ETIKA KOMUNIKASI YANG BURUK, Jangan Bersikap Seolah-Olah Tuan Rumah yang Justru Membutuhkan Tamu yang (Bahkan) Tidak Diundang

ARTIKEL HUKUM

Vis consilii expers mole ruit sua.” Kekuatan tanpa kebijaksanaan, akan runtuh karena kehebatannya sendiri. (Horace, Odes)

Konon, disebutkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan budi-pekerti, sopan-santun, serta tata-krama, lengkap dengan etika komunikasi “Ketimuran” yang berperadaban tinggi semata karena berbusana “agamais” dan mengaku “ber-Tuhan” (namun disaat bersamaan menyibukkan dirinya dengan dosa dan maksiat, dengan menjadi penyembah ideologi “penghapusan dosa”, ideologi mana hanya dibutuhkan oleh kalangan pendosa yang berdosa).

Dalam ulasan ini, kita akan melihat bersama fakta realita yang sebenarnya terjadi di lapangan, perihal etika komunikasi yang paling amat mendasar, apakah mitos tersebut adalah “real” adanya ataukah hanya sekadar mitos “sloganis” belaka yang terkesan hendak “membohongi” anak bangsa sendiri—atau mungkin pula upaya “pengingkaran” diri akan membuat tampak citra diri Bangsa Indonesia adalah “sehat” dan sudah baik adanya. Patut diingat, ulasan ini mengulas etika komunikasi paling mendasar dari Bangsa Indonesia, yang bila ternyata etika komunikasi yang paling mendasar demikian sekalipun telah senyatanya tidak lulus “uji moril”, maka janganlah kita mengharapkan terlampau jauh dan lebih banyak dari itu dari bangsa ini atas etika komunikasi tingkat tinggi yang membutuhkan syarat EQ yang mumpuni.

Akan kita mulai bersama bahasan ini, yang entah bagaimana atau karena apa tampaknya gagal dipahami dan disadari oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Bagaimana pun serta apapun alasannya, baik ketika kita selaku “tamu” mencoba menghubungi seseorang via telepon, mengirim pesan singkat via applikasi messenger ataupun surat elektronik, bahkan hingga datang berkunjung dan mengetuk pintu kediaman milik sang “tuan rumah”, sejatinya kita sedang tengah menginterupsi hingga bahkan bisa jadi telah mengganggu waktu, kegiatan, pekerjaan, maupun istirahat dari sang “tuan rumah”.

Pengecualian hanya ada satu, telah disepakatinya sang tamu akan datang bertamu atau menghubungi pada tanggal sekian, dan tepat pada pukul sekian. Orang-orang di Indonesia bahkan kerap gagal untuk menyadari, bahwa ketika bertamu, maka status mereka adalah sebatas sebagai “tamu”, dimana yang berkuasa menentukan aturan main ialah sang “tuan rumah”, sang tamu telah masuk ke dalam domain dan yurisdiksi milik sang “tuan rumah”. Bila kita tidak bisa (atau mungkin tidak bersedia, akibat arogansi dalam diri) menghormati aturan main milik sang “tuan rumah”, maka hendaknya jangan bertamu ataupun menghubungi (yang mana bila dipaksakan, itu sama dengan telah mengganggu sang “tuan rumah”). Untuk alasan apakah?

Pertama, kita secara mendadak dan tiba-tiba tanpa waktu yang spesifik dan pasti (terlebih bila belum ada janji akan bertemu sebelumnya), menghubungi ataupun datang bertamu, dimana bisa jadi sang “tuan rumah” sedang tidak siap untuk dihubungi ataupun dikunjungi—dan janganlah kita bersikap seolah-olah sang “tuan rumah” sepanjang hari menunggu di depan kediamannya bak seorang satpam yang “kurang kerjaan”, suatu tuntutan yang kelewat tidak rasional. Kedua, jelas ialah menjadi sebentuk gangguan itu sendiri bagi kegiatan, pekerjaan, maupun waktu dan istirahat dari sang “tuan rumah”, terlebih bila gangguan berasal dari “tamu tidak dikenal” hingga sejenis “tamu tidak diundang”.

Itulah sebabnya, ketika seorang kurir pengantar paket barang mengetuk pintu kediaman atau memanggil-manggil secara tidak memiliki etika komunikasi, semacam, “PERMISI, PAKET!” (sehingga seluruh tetangga pada radius beberapa puluh meter di sekitarnya turut terganggu dan keluar rumah untuk melihat paket untuk siapakah, akibat berteriak demikian tanpa menyebutkan nama penerima ataupun nomor rumah yang dituju oleh sang kurir. Patut kita maklumi, bila para kurir tersebut memiliki “otak”, maka mereka tidak akan menjadi seorang kurir alias “tukang pengantar paket barang”), lantas bila sang kurir mengajukan protes karena “tuan rumah” lama membukakan pintu untuk menerima paket kiriman sang kurir, maka inilah yang dapat kita jawab sebagai responsnya:

“Anda datang mendadak waktunya, tiba-tiba, bersalah-lah! Kami ini bayar kok, bukan tidak membeli. Ya sudah menjadi resiko usaha Anda, jadi seorang kurir.”

Sebagai seorang “tamu” ketika kita “bertamu”, entah secara bertatap-muka langsung ataukah via jarak-jauh semisal mengirim pesan singkat ataupun telepon, sejatinya kita telah menginterupsi kegiatan, pekerjaan, maupun istirahat sang “tuan rumah”, dan disaat bersamaan mengganggu waktu milik mereka. Panduan paling terutama ketika kita bertamu, pahami dan sadari betul, bahwa kita tidak dapat bersikap seolah-olah sumber daya waktu milik sang “tuan rumah” adalah tidak berharga. Hargai waktu dan hak-hak sang “tuan rumah” untuk tidak diganggu, yang karenanya kita perlu dan wajib mengutakan kalimat berikut pada kesempatan pertama bertamu, yakni : “Maaf mengganggu, ...”—mereka yang tidak menyebutkan demikian, merupakan cerminan mentalitas “aroganis” yang tidak peka dan tidak sensitif terhadap perasaan orang yang diganggu, alias cerminan kedangkalan EQ itu sendiri, sehingga miskin dan minim empati.

Dengan berbekal EQ (Emotional Quotient) yang paling mendasar kita dapat mengevaluasi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kita, namun entah mengapa kenyataan memperlihatkan bahwa mayoritas atau sebagian besar penduduk Indonesia yang konon terampil dalam hal sopan-santun dan tata-krama, telah ternyata memiliki etika komunikasi yang amat sangat memprihatinkan dan “dangkal” dari segi penguasaan EQ. Berikut etika komunikasi sebagai kalimat pembuka ketika kita “bertamu”, baik secara tatap-muka maupun secara jarak-jauh, secara penuh kerendahan hati (dengan menyadari telah “mengganggu”) adalah wajib untuk menyampaikan sebagai berikut: (yang entah mengapa, etiika komunikasi berikut sampai-sampai harus penulis ajarkan dan merepotkan diri menuliskannya dalam satu artikel khusus untuk itu)

“Permisi... Selamat pagi / siang / malam, maaf mengganggu (Note : Yang lebih penuh kesopanan lagi ialah dalam bentuk kalimat tanya, seperti : “Apakah saya telah mengganggu?”). Nama saya ... dari ... , berkunjung / bertamu / menghubungi dalam rangka mencari Bapak / Ibu ... , untuk keperluan ... .”

Dalam sebuah etika komunikasi yang baik, ketika seseorang menghubungi ataupun bertamu, adalah penting sekali setidaknya kalimat pembuka mencakup tiga buah unsur atau elemen vital terpenting (sebagia wujud penghormatan terhadap “tuan rumah” sekaligus itikad baik) sebagaimana contoh kalimat yang penulis ilustrasikan di atas—dan disaat bersamaan dapat membuktikan bahwa EQ yang memadai sifatnya ialah minimum memiliki IQ (Intellectual Quotient) yang juga memadai—yakni terdiri dari : Pertama, permohonan maaf karena telah menganggu, sedikit atau banyaknya gangguan yang telah kita perbuat saat bertamu. Kedua, memperkenalkan diri, dengan tidak membiarkan “tuan rumah” menerka-nerka siapakah gerangan sang “tamu” yang bertamu (ingat, bukanlah “tuan rumah” yang membutuhkan kedatangan sang “tamu” yang datang bertamu tanpa diundang dan tanpa ditunggu-tunggu). Ketiga, mencari siapa dan untuk keperluan apakah, dengan tidak bersikap seolah-olah sang “tuan rumah” adalah “kurang kerjaan” sehingga memiliki waktu luang untuk diajak bermain teka-teki berupa tebak-tebakan semacam “Coba tebak siapakah saya dan coba tebak pula apa mau saya berkunjung / menghubungi?”.

Fakta berikut, penulis alami sendiri secara langsung lebih dari enam kali jumlah pengalaman serupa pada berbagai waktu yang berbeda, oleh pihak-pihak Berbahasa Indonesia yang tidak penulis kenal (alias “tamu tidak diundang”), yang penulis berikan julukan sebagai “setan tanpa nama” semata karena datang (secara) “tidak diundang”, tidak memperkenalkan diri, serta hanya datang bertamu / menghubungi sekadar untuk mengganggu waktu, kegiatan, pekerjaan, maupun istirahat penulis, secara tanpa memiliki etika komunikasi baik ketika bertatap-muka maupun menghubungi penulis secara jarak-jauh, dengan penggalan dialog sebagai berikut yang sama sekali tidak mencermintakan watak suatu bangsa “beradab”, terjadi baik via pesan singkat maupun terutamanya ialah telepon (yang berdering dan “menyalak” menuntut interupsi seketika itu juga dan gangguan yang intervensif atas kegiatan penulis selaku “tuan rumah”):

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “Selamat siang.

Dengan secara terpaksa penulis ladeni pesan yang menyerupai “spam” oleh “spammer” tersebut : Selamat siang.

[Mengapa juga, harus penulis selaku “tuan rumah” yang bertanya kepada sang “tamu tidak diundang”, siapakah gerangan dan apa maksud serta tujuannya menghubungi nomor kerja maupun email profesi penulis?]

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “Ini siapa?”, atau semacam “Saya bicara dengan siapa?

Penulis : Apa tidak salah, ANDA YANG SIAPA? Saya TUAN RUMAH, Anda itu TAMU yang BERTAMU. Mengapa Tuan Rumah, yang justru harus memperkenalkan diri pada tamu yang tidak dikenal dan tidak diundang? Kamu yang siapa dan apa maumu!? Mengapa juga belum apa-apa telah membuat kesan dan bersikap seolah-olah Tuan Rumah yang butuh Anda, wahai Setan Tanpa Nama!

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “Galak sekali!

Penulis : Dasar tamu TIDAK SOPAN, tidak punya tata-krama! Sudah mengganggu, melecehkan pula!

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “...” Kabur begitu saja. Datang tidak diundang, pergi tidak diantar.

Penulis : Dasar PENGGANGGU!

Pernah pula berupa dialog yang meletihkan berikut, karena harus menghadapi orang-orang “tanpa otak” (dimana yang berbicara ialah “otot” mereka, alih-alih “otak” milik mereka yang bersuara) yang akibatnya memiliki EQ yang tumpul dan dangkal sehingga hanya merepotkan dan menguras emosi (energi batin dan mental, disamping menyia-nyiakan waktu yang berharga, tentunya) menghadapi pengganggu-pengganggu semacam ini yang jauh dari kesan memiliki kesantunan (etika komunikasi selalu mensyaratkan kerendahan hati dan saling menghormati dari sang pembicara), dimana yang ditampilkan ialah “arogansi” itu sendiri (musuh paling utama dari etika komunikasi):

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “Halo, ini SHIETRA & PARTNERS?

Penulis : Ya, betul.

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “Anda siapa?

[Apa tidak salah? Memang apa maksud dan tujuannya, bertanya semacam itu, seolah akan ada bedanya baginya dirinya bila penulis yang mengangkat telepon adalah petugas resepsionis ataukah sebagai pemilik SHIETRA & PARTNERS? JIka penulis yang mengangkat telepon adalah pemilik SHIETRA & PARTNERS, apakah yang bersangkutan menjadikannya modus kesempatan untuk “curi kesempatan” memperkosa profesi seorang Konsultan Hukum? Faktanya, asumsi demikian seringkali benar-benar terjadi dalam realita dan telah ribuan pihak penelepon / pengirm pesan telah penulis “blacklist” akibat modus semacam itu.]

Penulis : Anda YANG SIAPA? Dasar tamu TIDAK SOPAN dan TIDAK PUNYA ETIKA!

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “Kamu lancang sekali bicaranya, saya tanya agar tidak salah alamat pihak yang saya hubungi!

[Alih-alih menyadari kesalahan dan dengan itikad baik mengoreksi kesalahan dengan semudah memperkenalkan diri (dan selesai sudah konflik komunikasi atas etika komunikasinya yang buruk), sang “setan tanpa nama” justru mencoba berdebat, seolah menghubungi dan mengganggu penulis hanya untuk mengajak berdebat, seolah-olah martabat dirinya lebih tinggi dari penulis, dimana bahkan belum resmi menjadi sebagai seorang klien saja sudah demikian “besar kepala”. Mengapa juga dirinya menyamakan penulis dengan penyedia jasa lainnya yang rela dilecehkan oleh arogansi yang bersangkutan? Kata siapa juga penulis membutuhkan calon klien semacam “preman” tidak ber-otak demikian?]

Penulis : Anda sudah bertanya di muka, ‘Ini SHIETRA & PARTNERS?’, dan sudah saya jawab, ‘Ya, betul’. Mau Anda apa sih, mengganggu waktu kerja orang lain?

Setan Tanpa Nama alias Tamu Tidak Diundang : “@$%^&**!.” Terjadilah debat kusir, dimana sang “setan tanpa nama” merasa benar sendiri, mau menang sendiri, dan lebih galak yang ditegur ketimbang yang telah diganggu dan dirugikan, khas orang “Made in Indonesia”.

Penulis : Capek deh...!

Sungguh amat meletihkan (menguras energi mental disamping emosi) ketika kegiatan dan waktu penulis diganggu dan menjadi terganggu (seolah-olah mereka, para pengganggu tersebut, memiliki hak untuk mengganggu waktu istirahat maupun waktu kerja warga lainnya), oleh mereka yang tergolong memiliki IQ dangkal, karena seseorang dengan IQ yang rendah maka kecenderungannya ialah yang bersangkutan akan pula memiliki EQ yang sama rendahnya dengan tingkat IQ yang dimiliki olehnya.

Untuk hal sesederhana itu saja, seperti ilustrasi komunikasi di atas yang penulis contohkan, dapat menjadi konflik yang luar biasa menguras emosi, dimana dalam dunia konkret “tatap muka” kerap berujung pada ancaman penganiayaan maupun kekerasan fisik disamping kekerasan verbal, sebagaimana bukan satu atau dua kali penulis alami oleh warga masyarakat Indonesia yang entah mengapa dan bagaimana selalu saja berperilaku dan bergaya bak “premanis” dibalik sikap-sikap “aroganis” yang jauh dari mitos perihal sopan-santun ataupun berbudi-pekerti yang luhur, terlebih tata-krama yang beretika.

Tidak ada yang lebih meletihkan daripada menghadapi Bangsa Indonesia, akibat IQ dan akibat pendampingnya berupa EQ yang sama-sama “tiarap”, sehingga untuk hal-hal yang sejatinya dapat disadari dan dipikirkan sendiri secara mandiri dengan kebijaksaan pribadi masing-masing, berupa etika komunikasi mendasar yang paling sederhana sekalipun, ternyata dapat berujung pada potensi konflik dan pergesekan yang bermuara pada kekerasan verbal (pada medium jarak-jauh) dan kekerasan fisik (bila dialog terjadi secara tatap-muka, dimana “hukum rimba” yang kemudian terjadi, yang kuat menindas dan mengintimidasi yang lemah).

Itulah juga sebagai bukti hipotesis penulis yang selalu menemukan afirmasi kebenarannya, bahwa tingkat IQ bukan hanya berkorelasi terhadap tingkat tinggi dan rendahnya EQ, namun juga berpengaruh kuat terhadap level SQ (Spiritual Quotient) seseorang / suatu bangsa. Bangsa “barbarik” (premanis-aroganis) dicirikan oleh perkembangan otot mereka yang lebih berkembang ketimbang otak mereka yang berkerut dan menciut—sehingga hanya dapat mengandalkan “otot” untuk menyelesaikan setiap masalah ataupun ketika mereka hendak memaksakan kehendaknya, yang karenanya tidak mengherankan bila praktik yang ada ialah cerminan sikap-sikap yang khas (sehingga dapat diidentikkan dengan eksistensi Orang Indonesia), berupa “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”.

Ajahn Brahm : “Saat hidup ini menyakitkan, sakitnya berkurang kalau Anda melihat sisi lucunya dan bisa tertawa.”

Kita tidak akan diletihkan ketika mencoba berkomunikasi dengan orang-orang yang tergolong memiliki tingkat atau level kapasitas IQ yang mumpuni, karena sebagaimana diungkapkan secara tepat dan harfiah lewat sebuah peribahasa Belanda yang secara cukup relevan, menyebutkan : “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.