Prinsip Meritokrasi, Urusanmu Bukan Urusanku, dan Urusanku Bukan Urusanmu, BE PROFESSIONAL

ARTIKEL HUKUM

Seenaknya dan Serampangan, “Mencari-Cari Alasan” dan “Alasan yang Dicari-Cari”, merupakan Dua Hal yang Sejatinya Satu Hal yang Sama

Siapa yang menyangka, prinsip kesetimpalan dan kepatutan (fairness principle) ternyata bertopang pada sebuah fondasi keluhuran karakter yang bernama “prinsip meritokrasi”. Meritokrasi itu sendiri dapat kita pahami sebagai sebuah pemahaman etis dan etik mengenai hakiki seorang dan sebagai sesama umat manusia, sebagai anggota komunitas, bangsa, organisasi, maupun penduduk dunia, dimana suatu pengorbanan diri layak diganjar dengan kompensasi yang setara dan senilai dengan intensitas pengorbanan diri—bukan justru dikorbankan oleh mereka yang tidak ingin merepotkan diri dan berkorban diri!—dibandingkan dengan mereka yang tidak berani terjun ke dalam pengorbanan dan kerepotan serupa.

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan “prinsip meritokrasi” serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, tepat kiranya bila kita meninjau langsung contoh-contoh nyata dalam keseharian kita secara lebih dekat. Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha mengeluarkan biaya dan investasi untuk dapat mendirikan sebuah rumah makan, dimana bisa jadi modal usaha untuk menyewa tempat dan membeli peralatan masak hingga perabot, ialah hasil dari menjadikan agunan rumah milik keluarganya. Sang pengusaha pun masih harus repot-repot merekrut dan menggaji karyawan, melatih karyawan, bangun dari subuh untuk bekerja hingga tengah malam, tidak jarang lembur memeriksa pembukuan dan “stok opname”, dan harus pula mengurusi berbagai pernak-pernik terkait marketing dan survei pasar atas minat calon konsumen, berbagai “try and errors” yang tidak terhitung lagi jumlahnya selama berproses, hingga mengikuti berbagai pelatihan memasak dan mencari bumbu hingga ke luar negeri, disamping resiko usaha seperti sepi pelanggan, masalah pegawai, atau lain sebagainya.

Atas semua kerepotan demikian, apakah dapat dibenarkan, suatu pihak tiba-tiba datang tanpa diundang, meminta diberikan makanan namun tidak bersedia membayar SEPERAK PUN harga makanan yang mana jelas-jelas sedang dijual oleh sang pengusaha rumah makan yang juga jelas-jelas sedang mencari nafkah, dimana profesi orang lain bukanlah untuk dipermainkan, dicoba-coba, terlebih dilecehkan lewat upaya ekploitasi terlebih manipulasi, meski sudah demikian jelas usaha rumah makan sedang menjual makanan sebagai sumber penghasilan dan nafkah bagi sang pengusaha rumah makan serta para karyawan dan keluarganya, lantas sang “tamu tidak diundang” menghardik dan memaki sang pengusaha rumah makan secara “mencari-cari alasan”, seperti alibi bahwa dirinya sedang kelaparan, pihak pemilik rumah makan tidak punya hati nurani, jahat, kejam, melanggar hak asasi manusia untuk hidup, hingga menyebut-nyebut sang pemilik rumah makan sebagai “mata duitan” dimana bahkan sang “tamu tidak diundang” tidak bertanya berapa harga makanan yang diminta olehnya untuk diberikan dan dimakan olehnya—cerminan skap “mau enaknya sendiri”.

Contoh lainnya, seorang investor menginvestasikan seluruh hasil jirih-payahnya ketika masih muda bekerja “banting tulang” mencari nafkah, belajar dan berkuliah pada kampus ternama dan membeli lusinan buku menjelma perpustakaan pribadi untuk dipelajari, lengkap dengan segala derita, perjuangan, dan biaya yang harus ia keluarkan, tidak terkecuali pengorbanan dari segi tetesan air mata, cucuran darah, perasan keringat, tulang yang terbanting-banting, waktu (sumber daya yang sangat terbatas karenanya amat sangat berharga) yang tersita, rasa takut dan kecemasan akan kegagalan, mengambil resiko ketidak-pastian berhasil atau tidaknya, hingga faktor tenaga, pikiran, dan segala sumber daya yang tidak terhitung lagi jumlahnya untuk dapat diukur, dimana semua hasil perjuangan dan pengorbanannya tersebut menjadi sumber modal untuk membuka sebuah gerai toko minimarket.

Jika toko minimarket yang dimiliki sang investor adalah berupa waralaba, maka ketika seseorang “tamu tidak diundang” dengan “mental pengemis” atau mental “mendadak miskin” serupa, datang untuk minta diberikan bahan kebutuhan pokok, kemudian mengambilnya tanpa mambayar sebagaimana mestinya sesuai harga di kasir, lantas oleh pihak petugas karyawan minimarket sang pengambil (perampas hak milik orang lain yang sedang mencari nafkah) dihadang dan diminta untuk membayar, sang “tamu tidak diundang” yang sedang mencuri tersebut kemudian “mencari-cari alasan” untuk membenarkan perbuatan tercelanya (seolah-olah dengan bersikap demikian dapat menghapus fakta bahwa dirinya telah dan memiliki niat buruk untuk memakan sesuatu hak milik orang lain yang dirampas olehnya), bahwa mengapa dirinya harus disuruh membayar, bahwa dirinya punya hak untuk hidup, betapa pelit dan “kikir”-nya pihak pengelola minimarket karena menolak memberikannya bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut.

Pihak karyawan minimarket memberi tanggapan, bahwa dirinya hanya menjalankan tugas pekerjaannya untuk memastikan seluruh barang dijual dan mendapat harga pembelian oleh konsumen. Karena bersikukuh, sang “tamu tidak diundang” (pencuri) kemudian diringkus dan digelandang pihak yang berwenang menindak perilaku yang tidak bermoral demikian yang mengambil keuntungan dengan cara merugikan orang lain yang sedang mencari nafkah, seolah-olah bermental “tidak punya malu”. Di hadapan mereka, sang “tamu tidak diundang” kembali berkoar-koar betapa kelaparan dirinya, betapa kikirnya pemilik minimarket, betapa tidak bermoralnya pihak minimarket yang tidak perduli betapa kelaparan dirinya, betapa “mata duitan” pihak minimarket, betapa hak asasinya untuk hidup telah dirampas dan dilanggar, betapa tidak humanisnya pemilik toko, betapa dirinya berhak untuk mengambil tanpa bersedia membayar, dan seribu satu “alasan yang dicari-cari” lainnya—yang mana biasanya alasan mana mengada-ngada serta dibuat-buat secara tidak rasional, disamping tidak logis serta tidak dilandasi akal yang sehat, namun “akal sakit milik orang yang sakit”.

Bila minimarket dikelola langsung oleh pemiliknya, berupa minimarket mandiri milik keluarga, sang “tamu tidak diundang” yang bahkan akan mem-“bully” (perundungan) pihak pemilik minimarket, sebagai tidak berperasaan, “mata duitan”, serakah, tidak moralis, tidak memiliki tanggung-jawab sosial, maunya hanya untung, tidak bersedia bersedekah, kapitalis, perhitungan, hanya hal “sepele” namun diributkan (mengganggu dan berbuat jahat disepelekan oleh sang pelaku, ciri khas pelaku “perampasan hak” mana pun), jahat, tidak mau berbagi, anti sosial, tidak bertenggang-rasa, tidak memiliki pengertian betapa dirinya sedang kelaparan dan kesulitan ekonomi, dan segala alasan lainnya yang dicari-cari lainnya yang pada pokoknya ialah mencampur-aduk antara urusan dan kepentingan diri pribadinya dengan urusan pihak lain. Yang bersalah, justru merasa berhak menuduh korbannya secara “tidak-tidak”, lewat modus “putar balik logika moril” yang bertujuan memanipulasi mental korbannya—semata karena kalangan penjahat tidak memiliki norma moril semacam “Kode Etik profesi Penjahat”.

Contoh lainnya, dua pihak penyedia jasa yang satu sama lain notabene merupakan kompetitor yang saling bersaing, dimana penyedia jasa yang satu melakukan berbagai pengorbanan dengan persiapan dan perencanaan yang matang agar usahanya bisa mencetak sukses, menganggarkan biaya promosi dan merketing dalam rangka “branding usaha”, dimana bahkan prosesnya memakan waktu penuh kesabaran hingga bertahun-tahun sebelum berhasil mencetak kesuksesan dan laba dimana tidak jarang tahun-tahun awal mengalami kerugian usaha, sementara itu pihak penyedia jasa kompetitornya tidak bersedia berkorban dan merepotkan diri dengan segala pengorbanan dan pengeluaran yang harus dikerahkan sebagai konsekuensi logisnya.

Ketika pada gilirannya penyedia jasa yang pertama mengalami kesuksesan besar mencetak laba demi laba sepanjang tahunnya dan tahun-tahun berikutnya berhasil menguasai pangsa pasar dan bertumbuh pesat meninggalkan sang kompetitor, pihak kompetitor merasa berhak untuk iri-hati dan dengki, menyatakan kepada kompetitornya agar “jangan serakah”, agar dapat saling berbagi konsumen, agar tidak memonopoli pasar, agar “tidak memakan sendiri saja”, agar dapat bertenggang-rasa, agar memberikannya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan sebagai sumber nafkah, agar menyerahkan sebagian pangsa pasar untuk digarap dirinya, agar ini dan agar itu yang pada pokoknya ialah cerminan sikap yang tidak profesional, dimana tentunya, alasan mana “dicari-cari” sifatnya.

Faktanya, orang-orang yang tidak memiliki “rasa malu” demikian telah banyak penulis jumpai di Indonesia. Entah dapat kita ebut sebagai budaya ataukah sebagai kebiasaan yang “anomali” semata sifatnya, namun bila kejadiannya ialah demikian masif dan meluas, dimana nomor kontak kerja profesi penulis disalah-gunakan baik oleh masyarakat umum maupun oleh kompetitor profesi penulis (sesama penyedia jasa layanan hukum) semata untuk “memperkosa” dan memperbudak profesi penulis, tanpa bersedia membayar kompensasi layanan jasa SEPERAK PUN—yang mana irasionalnya ialah, tanpa malu masih pula mengharap dilayani, melanggar larangan untuk menyalah-gunakan nomor kerja ataupun email profesi penulis, yang mana sebagian diantaranya tidak jarang menggunakan modus-modus dalam rangka manipulasi dan eksploitasi.

Selama ini, klien pengguna jasa profesi penulis tidak ingin repot-repot sebagaimana betapa repotnya selama ini penulis menekuni profesi sebagai Konsultan Hukum, karenanya para klien pengguna jasa profesi penulis patut membayar mahal untuk itu sebagai kompensasinya—dimana disaat bersamaan penulis memahami serta patut menyadari betul bahwa penulis layak untuk mendapatkan kompensasi secara memadai setara dengan segala pengorbanan yang selama ini telah penulis kerahkan dan upayakan.

Menjadi wajar dan dapat kita dimaklumi pula, bila terdapat pihak-pihak yang mencoba melanggar larangan untuk tidak menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, semata untuk “memperkosa” profesi penulis, akan penulis berikan respons berupa ganjaran “punishment” sekeras dan setegas mungkin, dimana mereka melakukan secara disengaja yang karenanya tidak akan penulis maafkan sekalipun mereka meminta maaf atas perbuatan mereka yang dengan lancang “mencoba-coba untuk memperkosa dan memperdaya” (mengeksploitasi ciri khas perbudakan dan penjajahan ala mental kolonial) profesi orang lain yang sedang mencari nafkah.

No pain, no gain. No gain, no pain. Itulah yang menjadi sendi utama dari “prinsip meritokrasi”, dimana kecurangan sama sekali tidak dapat diberi tolerir ataupun ruang bagi kompromi. Pihak-pihak yang hanya tahu dan pandai dalam merampas dan mengambil, alias meminta-minta tanpa mau memberi yang dilandasi jiwa keserakahan itu sendiri, secara penuh kecurangan meminta agar pihak lain direpotkan sementara dirinya sendiri tidak bersedia merepotkan diri dengan kerepotan dan resiko serupa bagi pihak yang direpotkan, sejatinya telah melanggar prinsip dasar hidup antar sesama umat manusia, yang kita sebut dan kita kenal dengan nama istilah “prinsip resiprositas / resiprokal”—yang bermakna prinsip bertimbal-balik : Ada hak, maka ada kewajiban. Meminta, harus memberi. Mengambil, wajib memberikan. Saling menerima dan saling memberi, tanpa bertepuk sebelah tangan bagi salah satu pihak, membentuk “harmoni sosial” dalam keseimbangan dan kesejajaran yang setimpal.

Seseorang yang bahkan gagal menjiwai dan mengimani prinsip dasar hidup sebagai sesama umat manusia demikian, bahkan tidak layak disebut, mengaku, ataupun diperlakukan sebagai seorang manusia. Pihak-pihak yang hanya mau mengambil, tidak bersedia merepotkan diri menghadapi resiko potensi usaha merugi, keluar sejumlah modal, menekuni suatu bidang profesi yang tidak pernah sedikit memakan waktu, sumber daya energi, biaya, serta segala pengorbanan “di balik layar”, jangankan meminta sesuatu dari orang lain tanpa hak untuk itu, mengharap pun janganlah dilakukan—karena itu hanya akan melecehkan pihak yang dirugikan setelah susah-payah dan segala jirih-payah yang mereka kerahkan untuk kelangsungan hidup dan usahanya.

Contoh konkret lain yang tentunya tidak jarang kita jumpai, kalangan pedagang berdagang secara liar dengan menyerobot hak-hak pejalan kaki di trotoar. Ketika mereka ditertibkan oleh aparat maupun oleh teguran warga pejalan kaki (yang dapat dipastikan akan lebih galak yang ditegur daripada warga pejalan kaki yang menjadi korban yang terampas haknya atas jalanan milik umum yang bebas dari gangguan), alasan yang dicari-cari dan dibuat ialah kalimat “sakti” yang sudah klise berikut : “Kalian ingin melarang saya mencari nafkah untuk sumber makan bagi keluarga? Nafkah adalah hak asasi manusia!

Apakah berdagang secara liar yang merampas hak-hak warga lainnya, seperti mengalih-fungsikan wilayah pemukiman menjadi sebuah tempat usaha yang mengganggu warga, adalah hak asasi manusia? Apakah korban-korbannya yang merugi dan dirugikan, tidak punya hak asasi manusia? Berbicara mengenai hak asasi, hak ada karena ada kewajiban, kewajiban asasi manusia. Kita tidak dapat berbicara dan menuntut hak, sementara disaat bersamaan kita melalaikan dan menutup mata dari apa yang menjadi kewajiban diri masing-masing pihak. Bila seseorang tidak bersedia dibebani kewajiban, maka atas dasar apa dirinya merasa memiliki hak terhadap orang lain?

Tidak ada yang melarang mereka untuk mencari nafkah, namun mengapa harus dengan cara-cara yang curang, merampas hak pihak lain, serta melanggar hukum alias ilegal? Mereka, pada pedagang liar, tidak ingin repot-repot mencari kios ataupun ruko untuk disewa sebagai tempat usaha secara patut dan layak selayaknya bangsa beradab yang patuh terhadap hukum dan aturan. Mereka tidak ingin seperti para pedagang yang berdagang secara legal dan resmi pada lokasi yang memang menjadi peruntukan untuk berusaha, harus mengeluarkan komponen biaya untuk menyewa kios dan ruko sebagai tempat usaha mereka. Alhasil, pedagang yang berdagang secara resmi, seolah mendapat dis-insentif berupa harga jual barang dagangan mereka yang kalah bersaing dengan produk serupa yang dijual oleh para pedagang liar semata akibat komponen biaya sewa gedung untuk tempat usahanya—disamping fakta ekonomis bahwa para pedagang liar memiliki spot lapak usahanya yang lebih strategis di bahu ataupun bahkan di trotoar jalan sehingga menutupi pertokoan resmi yang berlokasi tepat di belakang lapak para pelapak liar demikian.

Contoh berikut ini dapat dipastikan dialami oleh setiap pelaku usaha ketika mengurus perizinan usaha yang mau tidak mau mengalami kerumitan dan pungutan liar oleh sebab faktor birokrasi yang berprinsip “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”, terutama ketika masih era permohonan perizinan secara manual. Pihak petugas / pejabat penerbit izin, meminta sejumlah pungutan liar dengan mengatas-namakan alasan : “Kalau usaha kan artinya mendapat untung, apa salahnya bagi sedikit keuntungan untuk saya?” Lebih durhaka daripada pegawai yang durhaka terhadap majikan pemberi sumber upah penghasilannya, yang semestinya melayani justru meminta dilayani dari warga pembayar pajak sumber gaji mereka.

Sang Aparatur Sipil Negara, tidak ingin merepotkan dirinya seperti kalangan pelaku usaha yang memusingkan dan merepotkan segala sesuatu terkait kegiatan usaha secara wiraswasta, lengkap dengan segala resiko usaha seperti “untung dan rugi adalah wajar”, hingga tiada jaminan usaha dapat terus eksis sepanjang tahun, disamping keberadaan kompetitor yang kian deras memasuki segmen pasar yang sama. Lagi dan lagi, ketika kita mencoba menyampaikan agar sang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan “pemerasan terselubung” agar menjadi pekerja swasta atau menjadi wirausahawan swasta saja agar mengetahui kesukaran dibalik dunia dagang dan niaga per-swasta-an, terutama potensi resiko meraih laba usaha namun juga dapat mencetak kerugian usaha, maka sang Aparatur Sipil Negara “mencari-cari alasan” dengan “alasan yang dibuat-buat” semacam : “Mana buktinya, usaha kamu mengalami kerugian tahun ini atau tahun lampau? Mana laporan keuangannya yang diaudit oleh auditor independen? JIka masih merugi atau memang merugi, buat apa masih diusahakan?

JIka kita mencoba mendebat dan berdebat, bahwa sang Pegawai Negeri Sipil telah makan “gaji buta”, seolah-olah bekerja tanpa diupah, seolah-olah rakyat sipil pembayar pajak (sumber gaji dari sang Aparatur Sipil Negara) yang harus melayani sebagaimana nama peran dan tanggung-jawab tugasnya sebagai “civil servant” (perhatikan terjemahan istilah demikian, siapa yang menjadi pelayan siapa?), maka bisa dipastikan sang pemegang kekuasaan monopolistik penerbit perizinan demikian akan mempersulit atau setidaknya membuat tekanan secara politis terhadap warga sipil yang selalu lemah daya tawarnya. Sikap-sikap “mau menang sendiri”, sangat jauh dan bertolak-belakang dengan “prinsip meritokrasi” yang landasan utamanya tidak lain tidak bukan ialah jiwa “fairness” itu sendiri yang karenanya egosentris menjadi musuh paling utama dibaliknya sekaligus berpotensi merusak.

Sikap-sikap seperti hanya bermaksud untuk mengambil keuntungan dengan merugikan pihak lain, atau merampas hak-hak pihak lain, bukanlah suatu bentuk “simbiosis mutualisme”, namun suatu perampasan terhadap “nasi” yang ada di atas piring milik profesi orang lain—yang karenanya apanya lagi yang perlu dinegosiasikan, bila sifat-sifat yang ada dan ditampilkan ialah sikap-sikap yang jauh drai prinsip kerja-sama yang dilandasi oleh jiwa gotong-royong yang tidak lain ialah “prinsip resiprositas” yang tampaknya memang jauh dari jangkauan kultur “bangsa agamais” ini.

Sifat-sifat yang hanya “mau menang sendiri”, “mau untung sendiri”, “mau enak sendiri”, “mau curang sendiri”, “mau merampas sendiri”, “mau hidup sendiri”, dan segala derajat kecurangan disamping keserakahan serupa, bukanlah cerminan watak seseorang dengan jiwa ksatria, namun lebih menyerupai watak seorang bermental pencuri, perampok, dan penjajah yang sifatnya selalu berupa wujud manipulasi, eksploitasi, dan memperdaya yang mana tentunya, tidak tahu dan tidak punya rasa malu akibat dibutakan oleh keserakahan itu sendiri.

Adalah wajar, seseorang dijerat kemiskinan dan tersisih bila tidak berani dan bersedia melakukan pengorbanan diri serupa dengan segala resiko usah dan kerepotan yang ada “dibalik layar”, hanya mau enaknya, “mencari-cari alasan” dengan “alasan yang dibuat-buat” hingga “alasan yang mengada-ngada” yang pada pokoknya dibahan-bakari oleh niat buruk semata untuk secara disengaja melanggar prinsip kesetimpalan maupun prinsip resiprositas yang menjadi sokoguru prinsip gotong-royong satu sama lain antara penyedia dan pengguna jasa dan/atau barang. Justru menjadi sebentuk ketidak-adilan itu sendiri, ketika orang-orang yang tidak bersedia berkorban diri maupun merepotkan dirinya, dengan harapan kelewat “korup” berupa mengharapkan dapat lebih sukses dan lebih makmur daripada mereka yang selama ini menempuh perjalanan hidupnya dengan bekerja secara lebih keras, lebih penuh pengorbanan, lebih penuh resiko, lebih penuh kerepotan, dan secara lebih optimal.

Seseorang yang tidak secerdas orang lain yang lebih cerdas, tidak dapat mengatas-namakan “diskriminasi” ketika dirinya kalah bersaing, sejak muda seperti malas belajar, malas menanam Karma Baik sehingga hanya terlahir dengan “hardware” berupa kapasitas otak yang “pas-pas-an” secara “apa adanya”, tidak bersedia mengeluarkan sejumlah biaya untuk mengikuti pendidikan khusus yang bermutu, tidak ingin merepotkan diri dengan segala kerepotan yang dihadapi dan dialami oleh mereka yang tergolong menjadi cerdas berkat segala jirih-payah dan pengorbanan diri. Tenaga terampil yang berpengalaman dengan “jam terbang”, jelas lebih berharga daripada tenaga “karbitan” yang “dadakan” dan “anak kemarin sore”.

Seseorang yang tampil “modis”, sebagai salah satu ilustrasi lainnya, adalah wajar lebih dihargai oleh banyak orang, semata karena mereka melakukan banyak pengorbanan dengan rutin membeli (mengeluarkan biaya) produk-produk fashion terbaru, mengikuti rancangan mode dari pusat mode dunia, mengenakan pakaian ataupun menyandang tas dan topi bermerek bermerek ternama, dan menghabiskan banyak waktunya untuk merias diri secara mendetail penuh perhatian pada detail dan komposisi penampilan. Mereka layak dan berhak mendapatkan “reward” oleh publik atas segenap kerepotan dan pengorbanan yang telah mereka kerahkan selama ini untuk tampil “modis”.

Begitupula yang memiliki wajah maupun tubuh yang rupawan, cantik, memikat hati, dan “bersih” terawat, hasil dari rutinitas perawatan terhadap penampilan diri maupun seni make-up yang berbobot dan berselera tinggi, memiliki tubuh yang ramping, berotot, ataupun yang bebas dari bentuk-bentuk pengabaian diri, adalah sudah sepatutnya dan sewajarnya bila mendapatkan apresiasi serta penghargaan secara “lebih” oleh masyarakat ketimbang mereka yang kurang memiliki kecantikan ataupun ketampanan serupa. Tiada pria tampan, bila rambutnya dibiarkan tidak terurus layaknya rambut “sarang burung” ala Albert Einstein—namun Einstein dihargai dan dihormati karena kerepotannya mengembangkan kapasitas dan potensi otaknya.

Setidaknya, pada kehidupan lampau mereka merepotkan diri menanam benih-benih Karma Baik, sehingga pada kehidupan masa kini terlahir dengan “modal” berupa wajah dan tubuh yang rupawan, ramping, serta ideal disamping memiliki Kode Genetik yang unggul. Jangan salahkan mereka yang berparas cantik dan rupawan, justru yang memiliki tubuh dan wajah yang “kurang” yang perlu menyalahkan kemasalasan dan perbuatannya sendiri sehingga memiliki “modal” yang kurang memadai untuk dibawa saat kelahirannya kembali. Semua itu adalah “buah” atau hasil maupun akibat / reaksi dari perbuatan kita sendiri di masa lampau—suatu hukum tentang “sebab dan akibat”.

Karenanya, tidak ada yang perlu di-“iri hati”-kan terlebih merasa dengki melihat kesuksesan dan keberhasilan orang lain. Kita cukup mengikuti jejak-langkah mereka agar dapat menghasilkan prestasi serupa, mulai menanam kebaikan dan hal positif di jalan yang sama dengan mereka, sebagaimana pesan pepatah klasik : Daripada menyalahkan kegelapan, lebih baik kita menghidupkan pelita. Semua itu hanyalah “buah” yang sedang matang dan berbuah untuk dipetik manisnya oleh mereka yang pada kehidupan lampau rajin menanam Karma Baik. Sesederhana itu saja, tanpa perlu kita perkeruh oleh rasa cemburu, selain merasa kecewa terhadap diri sendiri yang kurang bersikap baik terhadap diri kita, justru acapkali bersikap “egois terhadap diri kita sendiri” dengan alih-alih menanam Karma Baik justru menabur perbuatan buruk untuk kita petik sendiri tatkala buah pahitnya ranum dan berbuah “getir”.

Mereka bukan merenggut kebahagiaan dari kita, mereka sekadar memetik apa yang memang sepatutnya mereka nikmati, dimana kita merasa terluka ketika memperbandingkan hidup kita dengan mereka yang lebih “mujur” modal hidup yang mereka miliki. Perbandingan diri, hanya patut kita lakukan dalam rangka menjadi teladan dan “role model” semata. Sebagaimana pepatah klasik lainnya pernah mengingatkan : Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tidaklah dapat, kita bersikap curang dengan mengatas-namakan “cemburu” atau slogan penuh iri-hati semacam “tidak adil”, lantas merenggut kebahagiaan yang menjadi milik orang lain ataupun yang sedang dinikmati oleh si penanam-nya itu sendiri—itu namanya “merampok”, tindakan tercela alias menanam benih Barma Buruk lain lainnya.

Solusi bagi mereka yang sedang “kurang beruntung”, bukanlah dengan cara mencuri dan merampas hak-hak orang lain, terlebih mencuri dan merampok nasi dari atas piring milik orang lain, itu hanya memperkeruh yang sudah keruh, namun dengan cara yang arif dan bijaksana bernama “gerakan memulai menanam kebaikan” itu sendiri. Tidak ada cara yang lain, yang artinya kita harus mau menyingsingkan lengan baju dan mulai merepotkan diri “turun ke sawah” dan berbecek-becek untuk menanam dengan tangan kita sendiri. Tiada gunanya merasa iri-hati maupun cemburu, masing-masing dari kita mewarisi serta sebagai pewaris dari perbuatan kita sendiri. Kita kecewa serta dikecewakan oleh perbuatan kita sendiri dan buah dari perbuatan kita sendiri. Namun kita pun dapat berbahagia dan dibahagiakan oleh perbuatan dan buah dari perbuatan kita sendiri.

Beigtupula dengan mereka yang merepotkan diri menghadapi potensi resiko dibalik tindakan invasif medik-estetika bernama “operasi plastik” atau biasa disebut dengan istilah singkatannya sebagai “oplas”, menjadi memiliki penampilan yang di-korektif berkat keberanian menjalani proses operasi yang membutuhkan pengorbanan dari segi energi, biaya, pikiran, mental, karenanya mereka layak mendapat “kompensasi” berupa “reward” oleh masyarakat. Seseorang yang terlahir dalama kondisi cantik dan rupawan sejak lahir (natural beauty), tidak berhak untuk mengkritik atau mendiskreditkan mereka sebagai “makhluk artificial” yang “tidak asli”.

Terlebih masyarakat yang berparas “pas-pas-an”, menjadi kalah cantik dan kalah rupawan dengan mereka yang berhasil melakukan operasi-estetik, tidak berhak karena iri-hati dan cemburu, lantas mem-bully mereka sebagai “tidak asli” yang “bertopeng”. Faktanya, tiada ada yang “asli”. Orang-orang yang mengkonsumsi produk-produk konsumsi bermutu tinggi maupun kosmetik yang unggul dari mutu produk, cenderung lebih memiliki tubuh yang tumbuh dengan optimal dan “segar”. Sama halnya, make-up itu sendiri adalah “topeng”. Membalut diri dengan busana pun, tidak terkecuali merupakan “topeng” itu sendiri.

Mungkin yang terburuk ialah semacam skema “jaminan sosial kesehatan gotong-royong”, dimana yang hidup secara sehat (artinya perlu pengobanan berupa selama ini pantang makan makanan yang tidak sehat, diet rendah kolesterol, rajin berolah-raga, mengkonsumsi makanan dan suplemen yang bernilai dan bermutu tinggi yang artinya biaya, mengkonsumsi sayur dan buah-buahan, alokasi waktu, serta tenaga untuk menjagak kebugaran tubuh itu sendiri), justru harus menanggung biaya urun-rembuk iuran bagi warga yang kurang memiliki gaya hidup yang sehat dan disiplin. Singkatnya, “prinsip meritokrasi” mengusung konsep atau tema “reward and punishment” bagi yang bersedia repot-repot dan bagi yang tidak bersedia repot-repot dan merepotkan dirinya sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.