KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apakah Menggugat, adalah Hak? Apakah Digugat (secara) Serampangan, adalah Kewajiban bagi Warga Lainnya?

LEGAL OPINION

Pengacara, Hidup dari Menggugat, Mati pun karena Digugat. Yang Hidup dari Pengadilan akan Mati karena Pengadilan

Boleh Percaya ataupun Tidak, Ketidak-Adilan Terbesar dapat Kita Jumpai Justru di Lembaga Peradilan, Kantor Kepolisian maupun Aparatur Penegak Hukum Lainnya

Question: JIka menggugat (mengajukan gugatan ke pengadilan) dianggap sebagai hak asasi setiap orang, tanpa pandang bulu dan tanpa melihat dasar gugatannya, alias gugatan yang “seenaknya” sekalipun, maka mengapa hak untuk tidak digugat (secara) sembarangan tidak disebut juga sebagai hak asasi setiap orang?

Brief Answer: Tampaknya memang itulah yang menjadi celah hukum yang selama ini dibiarkan terbuka lebar “menganga” oleh hukum acara perdata di Indonesia, sehingga kesempatan yang dibuka oleh hukum acara demikian mengundang niat-niat penyalah-gunaan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab dengan cara “memancing di air keruh”, yang sangat lazim kita jumpai pada sengketa gugatan hutang-piutang “kredit macet” kalangan debitor yang diwakili oleh seorang pengacara yang hanya memperkeruh keadaan untuk dapat “memancing”. Sebagaimana kata pepatah, perbuatan buruk terjadi bukan hanya karena adanya niat buruk, namun juga karena adanya kesempatan yang dibuka lebar dan dibiarkan berlangsung dalam praktiknya.

PEMBAHASAN:

Pernah pada suatu waktu lama sebelum ini, saat penulis masih mewakili sebuah perusahaan menghadapi gugatan yang masif diajukan oleh kalangan “debitor macet”, seorang jurusita pengadilan datang ke kantor untuk mengantarkan relaas panggilan sidang. Penulis mengeluhkan dan menyayangkan adanya gugatan semacam itu yang penulis nilai sebagai “gugatan serampangan” yang hasil akhirnya sudah dapat diprediksi, dimana pengacara yang menjadi kuasa hukum pihak debitor yang mengajukan gugatan pun sudah menyadarinya namun masih juga menggugat (berspekulatif). “Sungguh tidak adil!”, demikian penulis memberi komentar kepada sang jurusita. Sang jurusita kemudian menanggapi, bahwa adalah wajar bila pihak yang kalah dalam gugatan akan komplain lewat penyebutan kritik semacam “Tidak adil!

Faktanya, gugatan debitor semacam itu sudah sering penulis hadapi, dan tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil memenangkan gugatannya. Lantas, apa yang menjadi dasar sehingga penulis berpendapat bahwa sebagian diantara praktik yang selama ini terjadi di pengadilan, ialah “tidak adil”? Itulah juga yang tampaknya kurang dipahami oleh kalangan lembaga peradilan, sehingga menjelma “celah hukum” bagi pihak-pihak yang nakal dan usil untuk merepotkan warganegara lainnya dengan dijadikan pihak Tergugat lewat gugatan secara serampangan tanpa dasar yang memadai—bagaikan seekor ikan yang tidak mengetahui dan menyadari apa itu “air”, semata karena mereka selama ini hidup di dalam kolam air.

Ketika pihak Tergugat tidak hadir di persidangan, maka pihak Tergugat dianggap melepaskan haknya untuk membantah, demikian kerapkali kalangan Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara berpandangan. Alhasil, se-serampangan seperti apapun suatu gugatan diajukan oleh pihak Penggugat, bila pihak Tergugat tidak bersedia direpotkan, mengeluarkan biaya, ataupun membuang-buang waktu menghadiri persidangan yang mendistraksi konsentrasi hidup dan kegiatan usahanya, gugatan yang paling serampangan sekalipun berpotensi untuk dikabulkan oleh pengadilan.

Masalahnya ialah, tidak jarang lokasi pihak Tergugat berdomisili dan letak pengadilan yang memeriksa serta memutus perkara, ada dan berada pada dua kota atau bahkan dua provinsi yang berbeda. Dapat dibayangkan kerepotan yang dihadapi oleh pihak Tergugat, hanya sekadar untuk menghadapi dan membantah dalil-dalil serampangan sebuah gugatan yang serampangan? Pernah terjadi dan benar-benar penulis hadapi, pihak Penggugat adalah seorang debitor “kredit macet”, menggugat untuk keempat kalinya atas objek sengketa dan pokok perkara yang sama di pengadilan yang sama namun dengan nomor perkara yang saling berbeda secara berantai—fenomena mana membuat penulis merasa “gerah” dan “geram”, merasakan ketidak-adilan lewat penyalah-gunaan lembaga peradilan oleh pihak Penggugat, dan itulah yang memicu lontaran spontan “Ini TIDAK ADIL!”.

Ilustrasi berikut cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi sengketa perlawanan terhadap eksekusi pengosongan rumah yang dibeli oleh pemenang lelang, register Nomor 25/Pdt.Plw/2018/PN.Byw tanggal 04 September 2018, perkara antara:

- ALI MUSTOFA sebagai Pelawan; melawan

- HENDRO PRIYANTO (pembeli lelang objek agunan dalam lelang eksekusi) sebagai Terlawan;

- HIKMAH (debitor); Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jember; PT. Bank Tabungan Negara (kreditor), sebagai para Turut Terlawan.

Yang menjadi objek perlawanan dalam gugatan ini, ialah sebuah “Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Banyuwangi” tertanggal 6 Desember 2017, diterbitkan berdasarkan permohonan Terlawan sebagai Pemohon eksekusi dan Pelawan sebagai pihak Termohon-nya. Permohonan penetapan eksekusi oleh Terlawan, diajukan berdasarkan alas hak berupa “Risalah Lelang Eksekusi Hak Tanggungan” tanggal 29 September 2017 yang menerangkan bahwa Lelang yang dimaksud adalah tentang Hak Tanggungan sebagai jaminan pembayaran kembali hutang pihak bank selaku Kreditur dan sebagai Pemegang Hak Tanggungan, atas Debitur (Turut Terlawan I).

Gugatan / perlawanan ini diajukan pada pokoknya meminta agar pengadilan menyatakan, “sebagai hukum mencabut dan/atau membatalkan Permohonan Eksekusi berikut pelaksanaan eksekusi sebagaimana di tetapkan dalam Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor: 34/Pdt.Eks/2017/ PN. Byw” tanggal 6 Desember 2017.”

Adapun tanggapan serta tangkisan dari pihak Terlawan, telah ternyata Kuasa Hukum Pelawan merupakan anggota organisasi advokat PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia), diketuai oleh ROPAUN RAMBE yang memiliki Badan Hukum dengan nomer AHU-00121.60.10.2014 tanggal 20 Mei 2014 sebagaimana tercantum didalam KTPA (Kartu Tanda Pengenal Advokat) Kuasa Hukum Pelawan. Sementara itu berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 06 K/Pdt. Sus-HKI/2016 dan Surat Mahkamah Agugng RI No. 09/PAN/HK0.3/1/2018, menyatakan bahwa organisasi yang bernama PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) dimaksud adalah tidak sah alias ilegal dan karenanya patut diragukan.

Meningat Kuasa Hukum Pelawan adalah anggota “PERADIN versi ilegal” tersebut, yang mana menurut Putusan Mahkamah Agung RI sebagaimana telah terurai di atas telah dinyatakan “tidak sah”, maka legalitas Kuasas Hukum Pelawan juga notabene “TIDAK SAH”, sehingga gugatan Pelawan tersebut tidak memenuhi syarat formil gugatan, yang sebagai konsekuensi yuridisnya ialah surat kuasa berikut gugatan perlawanan Pelawan menjelma “cacat secara formil” yang karenanya secara hukum perlawanan Pelawan patut dinyatakan “tidak dapat diterima”.

Dimana terhadapnya, Majelis Hakim Pengadilan membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa mengenai eksepsi Terlawan poin pertama tersebut Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa menurut pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya;

“Menimbang, bahwa menurut pasal 30 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa setiap advokat yang diangkat berdasarkan undang-undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat;

“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 di atas, maka untuk dapat bersidang mewakili pihak klien / pihak prinsipal di persidangan, seorang advokat selain harus memenuhi persyaratan wajib disumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, harus pula memenuhi kewajiban untuk menjadi anggota Organisasi Advokat;

“Menimbang, bahwa kedua persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 diatas sifatnya komulatif artinya wajib dipenuhi secara keseluruhan;

“Menimbang, bahwa untuk membuktikan bahwa terhadap Kuasa Hukum Pelawan telah dilakukan penyumpahan menurut agamanya di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, Kuasa Hukum Pelawan di muka persidangan telah menunjukan Berita Acara Pengambilan Sumpah dengan Nomor Register ... , yang foto copynya sebagaimana terlampir dalam berkas perkara, sehingga menurut Majelis Hakim bahwa Kuasa Hukum Pelawan telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003;

“Menimbang, bahwa mengenai persyaratan yang mengharuskan seorang advokat wajib menjadi anggota Organisasi Advokat, Kuasa Hukum Pelawan di muka persidangan telah memperlihatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) Advokat yang menunjukan bahwa Kuasa Hukum Pelawan sebagai advokat berada dibawah naungan organisasi PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) yang foto copynya sebagaimana terlampir dalam berkas perkara;

“Menimbang, bahwa meskipun Kuasa Hukum Pelawan telah menunjukan Kartu Tanda Anggota Advokat di persidangan, namun oleh karena Kuasa Hukum Pelawan merupakan advokat yang bernaung dibawah organisasi advokat PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia), maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan, apakah Kuasa Hukum Pelawan memiliki legal standing untuk dapat bersidang di pengadilan ataukah tidak;

“Menimbang, bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 6 K/Pdt.Sus-HKI/2016 tanggal 26 Mei 2016 junto putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 27/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst., Tanggal 21 September 2015 pada pokoknya menyatakan bahwa nama dan/atau logo PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) yang merupakan nama dan/atau logo dari organisasi advokat dimana Kuasa Hukum Terlawan bernaung, telah dinyatakan memiliki persamaan pada pokoknya dengan nama dan/atau logo PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia), sehingga nama dan/atau logo PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) tidak boleh dipergunakan lagi;

“Menimbang, bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor 6 K/Pdt.Sus-HKI/2016 junto putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 27/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst, maka nama dan/atau logo organisasi PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) yang sebelumnya sudah didaftarkan di Ditjen HKI menjadi tidak terlindungi lagi secara hukum bahkan merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila masih tetap dipergunakan;

“Menimbang, bahwa dengan tidak diperbolehkannya lagi secara hukum penggunaan nama dan/atau logo PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia), maka Kuasa Hukum Pelawan yang masih menggunakan nama dan/atau logo PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) sebagaimana dapat dilihat dalam Kartu Tanda Anggota Advokatnya, tentu tidaklah dapat dibenarkan, sehingga Kuasa Hukum Pelawan tidak memiliki legal standing untuk bersidang di muka sidang pengadilan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka eksepsi pelawan poin pertama patut untuk dikabulkan;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan eksepsi Terlawan;

- Menyatakan Perlawanan Pelawan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijke verklaard).”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.