Diskriminasi dalam Penegakan Hukum Pidana, Pengabaian dan Penelantaran terhadap Aduan Warga Korban Pelapor

LEGAL OPINION

Ketika Negara Abai dan Lalai, Warga Masyarakat yang Justru Harus Mengemis-Ngemis Apa yang Sudah menjadi Hak Rakyat, Korban Pengabaian oleh Otoritas Penegak Hukum (Pemerintah)

Apakah Kita Harus Mengemis-Ngemis Apa yang Memang Sudah menjadi Hak Kita? Perampasan Hak oleh Negara oleh Monopolistik Akses (Menuju) Keadilan Pidana oleh Aparatur yang Justru Tidak Menegakkan Hukum SEBAGAIMANA MESTINYA dan SEBAGAIMANA KEWAJIBAN TUGAS MEREKA (SEBAGAIMANA JUGA HAK WARGA KORBAN PELAPOR)

Question: Rasanya aneh dan ada yang tidak beres di akal sehat, negara merampas hak masyarakat untuk “main hakim sendiri” seperti untuk membalas perbuatan jahat warga lainnya, lantas mengapa sebagai seorang korban justru kita yang harus mengemis-ngemis serta mendesak-desak agar polisi mau tegakkan keadilan dan proses sesuai aturan hukum yang berlaku?

Mengapa juga kita yang jadi harus terpaksa memberikan uang “pungutan liar” agar kejaksaan dan pengadilan mau memproses laporan saya hingga dakwaan dan putusan yang memberi vonis hukuman bagi pelaku yang saya laporkan? Pelapor yang memberikan “uang pelicin” kepada polisi, bukan bermaksud mencelakai si pelapor, tapi vonis sanksi hukuman memang sudah selayaknya dan semestinya sebagai ganjaran atas perbuatan jahatnya, jika proses pidana benar-benar dijalankan aparatur penegak hukum yang menerima aduan atau laporan warga selaku korban kejahatan.

Padahal, semua ini adalah hak-hak saya selaku warga sipil, yang mana negara monopolisir hukum pidana dan merampas hak saya untuk membuat pembalasan dendam pribadi. Nurani keadilan saya justru kini lebih banyak terluka ketika melihat realita praktik aparatur penegak hukum itu sendiri di lapangan, untuk mendapatkan hak pun kita sebagai warga sipil sampai harus mengemis-ngemis, repot bukan main bolak-balik, hingga membayar sejumlah pungutan liar agar laporan tidak “mangkrak” (di-peti-es-kan), tidak dipersulit, dan tidak di-“ping-pong” ke sana ke sini bolak-balik tanpa kepastian ataupun kejelasan tindak-lanjutnya. Untuk apa melapor, jika tidak ada tindak lanjutnya?

Belum lagi kita bicara realita banyaknya petugas pemerintahan kita yang semestinya menegakkan peraturan ketika terjadi pelanggaran oleh warga lain, justru pejabat dan petugas pemerintah menjadi “backing” dari aktivitas ilegal dari warga yang melanggar aturan hukum dan meresahkan masyarakat, semata karena para penguasa tersebut telah “di-beli” dan “di-suap” sehingga menyalah-gunakan kekuatan monopolitiknya untuk merepresif ataupun sebaliknya untuk mengabaikan dan membiarkan pelanggaran terus terjadi, sehingga warga lain menjadi seolah tersudutkan atau terkucilkan berdiri dan melindungi diri seorang diri tanpa perlindungan maupun pengawasan dari negara yang tidak benar-benar hadir di tengah masyarakat, namun masih juga memungut pajak dengan cara-cara pemaksaan.

Pada gilirannya, keluarga kami menjelma apatis, untuk apa lagi melapor, apakah ada gunanya, apakah tidak akan kembali sia-sia? Negara Indonesia benar-benar mirip seperti negara preman, negara tanpa hukum, yang ada ialah hukum rimba, siapa yang kuat maka ia yang memakan orang yang lebih lemah, siapa yang mampu membayar dan membeli jiwa para penguasa maka ialah yang akan kebal dari segala perbuatan buruknya. Ujung-ujungnya, kami mulai berpikir, sebenarnya negara ini ada dan didirikan lengkap dengan aturan represif perihal kewajiban membayar pajak oleh rakyat, buat apa?

Ada atau tidaknya negara dan pemerintah kita ini, apa ada bedanya? Tampaknya memang hanya ada dua jenis penegakan hukum yang tegas di Indonesia, yakni saat negara hendak memungut pajak, dan kedua ialah ketika polisi hendak menilang kendaraan di jalan untuk menarik pungutan liar pada pengendara dengan cari-cari alasan yang tidak jarang mengada-ngada, dimana kita selaku warga benar-benar “tidak berkutik” tanpa daya dibuat oleh para pemegang kekuasaan monopolistik itu. Antara negara merdeka dan negara yang sedang terjajah, menjadi sukar dibedakan karena kondisi realitanya menjadi demikian tipis garis pemisahnya terutama di Indonesia.

Brief Answer: Secara politis, hukum negara terutama hukum acara pidana membuat posisi daya tawar masyarakat sipil menjadi lemah di hadapan aparatur penegak hukum, bahkan harus “mengemis-ngemis” agar hukum pidana dan keadilan ditegakkan sekalipun memang itu menjadi hak-hak konstitusional dari warga sipil yang menghadap sebagai korban pelapor—yakni diakibatkan suatu monopolistik kewenangan penegakan hukum pidana, dari yang sebelumnya setiap warga bebas dan merdeka untuk “main hakim sendiri”, untuk menyandang senjata api maupun senjata tajam dalam rangka “membela diri” ataupun untuk melakukan aksi pembalasan (retributif) maupun dalam rangka pemberian “efek jera” (detterent) bagi pelakunya, atau setidaknya sekadar untuk menjaga dan melindungi diri (bela diri), kemudian hak-hak dasar manusia tersebut dirampas menjadi semata kewenangan monopolistik segelintir penguasa yang diberi label “jubah” bernama “aparatur penegak hukum”.

Mungkin yang paling melukai sanubari rakyat sipil, ialah ketika dalam kasus-kasus pemidanaan serupa ataupun preseden yang pernah ada, pelaku kejahatan serupa dipidana dan dijatuhi vonis hukuman, namun bagaikan suatu “diskriminasi” atau “tebang pilih” ketika kejahatan serupa tersebut yang menimpa kita selaku korban justru pelakunya dibiarkan bebas berkeliaran tanpa ditindak (tiadanya kepastian hukum). Bentuk “diskriminasi” kedua ialah, ketika sang pelaku kejahatan tidak ditindak, lantas membawa sebentuk pemahaman bagi kita selaku korban bahwa perbuatan serupa demikian tidak berkonsekuensi hukum, maka kita tiru dan lakukan terhadap warga lainnya, ternyata perbuatan kita ditindak secara tegas dan secara keras secara pidana

 Bentuk “diskriminasi” ketiga ialah, ketika pelaku-pelaku kejahatan lainnya tidak ditindak secara pidana dan tidak secara tegas oleh pihak berwajib, namun ketika kita melakukan perbuatan serupa, ternyata aparatur penegak hukum demikian tajam dan tanpa kompromi menegakkan hukum pidana serta sanksi vonis yang dijatuhkan bagi kita (masif kita jumpai pada sebagian perkara sengketa keperdataan terkait kontraktual semisal “pinjam-meminjam uang” berujung pemidanaan “penggelapan dana”, ataupun dalam kasus semacam “salah transfer dana antar rekening perbankan” yang murni sengketa perdata).

PEMBAHASAN:

Kita tidak perlu bersikap seolah-olah korban yang harus takut disakiti dan dilukai oleh orang-orang jahat, terlebih takut terhadap orang jahat.”

[Konsultan Hukum Hery Shietra]

Kita tidak akan pernah menjumpai Sang Buddha menyatakan kalimat berikut pada Tripitaka, “Wahai, Mara dan Devadatta, tolong dan mohon jangan lukai ataupun sakiti saya.Sang Buddha, tidak pernah mengemis-ngemis agar tidak disakiti, dirugikan, ataupun dilukai. Kita juga tidak akan pernah menjumpai Sang Buddha mengatakan kalimat berikut dalam Tripitaka, “Saya takut disakiti dan terobsesi untuk tidak dilukai ataupun dirugikan oleh orang lain. Saya takut dijadikan sebagai korban.Sang Buddha tidak pernah takut dilukai, dirugikan, ataupun disakiti oleh orang jahat mana pun—yang semestinya takut berbuat kejahatan, ialah sang pelaku itu sendiri, bukan korban.

Kita pun tidak akan pernah dapat menemukan Sang Buddha mengatakan kalimat berikut pada Tripitaka, “Wahai, Mara dan Devadatta yang telah melukai, merugikan, dan menyakiti saya, mohon bertanggung-jawab, bertanggung-jawablah, dan ayolah tanggung-jawab. Saya adalah korban perbuatan jahat kalian. Apa bentuk tanggung-jawab kalian, dan kapan kalian akan bertanggung-jawab?Sang Buddha, tidak pernah mengemis-ngemis agar pelaku kejahatan bertanggung-jawab kepada sang korban.

Sebagai contoh konkret, sedari sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, hingga dewasa, sudah tidak terhitung jumlah kacamata yang penulis kenakan dirusak oleh teman sekolah maupun oleh para preman jalanan, dimana mereka berkelit “mencari-cari alasan” sedemikian rupa dengan maksud untuk menghindari tanggung-jawab moril maupun tanggung-jawab kerugikan yang diderita penulis selaku korban pengrusakan atas properti sebuah kacamata yang tidak pernah murah harganya di republik ini (dimana para pelakunya tidak pernah memahami kesulitan seorang pemakai kacamata, ketika harus mengeluarkan biaya membeli kacamata baru ataupun akibat tidak dapat melihat dengan jelas ketika tanpa kacamata yang layak untuk dipakai akibat dirusak oleh mereka), ataupun yang hanya sekadar “gimmick” akan bertanggung-jawab namun nihil realisasi.

Mengapa juga, korban yang harus menagih tanggung-jawab? Siapakah yang paling diuntungkan, oleh sikap yang pada pokoknya ialah mencoba berkelit dalam rangka “cuci dosa”, “cuci tanggung-jawab”, “cuci kesalahan”, alias melepaskan diri dari tanggung-jawab? Lantas, apakah penulis selaku korban ataukah sang pelaku pengrusakan, yang sejatinya paling merugi dan menderita kerugian? Merusak, merugikan, tidak bertanggung-jawab, bahkan tidak jarang masih pula “maling teriak maling” (sudah dijadikan korban yang dirugikan, masih pula difitnah dan dituduh secara sepihak oleh sang pelaku, seolah belum cukup perbuatannya yang tercela dan tidak terpuji), maka buah Karma Buruk-nya pun akan bertubi-tubi berbuah pada sang pelaku, yakni bukan hanya properti miliknya yang akan dirusak, namun juga dirugikan, diperlakukan secara tidak bertanggung-jawab, dituduh yang tidak-tidak, serta pula dijadikan sebagai “maling”.

Dalam Buddhisme, bukanlah korban, yang sejatinya paling merugi dan menderita kerugian, ketika sang pelaku kejahatan tidak bertanggung-jawab. Abhidhamma Pitaka menyebutkan, ketika pelakunya tidak menyesali perbuatan buruk mereka dengan setidaknya bertanggung-jawab, sekalipun tanpa diminta dan tanpa dituntut oleh pihak korban, maka buah Karma Buruk-nya (akusala vipaka) yang akan berbuah pada pelakunya akan berbuah berkali-kali lipat (sikap tanpa penyesalan diri, menjadi bumerang)—karenanya, menjadi kepentingan pihak pelaku itu sendiri untuk terhindar dari malapetaka akibat perbuatan buruknya, yang menjelma terdiri dari : menjahati korban (merugikan, melukai, atau menyakiti), berkelit sedemikian rupa dengan “mencari-cari alasan”, upaya “maling teriak maling”, bahkan masih pula menuduh atau menyalahkan pihak korban, hingga kian menyakiti korban yang melakukan perlawanan ataupun komplain (upaya pembungkaman), serta bersikap “tidak bertanggung-jawab”. Sebuah “kesalahan marathon”, satu kesalahan diikuti rentetan kesalahan demi kesalahan baru lainnya.

Karenanya, sikap penuh tanggung-jawab sejatinya memutus siklus “kesalahan marathon” demikian, agar cukup satu buah kesalahan tanpa perlu berlarut-larut menjelma serangkaian kesalahan demi kesalahan, yang karenanya adalah demi kebaikan dan kepentingan pihak pelaku itu sendiri. Sebagai muaranya, sang pelaku kejahatan yang telah berbuat jahat kepada Sang Buddha, yang pada akhirnya memahami bahwa bertanggung-jawab dan tidak bersikap jahat terhadap orang lain, adalah dalam rangka kebaikan demi kepentingannya sendiri (bahwa kita sebagai pewaris dari perbuatan kita sendiri), sehingga korban tidak pernah perlu untuk memohon ataupun mengemis-ngemis agar tidak disakiti dan agar tidak dirugikan, tidak perlu juga untuk meminta-minta pertanggung-jawaban, terlebih terobsesi untuk tidak menjadi atau dijadikan sebagai seorang korban kejahatan ataupun korban yang dirugikan.

Tidak ada yang dapat kita curangi dalam hidup ini, itulah esensi Hukum Karma sebagaimana jiwa kaum Buddhistik, sementara kontras dengan itu, dogma-dogma dan doktrin pada keyakinan keagamaan lainnya sebaliknya mengajarkan bahwa ketika korban gagal meminta pertanggung-jawaban, pelaku berhasil berkelit dan mencari-cari alasan sedemikian rupa, lari dari tanggung-jawab, atau ketika korban tidak meminta pertanggung-jawaban, sama artinya sang pelaku sedang “beruntung” dan adalah “keberuntungan” itu sendiri—diperkeruh oleh ideologi semacam “penghapusan dosa” ataupun semacam “penebusan dosa”, yang membuat para pelakunya “tidak malu berbuat jahat” dan tidak akan pernah “takut berbuat jahat”, alias “mentalitas korup” itu sendiri, dimana ketika pelaku kejahatan yang merugikan, melukai, dan menyakiti korbannya mampu dengan cekatan “bersilat lidah” ataupun mencari-cari alasan untuk berkelit dan lepas dari tanggung jawab ataupun “cuci tangan” dan “cuci dosa”, atau bahkan seperti menuduh pihak korban (“maling teriak maling”) untuk mengalihkan isu fakta sebenarnya bahwa ia adalah pelaku yang telah merugikan sang korban, sama artinya “keuntungan” bagi sang pelaku.

Bagi Anda yang mungkin atau bisa jadi belum “seagung” dan “sesuci” Sang Buddha, dan masih terobsesi pada “keadilan Hukum Negara” ketimbang “keadilan Hukum Karma”, maka kurang lebih berikut di bawah ini argumentasi yang dapat warga korban pelapor gunakan, sebagai argumentasi ketika pihak penyidik kepolisian menolak membuatkan bukti surat resmi Laporan Polisi yang berisi aduan agar dapat diproses, atau bahkan tiada proses sama sekali sebagai tindak-lanjut atas laporan dan aduan warga, dimana korban pelapor telah menderita kerugian akibat menjadi korban tindak kejahatan oleh warga lain, juga kemudian menderita kerugian lanjutan berupa “diberi harapan semu”, bertambah “letih di hati dan perasaan”, merugi waktu dan ongkos untuk datang dan pulang dari dan ke kantor kepolisian, “potensial loss” akibat waktu yang terbuang percuma, tekanan mental dan psikis yang berlarut-larut sehingga menjadi tidak produktif, dan berbagai penyulit serta kerugian lainnya secara batiniah, secara sosiologis, secara ekonomi, serta secara hak-hak hukum sebagai seorang warga:

“Bapak Polisi, saya ini KORBAN, KORBAN PUNYA HAK UNTUK MENJERIT! Jangan salahkan akibat, tapi salahkan sebabnya dan penyebabnya. Saya datang malapor karena terpaksa, jika boleh ‘main hakim sendiri’, maka untuk apa saya repot-repot datang melapor? Ini kewajiban pemerintah untuk tegakkan hukum pidana sebagaimana mestinya, siapa suruh polisi memonopoli penegakan hukum pidana dan akses peradilan pidana. Menegakkan hukum pidana adalah tanggung jawab dan kewajiban Bapak Polisi yang telah digaji untuk itu, mengapa harus saya yang mengemis-ngemis apa yang menjadi HAK saya selaku warga korban pelapor?

“Sekarang saya akan rekam pembicaraan ini secara video sebagai alat bukti bagi saya. Saya tanyakan kepada Bapak Polisi, apakah laporan dan aduan saya ini akan diproses serta dijamin akan ditindak-lanjuti atau tidaknya? Jika tidak, maka jangan rampas hak individu saya untuk : Pertama, melakukan pembalasan retributif kepada pelakunya. Kedua, untuk mengambil-alih hak-hak penegakan hukum pidana yang selama ini dimonopolisir oleh Bapak Polisi. Ketiga, menyandang senjata api untuk menembak dan memenjara pelakunya. Keempat, menggerebek dan menyita barang milik pelaku. Kelima, menyandang senjata tajam untuk membela diri dan membalas perbuatan pelakunya. Keenam, menghukum pelakunya. Bukti rekaman ini menjadi dasar hukum serta alibi bagi saya untuk ‘main hakim sendiri’ terhadap pelakunya, bila hukum pidana yang dimonopoli Bapak Polisi, tidak ditegakkan sebagaimana mestinya.”

Memang menjadi tampak mengandung “moral hazard”, bilamana monopolistik penegakan hukum pidana membuat hak-hak setiap warga untuk mengakses keadilan pidana dapat diamputasi dan terampas, semata karena kurangnya itikad baik (atau itikad yang patut kita ragukan, lewat modus “mempersulit”) pihak aparatur penegak hukum untuk memproses dan menindak-lanjuti laporan atau aduan warga korban pelapor, disamping tiadanya jaminan untuk ditegakkannya hukum pidana sebagaimana mestinya—yang disebut terakhir, ialah yang terutama.

Ketika harapan dan keadilan seorang warga sipil, menjadi bergantung pada itikad baik pihak aparatur penegak hukum, itu sama artinya daya tawar pihak masyarakat sipil benar-benar diposisikan lemah oleh hukum negara, seolah-olah terjadi putar-balik status sosial, dimana rakyat sipil yang semestinya dilayani dan berhak diberikan pelayanan, justru menjadi terkesan pihak warga sipil yang membutuhkan pihak aparatur penegak hukum, bukan sebaliknya, sehingga sang warga sipil yang kemudian diminta “melayani” dan “meladeni” segala tuntutan maupun kemauan sang aparatur penegak hukum.

Warga korban pelapor, sekadar meminta yang yang sudah menjadi hak-haknya selaku warga sipil yang mana hak-hak untuk “main hakim sendiri” maupun hak-hak untuk menggunakan senjata tajam dan senjata api, telah dirampas secara sepihak oleh pemerintah ketika terbit “hukum negara” yang menjadikan kesemua itu sebagai monopolistik kewenangan aparatur penegak hukum, kemudian menjelma menjadi harus “mengemis-ngemis” agar aparatur penegak hukum beritikad baik menindak-lanjuti laporan / aduan warga selaku korban yang telah teritikad baik dengan tidak “main hakim sendiri”, harus pula “mengemis-ngemis” agar sang aparatur penegak hukum menunaikan kewajibannya secara serius dan bertanggung-jawab, tidak terkecuali harus “mengemis-ngemis” apa yang memang sudah menjadi hak-hak dari sang warga—serentetan kondisi dimana warga sipil selalu tersudutkan, setidaknya tiga buah momen dimana warga korban pelapor dipaksa dan terpaksa oleh keadaan yang mengharuskannya “mengemis-ngemis” demikian.

Dari yang semestinya “dilayani” oleh aparatur penegak hukum yang memonopolisir akses peradilan pidana dan merampas hak-hak warga sipil untuk menyandang senjata dan “main hakim”, menjadi menjelma harus “melayani” sang aparatur penegak hukum dengan terpaksa menuruti apapun permintaan sang aparatur penegak hukum (yang tidak kalah jahat dari sang tokoh jahat atau penjahat itu sendiri, “penjahat” yang diberi seragam polisi dan dipersenjatai kewenangan menangkap dan menyandang senjata api), yang biasanya sejumlah uang “pelicin” baik secara terselubung mempersulit dalam rangka mendesak dan mendorong agar warga korban pelapor merasa frustasi dan membentur “tembok keras” sehingga pilihan satu-satunya ialah memberikan “gratifikasi” agar proses penegakan pidana dijalankan sebagaimana mestinya, atau tidak jarang korban pelapor harus memberikan sejumlah “pungutan liar” dengan ancaman laporannya akan “di-peti-es-kan” secara politis bila tidak diberikan.

Apa yang penulis utarakan di atas, adalah fakta yang benar-benar terjadi dalam realita, masif sifatnya (sehingga kriminalitas yang tidak diproses dan tidak bermuara pada vonis pidana, jauh lebih masif, semasif apatisme masyarakat yang memilih untuk tidak lagi merepotkan diri melaporkan tindak kejahatan yang mereka alami semakin agar tidak lagi kian merugi dari segi waktu hingga kekecewaan berulang-kali), berdasarkan pengalaman pribadi maupun pengalaman para klien penulis ketika melaporkan aksi kriminalitas yang mereka alami dan hadapi selaku korban, bahkan sudah menjelma menjadi “rahasia umum”.

Bila kita kembali pada falsafah pembentukan negara, yakni suatu ikatan sosial bernama “Kontrak Sosial”, dimana diasumsikan segenap rakyak menyerahkan sebagian kewenangan, hak, serta separuh kebebasannya untuk diserahkan kepada negara dalam rangka pembentukan “tertib sosial” (social order) seperti untuk menjadi legitimasi pembentukan norma hukum lengkap dengan aparatur penegak hukumnya, maka ketika aparatur penegak hukum justru mengabaikan “mandat” serta kepercayaan yang diberikan rakyat berdasarkan “Kontrak Sosial”, maka “Kontrak Sosial” tersebut telah kehilangan dasar ide pembentukannya, kesepakatan yang dapat dicabut kembali oleh penduduk, serta dapat dibatalkan karena pemerintah telah “cidera janji terhadap Kontrak Sosial”.

Antara praktik monopoli kewenangan terhadap “moral hazard” dibaliknya, tidak akan pernah dapat dipisahkan, mengingat sifat dibalik sebuah kewenangan monopolistik, bukan lagi sekadar “power tends to corrupt”, namun sudah mengarah kepada “absolute power, corrupt absolutely” sebagaimana anekdot yang sudah sejak lama dikumandangkan oleh Lord Acton yang ternyata relavan dalam setiap situasi dan setiap zaman, terutama untuk hal yang demikian menjadi “hajat hidup orang banyak”, yakni penegakan dan akses menuju keadilan pidana—mengingat ranah pidana berkaitan erat dengan keselamatan hidup dan kedamaian hidup warga, yang dapat disetarakan dengan “kebutuhan pokok” itu sendiri yang dapat disandingkan dengan kebutuhan umat manusia terhadap sandang, pangan, papan, serta akses menuju peradilan pidana, menimbang bahwa tanpa adanya jaminan kepastian penegakan hukum pidana, maka akses masyarakat terhadap ketiga kebutuhan pokok tersebut akan terganggu, terancam, atau bahkan terputus sama sekali. Hukum yang ditegakkan secara “tegak” dan penuh komitmen oleh aparaturnya, adalah sokoguru ekonomi, serta menjadi pintu akses menuju sandang, pangan, dan papan—bukan “norma hukum” itu sendiri, namun “kepastian hukum” yang penulis maksudkan di sini, yakni pasti ditegakkan dan ditindak-lanjuti.

Sebagai contoh, kita tidak akan bisa memiliki kebutuhan pokok berupa “papan”, bilamana negara lewat otoritas penegak hukumnya tidak memberikan jaminan bagi keselamatan kita selaku warga dari aksi-aksi kriminalitas semacam perampokan, pengrusakan, hingga penyerobotan lahan. Ancaman pidana bagi pengedar bahan pangan yang tidak layak konsumsi bagi masyarakat, menjadi salah satu bentuk hadirnya negara dalam melindungi segenap warganya. Jaminan serta kepastian hukum hak atas tanah, menjadikan kaum petani mampu menjaga produktivitas hasil tani dalam mengelola tanah miliknya. Akses menuju peradilan perdata, tidak seperti akses menuju peradilan pidana, tidak dimonopoli oleh lembaga negara mana pun, sehingga praktis masing-masing warga dapat menempuh upaya hukum semacam gugatan tanpa adanya keterlibatan negara, dimana pemerintah hanya menyediakan fasilitas berupa lembaga peradilan dan hakim pemeriksa serta pemutus perkara—namun lemah dari segi eksekusi terhadap amar putusan, akibat “lagi-lagi” monopolistik kewenangan jurusita yang membuat warga kembali harus “mengemis-ngemis” agar sang jurusita pengadilan memiliki itikad yang baik.

Untuk menyidik, mencari informasi data kependudukan maupun data perbankan maupun hal-hal sebagainya, menggerebek, menahan, membekuk, menyita, memborgol, menggeledah, meletuskan senjata api, hingga untuk melimpahkan berkas berkara ke tahap penuntutan (yang mana “lagi-lagi”, dimonopolisir oleh lembaga Kejaksaan, tepatnya oleh para kalangan profesi Jaksa Penuntut Umum) maupun hingga dijatuhkannya vonis hukuman disertai pemenjaraan atau hukuman lainnya, kesemuanya secara falsafah adalah hak masing-masing individu sebagai manusia yang dilahirkan secara bebas dan merdeka. Namun, ketika negara sebagai organisasi kolektif kemasyarakatan dibentuk lengkap dengan hukum negara dan seperangkat aparaturnya, hak-hak tersebut sebagaimana disebutkan di muka, yang dasariahnya ialah hak setiap warga sipil, kemudian dirampas dan menjelma menjadi kewenangan monopolistik segelintir pihak yang diberi status sebagai aparatur penegak hukum—teori demikian menjadi alternatif teori “Kontrak Sosial”, yang penulis sebut atau beri julukan sebagai “teori perampasan hak oleh otoritas negara”, sehingga sifatnya bukanlah secara kesepakatan (cara “halus”) rakyat menyerahkan sebagian hak-hak individunya sebagaimana teori sebelumnya, namun semata karena telah “dirampas” oleh negara (cara “kasar”).

Ketika negara lewat aparatur penegak hukumnya kemudian mengabaikan dan menelantarkan aduan warga korban pelapor, itu sama artinya menutup segala pintu akses menuju keadilan pidana bagi sang korban, sekaligus disaat bersamaan merampas kebebasan sang warga korban pelapor untuk melakukan “main hakim sendiri”, alias mengamputasi hak atas keadilan bagi korban yang pada saat bersamaan mengabaikan kewajiban bagi pihak pelakunya untuk dihukum.

Kini, sebagian besar warga masyarakat di Indonesia telah menjelma apatis untuk melaporkan kejadian pidana yang menimpa dirinya ketika menjadi korban tindak kejahatan oleh warga lainnya, semata karena akumulasi kekecewaan yang membentuk pola yang selalu terulang, belajar dari pengalaman bahwa berbagai laporan dan aduan tidak diberikan jaminan tindak-lanjut, tidak diberi tanggapan sebagaimana mestinya, sehingga hanya merugi untuk kesekian-kalinya akibat “harapan palsu” berujung kekecewaan, keadilan yang terampas, waktu serta perhatian yang kian tersia-siakan, hingga menjadi “korban perasaan” oleh pelaku kejahatan serta oleh aparatur yang justru tidak menegakkan hukum sebagaimana tugasnya (sebagaimana kewajiban mereka dan sebagaimana hak korban pelapor)—tidak jarang, sang aparatur penegak hukum yang justru bersikap penuh arogansi (sehingga warga sipil yang melapor merasa hendak menantang duel sang petugas / pejabat kepolisian agar sang Polisi bertarung satu lawan satu secara “tangan kosong” dengan meminta sang Polisi terlebih dahulu melepaskan seragam polisinya sebelum berduel dengan sang warga sipil), menyalah-gunakan kewenangannya, sehingga warga sipil selaku korban pelapor akan berujar : Untuk apa ada Hukum dan Polisi jika seperti demikian kenyataannya? Mengapa pula korban yang harus mengemis-ngemis, entah kepada pelakunya agar bertanggung-jawab ataupun kepada Polisi? Pengalaman mengajarkan, Polisi justru menjadi salah satu bagian dari masalah itu sendiri, bukan solusinya.

Fakta empirik demikian, menjadikan Indonesia merupakan republik dimana para preman merajalela karena “dipelihara” lewat praktik penegakan hukum yang tidak benar-benar ditegakkan sebagaimana mestinya, dimana sang preman pelaku premanisme tahu benar bahwa negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi dan mengayomi rakyat, sehingga mereka bebas berkembang-biak, beranak-pinak, merajelela, menjadi raja-raja jalanan maupun raja-raja perkampungan, hingga aksi-aksi semacam “negara tanpa aturan hukum”. Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, namun juga karena ada kesempatan.

Alhasil, jumlah penurunan angka pelaporan warga atas kejadian tindak pidana yang dilaporkan, tampak seolah turun di republik ini dari tahun ke tahun, bukan karena prestasi lembaga Kepolisian, namun semata terjadi akibat apatisme disamping “sentimen negatif” yang tumbuh kian menguat di masyarakat akibat kerapnya pihak aparatur penegak hukum yang justru membawa kecewaan kian besar bagi korban pelapor, bermuara kepada tidak menjadikan laporan kepada polisi sebagai opsi yang rasional untuk dipilih dan ditempuh.

Secara psikologi korban yang paling mendasar, menjadi korban kejahatan adalah melukai perasaan serta menciderai jiwa korban yang oleh karenanya terguncang dan mengalami keguncangan akibat penelantaran terhadap aduan oleh “pihak yang berwajib” (sebagaimana nama julukannya, pihak Kepolisian tersebut yang memiliki kewajiban menegakkan hukum sebagaimana menjadi hak dari warga sipil pelapor). Namun, korban akan lebih terluka, ketika mendapati bahwa pihak aparatur penegak hukum justru mengabaikan hak-hak sang korban atas peradilan dan menutup pintu akses menuju penegakan hukum pidana sekalipun itu menjadi kewajiban profesi mereka yang terbit akibat menyandang kewenangan monopolistik penegakan hukum pidana.

Solusi paling rasional yang dapat penulis tawarkan dan perkenalkan kepada masyarakat, khusus untuk konteks realita penegakan hukum pidana yang tidak benar-benar tegak adanya di Indonesia, ialah dengan tidak lagi mengandalkan ataupun mengharap terlampau banyak terhadap kalangan Kepolisian maupun jajaran dan anggota di bawahnya—semata dengan mengubah pendekatan diri dalam menghadapi potensi resiko dijadikan korban oleh warga lainnya, yang bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa dapat sepenuhnya kita cegah terjadinya dan menimpa diri kita.

Khusus untuk konteks Kepolisian Republik Indonesia, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, Polisi adalah “preman yang diberi seragam serta diberi kewenangan menyandang senjata api”, namun adalah bagian dari preman itu sendiri, sehingga menjadi janggal ketika, sebagai contoh, kita melaporkan aksi premanisme oleh “preman pasar” yang menimpa kita kepada pihak “preman berseragam” lainnya—sama artinya menjadikan diri kita rentan menjadi korban premanisme untuk kedua kalinya.

Kita tidak perlu terobsesi terhadap itikad pihak aparatur penegak hukum, seperti memaksa mereka agar bersikap profesional dalam melayani masyarakat dan menegakkan hukum sebagaimana mestinya serta sebagaimana hak warga sipil maupun sebagaimana kewajiban aparatur untuk menindak-lanjuti laporan warga, dengan cara mendesak dan meminta-minta apa yang memang menjadi hak kita selaku warga sipil sekaligus korban pelapor, bahkan hingga memberikan “uang pelicin” atau bahkan “uang pungutan liar”, ataupun hingga taraf “mengemis-ngemis” agar pihak aparatur penegak hukum beritikad baik dan serius dalam menegakkan hukum pidana sebagaimana mestinya. Kita cukup membuat target atau cara baru dalam rangka melindungi diri, sebagaimana akan penulis ulas secara lebih rasional untuk dapat kita tempuh dan pilih sebagai opsi alternatif di bawah ini.

Dengan menjadi orang suci, setidaknya sebagai orang yang baik dan banyak melakukan kebajikan, setidaknya sebagai pribadi yang tidak pernah atau jarang melakukan kejahatan, maka itu sudah merupakan investasi perlindungan diri terbaik yang dapat ditawarkan oleh alam semesta—yang tentunya lebih akuntabel dan lebih kredibel daripada Polisi Indonesia. Sebagaimana daat kita bayangkan, Devadatta akibat berminat dan mencoba mencelakai Sang Buddha, mengakibatkan dirinya sebagai akibat buah Karma Buruknya kemudian jatuh dalam kondisi sakit keras sebelum kemudian ditelan oleh Bumi secara hidup-hidup. Tidak ada proses lapor-melapor, tidak ada polisi ataupun jaksa penuntut, tiada tawar-menawar, terlebih mengemis-ngemis, hukum alam lewat Hukum Karma yang bekerja mengambil-alih semua prosesnya, mengadili hingga menjadi eksekutornya. Tiada yang lebih bodoh, daripada mereka yang mencoba menyakiti makhluk suci seperti Sang Buddha.

Sebaliknya, kontras dengan itu, semakin jahat dan buruk perilaku maupun rusak moralitas seseorang, maka disaat bersamaan semakin rentan dirinya menderita sebagai korban kejahatan dimana bahkan buah Karma Buruk bagi pelakunya sangatlah minim, mengingat tingkat moralitas korbannya terbilang sangat dangkal atau rendah—alias sesama orang jahat. Itulah sebabnya, menjadi orang yang jahat atau tercela, adalah bentuk kerentanan diri yang menyerupai tidak memiliki perlindungan diri apapun dari marabahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang jahat lainnya yang cepat atau lambat akan berkonflik ataupun melakukan kejahatan terhadap sang jahat.

Itulah alasannya, mengapa kita perlu membuat perlindungan diri dengan menjadi dan tetap bertahan sebagai orang baik, salah satunya ialah kaum “Ahimsa”, sekalipun kerap menjadi “mangsa empuk” para manusia-manusia jahat yang penuh dosa (bangsa “premanis” manakah, yang tidak senang mendapati “korban empuk”-nya tidak akan membalas kekerasan fisik dengan kekerasan?), semata agar semakin baik moralitas dan semakin suci kualitas batin internal diri kita, maka semakin celaka dan semakin dalam buah Karma Buruk yang akan diwarisi dan dipetik oleh si pelaku kejahatan itu sendiri.

Sebagai perbandingan, melukai seorang Buddha, akibatnya ialah “garuka kamma” alias buah Karma Buruk yang dampaknya ialah jatuh dalam alam neraka. Melukai orang-orang suci dan baik, buah Karma Buruk bagi pelakunya ialah berkali-kali lipat besarnya. Mencelakai dan melukai orang jahat oleh sesama orang jahat, hanya minim buah Karma Buruk yang tercipta untuk dipetik oleh sang pelakunya. Dari kontras yang dapat kita petik dari perbandingan tersebut di atas, kita menjadi mulai memahami arti penting untuk menjauhkan diri dari status sebagai seorang “pendosa”, terlebih menimbun diri dengan delusi “penghapusan dosa”—dimana pelakunya pun dapat memiliki delusi serupa.

Kebaikan dan kesucian diri, adalah perlindungan diri yang paling efektif dan paling menjamin daripada menyewa seorang bodyguard sekalipun, terlebih melayani dan meladeni kemauan pihak Polisi semata agar menjalankan kewajiban mereka. Orang baik dan orang suci, tidak butuh Polisi untuk melindungi diri ataupun untuk menegakkan keadilan (itulah kabar baik paling utama yang teristimewa bagi orang-orang baik dan kaum suciwan). Sehingga, efektif atau tidaknya lembaga semacam Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kehakiman, tidak lagi relevan, dan kita tidak sepenuhnya mengandalkan lembaga-lembaga ekternal diluar diri kita yang bisa jadi diisi oleh manusia-manusia “korup” dan manusia-manusia jahat lainnya yang tidak kalah jahat dengan orang-orang di tengah masyarakat yang telah menjahati kita sebagai terlapornya.

Ketika kita tidak lagi bergantung ataupun mengandalkan sepenuhnya lembaga-lembaga eksternal di luar diri kita yang belum tentu baik dan benar itikadnya dalam menjalankan tugas sebagaimana kewajiban mereka dan yang menjadi hak kita selaku warga korban pelapor, maka itulah yang disebut sebagai kebebasan dan pembebasan diri dari “belenggu rantai hukum negara” yang memonopoli akses keadilan hukum negara (dalam hal ini keadilan pidana). Penghakiman dan eksekusinya, serahkan sepenuhnya pada Hukum Karma yang akan menjadi Hakim, Jaksa Penuntut, sekaligus Eksekutornya secara adil dan setimpal. Kita cukup melanjutkan hidup kita, dan tetap bertahan hidup sebaik yang kita mampu perjuangkan (dengan berfokus pada apa yang dapat kita kendalikan dan kerjakan, alih-alih terobsesi pada apa yang diluar kewenangan diri kita selaku rakyat sipil), yang bahkan kita sama sekali tidak membutuhkan keharusan untuk melapor kepada Hukum Karma agar segala perbuatan sang jahat dicatat, ditindak, didakwa, dan dihukum serta dieksekusi.

Hukum Karma menjadi salah satu bagian dari hukum yang mengatur semesta itu sendiri, dan itulah kabar baik bagi orang-orang baik, yang menjadi kabar buruk bagi orang-orang jahat. Hukum Karma senantiasa melindungi orang-orang baik, dan disaat bersamaan tidak melindungi orang-orang jahat ketika para orang-orang jahat suatu ketika dan cepat atau lambar akan dijadikan sebagai pihak korban maupun dijahati oleh orang-orang jahat lainnya. Hukum Karma menjadi eksekutor bagi kepentingan orang-orang baik, dan disaat bersamaan menjadi algojo yang mengeksekusi orang-orang jahat. Setiap makhluk hidup yang masih berkondisi, merupakan subjek yang tunduk pada Hukum Karma (the subject of karmic law), tanpa terkecuali, dimana derajat tingkat perlindungannya berbanding lurus terhadap tingkat moralitas diri masing-masing individu..

Sekalipun proses hukum pidana dijalankan, bukan artinya itu menjadi akhir dari segala problematika “rimba hukum”. Seringkali, lembaga peradilan pidana disalah-gunakan menjadi alat “cuci dosa” para penjahat, sebagaimana banyak dialami oleh masyarakat luas yang menjadi korban kejahatan yang melaporkan tindak pidana yang mereka alami, namun ternyata para pelaku kejahatannya hanya divonis dengan hukuman yang ringan, tidak sebanding dengan kejahatan yang mereka perbuat yang menimbulkan kerugian besar bagi pihak korban pelapor.

Vonis yang ringan, atau bahkan terlampau ringan, sebagaimana banyak dikomplainkan oleh klien dari penulis pada berbagai sesi konsultasi hukum, mewarnai sebagian besar ketidak-puasan publik terkait praktik pemidanaan di ruang-ruang peradilan di Indonesia, sekalipun laporan yang tidak ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya jauh lebih masif kuantitasnya yang artinya “ZERO pemidanaan” alias “nihil vonis penghukuman” semata karena ditindak-lanjuti proses terhadap laporan korban. Terutama ketika pihak Terdakwa memiliki kekuasan politis maupun ekonomi untuk menyetir dan membengkokkan keadilan pidana menjadi lebih pro terhadap sang penjahat. Jika sudah demikian, bukankah itu artinya “merugi dua kali”, dan alangkah akan lebih ideal bila sejak semula kita serahkan saja kepada Hukum Karma agar hukuman bagi pelakunya benar-benar setimpal dengan perbuatannya?—termasuk buah Hukum Karma bagi pihak Kepolisian yang selama ini mengabaikan dan menelantarkan aduan warga korban pelapor sehingga masyarakat menjelma apatis peran dan fungsi lembaga Kepolisian, akan diabaikan dan ditelantarkan hak-haknya ketika sang Polisi memiliki masalah kesehatan, sebagai contoh.

Menurut Abhidhamma Pitaka, salah satu Pitaka dari Tripitaka, ketika seseorang pelaku kejahatan berbuat jahat dengan menyakiti, melukai, ataupun merugikan korbannya, dengan disertai atau disekutui oleh perasaan senang sebelum, saat, dan sesudah melakukan kejahatan (dicirikan oleh suatu absennya rasa bersalah), maka buah Karma Buruk (akusala vipaka) yang akan mereka terima dan petik ialah mencapai miliaran kali lipat dari derita yang diderita oleh korban—apakah belum cukup mengerikan? Bukankah Hukum Karma menjadi tawaran yang lebih menarik dan lebih rasional, ketimbang sekadar hukuman penjara beberapa bulan kurungan bagi pelakunya bila diproses secara hukum negara yang tidak pernah berjalan secara ideal bebas dari anasir politis maupun arogansi lembaga Kepolisian sang “Preman Berseragam”?

Apakah penulis, pernah melakukan hal tercela semacam aksi “bullying” (perundungan)? Pernah, satu kali saat penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, memasukkan tubuh lewat kekerasan fisik seorang teman sekelas yang bertubuh lebih kecil, ke dalam sebuah tong sampah di depan kelas. Hingga dewasa sekarang ini, berselang puluhan tahun lampau, penulis tetap dihantui oleh rasa bersalah dan tersiksa oleh penyesalan. Penulis kini mengetahui, bahwa “luka batin masa lampau” tidak hilang oleh waktu, alih-alih sembuh oleh waktu, justru dapat menjadi derita bagi sang korban untuk seumur hidupnya, yang artinya pula bahwa penulis telah bukan hanya melakukan satu kali kejahatan terhadap sang korban, namun untuk SEUMUR HIDUPNYA!

Apakah penulis pernah melakukan kejahatan seperti melukai orang lain? Pernah, ketika penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mengakibatkan salah satu bola mata teman penulis terluka akibat tercolok mainan yang memiliki ujung tajam saat bermain dengan penulis. Tidak bertanggung-jawabnya penulis saat itu serta kebaikan hati ibu dari sang teman yang meminta pertanggung-jawaban dari penulis, tidaklah menolong penulis dari rasa bersalah yang justru timbul dan menghantui setelah penulis beranjak dewasa—semata karena penulis saat kini telah menyadari dan memahami Hukum Karma, bahwa kita tidak bisa lari dari buah Hukum Karma, sekalipun kita lari dan bersembunyi pada sebuah pulau terpencil, di dalam sebuah gua terasing tanpa penghuni sekalipun. Sebagaimana kita lihat, tidak dibutuhkan peran ataupun sosok semacam Polisi, karena Hukum Karma jauh lebih dapat diandalkan oleh pihak korban ketimbang “preman berseragam”.

Apa yang kini patut penulis sesali pula, disamping kondisi sang korban yang bisa jadi tumbuh dewasa dengan membawa serta luka batin yang mengakibatkan karakter atau mentalnya mengalami “cacat” atau setidaknya bermasalah setelah sang teman penulis masukkan tubuhnya ke dalam tong sampah, ialah ketika penulis telah memahami cara kerja Hukum Karma, bahwa kita terlahir, berkerabat, terhubung, serta mewarisi perbuatan kita sendiri, perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perbuatan kecil ataupun perbuatan besar, perbuatan yang kita akui maupun yang kita pungkiri, perbuatan yang kita ingat maupun yang telah kita lupakan, cepat atau lambat, pasti akan berbuah pada sang pelakunya itu sendiri, yakni diri penulis, entah pada kehidupan ini juga ataupun pada kehidupan selanjutnya. Derajat kepastiannya, ialah maksimum tanpa kompromi—dan jangan samakan dengan kepastian hukum yang “korup” akibat dicemari aparatur penegak hukum-nya yang “korup”.

Dengan kita telah memahami bahwa masing-masing dari kita adalah “subjek yang tunduk pada Hukum Karma” (the subject of karmic law), maka kita mulai memahami bahwa tiada sesuatu hal apapun yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini. Karena itulah, dalam Buddhisme, hukum tertinggi yang berlaku untuk hidup sebagai makhluk sosial, tidak menyerupai “hukum agama” layaknya keyakinan keagamaan lainnya, dimana Buddhistik mengenal dua norma sosial bernama “malu berbuat jahat” (hiri) dan “takut akan akibat perbuatan buruk” (otapa).

Oleh karenanya, ketika kita diperlakukan secara tidak patut dan tidak adil, seperti disakiti, dirugikan, ataupun dilukai oleh orang lain, selaku korban, kita tidak perlu bersikap seolah-olah korban yang harus takut disakiti dan dilukai oleh orang-orang jahat, terlebih takut terhadap orang jahat. Seorang korban sekalipun, sekalipun dijadikan korban, harus tetap berani, karena bagaimana pun sang pelaku turut tetap dalam kondisi dibelenggu rantai Hukum Karma (also the subject of karmic chain) yang akan menjadi hakim sekaligus eksekutor atas perbuatan sang pelaku itu sendiri, yang disaat bersamaan artinya Hukum Karma melindungi serta memberikan keadilan bagi korbannya—Hukum Karma sebagai pelindung.

Sebaliknya, seorang pelaku kejahatan hanya karena unggul dari segi kekuatan otot, persenjataan, menyalah-gunakan kewenangan dan kekuasaan, memiliki “anak buah” (menang jumlah), tidak takut berbuat curang (seperti aksi vandalisme di malam hari maupun pengeroyokan bersenjata), janganlah bersikap seolah-olah tidak takut akan akibat dari perbuatannya sendiri. Cepat atau lambat, sang pelaku itu sendiri yang akan menjelma menjadi “korban” atas perbuatannya sendiri (Karma Buruk yang matang waktunya untuk berbuah). Yang semestinya dan sepatutnya merasa takut disakiti, dirugikan, dan dilukai, ialah orang-orang jahat yang pernah atau bahkan sering melakukan kejahatan serupa terhadap orang lain, terutama ketika giliran mereka yang “hidup dari pedang maka akan mati karena pedang”. Cepat atau lambat, hanya perihal waktu berbuahnya matang.

Orang-orang baik, yang semasa hidup tidak pernah atau setidaknya sangat sedikit memiliki sejarah dan rekam jejak kejahatan, alias selaku kaum “Ahimsa”, tidak perlu merasa takut apapun, layaknya seorang Buddha yang tidak takut dijahati ataupun dilukai oleh pihak mana pun, dengan menyadari dan memahami bahwa semua individu dan makhluk hidup ialah “subject of the karmic law” sekaligus dilindungi dan diadili oleh Hukum Karma itu sendiri, tanpa terkecuali.

Karenanya pula mulai dapat kita pahami, orang-orang baik tidak pernah perlu mengemis-ngemis agar dirinya tidak dilukai, dirugikan, ataupun disakiti oleh orang-orang jahat, terlebih mengemis-ngemis kepada pihak Kepolisian—semata karena yang semestinya merasa takut ialah orang-orang yang berniat buruk dan tidak takut menjahati korban-korbannya, termasuk mereka yang memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum pidana namun melalaikannya atau bahkan turut merugikan dan menyudutkan pihak pihak korban.

Berkebalikan dengan falsafah Buddhistik, sebuah keyakinan keagamaan justru mempromosikan kekerasan fisik dan tindak kejahatan sadistik kepada umatnya, sehingga tidak mengherankan bila umatnya demikian radikal, intoleran, “haus darah”, mengingat selama ini dibiasakan, terbiasa, serta memiliki kebiasaan (menjelma kultur atau “budaya” itu sendiri) sifat-sifat serta sikap-sikap yang tidak menjadikan “tabu” hal tercela semacam kekerasan fisik ala premanisme, sebagaimana ternyata eksistensi dogma-dogma sebagai berikut:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Tiada ideologi lain, baik Komun!sme maupun Liberalisme, yang mengajarkan sikap-sikap radikal serupa kepada umat pengikutnya, bahkan berbuat kejahatan ekstrim maupun dosa-dosa se-fatal demikian masih pula diberikan iming-iming ataupun janji-janji “too good to be true” berupa “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa” yang penuh delusi bagai fatamorgana penuh kecurangan, serta tiket masuk surga bagi sang pelaku kejahatan.

Namun pertanyaannya, sekalipun tidak sedikit kaum pemeluk Komun!sme maupun Liberalisme yang merupakan orang-orang baik, mengapa ideologi-ideologi demikian justru diberendel dan diberangus serta dilarang untuk eksis (bahkan pemeluknya dimusnahkan paska peristiwa “Gerakan 30 September” yang menjadi catatan kelam “genosida” oleh Bangsa Indonesia terhadap sesama anak bangsa pada awal periode berkuasanya Orde Baru, dimana disebutkan angka sekitar 30.000 jiwa sebagai korbannya), sementara ideologi yang membenarkan dan mempromosikan “maksiat” serta perbuatan “dosa”, justru dilestarikan serta diwariskan kepada anak dan cucu? Tiada yang lebih merusak daripada ideologi bernama agama yang mempromosikan kecurangan dan “penyepelean” terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang tercela.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.