Tes Uji Mandiri SENSE OF JUSTICE, Testing Case SALAH TRANSFER DANA Bank BCA

ARTIKEL HUKUM

Apakah Salah, Kita Sekadar Memakan Sesuatu yang Ada di Atas Piring Milik Kita Sendiri?

Bank BCA yang Bersalah dengan Lalai dan Ceroboh melakukan Transfer Dana, Nasabah yang Dikriminalisasi, TIDAK ETIS

Teori-teori klasik menyebutkan, untuk menguji “jiwa keadilan” (sense of justice) seseorang, sebagai tajam ataukah tumpul, maka kita perlu mendudukkan perspektif kita kedalam persepsi seorang “korban”. Masalahnya, tidak jelas indikator yang dapat membantu kita menentukan siapa “korban” dan siapakah yang sesungguhnya menjadi “pelaku” dari suatu kejadian atau tindak kejahatan dalam suatu peristiwa? Salah menempatkan posisi, maka alhasil kita akan melakukan penghakiman yang tidak pada tempatnya—alias meleset jauh, tidak tepat sasaran.

Sehingga, dapat kita simpulkan, langkah pertama untuk kita dapat menguji suatu “sense of justice” yang kita miliki serta melatihnya, tidak ada kata lain selain kita menentukan terlebih dahulu siapa yang berposisi sebagai “pelaku” yang menjadi faktor pemicu utamanya (pelaku dominan), alias menentukan dengan tegas dan jelas siapa “pelaku” dan siapa “korban”. Ketika kita telah mampu melakukan distingsi yang jernih antara “pelaku” dan pihak “korban”, maka kita sudah tiba pada jalur yang tepat untuk dapat menemukan letak “sense of justice” itu sendiri.

Dengan kata lain dapat kita simpulkan pula, bukanlah masalah paling utama mampu atau tidaknya kita memiliki suatu “sense of justice”, namun apakah kita memiliki kesadaran yang jernih (clear conscience) untuk terlebih dahulu menjernihkan siapakah pihak “korban” dan siapakah “pelaku” sesungguhnya dan yang sesungguhnya menjadi “korban” maupun “pelaku”-nya. Antara “korban” dan “pelaku”, tidak dapat saling dipertukarkan, karena pastilah ada yang menjadi “pelaku pemicu” yang terlebih dahulu menjadi pemicu utama sehingga timbul reaksi berantai “balas-membalas”. Itulah yang penulis sebut sebagai antara “korban” dan “pelaku” serta ruang diantaranya—yakni serentetan atau serangkaian aksi “balas-membalas”, dimana bagian muara tidak terlepas dari pangkal peristiwanya yang tidak dapat dibenarkan untuk kita lihat secara sepenggal-penggal atau secara parsial. “Pangkal peristiwanya”, menjadi kata kunci yang dapat membuat kita mampu melakukan distingsi sebagaimana disinggung di muka.

Pihak “pelaku” yang kurang dilandasi etika nurani, akan menyalahkan pihak korban dan bahkan memutar-balik fakta dengan menuduh atau menuding pihak “korban” sebagai “pelaku”, semata ketika sang “korban” melakukan aksi pembalasan ataupun sekadar “bela diri” dengan melakukan serangan-balik kepada sang “pelaku”. Seseorang dengan “clear conscience” yang tinggi, akan merunut jauh ke pusat asal sengketa hukum terjadi (yakni “pangkal peristiwa” itu sendiri), maka dengan cara itulah “benang kusut” akan teruraikan dan kita akan mendapati serta dengan jitu mampu menunjuk hidung milik siapa “pelaku” sebenarnya. Itulah seni berhukum yang semestinya diberikan pembekalan bagi para aparatur penegak hukum, terutama pemidanaan yang membutuhkan intelektual diatas rata-rata pihak aparaturnya, tidak bisa tidak.

Untuk lebih dekat pada medan pengaruh “sense of justice”, mau tidak mau kita perlu terlebih dahulu memiliki derajat paling minimum dari “clear conscience. Untuk lebih memudahkan pemahaman, ilustrasi nyata berikut penulis rancang sebagai “self test case”, dimana para pembaca perlu menempatkan diri secara netral dan objektif, dengan memakai kacamata atau sudut pandang seorang hakim pemeriksa dan pemutus perkara, untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang didakwa sebagai “pelaku” kejahatan, dan apakah benar pihak “korban” pelapor benar-benar merupakan berkedudukan sebagai “korban”?

Seorang nasabah penabung bernama Ardi Pratama diberitakan semata karena menggunakan dana “salah transfer” senilai beberapa puluh juta rupiah, berujung pada pemidanaan yang dilakukan oleh Bank Central Asia (Bank BCA), dengan tuduhan “penggelapan dana”. Terdakwa, mengira dana yang mengendap pada rekeningnya tersebut, merupakan komisi dari penjualan mobilnya, dan menggunakannya untuk keperluan keluarga akibat resesi ekonomi sejak pandemik wabah Virus Corona melanda, sehingga tidak dapat segera dikembalikan oleh pihak Terdakwa kepada pihak Bank yang telah melakukan kekeliruan dengan melakukan transfer dana milik orang lain ke rekening milik Terdakwa.

Sebagai wujud itikad baik Terdakwa, Terdakwa menawarkan untuk mengembalikan dana secara mencicil. Dengan cukup tidak bijaksana, pihak Bank BCA mendesak untuk dikembalikan penuh oleh pihak Terdakwa. Idealnya, pihak Bank BCA menyadari dengan arif dan bijaksana, bahwasannya kesalahan juga terdapat pada pihaknya sendiri yang telah salah dalam melakukan transfer dana (kontribusi kesalahan), sehingga tawaran Terdakwa untuk “amicable solution” dapat menjadi alternatif daripada proses pemidanaan.

Kasus-kasus semacam demikian ialah murni perkara perdata, bukan domain pidana, dimana sudah lumrah dan lazim gugatan PERDATA salah transfer. Pada sisi itulah, Bank BCA memamerkan kekuasaannya atas nasabah yang lebih lemah status ekonominya, mempertunjukkan betapa hukum pidana memang “tajam ke bawah namun tumpul ke atas” adanya, seolah-olah pihak kepolisian tidak memiliki kasus laporan lain yang lebih penting untuk diproses penyidikannya dan dimajukan ke “meja hijau”.

Bila saja pihak Bank BCA lebih arif dan bijaksana, maka solusi terbaik dalam rangka “win win solution” ialah para pihak saling “mundur satu langkah”, tidak bisa satu menang sendiri sebagaimana menjadi semboyan paling utama dalam proses mediasi, dimana bila penulis yang melakukan mediasi atas sengketa ini, maka berikut inilah rekomendasi yang dapat penulis usulkan : Bank BCA selaku “pelaku” SALAH transfer, menawarkan dan memberi sejumlah dana kompensasi berupa pemberian sekian juta rupiah kepada pihak nasabah penerima dana salah transfer, atau setidaknya memberi kelonggaran kepada sang nasabah untuk mencicil sesuai kemampuannya.

Secara politis, penulis secara pribadi menilai upaya Bank BCA untuk mengkriminalisasi nasabahnya sendiri, bilamana sang Terdakwa benar-benar dijatuhi vonis pidana penjara, maka berikut inilah prediksi yang akan terjadi : Majelis Hakim di pengadilan hanya akan menjatuhkan vonis berupa beberapa bulan kurungan semata (rata-rata putusan perkara “penggelapan dana” hanya dijatuhi vonis pidana kurungan selama tiga bulan lamanya, sekalipun nilai dana yang digelapkan jauh di atas kasus nasabah bank di atas), dimana Terdakwa dapat memilih untuk tetap menjalani masa kurungan tanpa secara sukarela mengembalikan dana salah transfer yang dipakai untuk membiayai nafkah keluarganya, sehingga pihak Pelapor tidak mendapatkan apapun pada akhirnya, yang tetap saja harus menempuh gugatan perdata itu pun akan terbentur pada realita “menang di atas kertas” akibat tidak aset Tergugat untuk diekeskusi ataupun untuk diletakkan sita.

Sementara itu, “bayaran politis” yang harus dibayar mahal oleh pihak Bank BCA ialah, biaya litigasi untuk menggugat disamping “uang siluman” yang dipakai untuk “menyuap” pihak penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan sehingga kasus yang tidak patut dimajukan ke persidangan demikian terkesan tetap dipaksakan dapat berlanjut pada proses penyidikan hingga penuntutan. Disamping itu, terdapat pula “social cost” dan “bussiness cost” berupa kian rusaknya citra atau memudar dan tercemarnya pamor keramah-tamahan artifisial pihak Bank BCA terhadap nasabah penabungnya—yang salah satunya ialah Bank BCA setidaknya kini kehilangan satu orang nasabah lamanya yang selama puluhan tahun telah menjadi nasabah, yakni penulis secara pribadi.

Arogansi, mahal harganya atau berbiaya mahal. Dibutakan oleh kekuasaan, Bank BCA tampaknya menjadi lupa atas potensi resiko “social and bussiness cost” yang harus mereka bayarkan dan tanggung, semata menilai korporasinya sanggup membayar aparatur penegak hukum maupun biaya litigasi, semata karena sengketa yang tidak seberapa nilainya dan lebih diperlukan oleh nasabahnya yang berangkat dari kalangan kelas bawah. Berikut inilah dasar hukum yang dipakai (baca : disalah-gunakan) oleh Bank BCA untuk memamerkan arogansi serta taringnya dibalik seringai senyum “keramahan artifisial”, yakni Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana:

“Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Terkait keberlakuan pasal di atas, ketentuan pasal berikut sejatinya cukup ditempuh upaya hukum gugatan perdata, bila memang tujuan utama pihak Bank BCA ialah untuk mendapatkan kembali dananya yang telah “salah transfer”, tanpa perlu mempidana pihak nasabahnya sendiri, sebagaimana ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana:

“Di samping pidana pokok, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2), Pasal 81, Pasal 83 ayat (2), atau Pasal 85 juga dapat dikenai kewajiban pengembalian Dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan.”

Pasal di atas, adalah terlampau dipaksakan untuk menjerat pihak pengguna jasa, dalam kasus salah transfer kepada nasabah Bank BCA, karena pihak Terdakwa tidak mengakui dana tersebut sebagai hak miliknya. Unsur “menguasai” pun tidak terpenuhi, karena pihak Terdakwa telah mengembalikan separuhnya kepada pihak Bank BCA, sebagai wujud itikad baik sang nasabah penerima dana salah transfer. Sehingga kesimpulan yang dapat penulis tarik, ialah semata ajang pamer atau unjuk kekuasaan dari pihak pelapor itu sendiri, yang menunjukkan dominasinya terhadap pihak nasabah.

Berikut kita akan melakukan “self test case” uji mandiri SENSE OF JUSTICE, atas contoh kasus “salah transfer” di atas, dimana panduan serangkaian pertanyaan berikut penulis susun dimana dapat membantu kita untuk menentukan secara lebih akurat, pihak manakah dan siapakah yang sebetulnya ialah “korban” dan manakah yang sejatinya merupakan seorang “pelaku”, dimana bila kesadaran jernih telah kita miliki secara tajam untuk melakukan distingsi antara keduanya, maka kita akan mampu menyentuh langsung ke “jantung dari keadilan”:

- Kesalahan pihak siapakah? Atau lebih tepatnya ialah pertanyaan, siapa yang telah melakukan SALAH TRANSFER?

- JIka yang telah melakukan SALAH TRANSFER, ialah pihak pegawai Bank BCA, maka mengapa pegawai Bank BCA justru mengalihkan beban resiko tanggung-jawab pekerjaannya maupun tanggung-jawab pribadinya untuk bertanggung jawab terhadap pihak korporasi Bank BCA, dilimpahkan kepada pundak nasabah penerima SALAH TRANSFER?

- SALAH TRANSFER, apakah maknanya? Maknanya apakah ceroboh atau tidak ceroboh? Salah dalam melakukan transfer, apakah salah atau tidak salah?

- Yang melakukan SALAH TRANSFER, apakah artinya tidak memiliki kontribusi kesalahan? Sehingga, siapa yang sejatinya paling bersalah disini?

- Apakah Terdakwa pernah meminta, dikirimi dana transfer tersebut dari pihak Bank BCA? Bila Terdakwa tidak memintanya, apakah itu kesalahan pihak Terdakwa? Bukankah pada poin pertanyaan di atas, kita sudah sepakat pihak siapakah yang sejatinya bersalah melakukan kesalahan dan salah?

- Bila Terdakwa tidak memiliki kesalahan dalam kejadian SALAH TRANSFER demikian (yang melakukan salah transfer bukan Terdakwa), sekalipun teori ilmu hukum pemidanaan telah menegaskan “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld), lantas mengapa Terdakwa yang didakwakan telah melakukan pidana?

- Jika dibiarkan berlangsung kejadian kriminalisasi terhadap nasabah atas kesalahan pihak bank yang telah melakukan SALAH TRANSFER, maka untuk ke depannya bank tidak perlu lagi menerapkan asas “kehati-hatian”, semata karena pihak yang dibebankan tanggung-jawab serta resiko justru adalah nasabah pemilik rekening (yang sekadar selaku “pengguna jasa” layanan perbankan) atas “ketidak-hati-hatian” pihak bank itu sendiri, alih-alih pihak bank itu sendiri selaku “penyedia jasa”;

- SALAH TRANSFER, apakah artinya “kelalaian” ataukah “kesengajaan”? Siapa yang telah “lalai” maupun yang telah “sengaja”?

- Kembali kepada unsur rumusan pasal dalam Undang-Undang Transfer Dana, terutama unsur “sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya”, bukankah sebelumnya kita telah sepakat siapa yang telah melakukan kelalaian? Sekali lagi, siapa yang telah mentransfer? JIka yang mentransfer ialah pegawai Bank BCA yang telah melakukan SALAH TRANSFER, maka mengapa bukan pegawai Bank BCA yang bertanggung-jawab dan dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum baik pidana maupun perdata oleh pihak Bank BCA?

- Apakah dapat dibenarkan, kesalahan berupa kelalaian atau kecerobohan pihak Bank BCA itu sendiri, akibat kesembronoan mana kemudian justru dibebankan dan dialihkan tanggung-jawabnya ke pundak pihak nasabah penerima dana SALAH TRANSFER oleh pihak Bank BCA itu sendiri? Kembali lagi kepada pertanyaan, pihak siapa dan pihak manakah yang telah bersalah karena melakukan kesalahan berupa SALAH TRANSFER?

- Bila Terdakwa hanya memakan apa yang ada di atas piring miliknya sendiri, yakni dana yang ada dalam rekeningnya, maka mengapa tidak semua orang kita pidana ketika mereka memakan nasi atau sesuatu yang ada di atas piring milik mereka sendiri?

- Rekening ialah atas nama dan milik Terdakwa, artinya “piring” milik Terdakwa. Jika terdapat makanan disuguhkan di atas “piring” milik Terdakwa, apakah salah jika Terdakwa memakan sesuatu yang ada di atas “piring” miliknya sendiri? Apakah harus kita muntahkan kembali? Bagaimana bila telah menjadi “kotoran”?

- Siapa yang menaruh atau yang telah menyuruh menaruh makanan di atas “piring” milik Terdakwa?

Menjadi jelas, setelah “uji moril” pertanyaan di atas, sejatinya langkah pemidanaan yang dilakukan Bank BCA ialah dalam rangka “culpa laundry” alias “cuci dosa” kesalahan berupa kelalaian pihak manajemen pihak Bank BCA itu sendiri, yang ternyata “sangat CEROBOH dan GEGABAH disamping AROGAN”. Kita pun menjadi mulai paham, bahwa terdapat “cacat moril” disamping “cacat logika” keberlakuan pasal yang diatur dalam Undang-Undang Transfer Dana demikian, karena beban kesalahan seolah-olah hanya ditimpakan dan dibebankan kepada sesorang nasabah yang sejatinya secara notabene menjadi PEMILIK DARI “PIRING” (REKENING) YANG DIBERIKAN MAKANAN UNTUK DIMAKAN (DANA UANG).

Dengan kita telah mampu memiliki “clear conscience” dalam rangka menentukan distingsi yang tegas antara “korban” dan “pelaku”, sekali lagi cari dan tentukan “pangkal masalahnya”, maka untuk selanjutnya “sense of justice” akan menampakkan batang hitungnya secara sendirinya untuk memandu kita pada tahapan selanjutnya. Ketika kita melakukan lompatan logika dengan seketika merujuk pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan sebagai “keadilan hukum”, maka kita akan melakukan kesalahan besar bilamana ternyata norma hukumnya itu sendiri mengandung “cacat logika hukum” maupun “cacat moril”, dimana antara “korban” dan “pelaku” justru terputar-balik posisinya. Hukuman apa, yang paling tepat atas kesalahan (berupa kelalaian) yang telah dilakukan oleh pihak Bank BCA? Mengapa seolah-olah, hukuman hanya diberlakukan dan berlaku bagi pihak nasabah Bank BCA?

Kita, wahai para nasabah, janganlah bersikap seolah-olah lembaga keuangan perbankan yang ada di Indonesia ini hanyalah Bank BCA. Banyak hal-hal yang mengecewakan dari praktik perbankan di Bank BCA yang dapat penulis uraikan dan buktikan betapa Bank BCA melakukan berbagai praktik kecurangan terhadap nasabahnya dibalik senyum manis para petugasnya di kantor cabang mereka. Kasus pemidanaan terhadap nasabahnya demikian, menjadi puncak keputusan penulis untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Bank BCA, dan memilih untuk berpindah hati kepada perbankan lainnya yang lebih mampu untuk bersikap adil dan lebih transparan kepada nasabahnya. Kekurang-ramahan petugas perbankan lain, setidaknya tidak sampai pada tahapan melimpahkan beban kelalaian ke pundak nasabahnya sendiri—cerminan ketidak-ramahan tertinggi itu sendiri, sewaktu-waktu nasabah dapat dijebloskan ke penjara oleh Bank BCA dibalik keramah-tamahannya yang artifisial.

Keramahan Bank BCA, berbanding lurus dengan arogansi Bank BCA, terutama ketika terjadi masalah atas layanan Bank BCA sebagaimana pengalaman pribadi penulis—salah satunya yang jarang disadari para nasabah penabung deposito Bank BCA, Bank BCA tidak memberi bunga deposito untuk diluar hari kerja kantor Bank BCA serta hanya hari kerja (pada formulir pembukaan deposito, penulis mengira itu ketentuan untuk waktu yang dibolehkan untuk menarik dana deposito, sesuai hari kerja operasional kantor Bank BCA, bukan definisi hari untuk hari kerja sistem bunga) untuk perhitungan sistem bunga (penggunaan istilah tingkat bunga “per bulan” dalam cara menawarkan deposito oleh Bank BCA cenderung mengecoh, karena faktanya bukan satu bulan kalender—namun satu bulan LEBIH, dan silahkan hitung jika hari Sabtu, Minggu, serta tanggal merah dapat mencapai lebih dari 10 hari, yang artinya bunga “per bulan” dalam praktik di Bank BCA artinya bisa “per satu setengah bulan” namun menjualnya kepada calon deposan sebagai “per bulan”, alias MENGECOH dan MENJEBAK.

Sebagai contoh, bila Bank BCA menyebutkan bunga deposito ialah “sekian persen per bulan” saat nasabah bertanya, maka itu DUSTA serta bertendensi mengecoh, karena faktanya butuh lebih dari satu bulan kalender untuk mendapatkan bunga, dan tidak jelas kapan jatuh tempo untuk dapat dicairkan. Artinya pula, bila bank lain menyebut bunga sekian persen untuk satu bulan, adalah real efektif tanggal yang sama untuk bunga diperoleh dan jatuh tempo pencairan pada bulan berikutnya, maka persentase bunga serupa per bulan di Bank BCA fakta realita bisa satu bulan lebih baru jatuh tempo bunga diperoleh)—sistem “korupsi hari” ala Bank BCA.

Sementara itu, bagaikan “standar berganda” yang “lagi-lagi korupsi hari”, Bank BCA membebankan bunga atas dana kredit yang dipinjamkan kepada para debitornya. Alhasil, terjadi kebingungan bagi pihak nasabah, kapan tanggal jatuh tempo dana deposito dapat ditarik dan dicairkan, karena jatuh temponya setiap bulan berbeda-beda dimana pihak petugas Bank BCA tidak menginformasikan hal penting tersebut secara transparan di muka, sehingga penulis datang untuk informasi tanggal jatuh tempo bulan sebelumnya yang ternyata telah berbeda dengan tanggal jatuh tempo saat kedatangan penulis untuk mencairkan deposito.

Penulis punya pengalaman lainnya terkait deposito pada Bank BCA, yakni betapa tidak akuntabelnya sistem keuangan dana nasabah di Bank BCA (cerminan ketidak-profesionalan Bank BCA), dimana tanggal input dimasukkannya dana deposito dalam sistem komputerisasi Bank BCA ternyata berbeda dengan tanggal penulis melakukan deposito, dimana pihak Bank BCA memungkiri tanggal yang tercantum dalam bilyet deposito dan semata bersikukuh pada data pada komputer milik mereka yang mereka buat sendiri tentunya, alias korupsi hak atas bunga milik nasabah.

Bila Bank BCA merasa belum cukup mempermalukan dirinya sendiri, silahkan laporkan penulis kepada Kepolisian, karena kesemua kisah di atas adalah testimoni penulis selaku konsumen pengguna jasa produk deposito yang ditawarkan pihak Bank BCA, yang tampaknya bukan hanya dialami oleh penulis seorang diri, dimana dapat penulis buktikan kebenarannya, sebagaimana praktik di Bank BCA Kantor Cabang Pembantu Harmoni Plaza, medio tahun 2018, Jakarta Pusat, agar kasus tersebut dapat terpublikasikan lebih luas lagi kepada publik dan khalayak ramai, jika perlu diliput oleh pers dan pemberitaan, sehingga para nasabah Bank BCA dapat mulai lebih cerdas dan lebih dewasa, berpikir ribuan kali sebelum menyimpan dananya di Bank BCA, dimana kesewenangan-wenangan Bank BCA justru berujung pada kriminalisasi pihak KORBAN, yakni nasabah yang selalu di-KORBAN-kan.

Kejahatan lainnya dari Bank BCA, sekalipun penulis memiliki banyak komplain dari praktik penuh kecurangan deposito Bank BCA, namun untuk menarik dana deposito milik penulis selaku deposan, penulis disodorkan selembar formulir penarikan dan pencairan dana deposito yang disertai klausul baku “mau menang sendiri”, berbunyi : “Dengan melakukan pencairan dan penarikan dana ini, berarti nasabah deposito telah melepaskan haknya untuk menggugat ataupun mempermasalahkan apapun terkait deposito Bank BCA ini dikemudian hari.”—Itu namanya PEMAKSAAN dan PEMALAKAN, bukan kesepakatan. Siapa yang rela, diperdaya dan dieksploitasi tanpa kita ketahui di muka akan jadinya seperti demikian.

Kecurangan Bank BCA ialah, tiada ada informasi perihal akan adanya klausul demikian DI MUKA saat calon nasabah hendak membuka deposito, bagaikan DITODONG dan DIRAMPOK di penghujung hari, klausul demikian secara tidak transparan baru dimunculkan di belakang hari saat nasabah hendak mencairkan. Bila nasabah tidak setuju dan hendak komplain, apakah artinya nasabah tidak dapat menarik dana MILIKNYA SENDIRI? Atas dasar apa, Bank BCA menahan dana milik nasabah, seolah-olah nasabah dapat disandera kemerdekaannya atas properti maupun dana miliknya sendiri oleh segudang klausul yang selalu saja sepihak dan memenangkan kepentingan pihak Bank BCA semata? Ingatlah, ada HUKUM KARMA, wahai Bank BCA, dan silahkan kalikan dengan jutaan nasabah Anda.

Tiada kesepakatan di awal akan adanya muncul klausul sepihak Bank BCA demikian, itulah namanya praktik “PEMAKSAAN” terselubung, yang melanggar Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang secara implisit mensyaratkan kesepakatan semua sifatnya DI MUKA, bukan DIKEMUDIAN HARI atau DIBELAKANG HARI (asas transparansi dan kehendak bebas untuk berkontrak) saat dana nasabah sudah dalam posisi / kondisi DISANDERA Bank BCA, bank “kikir” dimana pembukaan hingga penutupan deposito, meski bunga yang diberikan tergolong “raja bunga rendah”, nasabah yang harus membayar biaya materai, sementara itu perbankan lain secara lebih fairness menanggung separuh, semisal pada saat pembukaan pihak bank yang menanggung biaya materai, sementara itu saat pencairan dana maka nasabah yang menanggung biaya materai.

Sejak saat itulah, penulis menempatkan dana deposito pada perbankan lain yang ternyata tidak seaneh dan tidak sekorup praktik deposito pada Bank BCA—sudah rahasia umum, dan diketahui oleh seluruh nasabah deposito Bank BCA saat mereka mencoba mencairkan dana deposito mereka (hakim dan polisi pun kemungkinan pernah mengalami), serta perbandingannya dengan praktik deposito perbankan lainnya. Apa yang telah menjadi rahasia umum, tidak dapat disebut sebagai “pencemaran nama baik”, praktik tidak adil Bank BCA yang telah mencoreng wajahnya sendiri dan silahkan Bank BCA mempermasalahkan secara hukum pidana bila perlu (penulis tantang dalam artikel ini, sebuah tantangan terbuka), bila Bank BCA belum merasa wajahnya masih belum “bopeng” penuh coreng.

Praktik usaha yang sehat, ialah praktik berbisnis yang dilandasi rambu etika. Bagaikan roda yang terus berputar, tidak akan selamanya Bank BCA dapat bersikap angkuh dan sombong, seolah-olah nasabah adalah “keledai dungu” atau “sapi perahan”. Akan ada saatnya, yang berada di atas akan jatuh tersungkur, dimulai dari sikap “arogansi” dan “ketidaka-dilan” terhadap nasabah penabungnya sendiri. Tiada yang kekal, segalanya akan berubah, sehingga arogansi dan keangkuhan Bank BCA tidak akan permanen untuk selamanya. Nasabah tidak membutuhkan pelayanan yang “ramah” namun miskin dan kering esensi, namun kejujuran, transparansi, keadilan, serta kepedulian, disamping yang terutama : AKUNTABILITAS yang tidak penulis temukan dalam praktik perbankan di Bank BCA, selaku nasabah.

Bank BCA bagaikan mengikuti jejak Grub Minimarket ALFA, yang menggugat konsumen sekaligus donaturnya sendiri atas tidak transparan dan tidak akuntabelnya praktik keuangan ALFA Minimarket, menjelma gerakan sosial publik berupa boikot minimarket ALFA. Akan tiba masanya, para nasabah berbondong-bondong meninggalkan Bank BCA, hanya perihal waktu, titik baliknya ialah kasus perdana dipidananya nasabah Bank BCA atas kesalahan Bank BCA itu sendiri dalam melakukan SALAH TRANSFER—suatu aksi yang mencoreng wajah Bank BCA itu sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.