ARTIKEL HUKUM
Bisakah Ekonomi Melaju Normal tanpa Kesehatan? Ekonomi Semacam Apa, Terseok-Seok akibat Mengalami Luka Berdarah-Darah, Sakit, dan Penyakit yang Berlarut-larut?
Saat Wabah Pandemik Virus Menular Mematikan, Pilih Manakah, Ekonomi ataukah Kesehatan? Memilih Ekonomi Sama Artinya Memelihara Wabah, sementara Memilih Kesehatan Ibarat Berakit-Rakit ke Hulu, Berenang-Renang ke Tepian
Bangsa yang berani untuk berkorban “LOCK DOWN” merupakan negara yang OPTIMIS, bahwa kebijakan “LOCK DOWN” adalah opsi yang rasional serta bukanlah kiamat. Hanya bangsa yang PEMISIS dan dan tidak percaya pada Ketuhanan, yang takut dan mati-matian menolak “LOCK DOWN”, memandang “LOCK DOWN” artinya akhir dari segalanya—tipe bangsa yang “egoistik”, mengakibatkan warga yang patuh dan rela berkorban turut terkena dampak. Saat ulasan ini penulis susun, pandemik yang diakibatkan oleh wabah virus menular mematikan Corona Virus 2019 Tipe-2 (COVID-19), telah hampir genap memasuki satu tahun sejak secara resmi untuk pertama-kalinya COVID-19 kemunculan kasus pertamanya diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia.
Bangsa “agamais” Indonesia tercatat sebagai negara dengan cara penanganan wabah COVID-19 terburuk di ASEAN, serta dengan kasus aktif tertinggi di ASIA yang bahkan melampaui India yang berpopulasi jauh lebih besar dan berupa negara daratan, sekalipun Indonesia memiliki bentang alam kepulauan (“lock down” alami), sinar Ultra Violet (UV) tertinggi di dunia, memiliki dua musim (hujan dan kemarau), serta kaya akan rempah-rempah. Bilamana teritori Indonesia tidak seberuntung itu, entah akan seperti apa laju kasus baru pasien terjangkit COVID-19 di negeri ini. Apa jadinya pula, bila virus penyebab wabah menular mematikan tipe baru lainnya dikemudian hari pertama kali muncul di Indonesia, alih-alih di negara tetangga?
Setiap bulan berjalannya kondisi pandemik, seolah-olah masyarakat sipil serta pemerintahannya merumuskan pertanyaan yang saling tarik-menarik, sebagai berikut: Pilih mana, ekonomi ataukah pilih kesehatan? Mungkin juga terdapat opsi ketiga, yakni pilih “sikap PENUH KESERAKAHAN”, yakni menginginkan ekonomi tetap melaju terus, namun disaat bersamaan pun menginginkan faktor kesehatan tetap optimal, sekalipun wabah akibat pandemik virus menular antar manusia kian merebak dan mengganas (alias tidak rasional). Opsi tambahan, yakni opsi keempat, ialah opsi “PLIN-PLAN”, yakni “ekonomi tidak, kesehatan pun tidak” alias kebijakan serba berlarut-larut tanpa kejelasan serta tanpa kepastian.
Bagaikan ketika negara ini di-invasi tentara kolonial dari bangsa asing, pasukan-pasukan bersenjata yang notabene tentara asing menyerbu dan sama berbahayanya dengan wabah akibat pandemik virus menular mematikan yang tidak mengenal kompromi, sekalipun moncong senapan api dan bayonet telah diarahkan tepat di depan hidung-wajah para penduduk Indonesia, tetap saja masyarakat Indonesia melontarkan protes berupa pertanyaan perihal opsional (lebih tepatnya pertanyaan yang konyol, karena tidak memiliki “kecerdasan situasional” bernama “sikon” alias situasi dan kondisi), yakni : Pilih mana, keselamatan atau pilih ekonomi? Bila tidak memilih ekonomi, toh tetap akan mati juga, tidak selamat akibat kelaparan, sama-sama mati juga. Itulah juga logika yang tepatnya terjadi dalam kondisi “Kesehatan Vs. Ekonomi”.
Namun, tiada satupun Epidemiolog yang menyatakan bahwa ancaman pandemik akibat wabah COVID-19 ialah sama atau lebih berbahaya daripada invasi tentara asing ke wilayah Indonesia. Virus berjulukan COVID-19 tersebut, dapat musnah dan punah dengan sendirinya bilamana para penduduknya cukup mematuhi “protokol kesehatan (cegah wabah)”, dan bilamana ternyata para warga-nya ternyata tidak mampu dan tidak terbiasa berdisiplin diri, maka “LOCK DOWN” yang tegas dan keras menjadi opsi satu-satunya untuk memutus mata rantai penularan. Apakah merupakan kiamat, “LOCK DOWN” barang satu atau dua bulan? Negara Indonesia, justru menggelontorkan serta menghambur-hamburkan dana bantuan ratusan triliun Rupiah untuk pendekatan kuratif yang terbukti sejak lama tidak efektif, dimana sekalipun Einstein telah berpesan : “Menggunakan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, adalah gila!”
Kalangan Epidemiolog menyatakan, cukup “LOCK DOWN” selama satu bulan hingga dua bulan, maka wabah akan teratasi dan keadaan negara akan berangsur-angsur menuju pemulihan dari segi ekonomi maupun kesehatan, dan memenangkan peperangan melawan wabah, alias keluar sebagai negara serta bangsa “pemenang” yang mencetak prestasi kemenangan sebagai bekal (sejarah baru) kepercayaan diri ketika harus menghadapi wabah mematikan sejenis lainnya dikemudian hari yang niscaya adanya, terutama ketika vaksin tidak efektif untuk diharapkan mengingat tidak semua virus dapat ditangkal dengan vaksin. Vaksin, selalu merupakan pendekatan spekulatif. Negara yang baik, tidak mengajak rakyatnya untuk berspekulasi.
Tidak pernah ada sejarah, dimana wabah dapat diatasi secara efektif lewat pendekatan yang “lunak-lembek-kompromistis”. Artinya, wabah tidak dapat diatasi lewat pendekatan “separuh hati”, “setengah-setengah”, ataupun “tidak konsisten”, namun syarat ketegasan dan “all out” sepenuh sumber daya yang ada. Vietnam dan China, memang merupakan negara k0munistik, sehingga pola pemerintahannya efektif mengatasi wabah. Namun, sebuah negara demokratis sekalipun, hukum dibentuk secara demokratis akan tetapi dalam tataran penegakannya tetap perlu bersifat k0munistik alias tidak kenal kompromistis—pada konteks itulah, terdapat kemiripan seluruh tipe negara berhukum dalam hal penegakan hukum.
Amerika Serikat, simbol negara demokratis, memilih pendekatan ekonomi dalam menangani wabah, alih-alih pendekatan kesehatan, akibatnya Amerika Serikat sang negara adidaya menuju kebangkrutan, menjelma jauh tertinggal dari pembangunan dan geliat ekonomi saingannya di China, sebuah harga yang teramat malah sebagai bayaran dibalik tipe negara demokratis yang penegakan hukumnya tidak k0munistik. Wabah bersifat radikal, karenanya cara penanganannya pun tidak bisa tidak harus pula bersifat radikal, tanpa dapat ditawar-tawar oleh alasan ekonomi sekalipun—dimana bila memaksakan diri, maka yang terjadi ialah seperti betapa memalukannya kegagalan pemerintah maupun masyarakat Indonesia mengatasi wabah di republiknya sendiri.
Artinya pula, bila masyarakat kita memilih opsi “kesehatan” dikala wabah merebak, maka langkah satu-satunya yang dapat ditempuh ialah “LOCK DOWN”, bukan kebijakan “waria” (wanita tapi pria) yang ber-standar ganda lewat penerapan kebijakan yang tidak tegas, separuh-separuh, tidak konsisten, serta tiadanya kepastian sikap akibat membuka ruang kompromistis terhadap desakan daya tawar faktor ekonomi sekalipun.
Disaat bersamaan mengindikasikan pula, selama hampir genap satu tahun usia virus penyebab wabah COVID-19 merebak di Indonesia, masyarakat Indonesia maupun pemerintahnya tidak pernah satu kali pun atau satu bulan pun memilih opsi kesehatan—yang ada ialah mengambil opsi ekonomi, opsi “ke kanan tidak, ke kiri juga tidak”, opsi “pragmatis”, opsi “ambigu” dimana pemerintah sendiri tampak “gamang” alias tanpa kepastian disamping tanpa pendirian, serta opsi-opsi spekulatif “mungkin ada vaksin untuk mengatasi wabah” (yang mana artinya juga ialah mungkin juga bisa jadi vaksin demikian hanyalah imajinasi adanya karena tidak atau belum ada bukti efektif menuntaskan wabah).
“Semudah” itu pilihan opsi kesehatan dalam mengatasi wabah yang disebabkan oleh pandemik COVID-19 di Indonesia maupun di negara-negara lain yang telah berhasil mengendalikan COVID-19, namun mengapa juga masyarakat dan pemerintahan di Indonesia memperlakukan serta memandangnya sebagai sebuah kemustahilan untuk ditumpas dan dituntaskan cukup dalam tempo satu hingga dua bulan lamanya ber-“puasa” diri sebagaimana (konon) Bangsa Indonesia ialah “jagoan” soal urusan ber-“puasa”.
Masyarakat dan pemerintah Indonesia tampaknya menyama-ratakan ancaman wabah akibat COVID-19 terhadap ancaman akibat invasi tentara asing, seolah-olah mustahil untuk dilawan dan dihadapi (mental “pecundang”), sehingga hanya dapat bersikap “pasrah” atau sebaliknya bersikap “cengeng” dengan cara menutup mata dan tetap melajukan pedal gas akselerasi ekonomi dalam kecepatan penuh seolah-olah tanpa ancaman bahaya akibat wabah ataupun pihak pengancam lainnya. Rasio dan akal sehat semestinya ditempatkan pada garda terdepan benak masing-masing individu, selaku warga maupun pemegang kekuasaan yang baik dan kooperatif.
Kini, dapat mulai kita maklumi serta mafhumi, telah ternyata selama ini masyarakat Indonesia selalu lebih selalu mendahulukan opsi ekonomi ketimbang kesehatan para warganya—yang bermakna pula bahwa sama sekali belum pernah benar-benar memilih ataupun menyentuh opsi kesehatan berupa “lock down” (makna harfiah frasa “kesehatan” dikala wabah, thesaurus atau terjemahannya tidak dapat menggunakan kamus kosakata yang pada umumnya berlaku dalam keadaan normal. “Kesehatan” dikala wabah artinya secara radikal betul-betul memutus geliat ekonomi menuju ke tahapan yang disebut “dorman” atau “hibernasi” sepenuhnya dan seutuhnya, alias lumpuh secara temporal bagaikan rawat inap).
Karenanya, menjadi mengherankan ketika terdapat beragam kalangan warga, apapun latar-belakang pendidikan dan profesinya, berseru secara lantang bahwa “Saya / kami memilih EKONOMI”—yang artinya meninggalkan dan menanggalkan disamping menegasikan opsi KESEHATAN yang bahkan tidak pernah disentuh ataupun diambil pendekatannya selama hampir genap satu tahun pandemik akibat COVID-19 terjadi dan berlangsung di Indonesia. Selalu ada harga dibalik sebuah opsi yang dipilih. Selama ini masyarakat Indonesia memilih faktor ekonomi, sekalipun tidak secara resmi dideklarasikan kepada dunia global, dimana terbukti ketika pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang PRO terhadap investor asing yang penuh kontroversi dikala pandemik merebak (pendekatan EKONOMI semata, tanpa menghiraukan potensi timbulnya demonstrasi masyarakat dan pergeserkan sosial), sehingga menjadi mengherankan ketika masyarakat Indonesia yang sama hampir satu tahun wabah merebak, masih juga seolah-olah ber-akting baru hendak memilih antara “ekonomi ataukah kesehatan” sekalipun senyatanya (secara “de facto”) selama ini telah memilih EKONOMI.
Sebenarnya tiada urgensi untuk membenturkan opsi-opsi demikian, karena sejatinya kebijakan dapat berupa silih-berganti antara “ekonomi”, jeda dengan diselingi “kesehatan” selama satu atau dua bulan lamanya, barulah “ekonomi” dapat kembali bergeliat dan berjalan secara optimal, sehingga ada kepastian, bukan ambigu yang membuat rakyat menjadi penuh tidak kepastian disamping tiada ketegasan. Kepastian, membuat rakyat setidaknya merasa aman dan tahu kemana akan mengarah serta menuju, sekalipun pada mulanya terdapat penolakan dan resistensi yang wajar saja adanya dimana bahkan kebijakan mengenakan helm bagi pengendara kendaraan bermotor roda dua pun pada mulanya mendapat tentangan hebat dari para kalangan pengendara kendaraan bermotor roda dua.
Sehingga, opsi-opsi demikian sifatnya temporer saja adanya (yang karenanya menjadi aneh bila dipertentangkan “pilih EKONOMI atau KESEHATAN?”), bukan permanen, sebagaimana kecerdasan “sikon” yang telah kita bahas di muka. Saat wabah merebak dan kian mengganas tidak terkendali, itulah saatnya memilih “kesehatan” untuk sejenak (namun tidak separuh hati dan tidak “setengah-setengah”, dimana ketika wabah telah berhasil dikendalikan, maka “ekonomi” dapat kembali dijalankan dan mengalami pemulihan akibat wabah bukan lagi ancaman bagi kegiatan ekonomi masyarakat.
Bagi mereka yang secara membuta dan kaku memilih “ekonomi” untuk “ekonomi” (dengan berkata “SAYA MEMILIH OPSI EKONOMI!”), ataupun “kesehatan” untuk “kesehatan” (alias “LOCK DOWN” secara permanen tanpa batas waktu, sekalipun yang disebutkan paling akhir tersebut tiada satupun negara yang memberlakukannya), artinya sama sekali tidak memiliki apa yang disebut sebagai “kecerdasan situasional” yang bersifat kondisional yang bermakna temporer sesuai kondisi dan situasi—akan tetapi TEGAS, tidak separuh-separuh juga tidak setengah hati.
Lihat saja kondisi ekonomi Indonesia saat kini, telah hampir satu tahun pandemik COVID-19 berlangsung, TANPA pernah melangsungkan “LOCK DOWN” sebagaimana telah berhasil membantu negara-negara tetangga di ASEAN serta di ASIA untuk mengatasi dan mengendalikan sang virus menyebab wabah, tetap saja angka pertumbuhan ekonomi menjelma angka penurunan ekonomi kedalam angka “minus” (resesi)—sebuah kebijakan yang terlampau “memaksakan diri” seolah-olah hendak bermaksud “mencurangi hidup dan kehidupan”.
Bila kita sepakat bahwa kondisi wabah adalah “beban” serta “sumber kerugian”, maka bagaimana mungkin kita memilih untuk membiarkan ekonomi terus berjalan sementara beban tersebut masih sedang dipikul dan menjadi sumber kerugian yang menggerogoti sumber daya ekonomi dan keuangan suatu negara? Tidak ada satupun orang dewasa yang masih mampu berpikiran waras akan menyatakan bahwa tubuh yang sakit akan mudah dibawa jalan untuk bekerja.
Itulah sebabnya kita mengenal apa yang disebut “rawat inap”, dan bukanlah KIAMAT, juga bukanlah hal yang tabu, yang seringkali menjadi awal dari segalanya ketika telah sembuh dan pulih kondisinya. Orang sakit, justru menjadi BEBAN dan SUMBER KERUGIAN, terlebih-lebih akar penyebab penyakit tersebut. Ketika seorang anggota keluarga terpapar wabah, kemudian menulari sang kepala keluarga yang menjadi sumber pencari nafkah, dimana kemudian yang pihak yang disebutkan paling terakhir meninggal dunia akibat tertular, akibatnya ekonomi satu keluarga mengalami keruntuhan.
Seorang kepala keluarga pencari nafkah, ketika jatuh sakit secara akut, bisa jadi akan meruntuhkan ekonomi keluarga untuk membiayai pengobatan ataupun “potential loss” yang terjadi, disamping beban untuk dirawat. Adanya ancaman jatuh sakit oleh sumber penyebab penyakit yang dibiarkan hidup berdampingan dengan kita, merupakan pertanda kita perlu berhenti sejenak, memikirkan serta meninjau kembali skala priortas untuk kita kerjakan dan mengambil langkah yang perlu ditempuh—yang dapat kita sebut sebagai “sense of URGENCY”. Kita mengenal momen-momen seperti liburan atau cuti panjang (bukan hal tabu, terlebih “KIAMAT” untuk diambil opsinya), maka menjadi mengherankan ketika warga kita menolak mati-matian opsi semacam “LOCK DOWN” yang hanya sekadar satu hingga dua bulan lamanya untuk memutus mata rantai penularan?
Ekonomi memang penting, tiada yang menafikan, namun dikala wabah merebak, yang memiliki “urgensi” (temporer sifatnya) ialah kesehatan, bukan lagi faktor ekonomi yang hanya mutlak nilai kepentingannya dikala kondisi sedang berjalan normal tanpa ancaman wabah apapun. Selama satu abad Indonesia bebas dari wabah seganas COVID-19, karenanya semestinya cukup mampu memiliki tabungan hasil bekerja puluhan tahun untuk persiapan menghadapi “LOCK DOWN”.
Menjadi bukti, bangsa Indonesia ialah bangsa yang BOROS sekaligus KONSUMTIF—cerminan manajemen keuangan yang buruk. Itulah fungsi tabungan, sebagai dana cadangan “prepare for the worst cases”, dimana tampaknya Bangsa Indonesia tidak memahami konsep yang paling sederhana demikian, yang karenanya juga tidaklah tepat bersikap iri-hati terhadap kalangan berpunya yang cukup dana tabungannya karena selama ini rajin berkorban diri dengan cara menabung dengan menyisihkan sebagian dari hasil pendapatan bulanan selama berpuluh-puluh tahun bekerja dalam kondisi normal.
Karenanya, jawaban yang paling bijaksana yang dapat kita sampaikan ialah : “Ketika wabah belum terkendali, pilih KESEHATAN. Ketika wabah telah terkendali, pilih EKONOMI.“—temporer dan situasional saja sifatnya, namun TEGAS. Itulah “win-win solution” yang menjadi aneh bila terdapat pihak-pihak yang masih juga menentang dan memperdebatkan yang tidak perlu didebatkan. Indonesia telah menikmati kehidupan negeri yang bebas dari wabah sejak zaman kemerdekaan, adalah mustahil tidak memiliki tabungan guna antisipasi terjadinya “keadaan kahar” (force majeure) semacam wabah, sekalipun Negara Indonesia telah terbiasa dan seringkali dilanda bencana alam seperti gunung meletus, angin topan, tsunami, semburan lumpur, gempa bumi, banjir, tanah longsor, kekeringan akut, demam berdarah, dan lain sebagainya.
Adalah akibat faktor kebiasaan gaya hidup boros disamping mentalitas “penuh kecurangan” yang tidak berani secara tegas berkorban demi kesehatan selayaknya negara-negara tetangga, tidak mengherankan bila rakyat Indonesia mati-matian menolak “LOCK DOWN” meski hanya untuk hitungan satu atau dua bulan lamanya, yang dapat kita setarakan dengan satu bulan masa “bulan puasa”, yang konon Bangsa Indonesia adalah ahlinya. Meski, ironisnya, tingkat konsumsi justru meningkat drastis sehingga harga-harga kebutuhan pokok “meroket” dan melambung tinggi pada bulan “puasa”.
Itulah, yang penulis sebut sebagai “gegar budaya”, dimana selama ini yang menjadi budaya Bangsa Indonesia ialah “menyelesaikan segala masalah dengan cara kekerasan fisik”, yang telah ternyata terbukti tidak efektif digunakan dalam rangka menghadapi wabah akikat pandemik virus menular mematikan, baik COVID-19 maupun virus-virus menular mematikan lainnya. Ada harga yang harus kita bayarkan untuk “LOCK DOWN”, namun juga ada harga yang harus kita bayarkan untuk memilih opsi ANTI “LOCK DOWN”—yang saat kini dan sekarang ini sedang kita bayarkan harganya, sangat MAHAL.
Siapa juga yang mengatakan bahwa kesehatan adalah murah harganya? Sakit itu mahal, namun kesehatan juga tidak pernah murah harganya. Selalu ada harga dibaliknya, baik untuk menjadi sakit maupun untuk kesehatan, karenanya mengapa juga masih memilih untuk menjadi sakit dengan memelihara pengakit hidup berdampingan dengan kita? Jangan serahkan nasib pada virus penyebab wabah (sang virus adalah pembunuh yang tidak toleran), bersikaplah seolah-olah kita memang memiliki opsi untuk dipilih dan karenanya menjadi lebih berdaya menghadapi wabah apapun yang ada maupun yang akan ada dikemudian hari, karena kita memiliki daya tawar saat “bernegosiasi” dengan sang virus penyebab wabah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.