Antara AHIMSA, MODERAT, dan RADIKAL dalam Perspektif Keyakinan Keagamaan

ARTIKEL HUKUM

Ketika “Agama DOSA” Menyaru sebagai “Agama SUCI”, dan Ketika “Kitab DOSA” Menyaru sebagai “Kitab SUCI”. Suci sebagai Suci, Dosa sebagai Dosa, Itulah yang Kita Sebut sebagai "Agama yang OTENTIK" Bukan “Agama yang PALSU”

Bahkan seorang Pendosa Merasa Berhak Berceramah Perihal Kebaikan, Keluhuran Karakter, Kebaikan, dan Kesucian, namun Dirinya Sendiri Penyembah Pengampunan Dosa yang Membutuhkan Penghapusan Dosa-Dosa Miliknya

Siapa bilang, bersikap fanatik (yang berlebihan sekalipun) maka diri yang bersangkutan akan menyerupai identik dengan radikalisme dan intoleransi yang bernuansa kekerasan fisik hingga pertumpahan darah? Buddhisme ialah jalan “Ahimsa” (alias jalan hidup “tanpa kekerasan”), sehingga semakin seseorang menjalankan jalan hidup tanpa kekerasan, semakin bergeming layaknya batu karang yang tidak akan goyah sekalipun dihempas ombak dan badai, semakin memiliki “pandangan benar” berupa keyakinan tanpa keraguan sekecil apapun terhadap Hukum Karma maupun Kelahiran Kembali (rebirt, sehingga tidak lagi merasa perlu untuk melakukan pembalasan dendam dengan tangan sendiri), dan kian jauh dari praktik intimidasi, ancaman kekerasan fisik, terlebih hal-hal semacam penganiayaan hingga perampasan hak hidup milik makhluk hidup lainnya.

Mengapa disebutkan bahwa menemukan orang yang memegang teguh prinsip kejujuran, keadilan, dan integritas, lebih sukar daripada menemukan logam mulia? Toko penjual emas dapat kita jumpai dengan mudahnya pada berbagai sudut daerah di perkotaan maupun di pusat perbelanjaan bahkan di pasar tradisional, dimana dengan sejumlah uang dapat kita beli dan peroleh tanpa kesukaran berarti. Namun yang menjadi masalah dalam mencari dan menemukan orang-orang yang memiliki kejujuran sebagai jati-diri dan urat-nadi kehidupan mereka, mereka tidak pernah mempromosikan dirinya sebagai demikian (agar tidak menjadi “mangsa empuk”, mengingat para “manusia predator” senantiasa menjadikan orang-orang baik dan jujur sebagai “sasaran empuk” untuk mereka makan). Masalah kedua, tidak ada mekanisme untuk menguji kebenaran klaim kejujuran diri seseorang sebagaimana menguji kadar emas dalam suatu logam mulia yang dapat kita temukan di pasar.

Bila menemukan orang jujur lebih sukar daripada menemukan logam mulia, maka terlebih menemukan orang suci (kaum suciwan), jauh lebih sukar daripada menemukan permata yang paling mahal yang ada di muka bumi ini. Contoh salah satu ajaran dalam “Agama AHIMSA”, sebagaimana dapat kita jumpai pada khotbah Sang Buddha dalam Sayutta Nikāya (sutta pitaka, Tripitaka), yang dikenal dengan judul Pembunuhan yang disetujui Sang Buddha, “Pembunuhan terhadap Kebodohan Diri Sendiri”, berisi ajaran sebagai berikut, yang membuat kita dapat memahami mengapa Sang Buddha mendapat julukan sebagai “Guru Agung bagi para manusia dan para dewata”:

Ketika seorang Brahmana yang merasa dirinya lebih tinggi dari Sang Buddha yang telah tercerahkan, yang sempurna, mencoba mendebat dan mempermalukan Sang Buddha dengan bertanya:

“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih? Apakah satu hal, O, Gotama, Yang merupakan pembunuhan yang Engkau setujui?”

[Sang Bhagavā:]

Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap; Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; Pembunuhan kemarahan, O, Brahmana, dengan akar beracun dan pucuk bermadu: Ini adalah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, karena setelah membunuh itu, seseorang tidak bersedih.”

Brahmana congkak pun takluk, kemudian memohon agar ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha, dan dengan tekun menjalanakan Dhamma, sehingga mencapai tingkat pembebasan sepenuhnya, Arahat.

“Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.”

~~~~

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

“Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahanta, namun Guru Gotama masih bisa marah.”

(NOTE Redaksi : Kitab Komentar menyebutkan, Ia telah mendengar bahwa para petapa menjatuhkan kutukan ketika mereka marah, jadi ketika Sang Buddha berkata, “Itu masih tetap milikmu, Brahmana!” Ia menjadi takut, berpikir, “Petapa Gotama sepertinya menjatuhkan kutukan kepadaku.” Oleh karena itu, ia berkata demikian.)

[Sang Bhagavā:]

“Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri seorang yang tidak memiliki kemarahan, dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar, dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna, dalam diri seorang yang seimbang yang berdiam dalam kedamaian?

(NOTE Redaksi : Bhikkhu Bodhi menerjemahkan tādi sebagai “Yang Stabil” sesuai dengan kemasan dalam komentar, tādilakkhaa pattassa, yang menyinggung penjelasan tādi pada Nidd I 114-16: “Arahanta adalah tādi karena Beliau ‘stabil’ (tādi) dalam hal untung dan rugi, dan sebagainya; Beliau adalah tādi karena Beliau telah melepaskan segala kekotoran; Beliau adalah tādi karena Beliau telah menyeberangi empat banjir, dan seterusnya, Beliau adalah tādi karena batin-Nya telah terbebas dari segala kekotoran; dan Beliau adalah tādi sebagai penggambaran diri-Nya dalam hal kualitas-kualitas-Nya.”)

Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya. Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.

“Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Orang-orang yang menganggapnya dungu, adalah tidak terampil dalam Dhamma.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Sagha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, sudilah memberikan penahbisan yang lebih tinggi kepadaku.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian, dengan tekun berlatih dalam Dhamma, menyadari pembebasan, kemudian Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu dari para Arahanta.

Sebaliknya, ketika suatu keyakinan keagamaan mengajarkan ideologi, doktrin-doktrin, hingga dogma-dogma yang mengatas-namakan wahyu berupa perintah dari Tuhan, yang mempromosikan intoleransi, tiada kompromi, mematikan empati, mengusung kekerasan fisik hingga pertumpahan darah, haus akan konflik-sengketa-permusuhan, tidak harmonis terhadap kaum yang berbeda, tidak menjadikan tabu perbuatan buruk yang tercela, toleran terhadap kejahatan dan perbuatan yang tergolong “dosa”, pamaksaan serta intimidasi hingga agresivitas, sebagai jalan menuju alam “surgawi”, sebagai cara menegakkan “jalan Tuhan”, maka para umatnya akan memiliki legitimasi, alibi, sekaligus justifikasi untuk melakukan perbuatan jahat, tercela, dan buruk demikian (dosa-dosa yang majemuk sifatnya), sebagai “alasan pembenar” alias “alasan yang dicari-cari dan dibuat-buat”.

Berikut salah satu contoh, ajaran yang mengajarkan, mengkampanyekan, mempromosikan, hingga memerintahkan untuk bersekutu dengan dosa dalam rangka masuk alam “surgawi” (bagaimana mungkin, secara rasional seseorang yang bersekutu dengan “dosa” sebagai “pendosa”, sebagai jalan menuju “surga”, seolah-olah orang-orang jahat berhak memasuki alam surga yang dipenuhi pendosa?), yang disebut-sebut sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Alhasil, umat dari “Agama DOSA” yang tergolong atau menggolongkan dirinya sebagai umat yang “moderat”, sejatinya tengah dan sedang melawan perintah Tuhannya sendiri dengan tidak menjalankan apa yang diperintahkan oleh wahyu-dogmatis mana yang telah digariskan dan ditetapkan oleh Tuhannya dalam “Kitab DOSA”. Karenanya, para umat dari “Agama DOSA” tidak dibiasakan untuk menjadikan tabu hal-hal semacam perbuatan tercela seperti mencuri ataupun berzinah, terlebih menjadikan tabu hal-hal jahat semacam membunuh, memenggal kepala, dan pertumpahan darah.

Umat-umat “Agama DOSA” yang tergolong “moderat”, memang tidak akan sampai membunuh kaum yang berbeda, namun tetap saja tidak banyak yang dapat diharapkan dari kaum pemeluk “Agama DOSA” yang tidak menjadikan tabu perbuatan-perbuatan buruk, jahat, tercela, dan dosa itu sendiri—bahkan bersekutu dengan dosa dan menimbun diri dengan berbagai dosa lainnya seperti menganiaya, menipu, ingkar janji, dan berbagai kejahatan lain sebagainya. Tetap saja, umat dari “Agama DOSA” yang paling “moderat” sekalipun, tergolong kaum manusia yang tercela, berdosa sebagai seorang “pendosa” karena berbuat dan bersekutu dengan dosa, serta berbahaya bagi eksistensi peradaban suatu bangsa yang beradab. Hanya umat-umat “pembangkang” dari “Agama DOSA” yang mampu bersikap “Ahimsa”, bahkan menjauhkan diri dari dosa, maksiat, ataupun perbuatan-perbuatan tercela yang buruk dan jahat lainnya.

Berkebalikan dengan itu, para umat “Agama AHIMSA” yang tergolong “moderat” justru bisa sesekali melakukan perbuatan buruk dan tercela yang jahat, meskipun tidak akan melakukan perbuatan yang sangat biadab semacam merampas hak hidup pihak lain maupun berzinah, karena mereka menyimpangi ajaran untuk “anti kekerasan” sebagaimana ikonik “Agama AHIMSA”. Yang benar-benar menjalankan ajaran dalam “Agama AHIMSA”, mereka tergolong dan digolongkan sebagai para suciwan yang berjalan dan menapaki diri di jalan kesucian, “ahimsa” sepenuhnya dan seutuhnya—karenanya tidak membutuhkan ideologi penuh kecurangan semacam iming-iming “penghapusan dosa” terlebih semacam “penebusan  dosa”. Hanya para umat “pembangkang” dari “Agama AHIMSA”, yang dapat melakukan kekerasan fisik secara ekstrim seperti pembunuhan dan pertumpahan darah.

Itulah sebabnya, tidak selamanya fanatik adalah buruk, dan tidak selamanya moderat ataupun bersikap “pembangkang” sebagai hal yang baik, tanpa melihat konteksnya atau melepaskan diri dari kerangka bingkai jenis keyakinan keagamaan yang sedang didiskusikan. Dogma-dogma yang menjadi ideologi keyakinan keagamaan itu sendiri yang menjadi “tulang-punggung”, payung, maupun pilar penopang suatu konsep terkait manusia, apakah seorang manusia yang menjadi umat pemeluknya akan menjadi “manusia dewa”, “manusia hewan”, ataukah bahkan menjelma “manusia setan”. Sehingga, bukanlah lagi persoalan apakah mereka, para umat tersebut, adalah seorang moderat, seorang fanatik, ataukah seorang pembangkang, namun adalah apakah keyakinan keagamaan tersebut mengandung ideologi berupa ajaran dogmatik yang baik dan luhur atau justru sebaliknya, mempromosikan dosa, maksiat, serta kejahatan itu sendiri.

Mungkin yang paling berbahaya ialah “re-framing”, ketika sebuah “Agama DOSA” menyaru dirinya sebagai “Agama SUCI”, dimana “Kitab DOSA” miliknya diberi kemasan label (labeling) sebagai “Kitab SUCI” dalam rangka promosi. Akal sehat (common sense) paling sederhana sejatinya sudah mampu untuk menjernihkan kebenaran yang sebenarnya, bahwa membunuh, mencuri, berzinah, adalah buruk disamping patut dicela, apapun alasannya, dan apapun itu “bukanlah alasan” untuk menjadi “alasan pembenar” bagi perbuatan jahat-tercela semacam pembunuhan, pencurian, maupun perzinahan. Adalah fakta yang bersumber dari rasio manusia yang memiliki akal sehat, bahwa “pengampunan dosa” hanya dibutuhkan oleh mereka yang berdosa, yang artinya pula sumber ideologinya bukanlah “Kitab Suci”, namun merupakan “Kitab DOSA” milik “Agama DOSA”.

Bangsa Indonesia, bangsa “agamais” (yang disaat bersamaan mencerminkan watak “premanis”, “hewanis”, “aroganis”, serta “egoistis”), yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat (menyakiti, melukai, maupun merugikan) orang lain, yang tergila-gila pada ideologi “korup” bernama “penghapusan dosa”, yang menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”, yang dengan serakahnya gemar merampas hak-hak orang lain, yang mencari seribu satu alasan serta lebih sibuk berkelit dari tanggung-jawab, yang berani berbuat namun tidak pernah berani untuk bertanggung-jawab, yang justru lebih “galak” ketika kesalahannya ditegur korban (dimana bahkan korban yang melawan ataupun menjerit disebut sebagai “tidak sopan” dan “zolim”), yang akan tidak senang ketika diperlakukan tidak patut namun sendirinya bersikap tidak patut terhadap pihak lain, yang selalu “maling teriak maling”, yang bersikap “pengecut” dengan memakai cara-cara curang (tidak akan berani “1 lawan 1, tangan kosong”), sekaligus sebagai bangsa yang menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik (alias “primitif”, alih-alih sudah beradab, namun masih “biadab”), namun masih juga mengharap dan yakin-terjamin masuk surga.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.