Checking Sertifikat Tanah, Makna Clean & Clear

LEGAL OPINION

Negara Semestinya Menjamin Kemerdekaan dan Kebebasan Warga Pemilik Sertifikat Tanah Terdaftar yang Diterbitkan oleh Pemerintah untuk Mengalihkan Haknya secara Bebas

Cara Mengetahui Sertifikat Hak atas Tanah adalah “Clean and Clear” atau Tidaknya, berdasarkan Ada atau Tidaknya Catatan yang Menyertai Keterangan Checking pada Sertifikat Itu Sendiri

Question: Sertifikat tanah sudah kami proses checking ke Kantor Pertanahan setempat sertifikat tanah ini terdaftar, hanya tercantum keterangan tambahan dalam halaman dalam sertifikat, bahwa sudah dilakukan checking pada tanggal sekian dan pukul sekian, tanpa ada keterangan lainnya apapun. Mengapa pihak Kantor Pertanahan masih juga menolak permohonan kami untuk mengalihkan kepemilikan (hak atas) tanah kami sebagaimana sertifikat ini baik dengan jual-beli maupun hibah, dengan alasan ada “masalah”, akan tetapi “masalah”-nya dimana tidak jelas dan tidak transparannya informasi pihak pejabat di Kantor Pertanahan yang seolah berbicara secara diplomatis dan politis demikian karena sukar dipahami kami seolah warga awam.

Sebenarnya jika memang sertifikat tanah kami ini bermasalah atau ada masalah, atau justru ada upaya politis untuk mempersulit kami selaku warga, untuk itu kami perlu mengetahui memang seharusnya bagaimana mestinya dalam keterangan checking sertifikat tanah kami ini, apakah memang kosong saja seperti ini atau bagaimanakah yang sebenarnya disebut sebagai “clean and clear” dan yang tidak “clean and clear”, sehingga dapat pihak kami jual atau alihkan ini kepemilikan sertifikat kami ke pihak lain, atau setidaknya dapat kami agunkan sebagai jaminan hutang ke bank untuk modal usaha keluarga?

Brief Answer: JIka “data yuridis” maupun “data fisik” hak atas tanah yang telah didaftarkan haknya dengan dibuktikan terbitnya sertifikat hak atas tanah, maka artinya itu (semestinya) menjadi pengakuan sekaligus bentuk perlindungan serta jaminan oleh negara bagi warga pemegang hak atas tanahnya. Karenanya, tidaklah dapat negara kemudian secara sewenang-wenang merampas kemerdekaan dan kebebasan warga pemilik sertifikat hak atas tanah untuk secara bebas tanpa hambatan untuk mengalihkan haknya seperti untuk menjual, menghibahkan, menjadikan agunan, dan lain sebagainya, sepanjang status hak atas tanah bebas dari segala sita maupun jaminan kebendaan yang membebani diatasnya (yang kita kenal dengan istilah “clean and clear”).

Menjadi penting untuk turut pula perlu kita ketahui selaku warga pemegang hak atas tanah terdaftar yang telah berbentuk sertifikat, sengketa hak atas tanah dengan pihak lain bukanlah dimaknai sebagai status hak atas tanah tidaklah “clean and clear”, mengingat siapa pun, bahkan orang-orang yang tidak jelas dasarnya, dapat melakukan klaim sepihak secara “sumir” bahwa yang bersangkutan adalah pemilik yang paling berhak atas suatu bidang tanah. Regulasi yang ada di bidang pertanahan sebenarnya telah mengatur, pihak ketiga yang mengklaim sebagai mempersengketakan, wajib memiliki hubungan hukum yang jelas, tidak “sumir”, kemudian bahkan mencoba mengajukan “blokir” terhadap suatu sertifikat hak atas tanah milik pihak warga lainnya—dengan tujuan tidak lain untuk merampas kebebasan dan kemerdekaan warga lain yang menjadi pemilik sertifikat hak atas tanah.

Karena itulah, dipersengketan oleh pihak ketiga tidaklah identik dengan status tanah ialah sebagai “bersengketa”, terlebih dipandang atau dipadankan dengan “bersengketa untuk seumur hidup”, karena “blokir” terhadap hak atas tanah (“blokir” bermakna permanen, bukan temporer) hanya relevan dalam konteks terdapatnya sita perdata maupun sita pidana oleh pengadilan, bukan oleh klaim suatu warganegara atas bidang tanah milik warga lainnya yang telah tersertifikat.

PEMBAHASAN:

Tidaklah dapat dibenarkan praktik-praktik bernuansa “politis” seperti mengajukan klaim sebagai pemilik dan mempersengketakan suatu sertifikat hak atas tanah milik seorang warga lainnya, karena itu sama artinya praktik perampasan terhadap kemerdekaan serta perampasaan hak atas properti yang merupakan hak asasi manusia sebagaimana telah ditegaskan dalam Konstitusi Republik Indonesia.

Karenanya, pihak negara dalam ini pemerintah yang berwenang dibidang tertib administrasi hukum pertanahan dan agraria di Indonesia, selaku penerbit sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti pendaftaran bagi warga pemegangnya, perlu menjamin dalam standar paling mendasar sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak warga yang telah mengantungi produk pemerintah bernama sertifikat hak atas tanah, terutama dari klaim-klaim “sumir” pihak ketiga yang belum tentu jelas benar dan baik itikadnya.

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG /

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR 13 TAHUN 2017

TENTANG

TATA CARA BLOKIR DAN SITA

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pencatatan blokir adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk menetapkan keadaan status quo (pembekuan) pada hak atas tanah yang bersifat sementara terhadap perbuatan hukum dan peristiwa hukum atas tanah tersebut.

[Note SHIETRA & PARTNERS : BPN selaku penerbit peraturan ini, secara rancu menggunakan istilah “blokir” untuk sesuatu yang sifatnya temporer. Apakah sita perdata, yang sifatnya permanen, bukan merupakan suatu “blokir” itu sendiri?]

2. Status Quo adalah keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang.

3. Pencatatan Sita adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk mencatat adanya sita dari lembaga peradilan, penyidik atau instansi yang berwenang lainnya.

4. Sita Perkara adalah penyitaan terhadap Buku Tanah, Surat Ukur atau data lainnya yang diajukan oleh juru sita pengadilan atau pihak yang berkepentingan meliputi penggugat atau tergugat dalam rangka perlindungan terhadap objek perkara.

5. Sita Pidana adalah penyitaan terhadap Buku Tanah, Surat Ukur atau data lainnya yang diajukan oleh penyidik yang dipergunakan sebagai alat bukti dalam peradilan dengan Berita Acara Penyitaan dan tanda terima barang yang disita.

7. Skorsing adalah pencatatan perintah Pengadilan Tata Usaha Negara untuk penundaan pelaksanaan keputusan yang diterbitkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan.

8. Penghapusan catatan adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk menghapus adanya catatan blokir atau sita.

Pasal 3

(1) Pencatatan blokir dilakukan terhadap hak atas tanah atas perbuatan hukum atau peristiwa hukum, atau karena adanya sengketa atau konflik pertanahan.

(2) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan:

a. dalam rangka perlindungan hukum terhadap kepentingan atas tanah yang dimohon blokir; dan

b. paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama.

(3) Hak atas tanah yang buku tanahnya terdapat catatan blokir tidak dapat dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Pasal 5

(1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, wajib mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang dimohonkan pemblokiran. [Note SHIETRA & PARTNERS : Tidak dapat dibenarkan praktik-praktik semacam “asal klaim” dan “asal tunjuk”.]

(2) Pemohon yang mempunyai hubungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:

a. pemilik tanah, baik perorangan maupun badan hukum;

b. para pihak dalam perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan atau kepemilikan harta bersama bukan dalam perkawinan;

c. ahli waris atau kepemilikan harta bersama dalam perkawinan;

d. pembuat perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan, berdasarkan kuasa; atau

e. bank, dalam hal dimuat dalam akta notariil para pihak.

Pasal 6

Persyaratan pengajuan blokir oleh perorangan atau badan hukum, meliputi:

a. formulir permohonan, yang memuat pernyataan mengenai persetujuan bahwa pencatatan pemblokiran hapus apabila jangka waktunya berakhir;

b. fotokopi identitas pemohon atau kuasanya, dan asli Surat Kuasa apabila dikuasakan;

c. fotokopi Akta Pendirian Badan Hukum;

d. keterangan mengenai nama pemegang hak, jenis hak, nomor, luas dan letak tanah yang dimohonkan blokir;

e. bukti setor penerimaan negara bukan pajak mengenai pencatatan blokir;

f. bukti hubungan hukum antara pemohon dengan tanah, seperti:

1) surat gugatan dan nomor register perkara atau skorsing oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal permohonan blokir yang disertai gugatan di pengadilan;

2) surat nikah / buku nikah, kartu keluarga, atau Putusan Pengadilan berkenaan dengan perceraian atau keterangan waris, dalam hal permohonan blokir tentang sengketa harta bersama dalam perkawinan dan/atau pewarisan; dan

3) Putusan Pengadilan berkenaan dengan utang piutang atau akta perjanjian perikatan jual beli, akta pinjam meminjam, akta tukar menukar yang telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, dalam hal permohonan blokir tentang perbuatan hukum.

g. syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

(1) Pencatatan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dilakukan dengan mencatat uraian catatan blokir sesuai dengan format yang berbunyi:

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat blokir berdasarkan permohonan Saudara ... dengan alasan ... ”/

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat blokir berdasarkan perintah … dengan alasan … ”/

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat blokir berdasarkan pertimbangan … ”.

(2) Penulisan pencatatan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat di:

a. buku tanah, pada kolom pencatatan Pendaftaran Peralihan Hak, Pembebanan dan Pencatatan Lainnya; dan

b. surat ukur, pada lembar gambar surat ukur yang masih tersedia.

(4) Pencatatan blokir disahkan dengan ditandatangani oleh pejabat yang melakukan pencatatan dan dibubuhkan cap Kantor Pertanahan.

Pasal 13

(1) Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum berlaku untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pencatatan blokir.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan adanya perintah pengadilan berupa penetapan atau putusan.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Salah satu pertimbangan penulis keberatan menggunakan istilah “blokir” untuk sesuatu yang sifatnya “temporer” ialah, pertanyaan sederhana mendasar : bagaimana mungkin warga lainnya dapat mem-blokir sertifikat hak atas tanah milik warga lainnya, seolah-olah negara justru tidak memberi jaminan serta kepastian hukum maupun perlindungan bagi warga pemegang sertifikat? Itulah sebabnya, istilah “blokir” semestinya menjadi sesuatu yang “sakral” seperti bilamana terdapat putusan pengadilan yang menetapkan adanya sita sehingga “permanen” keberlakuannya.]

Pasal 15

(1) Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum, hapus apabila:

a. jangka waktu blokir berakhir dan tidak diperpanjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;

b. pihak yang memohon pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum jangka waktu berakhir;

c. Kepala Kantor menghapus blokir sebelum jangka waktunya berakhir; atau

d. ada perintah pengadilan berupa putusan atau penetapan.

(2) Dalam hal catatan blokir diperpanjang atas perintah pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) maka catatan blokir dapat dihapus apabila ada perintah pengadilan berupa putusan atau penetapan.

Pasal 17

(1) Penghapusan blokir dilakukan apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16.

(2) Penghapusan blokir dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.

(3) Penghapusan blokir dapat dilakukan secara manual atau elektronik.

(4) Penghapusan blokir paling kurang memuat keterangan mengenai waktu (jam, menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan permohonan, alasan penghapusan.

Pasal 18

(1) Penghapusan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan dengan mencatat uraian penghapusan catatan blokir sesuai dengan format yang berbunyi:

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dihapus catatan blokir tanggal ... jam ... yang dimohonkan oleh Saudara / penyidik … dengan alasan …”

(2) Ketentuan pencatatan blokir pada buku tanah dan surat ukur serta pengesahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) mutatis mutandis dengan ketentuan penghapusan blokir.

 

Pasal 25

(1) Pencatatan Sita dilakukan terhadap hak atas tanah dalam rangka kepentingan penyelesaian perkara di pengadilan atau penyidikan.

(2) Pencatatan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang sama.

(3) Hak atas tanah yang berada dalam keadaan disita tidak dapat dialihkan dan/atau dibebani hak tanggungan.

Pasal 26

(1) Pencatatan Sita meliputi:

a. pencatatan Sita Perkara;

b. pencatatan Sita Pidana; dan

c. pencatatan Sita Berdasarkan Surat Paksa.

(2) Pencatatan Sita Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap hak atas tanah yang sedang menjadi obyek perkara di pengadilan.

(3) Pencatatan Sita Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam rangka penyidikan.

(4) Pencatatan Sita Berdasarkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan pencatatan sita terhadap hak atas tanah yang menjadi obyek utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33

(1) Pencatatan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dilakukan dengan mencatat uraian catatan sita sesuai dengan format yang berbunyi:

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat sita berdasarkan permohonan Saudara .... dengan alasan...”/

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat sita berdasarkan penetapan sita ... dengan alasan ...”/

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dicatat sita berdasarkan surat paksa ...”.

(2) Pencatatan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat di:

a. buku tanah, pada kolom pencatatan Pendaftaran Peralihan Hak, Pembebanan dan Pencatatan Lainnya; dan

b. surat ukur, pada lembar gambar surat ukur yang masih tersedia.

Pasal 38

Sita Perkara mengikat pihak penggugat dan tergugat, dan berlaku sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang salah satu amarnya menyatakan gugatan ditolak atau tidak dapat diterima atau mengenai pengangkatan sita maupun penetapan penghapusan / pengangkatan sita.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Menjadi mulai dapat kita pahami, adanya “sengketa” tanpa disertai adanya sita pengadilan sekalipun ada gugatan dan putusan (hakim dalam amar putusannya ternyata bisa jadi menolak permohonan “sita jaminan” yang diajukan penggugat), maka tidak bersifat “seumur hidup” yang menyandera pihak warga pemilik sertifikat hak atas tanah. Sengketa adalah sengketa, namun blokir adalah blokir dan sita adalah sita, tiga hal yang saling terpisah dan berdiri sendiri sesuai konteks masing-masing.]

Pasal 39

Sita Pidana berlaku sampai dengan perkara yang diperiksa selesai, dan dibuktikan dengan adanya:

a. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan surat permohonan pengangkatan sita dari penyidik; atau

b. perkara dinyatakan selesai yang dibuktikan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 41

(1) Catatan sita hapus apabila jangka waktu berlakunya sita berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40.

(2) Pihak yang berkepentingan, penyidik atau juru sita pajak mengajukan permohonan penghapusan catatan blokir dengan melampirkan persyaratan:

a. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Perkara;

b. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal permohonan penghapusan catatan Sita Pidana; atau

c. ...”

Pasal 43

(1) Penghapusan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan dengan mencatat uraian penghapusan catatan sita sesuai dengan format yang berbunyi:

“Pada tanggal ... dan jam ... menit … detik … telah dihapus catatan sita tanggal ... jam ... yang dimohonkan oleh Saudara ... / penyidik / juru sita pajak … dengan alasan … ”.

Kesimpulan dan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sertifikat hak atas tanah merupakan cerminan atau “redundant” (semacam duplikat layaknya “akta gross” yang menjadi salinan otentik “akta minuta” dalam dunia profesi kalangan notaris) atau cerminan / bayangan / pantulan dari Buku Tanah yang tersimpan pada arsip Kantor Pertanahan. Adapun fungsi utama “checking” terhadap sertifikat hak atas tanah, ialah dalam rangka sinkronisasi antara data-data yuridis maupun data fisik sertifikat hak atas tanah yang beredar di masyarakat (pada tangan warga pemegang hak) terhadap perubahan data paling aktual yang tercatat dalam Buku Tanah di pihak Kantor Pertanahan.

Ketika Buku Tanah telah ternyata dan senyatanya memperlihatkan bahwa status hak atas tanah ialah “clean and clear”, maka itu sama artinya sertifikat hak atas tanah ketika dilangsungkan proses “checking” untuk disesuaikan atau disinkronisasi dengan data-data serta perubahannya pada Buku Tanah, tidak akan menemukan atau menampilkan satu pun keterangan-keterangan yang menyatakan telah dibebankannya sita baik secara pidana maupun perdata di atasnya, sehingga itu sama artinya status hak atas tanah ialah “clean and clear” dan dapat dialihkan haknya kepada pihak ketiga—dimana pihak Kantor Pertanahan tidak dapat lagi berkilah, menunda, mempersukar, ataupun menolak dengan berbagai alasan yang tidak mendasar untuk memproses permohonan warga pemilik hak atas tanah untuk mengalihkan hak atas tanah miliknya kepada pihak ketiga.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.