jangan sampai kita bersikap tidak tegas dengan mengubah pikiran kita sebelum bicara. Hindari pikiran-pikiran seperti “Aku harus tetap diam karena aku tidak ingin membebani ibu dengan pikiranku” atau “Akan memalukan atau konyol jika aku mengatakan apa yang kupikirkan dan yang kukehendaki”. Sebaliknya, pikirkan dan temukan kalimat-kalimat yang lebih tegas, seperti : “Aku berhak untuk tidak menyetujui pendapat ibu”, atau seperti “Aku punya kebebasan serta hak untuk menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan-ku serta hak untuk mengutarakan pendapatku sendiri.”

Sebagai solusi alternatif : Cobalah ikuti sesi konseling keluarga. Terkadang, masalah keluarga terlalu sulit untuk diselesaikan seorang diri dan akan lebih mudah, efisien, produktif, dan membantu ketika kita mendapatkan bantuan pihak luar untuk menangani masalah yang ada, semisal seorang psikolog klinis yang berpraktik. Jika Kita ingin mengikuti konseling keluarga, angkat topik dengan menyebutkan bahwa keluarga Kita mengalami masalah hubungan yang perlu diperbaiki. Jangan menyalahkan atau menekannya segalanya pada ibu Kita.

Berikan Ancaman untuk Menjauh dari Ibu

Orang-orang yang egois sering kali lupa bahwa hubungan tidak selalu bersifat permanen. Hubungan, apa pun bentuknya, melibatkan keinginan untuk memberi dan menerima (adanya timbal-balik), terutama antara orangtua dan anak harus saling tumbuh kerelaan untuk bertimbal-balik, sebuah relasi yang “profesional”. Jika ibu bersikap egois, beritahu ia tentang perlakuan-perlakuannya yang tidak kita sukai, serta ingatkan ia bahwa jika ia tidak mau berubah, kita tidak mau lagi berada di dekatnya atau memperlakukannya sebagai seorang ibu.

“Ancaman” seperti seperti tersebut di atas, akan lebih efektif diberikan jika kita sudah dewasa dan sudah memiliki rumah kediaman milik kita seorang diri, atau setidaknya mulai memiliki kemampuan untuk hidup mandiri di luar rumah keluarga. Namun demikian, pahami bahwa menurut budaya masyarakat di Indonesia, ancaman seperti demikian bisa jadi dianggap tabu. Jika kita menunjukkan ancaman seperti itu, semata karena tiada alternatif lain sebagai solusi memecahkan hubungan yang “timpang sebelah”, ada kemungkinan ibu akan menganggap kita sebagai sesosok anak yang “durhaka”.

Putuskan Hubungan Kita Dengan Ibu Dan Lanjutkan Hidup Kita.

Ketika “permainan” menjadi tidak lagi saling bersikap adil terhadap “aturan main” (yang artinya terdapat sebentuk derajat “mau menang sendiri” oleh salah satu pihak yang menjadi “pemain”), maka “permainan” perlu segera diakhiri sesegera mungkin karena tidak lagi sehat. Jika kita memandang ini sebagai sebuah pilihan, pastikan kita hanya menggunakan pilihan ini sebagai pilihan terakhir. Terkadang, kita tidak dapat menyelamatkan hubungan, bahkan dengan ibu kita sendiri, peluang mana tetap perlu kita buka ruangnya di dalam hati kita sebagai relung paling akhir untuk mencari perlindungan mental ketika menjumpai tekanan dari sesosok orangtua. Ingatlah hal tersebut ketika kita sedang menghadapi situasi sulit yang sedang dihadapi terkait sikap orangtua yang tidak dapat lagi kita berikan kompromi ataupun kompromi ternyata tidak juga membawa “kemenangan” bagi seluruh pihak.

Jika kita tinggal di rumah bersama orangtua dan tidak memiliki dana atau modal untuk tinggal di rumah milik sendiri, berfokuslah untuk membuat rencana untuk tinggal di kediaman milik sendiri atau meningkatkan prestasi kita di sekolah atau di tempat kerja daripada membiarkan ibu membuat kita terus mengalami tekanan batin. Dengan langkah strategis demikian, ketika kita sudah siap, kita sudah berada pada kondisi yang memungkinkan kita untuk menjauh dari situasi negatif yang sedang dihadapi (dalam hal ini, semakin mendekatkan diri kita pada kemampuan hidup mandiri).

Jika kita adalah orangtua dan sudah berkeluarga, maka kita perlu membuat pilihan serta keputusan secara berani dan “radikal”, yakni putuskan hubungan kita dengan ibu dan berfokuslah untuk menjadi orangtua yang penuh perhatian pada anak-anak kita. Lebih baik kita menjadi orangtua yang baik bagi putera-puteri kita, daripada gagal sebagai anak maupun sebagai orangtua. Ubahlah hal-hal negatif yang ibu kita berikan menjadi hal-hal positif untuk diberikan pada anak-anak kita, berdasarkan pengalaman kita sebagai seorang anak ingin diperlakukan sebagaimana oleh orangtua kita.

Jangan Tahan Diri Kita untuk Tidak Bersedih.

Ketika kita meninjau situasi dan merasa bahwa hubungan kita dengan ibu telah berakhir atau mati, berikan diri Kita waktu untuk memproses hal tersebut serta membuat keputusan. Kehilangan sosok seorang ibu karena keegoisan, sikap yang terlalu mementingkan diri sendiri, dan narsisismenya adalah hal yang sangat perih dan menyedihkan untuk diakui. Tidak perlu menyangkal diri bahwa realita ini adalah masalah yang serius; sebaliknya, biarkan diri kita merasakan prihatin, lalu berfokuslah untuk menciptakan perubahan berbasis tujuan yang dapat dilakukan, serta perbaikan situasi dan perasaan Kita. Mulai tumbuhkan empati dari diri kita kepada diri kita sendiri, sebetapa pun kita tidak pernah mendapatkan cinta kasih dari orangtua.

TIPS :

- Jangan biarkan ibu kita menentukan harga diri kita.

- Dapatkan dukungan sosial dari teman-teman dan anggota keluarga yang lain, atau orang-orang yang juga memiliki ibu yang bersikap egois.

- Perhatikan tanda-tanda adanya manipulasi psikologis yang ditunjukkan oleh ibu sebagai “early warning”. Tanyakan pada diri sendiri apakah pikiran dan perasaannya yang tercermin dalam percakapan dengan kita adalah bersifat tulus, serta percayalah pada naluri kita dengan cara bersikap jujur terhadap kata hati kita, perihal ibu kita.

- Untuk hidup secara mandiri seorang diri secara bebas, ialah dalam rangka menempuh hidup yang lebih sehat dan bahagia. Hidup secara lebih sehat dan lebih bahagia, adalah lebih baik dari sebuah kondisi hidup yang tidak normal dan tidak sehat bagi kondisi mental dan fisik kita dengan memaksakan diri hidup dibawah kungkungan dan rongrongan orangtua yang tidak pengertian terhadap kondisi maupun masalah yang dihadapi seorang anak. Karenanya, pilihan tersebut, untuk hidup bebas dan mandiri, tetap merupakan salah satu opsi paling bijak yang terbuka bagi kita untuk dipilih serta ditempuh. Mengorbankan diri dan kebahagiaan kita sendiri tanpa batasan, bukanlah sebuah opsi, karena itu bukanlah tergolong definisi “perbuatan baik” yang patut untuk ditiru, mengingat hal tersebut hanya merugikan dan menyakiti diri kita sendiri.

Rambu-rambu : Perdebatan atau diskusi yang terlalu memanas bisa mendorong seseorang untuk bersikap kasar, atau memicu kekerasan di masa mendatang. Oleh karena itu, ketahuilah kapan Kita harus menghentikan atau meninggalkan perdebatan yang berlangsung. Selain itu, hindari kekerasan fisik dan psikologis. Pilihan selanjutnya, apakah hubungan akan tetap dilangsungkan atau terpaksa harus diputus dan kita mulai menjalankan hidup kita sendiri.

Ulasan di atas diterbitkan oleh WIKIHOW dengan beberapa adaptasi redaksional oleh penulis, disusun oleh Trudi Griffin dengan sumber referensi antara lain dari : http:// www. angriesout .com/grown17.htm, https:// www. psychologytoday .com/blog/ambigamy/201311/selfishness-10-myths-you-may-be-relieved-debunk, https:// www. psychologytoday .com/blog/cui-bono/201501/good-neutral-and-bad-selfishness, https:// www. psychologytoday .com/blog/the-intelligent-divorce/201311/the-narcissistic-mother, https:// www. psychologytoday .com/blog/cui-bono/201501/good-neutral-and-bad-selfishness, https:// www. psychologytoday .com/blog/the-squeaky-wheel/201305/7-ways-get-out-guilt-trips, https:// www. psychologytoday .com/blog/the-intelligent-divorce/201311/the-narcissistic-mother, https:// www. psychologytoday .com/blog/the-intelligent-divorce/201311/the-narcissistic-mother, https:// www. psychologytoday .com/blog/the-squeaky-wheel/201305/7-ways-get-out-guilt-trips

Gill Hasson, secara relavan dalam bukunya “POSITIVE THINKING : Find Happiness and Achieve Your Goals Through the Power of Positive Thought” (Menemukan kebahagiaan dan Meraih Impian Melalui Pemikiran Positif), Penerjemah : Agnes Cynthia, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua 2019, Jakarta, menuliskan sebagai berikut yang dapat lebih menguatkan hati kalangan anak yang tertindas oleh orangtuanya sendiri ataupun oleh orang-orang terdekatnya.

PERUNDUNGAN DAN PELECEHAN.

Akan tetapi, menemukan hal positif dibalik sebuah kemalangan, bukan berarti Anda harus menanggung situasi yang buruk, berisiko, atau merugikan hanya supaya bisa menemukan suatu aspek positif darinya.

Jika Anda berada dalam sebuah hubungan atau pertemanan dimana Anda semakin lama menjadi semakin tidak bahagia dan sengsara, jika Anda ditindas atau bahkan dilecehkan oleh seorang kolega, anggota keluarga, atau tetangga, Anda tidak dapat menggunakan pikiran positif sebagai alasan untuk tetap tinggal dalam sebuah situasi yang buruk.

Anda mungkin saja, misalnya, tinggal dalam sebuah hubungan yang diwarnai aniaya karena Anda beralasan bahwa kendati situasinya buruk, hal inilah yang benar untuk dilakukan demi anak-anak; mereka akan lebih baik datang dari keluarga yang utuh daripada keluarga yang bercerai dan setidaknya ada dua penghasilan yang masuk. Atau, barangkali Anda meyakinkan diri sendiri bahwa aspek positifnya adalah pasangan Anda tidak selamanya buruk—pada umumnya dia baik dan menyenangkan dan Anda berdua rukun-rukun saja.

Hal itu bukanlah pemikiran positif, melainkan pemikiran yang delusional. Pemikiran positif tidak berarti mengabaikan kesulitan yang benar-benar ada. Jika seseorang terus-menerus menyusahkan, mendominasi, atau mengintimidasi Anda, seseorang terus-terusan memaksa dan mengancam Anda, mengkritik atau mempermalukan Anda, menjajah Anda atau memberikan komentar-komentar yang melecehkan dan menghina Anda, Anda harus melakukan sesuatu. Orang itu tidak akan pergi menjauh!

Ubah perspektif Anda; gunakan pikiran positif untuk memikirkan hal-hal baik apa saja yang bisa terjadi jika Anda melakukan apa yang Anda ketahui sebagai hal yang benar, dan hal itu berarti keluar dari hubungan tersebut.

Pandanglah bahwa meninggalkan seorang penindas atau orang yang suka menganiaya merupakan tujuan utama. Tujuan utama yang sangat mendesak.

ORANG-ORANG POSITIF.

Tetap membisu dan tidak memberi tahu siapa pun, hanya akan mengisolasi Anda selagi disaat yang bersamaan memperkuat si penindas atau penganiaya tersebut. Jadi, Anda harus mencari pertolongan dan dukungan. Jangan takut melakukannya. Ada orang-orang yang bisa memberi Anda dukungan dan nasihat, khususnya jika mereka pernah ada dalam situasi serupa. Ada berbagai perkumpulan yang mengkhususkan diri dalam mendukung orang-orang yang mengalami perundungan atau aniaya.

Selain mencari pertolongan, dukungan dan nasihat, Anda perlu pergi dari situ secepat mungkin; tinggalkan pekerjaan dan hubungan itu. Berjalan pergi adalah hal terbaik yang perlu dilakukan, karena dengan melakukannya Anda menempatkan diri dalam posisi positif: seseorang yang memegang kendali. Anda merenggut kembali peluang bagi sang penindas atau penganiaya untuk untuk melanjutkan perilaku mereka.

Tentu saja, Anda mungkin harus pergi meninggalkan pekerjaan yang bagus, stabilitas keuangan, rumah yang nyaman, dan lainnya, tetapi berfokuslah pada hal-hal positifnya; bahwa Anda telah meninggalkan si penindas atau penganiaya itu. Sesudah itu, Anda dapat mencurahkan energi untuk mencari pekerjaan baru atau tempat tinggal yang baru ketimbang menghabiskan energi untuk mencoba memuaskan, memenangkan, atau menghindari si penindas atau penganiaya tersebut.

Anda memang bisa memilih cara Anda untuk menanggapinya. Berpikirlah secara positif; pikirkan cara untuk membuat diri Anda tetap aman dan waras serta melangkah maju menuju hidup yang lebih baik.

KEBERANIAN.

Anda akan membutuhkan keberanian. Keberanian akan lebih terasa seperti rasa takut. Namun, keberanian adalah kemampuan untuk menghadapi kesukaran, kendati ada rasa takut dan khawatir. Keberanian memberi Anda kemampuan untuk melakukan sesuatu yang membuat Anda ‘ngeri’. Hal itu adalah kekuatan untuk menghadapi permusuhan atau intimidasi.

Entah itu meninggalkan pekerjaan atau hubungan Anda, berdiri bagi diri sendiri atau orang lain, berbicara atau tampil di depan umum, keberanianlah yang membantu Anda untuk melangkah maju.

Berpikir positif adalah sifat yang melekat pada keberanian, suatu aspek yang tidak terpisahkan dari keberanian itu sendiri. Hal ini soal berpikir “Aku bisa melakukannya” atau “Aku akan melakukannya” dan “Aku bisa mengatasinya dan aku bisa melewatinya”.

Jangan beranggapan bahwa Anda tidak bisa bersikap berani karena Anda tidak merasa demikian. Keberanian sering kali mengharuskan agar Anda berpura-pura “seolah-olah” Anda percaya diri, tidak perduli seperti apa perasaan Anda yang sesungguhnya. Hal itu berarti mereka takut, tetapi toh tetap melakukannya. Hal itu merupakan proses yang berkembang secara eksponensial—Anda hanya perlu memulai prosesnya; mulailah berpura-pura berani, mulailah dengan satu langkah kecil dan keberanian Anda akan lambat laun akan bertambah.

Manfaatkan keberanian Anda ataupun keberanian yang Anda kumpulkan. Pikirkanlah sebuah situasi saat Anda merasa takut, tetapi tetap menghadapi rasa takut Anda dan mengambil tindakan dan ternyata semuanya pada akhirnya berjalan lancar. Apa yang membantu? Sekarang, pikirkan sebuah situasi yang saat itu sedang Anda hadapi, yang membuat Anda takut atau merasa cemas. Apa yang paling Anda takutkan?

Ingatkan diri Anda bahwa Anda pernah bertindak berani sebelumnya dan Anda bisa mengumpulkan keberanian lagi, itulah cara berpikir yang positif!

Berfokuslah pada alasan mengapa Anda melakukan sesuatu dan apa yang ingin Anda capai. Menyimpan hal itu dalam benak Anda dapat membantu mencegah perasaan bimbang, keraguan, ketidakpastian dan rasa takut merayap masuk, karena Anda berpikir secara positif. Milikilah keberanian itu dan segala macam kemungkinan akan terbuka.

PENUTUP:

Adalah ilusi serta delusi, ketika kita berasumsi dan berpraduga bahwa lembaga peradilan semacam Pengadilan Negeri maupun Arbitrase benar-benar menawarkan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Pelanggaran hukum terbesar, percaya atau tidak namun dapat diketahui betul oleh para profesi hukum yang berpengalaman, justru terjadi para ruang-ruang persidangan serta pada berbagai kantor kepolisian.

Bagi yang tidak ingin bersabar hingga buah Karma Buruk pelaku kejahatan atau mereka yang telah ingkar janji maupun yang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap hak-hak personal, kewargaan, maupun keperdataan kita, akan tergiur oleh tawaran lembaga peradilan yang seolah-olah “menjanjikan” keadilan. Kepolisian maupun para Hakim, tidaklah semulia itu. Jabatannya mungkin mulia, seragam dan jubahnya mungkin mulia, tugas dan wewenangnya bisa jadi mulia, sumpah jabatannya mungkin mulia, namun belum tentu orang yang menjabatnya. Saran terbaik SHIETRA & PARTNERS, mencegah (preventif) jauh lebih baik serta ideal daripada mengobati (kuratif). Masalah hukum, bukan untuk dicoba-coba, karena menyesal selalu datang terlambat.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.