Hak Mencari Nafkah Vs. Menghalalkan Segala Cara, Merampas Hak Orang Lain

ARTIKEL HUKUM

Melecehkan Budaya Etnik atau Kaum Lain sebagai Alat untuk Mengamen, dengan Alasan Mencari Nafkah? Cerminan Jiwa yang Miskin Kreativitas, Seolah Tiada Cara Lain untuk Mencari Nafkah

Tidak ada orang yang melarang warga mana pun untuk mencari nafkah, namun mengapa caranya mencari pendapatan ialah dengan cara-cara yang merugikan pihak lain, terlebih melecehkan budaya kaum lain, maka pada titik itulah perlu kita permasalahkan baik secara sosial maupun secara hukum. Para pengamat dan politikus yang kurang arif-bijaksana akan menyatakan bahwa itu adalah hak-hak orang untuk mencari nafkah, sebagai hak asasi manusia untuk mencari penghasilan guna memberi makan keluarganya.

Semua pedagang berhak untuk berdagang, namun apakah dapat dibenarkan dengan “menghalalkan segala cara” seperti berdagang secara liar pada trotoar (peruntukkan ruang yang tidak semestinya) yang merampas hak-hak para pejalan kaki untuk melintas dengan tanah, aman, dan nyaman? Semua orang yang hendak berbisbis adalah berhak untuk berbisnis, namun apakah artinya dapat dibenarkan melanggar hukum dan mengganggu ketenangan hidup warga pemukim seperti mengubah dan mengalih-fungsikan wilayah pemukiman sebagai tempat usaha yang berdampak pada gangguan ketenangan hidup warga pemukim?

Norma hukum, selain memberikan kebolehan dan hak, disaat bersamaan juga mengatur perihal larangan, kewajiban, serta perintah disamping segala retriksi lainnya (pembatasan atau pengekangan, demi melindungi warga dari “kebebasan tanpa batasan” oleh warga lainnya, mengingat setiap warga hidup saling berbagai ruang gerak dan ruang nafas, karenanya sikap-sikap semacam “perampasan tanpa hak” tidak dapat dibenarkan oleh atas nama apapun), membentuk suatu “ruang diantaranya” yang rapat bernama “koridor hukum”.

Mengatas-namakan “mencari nafkah”, lantas merugikan pihak atau warga lainnya, itulah yang disebut sebagai “penyalah-gunaan” dan “menyalah-gunakan”, yang tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diberikan kompromi ataupun toleransi oleh hukum, mengatas-namakan apapun itu alibinya. Pada titik itulah, hukum harus ditegakkan setegak-tegaknya secara keras dengan alat pemaksanya yang koersif sifatnya, sebagai pembeda antara norma sosial dan norma hukum yang imperatif-preskriptif sifatnya, tanpa “pandang bulu”—dalam pengertian, orang miskin yang beralibi mencari nafkah sekalipun perlu ditindak bila cara-caranya mencari nafkah ialah ilegal dan merugikan hak-hak warga lainnya.

Negara kita ialah “negara berhukum” (rechtsstaat), bukan negara “banyak alasan” seolah-olah dapat menjadi alasan pembenar dan pemaaf untuk merugikan dan merampas hak-hak warga lainnya tanpa hak. Kita jangan lupa, bahwa warga pemukim pun memiliki hak asasi untuk bermukim dan bertempat tinggal bebas dari segala jenis gangguan kegiatan usaha, karenanya hak berkelindan dengan kewajiban bagi pihak lain untuk menghormati hak-hak para warga pemukim atas pemukiman yang damai, aman, bebas dari gangguan dan polusi sosial ataupun cemaran apapun.

Bisa jadi, kalangan perampok, penipu, pencuri, atau bahkan koruptor sekalipun, akan berkilah bahwa aksinya adalah dalam rangka “mencari nafkah”, sekalipun itu dengan cara merampas nasi dari piring milik orang lain, suatu alibi yang sempurna sebagai “alasan pembenar”. Mata pencaharian yang benar, itulah salah satu dari “jalan mulia berfaktor delapan” sebagaimana telah dinasehatkan oleh Sang Buddha, yang mana oleh Beliau perbuatan baik didefinisikan sebagai “tidak merugikan orang lain, juga tidak merugikan diri sendiri”, sehingga mata pencaharian yang baik dapatlah kita definisikan sebagai “tidak merampas hak orang lain, juga tidak merusak diri sendiri (dengan menanam benih perbuatan jahat dengan merugikan, menyakiti, ataupun melukai orang lain)”.

Karenanya, bila disebut sebagai “hak mencari nafkah ialah hak asasi manusia”, tampaknya belum bisa kita benarkan bila dituturkan secara tidak lengkap sebagai “hak mencari nafkah secara baik dan benar, ialah hak asasi manusia”, yang karenanya secara “a contrario” dapat kita maknai sebagai “mencari nafkah secara ‘jalan pintas’, dengan ‘memancing di air keruh’, secara tidak baik dan tidak benar, secara merugikan pihak lain, secara merampas hak-hak milik orang lain, secara mengganggu kedamaian hidup pihak lain, BUKALAH ialah hak asasi manusia” yang karenanya tidak patut diberikan perlindungan maupun pengakuan oleh hukum, dimana bahkan hukum wajib untuk menindaknya secara tegas demi tercipta kepastian dan ketertiba umum bagi segenap rakyat—agar negara benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai pengawas serta pemberi perlindungan, tidak seperti praktik selama ini di Indonesia dimana penguasa monopolistik kekuasaan alat-alat negara dan penegakan hukumnya justru berpihak kepada kalangan yang mampu “menyuap” sehingga hukum menjelma “tebang pilih” serta kian mencederai sanubari rakyat jelata yang menjadi korban terdampak langsung.

Yang dimaksud dengan “menghalalkan segala cara” itu sendiri, dapat kita cerminkan dalam kisah klasik yang kurang mendidik bernama Robinhood, yang dengan alasan memberikan dan mendistribusikan makanan bagi orang-orang miskin, sang “pahlawan” bernama Robinhood, mencuri dari orang lain yang lebih berpunya, yang bisa jadi pada mulanya juga berangkat dari kaum miskin yang berjuang keras bekerja secara legal. Siapa pun berhak untuk sukses dalam karirnya, namun mengapa dengan cara-cara curang dan tidak jujur? Orang-orang yang kreatif, hanya akan tertarik untuk berkompetisi secara akuntabel dan transparan, dikarenakan mereka sudah kreatif “dari sananya”, sehingga tidak pernah membutuhkan cara-cara curang yang tidak jujur sebagaimana rata-rata manusia yang tidak mengenal budaya jujur seperti tercermin pada sebagian besar masyarakat kita seperti para pedagang kecil di sebuah pasar tradisional sekalipun yang menjual produk konsumsi yang tidak jujur sehingga membahayakan keselamatan dan kesehatan konsumen pembeli dan pembayarnya sendiri.

Jauh sebelum pandemik akibat wabah Corona Virus Tipe-2 melanda Indonesia, fenomena unik namun sama sekali tidak mendidik dan tidak etis muncul pada wajah jalanan di perkotaan Ibukota Jakarta, yakni para etnik pribumi mengenakan atribut budaya etnik Tionghua berupa barongsai untuk dijadikan sebagai alat “mengamen”—alias penyalah-gunaan, bahkan tanpa seizin kaum etnik Tionghua yang notabene pemilik atau stakeholder budaya Tiongkok semacam barongsai, lengkap dengan tabuh (drum) dan simbal yang dibunyikan secara keras di sepanjang jalan sehingga cukup mengganggu ketenangan hidup warga pemukim untuk dapat beristirahat dengan tenang (terlebih bagi kaum lanjut usia yang peka dan sensitif suara gaduh, mengapa perbuatan mengganggu seolah-olah bukan hal tabu di Indonesia?), sekalipun itu terjadi diluar hari ataupun bulan Imlek, tahun baru Chinese.

Pelakunya terdiri dari tiga orang anak muda, kesemua berkulit hitam dari latar-belakang etnik pribumi, yang tampaknya tidak di-didik oleh orangtua maupun para sesepuhnya agar menghormati budaya milik kaum lainnya, bahkan melecehkan seolah sebagai “topeng monyet” yang dibawa kemana-mana untuk menemani mereka “mengamen” dari satu jalan satu ke jalan lainnya. Ketika pelakunya penulis tegur, lagi-lagi dan lagi-lagi, bagai episode klasik yang terus terjadi, lebih “galak” orang “Made in Indonesia” yang ditegur, seolah sudah ciri khas kultur atau mindset dari Bangsa Indonesia, bangsa yang sudah tidak tertolong lagi meski sudah demikian “bengkok” peradabannya—belum lagi ditambah budaya “suka main kekerasan fisik untuk menyelesaikan segala masalah” serta budaya “penuh kecurangan dengan tidak pernah ‘satu lawan satu dengan tangan kosong’” (tidak pernah ada preman “Made in Indonesia” yang berani memeras, mengintimidasi, dan menganiaya korbannya bila sang preman hanya tampil seorang diri dan tidak bersenjata, mental “pengecut” ala preman Indonesia, sehingga sejatinya kalangan preman di Indonesia bukan ditakutkan dan disegani karena keberaniannya, sebaliknya justru karena sifat pengecutnya dalam memakai cara-cara curang yang jauh dari kata “pria jantan”).

Saat pandemik Corona Virus merebak, menjadi alasan pembenar bagi warga dari luar Jakarta yang bahkan tidak memiliki garis darah silsilah keturunan warga ras Betawi yang merupakan warga asli Jakarta, menjadikan “Ondel-Ondel” sebagai alat untuk mengamen dari jalan satu ke jalan lainnya di pemukiman warga—praktik demikian jauh dari kesan “seni”, “berseni”, ataupun “seniman”. Pagelaran seni, melihat tempatnya yang patut dan layak, semisal pada tempat pertunjukkan yang semestinya memang diperuntukkan untuk itu serta pada perayaan-perayaan atau momen-momen tertentu, agar dapat diperlakukan secara hormat dan patut, alih-alih memasuki satu perumahan ke perumahan lainnya dan dari satu perkampungan ke perkampungan lainnya semata untuk tujuan mengeksploitasi budaya milik etnik atau ras dan suku lainnya semata demi keuntungan dan kepentingan pribadi, yang bahkan tanpa seizin warga Betawi yang menjadi pemilik kesenian “Ondel-Ondel”.

Sebagai contoh, apa jadinya seorang presiden berpidato di sebuah tempat dekat tempat pembuangan sampah, maka tentunya itu menjadi pelecehan bagi sang tokoh negara. Masing-masing ada tempatnya yang layak dan semestinya. Contoh lain, dengan mengatas-namakan hak untuk menikah, budaya lain yang tidak kalah tidak sehatnya di Indonesia ialah sekalipun sang pemilik hajatan adalah orang berpunya yang sejatinya mampu menyewa gedung untuk acara resepsi pernikahan putera-puterinya, namun mereka kerap memakai seluruh badan jalan untuk ditutup dan diadakan pagelaran pernikahan yang bahkan mengganggu warga pemukim hingga diadakannya “sound system hingga dini hari”—tanpa izin warga serta justru mengundang sumpah-serapah disamping kutukan dari para pengguna jalan yang tidak bisa melintas serta dari para warga pemukim yang terganggu dan dirampas hak-haknya untuk hidup secara merdeka untuk keluar dan masuk dari dan ke dalam kediamannya sendiri.

Ilustrasi berikut cukup senada dan dapat lebih membuat terang, ketika pada suatu sore menjelang matahari terbenam, penulis mengendarai kendaraan bermotor roda dua menuju jalan pulang ke kediaman sehabis seharian letih bekerja di luar rumah. Pada area perumahan dengan kondisi jalanan umum yang relatif sempit perkampungan padat penduduk dekat pemukiman tempat kediaman penulis berada, seorang pengendara kendaraan roda empat justru melaju di tengah-tengah jalan disertai gerakan maju laju kendaraan yang dikemudikannya amat sangat perlahan sehingga penulis sukar untuk melaju melintasi sang pengendara mobil yang sama sekali tidak menghiraukan keberadaan pengguna jalan lain di belakangnya (mungkinkah seseorang memiliki SQ yang tinggi, bila ternyata memiliki EQ yang memprihatinkan seperti miskinnya empati?), dimana kesabaran penulis mencapai titik kritis ketika sang pengendara mobil kemudian berhenti di tengah jalan, membuka kaca mobilnya dan asyik mengobrol dengan warga yang berdiri di pinggir jalan dengan mengenakan busana “agamais”.

Bermenit-menit penulis menunggu di belakang mobil yang berhenti di tengah jalan dan memakan seluruh lebar jalan perkampungan tersebut, sampai akhirnya penulis membunyikan klakson kendaraan yang penulis kendarai (menurut para pembaca, siapakah yang sejatinya “tidak sopan”?). Namun, tetap saja, seolah menghalangi jalan milik umum dan merampas hak-hak pengguna jalan lainnya bukanlah “dosa” (atau mungkin sudah “tidak takut dosa”, seolah dosa bukanlah hal “tabu” untuk dipertontonkan di tempat umum demikian vulgarnya), sang pengendara mobil masih sibuk dengan asyiknya berbincang-bincang dari dalam mobilnya dengan warga di pinggir jalan selama satu atau dua menit lamanya setelah itu.

Barulah kemudian, mereka menyudahi aktivitas berbincang di sembarang tempat demikian, dimana sang warga berbusana “agamais” kemudian mendekati penulis sambil melontarkan kata-kata menghardik seolah hendak menghakimi : “ORANG SEDANG NGOBROL, KAMU KLAKSON-KLAKSON!” Bayangkan bila mereka yang menjadi seorang hakim dengan kekuasaan untuk mengetuk palu di pengadilan dan menjadi pemutus perkara, “keadilan” dan selera “keadilan” yang “seronok”, bila tidak dapat disebut sebagai selera yang buruk. Korban yang justru di-maki dan di-umpat, suatu bangsa yang terputar-balik “logika moril”-nya, yang benar jadi salah dan yang salah menjadi benar, yang menjadi korban justru diberi “punishment”, semata karena mayoritas penduduknya memelihara dan terjangkit “akal sakit milik orang sakit”—zaman “edan”, dimana orang “eling” menjadi minoritas dan “aneh sendiri”, sehingga seolah-olah adalah “dosa” itu sendiri bila sang korban yang mencoba bersikap kritis tidak dibungkam dengan kekerasan fisik dan intimidasi, semata agar “borok” milik wajah mereka yang “bopeng” tidak terungkapkan.

Setelah kematian para “orang berakal sakit” demikian, kembali lagi korban didiskreditkan lewat mengumandangkan (dengan pengeras suara yang membahana, sama sekali “tanpa rasa malu” atau memang “telah putus urat malunya”) permohonan pengampunan dan “penghapusan dosa” kepada Tuhan yang diyakini oleh mereka (permohonan bukan ditujukan kepada Tuhan milik sang korban), itu pun diajukan oleh sanak keluarga sang pelaku yang telah menjadi almarhum, seolah-olah tanggung jawab hanya ada sebatas kepada Tuhan, dan tidak perlu menaruh perhatian ataupun bertanggung-jawab terhadap korban yang diabaikan saat sang pelaku masih hidup maupun setelah kematiannya.

Itulah sebabnya, menjadi seorang korban di Indonesia ialah seolah “tabu”, merugi di dunia dan di akherat, karena korban dilarang untuk “menjerit” sesakit apapun akibat perbuatan pelakunya (sang pelaku yang justru tidak dihakimi oleh warga kita yang tampaknya memiliki “sense of justice” yang benar-benar buruk), semata agar tidak diperburuk oleh diskredit oleh warga lainnya sebagai orang yang “tidak sopan” atau “sudah gila” (seolah sang pelakunya yang telah menyakiti dan merugikan warga lainnya ialah “sopan”).

Bagaimana caranya, merasa “sakit” karena disakiti, namun menjerit kesakitan yang santun? Sebuah “jeritan yang santun”, bisakah Anda memberikan contoh cara menjerit yang santun? Jangan-jangan, seekor anjing yang menjerit akibat ekornya terinjak oleh mereka pun, akan dihardik sebagai “anjing gila yang tidak sopan!” Kesabaran yang pada akhirnya meledak, karena selama ini telah bersabar dimana kini telah mencapai titik limit batas toleransi yang mampu ditampung oleh kesabaran yang tampaknya disalah-gunakan dengan ekploitatif oleh para pelakunya, kemarahan yang terus terakumulasi bagaikan gas padat berbentuk cair hasil dari pemadatan tekanan berpotensi menimbulkan ledakan yang dahsyat, adalah wajar secara psikologis dan sosiologis bila emosi akibat kesabaran yang terus ditekan kemudian sampai “meledak” dalam arti harfiah yang sesungguhnya—JANGAN PERNAH SALAH-GUNAKAN KESABARAN SESEORANG BILA TIDAK MENGHENDAKI DATANGNYA “LEDAKAN EMOSI KEMARAHAN” PADA AKHIRNYA AKIBAT AKUMULASI KEMARAHAN DAN KEKECEWAAN YANG TERPADATKAN DAN SELAMA INI TERPENDAM.

Tiada yang melarang seseorang ataupun mereka untuk mengobrol dan berbincang-bincang, namun mengapa dengan cara merampas hak pejalan dan pengguna jalan lainnya di jalan umum, seolah-olah tidak ada tempat dan waktu lain yang lebih layak dan lebih patut untuk itu? Bila penulis mencoba membela diri dan mendebat sekalipun hanya sekadar memperjuangkan apa yang memang sudah menjadi hak dari penulis selaku warga pengguna jalan milik umum, maka berdasarkan pengalaman pribadi maupun berdasarkan berbagai kejadian yang pernah dan telah penulis saksikan, pastilah penulis akan dijadikan objek penganiayaan oleh bangsa yang berfilosofikan “menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik”, terutama ketika pelakunya mengenakan atribut busana keagamaan sehingga menjelma “anti kritik” akibat “dianggap selalu benar” disamping “tidak tersentuh hukum” maupun “tidak tersentuh oleh kata hati nurani” yang mungkin telah beku secara “abadi” akibat terbiasan dan dibiasakan.

Menjadi pertanyaan di benak penulis pada saat itu, bila para pelakunya gemar melakukan dan mengumbar perbuatan yang ternyata demikian tidak bermoral semacam tersebut tatkala hendak sedang beribadah dicirikan dengan mengenakan busana “agamais”, maka bagaimana bila yang bersangkutan sedang mengenakan baju “preman” di keseharian? Ataukah, pertanyaannya harus penulis balik, justru akibat sedang mengenakan busana “agamanis”, dirinya menjadi merasa kebal (dari) hukum, kebal (dari) dosa, kebal (dari) kesalahan, serta kebal dari hal apapun?

Budaya, mengandung unsur “sakralitas” dan penghormatan disamping penghargaan yang khusyuk serta kultus yang diagungkan, bukan direndahkan derajat dan martabatnya sebagai alat untuk mengamen, seolah-olah tidak ada cara lain untuk mencari nafkah dan kesemua itu bukanlah tugas pemerintah, namun terdapat derajat tanggung-jawab pribadi masing-masing individu untuk bersikap kreatif dengan belajar dan berinovasi secara swadaya, mandiri, dan bertanggung-jawab, dalam rangka menuju pembentukan bangsa yang dewasa, cerdas, serta berkarakter unggul yang luhur—mengingat bangsa lain telah sejak lama lebih sibuk untuk urusan membangun dan merakit rancang-bangun pesawat luar angkasa yang dapat membawa penduduknya ke luar angkasa, sementara bangsa kita masih berkutat pada urusan-urusan yang tergolong “dangkal” dan tidak kreatif sifatnya yang cenderung memalukan, rendah, tidak etis, tidak senonoh, buruk, sekaligus tidak terhormat adanya.

Bangsa Indonesia secara delusif, menganggap dan memandang bahwa diri dan bangsanya ialah bangsa “agamais” yang superior, tangguh, unggul, dan dipandang oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia sebagai bangsa yang cukup disegani. Faktanya, apakah yang adanya betul-betul patut disegani dari negara dan bangsa bernama “Indonesia”? Sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, merupakan buah “KOMPROMI” bukan buah dari perjuangan semacam revolusi yang terjadi di Amerima Serikat dalam perang saudara yang benar-benar layak disebut revolusi kemerdekaan—sekali lagi, berdirinya Republik Indonesia merupakan hasil “KOMPROMI”, bukan hasil perjuangan kemerdekaan semacam revolusi. Lihat Konferensi Meja Bundar, negosiasi politis bernuansa diplomatis yang mana pemerintah dan rakyat Indonesia harus menanggung seluruh hutang-hutang Hindia Belanda sebagai syarat untuk menebus kemerdekaan yang diproklamirkan.

Berlanjut dengan Orde Lama, dibawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang menjelma otoriter di tangan Bung Karno, bermuara pada kejatuhan sang Kepala Negara bukan akibat revolusi mahasiswa, tanpa menafikan tekanan sosial gerakan mahasiswa, namun lebih kepada faktor “KOMPROMISTIS” yang politis bernama Surat Edaran Sebelas Maret (Supersemar) dalam rangka menyelamatkan wajah Presiden Sukarno yang tidak lagi mendapatkan dukungan politis dari Angkatan Bersenjata, terutama dari Angkata Darat yang dikomandoi Mayor Jenderal Suharto, anggota kabinet Orde Baru yang membelot dan mengkudeta secara politis.

Alhasil, Sukarno bukan ditumbangkan oleh revolusi, namun oleh “deal-deal politis” dimana sebelumnya Sukarno menurut catatan sejarah ketika berada dalam posisi penuh tekanan secara internal di tubuh kemiliteran, diberikan nasehat serta himbauan untuk menanda-tangani draf Supersemar yang mereka sodorkan dalam rangka menstabilkan politik dan ekonomi negara yang sedang dirudung kehancuran resesi ekonomi yang menjadi salah satu faktor pemicu paling dominan krisis kepemimpinan Sukarno. Tanpa krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada era tahun 1965 sampai tahun 1067 tersebut, Sukarno mungkin akan benar-benar terus bercokol sebagai bak “raja” untuk seumur hidupnya. Dengan kata lain, Sukarno dipaksa dan terpaksa mundur akibat tekanan ekonomi.

Berlanjut pada Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto, lagi dan lagi bukan tumbang oleh gerakan mahasiswa yang sering disebut-sebut sebagai “pahlawan reformasi”, namun oleh “KOMPROMI” politis dengan mundurnya segenap menteri yang menjadi anggota kabinet Presiden Suharto yang kian uzur dan lanjut usia yang mana memang sudah waktunya beliau menyadari betul kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk “on going”. Jangan pernah harap, si Bapak Tua Renta yang telah “jompo” tersebut akan rela mengucapkan “lengser” dalam pidatonya yang disiarkan secara luas oleh media massa kepada publik, jika dirinya masih muda dan sehat. Faktor lainnya, ialah krisis moneter 1998 yang memaksa Suharto kian memilih untuk “hengkang” dari percaturan politik sementara dirinya sudah tidak lagi “bergigi”, dalam arti yang sesungguhnya.

Berlanjut pada era reformasi, sampai pada era Presiden Joko Widodo, tiada satu pun sejarah perjuangan dicetak oleh negara dan bangsa ini. Sebagai contoh, negara-negara tetangga di Asia seperti China, Vietnam, Thailand, Selandia Baru, Malaysia, Filipina, Singapura, berani mengambil langkah tegas dan revolutif yang revolusioner dengan melakukan “LOCK DOWN” saat terjadi gempuran penjajah tidak kasat-mata bernama wabah akibat pandemik Virus Corona. Indonesia, miskin akan prestasi yang membanggakan dibidang revolusi, selalu saja memilih tunduk pada alasan pragmatis, demikian sejarah selalu berulang dan terulang terjadinya.

Alhasil, politik yang ada dan dijalankan kembali, ialah kesadaran kolektif budaya bangsa bernama “budaya KOMRPOMISTIS”, dimana sekalipun wabah melanda namun Bangsa Indonesia dengan serakahnya mengharapkan tetap sehat, pemilihan umum kepala daerah tetap berlangsung, pedal ekselerasi ekonomi senantiasa dilancarkan, tiada larangan tegas untuk “mudik” bagi warga pada musim liburan panjang, disahkannya berbagai Undang-Undang kontroversial pemicu aksi demonstrasi massa, hingga puncak klimaksnya ialah “berdamai dan hidup berdampingan dengan sang virus penyebab wabah” sekalipun belum benar-benar berperang hingga “titik darah penghabisan” (Presiden Joko Widodo mengumandangkan kalimat demikian bahkan dalam hitungan beberapa bulan sejak wabah pertama kali melanda Indonesia, sekalipun China telah berhasil mengendalikan wabah) ataupun importasi vaksin yang merupakan kebijakan nonrevolutif yang sama sekali jauh dari nuansa revolusioner.

Ekonomi hendak jalan terus, itulah salah satu cerminan tiadanya serta miskinnya jiwa revolusioner para pemimpin bangsa maupun rakyat dari negeri bernama Indonesia ini. Ketika wabah melanda, dan negara-negara tetangga memilih untuk berani berkorban dengan berdarah-darah menjalani masa “LOCK DOWN”, Bangsa Indonesia dimobilisir oleh pemerintahannya sendiri untuk menjadi motor penggerak propaganda “anti LOWN DOWN” dengan aktivitas keseharian warga tetap “ekonomi ‘on going’”. Kelak, ketika serdadu dan pasukan penjajah baik militer asing maupun virus penyebab wabah benar-benar kembali menjajah Indonesia, percayalah, pemimpin bangsa ini dan rakyatnya akan komplain dengan mengajukan protes serupa : “Lebih baik kami mati ditembak atau mati kena penyakit wabah, daripada perut mati kelaparan tidak bisa cari makan!

Aceh, ketika hendak memisahkan diri beberapa dekade lampau, lagi-lagi dan lagi otoritas Indonesia memilih pendekatan “KOMPROMISTIS” dengan menawarkan Otonomi Khusus bagi Aceh sehingga menyerupai negara Federalis di dalam Negara Kesatuan—menimbulkan “kecemburuan sosial” warga daerah lain, apakah kami harus mengikuti jejak menjadi “separatis” dahulu barulah pemerintah pusat memberi perhatian dan diberikan keitismewaan? Preseden politis yang buruk. Sama halnya dengan Papua, diiming-imingi dana Otonomi Khusus untuk “membungkam” pergolakan warga asli Papua yang menuntut kemerdekaan dan pemisahan diri. Timor-Timur, yang kini bernama Timor Leste, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat kebijakan “KOMPROMISTIS” yang sama, yakni referendum bagi segenap warga Timor-Timur—yang secara sejarahnya, adalah memang diakibatkah ulah militer Republik Indonesia yang melakukan represi menjurus pelanggaran hak asasi manusia berat terhadap penduduk mereka sehingga memantik kemarahan dan ketidak-percayaan warga lokal di Timor-Timur.

Terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia pada masa lampau, pemerintah Indonesia memilih menerbitkan regulasi tentang Rekonsiliasi, alih-alih mengadili para pelakunya demi memberikan keadilan dan kepuasan bagi para korban dan ahli warisnya. Dengan demikian, sudah terlampau banyak sejarah kebangsaan kita di Indonesia yang bernuansa “KOMPROMISTIS”. Wajah penegakan hukum kita tercoreng dan runtuhnya wibawa serta reputasi hukum, juga akibat praktik yang “KOMPROMISTIS” bernama “tebang pilih”, sehingga jauh dari kesan adanya “kepastian hukum”—sekalipun telah kita ketahui dan kerap penulis kumandangkan, tiada mungkin sekaligus “omong kosong” mampu terciptanya “keadilan” bila tiada derajat paling minimum dari “kepastian hukum”. Norma hukum memang harus dibentuk secara demokratis, namun penegakannya wajib secara komun!stik.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.