KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Belanja di Marketplace, TIDAK SEINDAH YANG DIBAYANGKAN

ARTIKEL HUKUM

Transaksi via Marketplace, Menguntungkan ataukah Merugikan Pembeli Sekaligus Selaku Pembayar Harga Barang yang Dijual Pedagang “Online”?

Sebuah transaksi yang profesional, disebut profesional atas dasar kontraprestasi masing-masing pihak (saling menunaikan prestasi), antara hak pembeli berbanding kewajiban penjual, dan disaat bersamaan melahirkan pula kewajiban pembeli yang bersanding dengan hak dari pihak penjual. Untuk itu, berikut ini penulis uraikan kontraprestasi yang melahirkan prinsip resiprositas (prinsip bertimbal-balik, sering disebut juga sebagai prinsip resiprokal) sebagai berikut:

- Pembeli telah melaksanakan kewajibannya membayar dengan uang ASLI serta sesuai rincian TOTAL HARGA JUAL-BELI, tanpa kurang sepeser pun. Dimana, pihak penjual tidak perlu dipusingkan oleh perihal bagaimana dan betapa kerja kerasnya pihak pembeli dalam mencari sumber penghasilan agar dapat memiliki dana untuk membayar harga pembelian. Ketika pembeli telah melaksanakan kewajibannya (atau setidaknya secara akan penuh) berupa membayar dengan UANG ASLI serta sesuai rincian TOTAL HARGA PEMBELIAN, maka sang pembeli (buyer) sudah digolongkan dan tergolong sebagai pembeli yang profesional serta beritikad baik; berbanding dengan

- Penjual karenanya wajib serta memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya berupa menyerahkan barang-barang pesanan pembeli sesuai dengan jumlah maupun spesifikasi produk (detail spesifik objek jual-beli yang ditawarkan serta dipesan, dari segi kualitas maupun segala pernak-perniknya) menjadi objek barang yang diperjual-belikan sebagaimana diiklankan ataupun ditawarkan oleh pihak penjual yang kemudian dipesan dan dibayarkan oleh pihak pembeli. Dimana, pihak pembeli tidak perlu mengurusi serta tidak perlu memusingkan perihal bagaimana penjual bersusah-payah mendapatkan barang jualannya dan segala kerepotannya ataupun “tetek bengek” lainnya yang dihadapi oleh pihak penjual; dan

- Pembeli oleh karenanya memiliki hak untuk menerima barang pesanan yang telah dipesan, dibayarkan, serta dibeli olehnya dalam kondisi baik serta sesuai pesanan yang dipesan maupun rincian deskripsi serta spesifikasi produk yang ditawarkan / diiklankan oleh pihak penjual, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, bebas dari segala kerusakan ataupun cacat tersembunyi, yang mana disaat bersamaan pihak penjual harus siap serta sedia memusingkan diri serta dipusingkan untuk memastikan kebenaran dan keutuhan produk yang dijual olehnya sebagaimana telah dipesan dan dibeli oleh pihak pembeli; bersangding dengan

- Penjual oleh karenanya memiliki hak untuk menerima harga jual-beli atas produk atau barang yang telah dijual dan diserahkan olehnya dalam kondisi asli sesuai detail pesanan serta tanpa kekurangan dari segi nominal ataupun cacat tersembunyi apapun, yang mana disaat bersamaan pihak pembeli harus siap serta sedia memusingkan diri serta dipusingkan oleh perihal urusan menghimpun dana untuk dapat membayar harga jual-beli.

Seolah belum cukup menguras dan mengeksploitasi konsumen, pihak marketplace masih juga lebih memihak dan berpihak kepada pihak penjual apapun itikad mereka ketika berdagang secara daring lewat medium perusahan aplikasi berbasis digital jual-beli yang ada di Indonesia. Bahkan, semata demi mengenar profit, sekalipun tidak etis cara pihak pendiri dan pengelola marketplace seperti membuat ranking bagi pihak pembeli, dimana semakin banyak membeli maka akan semakin memiliki mahkota emas di atas kepalanya (seperti status hierarkhi kasta pembeli “emas, perak, atau perunggu”), seolah-olah ada untungnya bagi pihak konsumen untuk mengenjar dan memperoleh status pembeli dengan gelar “emas” yang harus ditebus dengan banyak berbelanja—suatu pengelabuan disamping eksploitasi yang tidak ada faedahnya bagi pihak konsumen dan disaat bersamaan hanya menguntungkan pihak pedagang dan marketplace itu sendiri.

Pesan dari penulis bagi para pembaca yang budiman, jangan pernah tergiur oleh iming-iming “membeli senikan nominal Rupiah maka akan dapat point, dimana point akan dapat ditukar dengan nominal untuk membayar belanjaan”. Yang namanya membeli, hanya menguntungkan pihak penjual (seller), tidak pernah menguntungkan sisi pembeli (buyer). Tergiur oleh iming-iming fatamorgana berupa perangkap psikologis yang dipasang oleh pihak marketplace, seolah-olah makin banyak berbelanja maka semakin akan menguntungkan pihak konsumen, itulah kondisi psikologis dimana konsumen telah masuk dalam perangkap pihak pebisnis perusahaan platform jual-beli secara online yang tidak menerapkan etika berbisnis, yang dapat juga kita sebut sebagai “penipuan dalam skala psikologis”.

Mengapa dapat terjadi, pedagang pada marketplace yang kita pesan dan beli barang jualannya, namun ternyata “SCAM” alias penipuan, memiliki reputasi atau rating berupa bintang “empat setengah” hingga “lima” dari skala angka maksimum “lima”? Apakah betul, sejujur itukah kalangan pedagang di Indonesia yang notabene manusia “Made in Indonesia” yang konon “agamais” (namun disaat bersamaan tidak takut berbuat dosa)? Bila para pedagang di Indonesia dikenal tidak jujur dalam berjualan secara “offline”, maka terlebih secara “online” dimana antara penjual dan pembeli tidak saling bertatap-muka dan bahkan tidak saling mengetahui keberadaan satu sama lain, terlebih-lebih tidak mengetahui kondisi objek barang yang ditawarkan dan dipesan? Telah ternyata, pengelola dan pendiri marketplace di Indonesia bukanlah orang yang jujur ataupun bersih secara etika maupun secara nurani, berkelindan dan bersimbiosis dengan “penjual nakal”, bahkan dapat disebut sebagai melestarikan praktik penipuan.

Salah satu indikator nyata sebagaimana pengalaman pribadi penulis ketika mengajukan komplain atas produk pesanan yang bermasalah, oleh sebab antara deskripsi produk yang diiklankan dalam platform marketplace baik dari segi merek, sertifikasi yang dimiliki produk, kualitas produk, maupun spesifikasi dan rincian produk lengkap dengan segala periferalnya, berbeda antara apa yang diiklankan, dipesan, serta yang secara real kemudian dikirimkan kepada pihak pembeli—perbedaan mana sangat mencolok, bukan hanya terpaut selisih tipis kualitas dan spesifikasi produk, namun namun secara kasat mata pembeli akan memilih untuk “tidak jadi memesan, jika tahu barang yang dikirimkan adalah sangat jauh berbeda dari deskripsi produk mana yang diiklankan dalam marketplace”.

Komplain mana, sekalipun pembeli telah secara jujur mengajukan komplain, seolah-olah pihak pengelola marketplace memiliki “mata dewa” untuk menentukan secara sepihak dan secara kurangnya pertimbangan yang memadai, menjatuhkan “vonis” (penghakiman yang bersifat final dan mutlak bak diktator-otoriter) secara prematur yang terkesan serta bertendensi lebih “pro” terhadap kepentingan pihak pedagang pada platform marketplace miliknya—apapun itu hasil vonisnya, baik mengabulkan maupun menolak komplain dari pihak pembeli, sebagaimana pengalaman penulis menjadi pengguna jasa yang dikecewakan oleh Tokopedia, salah satu marketplace terbesar di Indonesia pada saat ulasan ini disusun.

Lebih dari satu kali, penulis maupun orang-orang pengguna jasa belanja “online” via marketplace mengalami tertipu oleh modus penipuan terutama semacam mengirimkan paket berisi produk pesanan yang ternyata sangat jauh berbeda hingga bertolak-belakang dari apa yang pemesan pesan dan beli dalam rincian deskripsi produk yang diiklankan atau ditawarkan oleh pihak penjual lewat medium marketplace. Berikut akan penulis kupas rincian modus yang terjadi para otak pelakunya dan pada latar-belakang “industri penipuan” yang tampaknya memang dilestarikan serta ditumbuhkan ekosistemnya oleh kalangan pengelola dan pemilik marketplace itu sendiri, sebagaimana pastinya pernah dialami sendiri oleh para pembaca, karena memang sistem dan ekosistem yang dikondisikan oleh pihak marketplace memungkinkan para “pedagang nakal” untuk tumbuh secara subur dengan segala modus-modus yang tidak secara meritokrasi diganjar dengan skema “reward” dan “punishment”—namun apapun serta seburuk apapun perbuatan sang “pedagang online”, tiada resiko bagi pihaknya sementara selalu menjadi kerugian bagi pihak pembeli.

Penulis mengangkat contoh marketplace bernama Tokopedia, dimana ulasan ini berlaku juga sebagai testimoni pribadi        penulis yang notabene pengguna jasa Tokopedia yang mana karenanya memiliki hak untuk menyajikan testimoni dalam rangka keterbukaan informasi publik (hak publik atas kebenaran praktik yang ada)—sebuah kesaksian sebagai saksi mata langsung sekaligus sebagai korban dari praktik sistem Tokopedia yang lebih mengedepankang iklim “pro” terhadap “penjual nakal” alih-alih melindungi pengguna jasa Tokopedia, dimana pembuktian berikut sejatinya dapat diamati serta dicermati sendiri secara langsung oleh para pengguna jasa Tokopedia, sehingga sudah menjelama “rahasia umum”, akan tetapi sayangnya kurang banyak disadari oleh masyarakat yang berpotensi terkecoh oleh sistem dan ekosistem Tokopedia yang memang tampaknya secara sengaja dirancang memiliki muatan “mengecoh” calon konsumen untuk terjerumus dan terperangkap kedalam perangkap “penjual yang nakal”.

Ketika produk yang dikirimkan penjual (pedagang online) pada Tokopedia ternyata berbeda dari deskripsi produk, baik merek, kualitas, spesifikasi, standar keamanan, hingga bobot dan lain sebagainya, mendorong penulis untuk mengajukan mekanisme keberatan semacam instrumen “by system” bernama fitur “komplain” yang disediakan oleh pihak pengelola marketplace sehingga terkesan menjadi pihak penengah secara neteral serta objektif yang mampu melindungi kepentingan pihak pembeli, yang tampak menjadi solusi cukup ideal untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh konsumen serta “belanja aman karena dilindungi pihak pengelola marketplace”. Namun kemudian penulis mendapati fakta pahit, bahwasannya jika konsumen mengajukan komplain, artinya hak penulis selaku konsumen yang telah dikecewakan serta terkena tipuan modus pihak pedagang yang menyalah-gunakan medium marketplace, tidak lagi dapat memberikan “ulasan” ataupun memberikan penilaian terhadap “bintang” sebagai ikon prestasi pihak penjual.

Jika komplain yang diajukan oleh pihak pembeli, sejujur apapun itu, namun semata karena berada pada posisi yang lebih lemah atau keterbatasan dalam ber-argumentasi maupun dalam rangka menghadirkan alat bukti, menjadikan komplain serta klaim pembeli ternyata kemudian “ditolak” oleh pihak pengelola marketplace, semata dengan dasar “cari-cari alasan” (alias “alasan yang dicari-cari” serta “alasan yang dibuat-buat”), maka pihak pembeli (dalam hal ini “korban penipuan”) tidak dapat memberikan ulasan penuh kekecewaan terhadap produk maupun pemberian nilai rating yang rendah dalam iklan produk pada marketplace dimaksud.

Begitupula ketika pihak konsumen memilih untuk memberikan rating yang rendah serta testimoni penuh kekecewaan pada produk yang telah dipesan dan dibeli olehnya, maka pembeli tidak diperkenankan oleh sistem Tokopedia untuk mengajukan komplain atas produk—sekalipun secara akal sehat dan logika, komplain merupakan konsekuensi logis dari pemberian ulasan yang penuh kekecewaan serta pemberian rating yang rendah pada produk pihak “penjual online” pada marketplace bersangkutan, atau sebaliknya dimana ulasan yang penuh kekecewaan serta pemberian rating yang rendah merupakan konsekuensi logis dari komplain.

Mengapa penulis menegaskan bahwa sekalipun upaya penuh “spekulasi” bernama komplain yang beresiko diberikan vonis prematur, sekalipun dikabulkan dan konsumen dimenangkan klaimnya telah ditipu dan tertipu oleh pihak “penjual online” pada marketplace bersangkutan, tetap saja konsumen diposisikan pada posisi “serba salah” dan “serba kalah”. Mengapa? Semata karena ekosistem yang dibangun oleh pihak marketplace itu sendiri, yang tidak memberikan pinalti maupun punishment bagi “penjual online” yang mencoba-coba bersikap nakal dengan menyalah-gunakan platform marketplace untuk mengeksploitasi konsumennya sendiri. Itulah yang penulis maksudkan dengan, pengelola marketplace yang memelihara dan melestarikan para “penjual penipu”.

Sekalipun memberikan produk yang menyimpang jauh dari deskripsi produk kepada pihak pembeli, tiada resiko apapun kepada pihak “penjual nakal”, semata karena “worst case scenario”-nya ialah diberi sanksi oleh pengelola marketplace berupa “retur” atau pengembalian barang, dimana lagi-lagi konsumen harus merugi ongkos kirim (ongkir) untuk kedua kalinya, merugi waktu, pikiran, energi, biasa pulsa, dan lain sebagainya—alias sangat tidak sebanding dengan resiko mengajukan komplain berupa ditolaknya alibi dalam komplain sehingga “merugi perasaan” untuk kedua kalinya, dihakimi sebagai “klaim yang bohong” (korban dibalikkan menjadi pelaku kebohongan), merugi dana pembelian dimana penjual yang tidak jujur justru mendapat “reward” berupa diteruskan pembayaran harga jual-beli oleh pihak pengelola marketplace, disamping tertutupnya kesempatan memberikan ulasan bernada negatif serta rating yang rendah bagi produk yang dijual oleh pihak “penjual online” pada marketplace dimaksud.

Penjual yang “nakal” tahu betul psikologi konsumen kita di Indonesia yang malas untuk merepotkan dirinya untuk membuat ulasan bernada negatif terlebih untuk mengajukan komplain, karenanya resiko bagi pihak “penjual nakal” pada marketplace amat sangat rendah, dimana potensi resiko dikomplain sangat minim dibandingkan dengan potensi meraup keuntungan besar lewat praktik berjualan secara tidak jujur demikian. Karena itulah, praktik berdagang secara nakal dengan “mencoba-coba” berjualan secara tidak jujur di marketplace, dapat dipastikan akan selalu mendulang laba dan profit usaha—semata karena mereka, para “pedagang nakal”, tahu serta memahami disamping memanfaatkan betul ekosistem yang lebih “pro” sebagaimana dibangun oleh pihak pengelola marketplace.

Sekali lagi, tiada resiko bagi pihak “penjual nakal” pada marketplace bersangkutan, mengingat bila ternyata konsumen mengajukan komplain, “worst case scenario”-nya ialah sebatas barang akan diretur oleh pihak konsumen, dimana konsumen yang harus menanggung derita kerugian berupa ongkos kirim untuk kedua kalinya—artinya, secara real sekalipun komplain pembeli dikabulkan dan dibenarkan oleh pihak pengelola marketplace, TIADA RESIKO APAPUN TERLEBIH KERUGIAN APAPUN BAGI PIHAK “PENJUAL NAKAL”.

Dari potensi ilmu peluang, sepuluh orang pembeli yang ditipu, satu atau dua orang pembeli yang mengajukan komplain, tetaplah pihak “penjual nakal” meraup untung besar. Terlebih, sekalipun katakanlah separuh konsumen mengajukan komplain dan sebagian besar dikabulkan atau dibenarkan oleh pihak pengelola marketplace, resiko terburuknya hanyalah sebatas retur (pengembalian) barang tanpa punishment yang benar-benar mampu membuat efek jera bagi pelakunya.

Satu atau dua kali, pengelola marketplace akan membuat judgement (penghakiman) yang buruk terhadap komplain pihak konsumen, entah karena prematur atau karena “by design” yang disengaja, dimana pihak “penjual nakal” yang justru dibenarkan dan dimenangkan oleh pihak pengelola marketplace, dan ketika itu terjadi, sama artinya lagi-lagi menjadi keuntungan bagi pihak “penjual nakal”—perlu kita ketahui, pihak pengelola marketplace secara inheren memiliki “conflict of interest” di sini, tidak benar-benar netral dan objektif, yaitu benturan kepentingan terhadap fakta bahwa pihak pengelola marketplace mengambil keuntungan dengan berhasil terjualnya produk yang ditawarkan “penjual online” pada platform marketplace bersangkutan, karenanya sedikit banyak pastilah akan berpihak pada “profit”—bukan pada konsumen ataupun penjual—dimana berpihak pada “profit” artinya ada desakan untuk menyatakan transaksi jual-beli telah terjadi dan selesai (vonis yang permatur), sekalipun terdapat komplain dari pihak pembeli.

Mari kita simak pengalaman penulis dalam mengajukan komplain pada sistem “robot” yang dibuat oleh Tokopedia (mengapa juga, konsumen yang notabene manusia justru harus direpotkan serta dihadapkan pada “robot-robot” ketika konsumen hendak menginformasikan kekecawaan terhadap produk yang dijual oleh “pedagang online” di dalamnya? Sungguh demikian berjarak antara pengelola ataupun Customer Service Tokopedia terhadap pengguna jasannya. Komplain berikut di bawah ini penulis ajukan ketika penulis telah menyadari dan mengetahui kelemahan paling utama berbelanja via marketplace semacam Tokopedia:

“Mohon admin Toped cek chat komplain yang saya ajukan kepada pedagang penipu itu, ia justru nantang kembalikan produk (retur), itu artinya saya MERUGI DUA KALI ONGKOS KIRIM!

“Dear Toped, jika pinalti atau sanksi atau punishment bagi seller yang nakal ialah hanya sebatas retur, maka itu menjadi dis-insentif bagi buyer karena harus merugi waktu, energi, serta biaya ongkos kirim DUA KALI!

“Seller nakal memiliki modus, kirim barang yang bermasalah atau tipuan, resikonya hanya retur. Jika buyer yang tertipu ternyata tidak mau repot-repot mengajukan komplain maupun retur, seller yang menipu JUSTRU UNTUNG PANEN BESAR!

“Sungguh ‘wasting time’ and energi untuk ajukan komplain seperti ini, dimana rata-rata konsumen pasrah saja tertipu, dan itulah modus seller penipu dengan modus tipuannya, menebar jaring tipuan dan jebakan untuk mendulang keuntungan dari sistem yang dibuat oleh Toped, dimana potensi untungnya dari menipu adalah menguntungkan penjual yang nakal sementara itu resiko bagi penjual nakal ialah hanya sebatas retur, suatu insentif yang salah alamat dari pihak marketplace.

“Mohon Toped memberikan sanksi yang tegas sebagai pinalti dan punishment, agar seller nakal seperti itu tidak lagi merugikan konsumen lewat modus serupa dikemudian hari.

Saya tidak bersedia jika tawaran solusinya hanya retur namun ongkos kirim harus pula saya yang merugi dua kali!

“Harus ada pinalti dan punishment bagi seller nakal yang sudah sangat merugikan saya ini.”

Kejadian tersebut merupakan pengalaman kedua untuk kedua kalinya penulis alami dan ajukan komplain serupa terhadap pedagang “online” pada Tokopedia. Pada komplain pertama, dengan isi substansi komplain yang kurang lebih sama, pihak Tokopedia menolak untuk menanggapi perihal modus kalangan pedagang “online” yang bercokol dan dipelihara dalam platform marketplace pihak perusahaan marketplace. Tiada resiko bagi pedagang “online” yang nakal, namun resiko selalu ditanggung dibebankan kepada pihak pembeli, dmana Tokopedia sama sekali tidak menaruh empati terhadap resiko maupun kerugian baik dari segi materiil maupun nonmateriil yang ditanggung dan dihadapi oleh pihak pembeli.

Kejadian pertama, penulis memesan satu dus mie instan Korea pada penjual “online” dengan ID Samwon-shop pada Tokopedia, yang klaim pada iklannya “selalu menjual produk-produk FRESH”, namun ternyata produk yang datang ialah satu dus mie instan yang akan kadaluarsa satu bulan lagi. Apakah keluarga penulis harus mengkonsumsi mie instan setiap harinya agar habis termakan bulan ini juga? Bukankah produk yang akan “expired” dalam tempo satu bulan ke depan, tergolong tidak lagi layak konsumsi dan tidak “fresh” sebagaimana destripsi pada iklan? Dimanaka etika berbisnis dan hati nurani dari sang pelaku usaha, yang demi secara serakah mencetak laba dan meraup profit sebesar-besarnya membangun dinasti “bisnis online” dengan mengorbankan kesehatan serta kepentingan pihak konsumennya sendiri?

Kejadian kedua, dimana penulis pemesan peralatan elektrikal pada pedagang “online” dengan ID “Dragon_acc” masih pada Tokopedia, dimana spesifikasi produk pada deskripsi iklan menerangkan kabel ber-SNI, panjang kabel lima meter, lalu produk steker merek A, dimana dari delapan buah barang yang penulis pesan, tujuh buah produk jauh melenceng dan bertolak-belakang dari deskripsi produk pada iklan yang ditawarkan pada marketplace sementara hanya satu buah produk yang sesuai deskripsi dalam iklan.

Yang paling mengherankan, dalam komplain kasus penipuan kedua tersebut di atas (pada kasus pertama, pihak Tokopedia tidak berani menanggapinya selain membuat jawaban sumir “Bukan saya staf yang berwenang menanggapi”, suatu alasan yang tidak profesional disamping bukanlah urusan penulis), sekalipun sistem pada website Tokopedia selaku marketplace untuk mengirim komplain paska di-inputkan (submit) komplain dan dikirimkan, telah tampil layar bertuliskan : “Komplain Anda akan kami kirimkan kepada pihak penjual”, yang artinya komplain telah masuk pada sistem Tokopedia, namun “gaib bin ajaib”, keesokan harinya penulis mendapati bahwa tiada satu pun komplain yang tercatat pada sistem Tokopedia—alias lenyap dan hilang secara begitu saja. Komputer dan sistem tidak bisa curang, namun manusia yang ada dibaliknya dan di latar belakang sistem itulah yang menjadi otak kecurangannya.

Besar kecurigaan Penulis, pihak manajemen Tokopedia tidak berani mendapatkan pesan berisi komplain seperti tersebut di atas dari pihak konsumen selaku pengguna jasa marketplace Tokopedia, serta tidak mampu menanggapinya sebagaimana tuntutan penulis, sehingga pihak pengelola Tokopedia yang menguasai sistem coding pada website miliknya akan membuat seolah-olah tiada pernah ada input dan submit komplain apapun dari pihak penulis selaku pengguna jasa, dengan cara menghapusnya tanpa meninggalkan jejak apapun.

Tidak percaya, penasaran, dan ingin mencoba membuktikannya sendiri? Ketika ada di antara para pembaca mengalami hal serupa, silahkan gunakan isi pesan serupa seperti substansi komplain yang penulis ajukan sebagaimana di atas, kemudian kirimkan, dan lihat apa yang menjadi tanggapan pihak Tokopedia selaku marketplace. Beranikah Tokopedia menjawabnya, atau sekadar menjawab secara sumir menyimpang dari tuntutan dalam substansi komplain, atau bahkan kembali membuat sistemnya seolah-olah mengandung fraud dimana komplain yang telah dikirimkan seolah-olah terhapus dan menghilang tanpa jejak secara sendirinya.

Namun ingat serta pertimbangkan pula, dengan mengajukan komplain pada marketplace bernama Tokopedia, sama artinya Anda telah melepaskan hak Anda untuk membuat ulasan berisi kekecewaan maupun memberikan rating yang rendah bagi pihak penjualnya. Kini Anda pilih yang mana? Serba salah, bukan? Itulah tepatnya, modus Tokopedia selaku marketplace bersama pihak “penjual online yang nakal”, simbiosis yang mematikan posisi konsumen, cepat atau lambat akan secara gradual ditinggalkan oleh konsumen dan pengguna jasanya. Sementara itu kita selaku masyarakat, hendaknya tidak bersikap seolah-olah hanya terdapat marketplace bernama Tokopedia di dunia ini..

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.