Mencatut Apakah Merupakan Pidana Penipuan? Siapakah yang Berhak Melaporkan, Calon Korban Penipuan ataukah yang Pemilik Nama yang Dicatut?

ARTIKEL HUKUM

Siapakah yang Berhak Melaporkan Pidana Penipuan, dan apakah Wajib Adanya Kerugian pada Korban Pelapor?

Terdapat sebuah “celah hukum” pengaturan dalam ilmu hukum pidana dan penitensier di Indonesia yang tampaknya dibiarkan terus “menganga” secara demikian lebar, tanpa mendapat sentuhan ataupun penanganan berarti oleh pemerintah ataupun kalangan oleh kalangan akademisi, sekalipun dalam tataran praktik di lapangan terdapat urgensi dimana sangat butuh penanganan segera akibat praktik-praktik penipuan jenis terselubung berikut di bawah ini sudah lama kerap menjadi “momok” di tengah-tengah masyarakat—entah akibat minimnya para “deep thinker” yang berkiprah dibidang hukum maupun pada lembaga pembentuk regulasi (sekalipun sejatinya tidak dibutuhkan seorang “jenius hukum” untuk menyadari, memahami, dan menguraikannya secara lugas), atau akibat salah didik dan salah asuhan dalam metode perkuliahan hukum penuh “omong kosong” alias “buang-buang waktu” (fakta) pada berbagai pendidikan tinggi hukum di Tanah Air?

Sebagai contoh analogi pembuka, seseorang melakukan penipuan dengan memakai “martabat palsu” berupa dikenakannya seragam polisi, untuk memeras warga, seolah-olah dirinya adalah seorang anggota kepolisian aktif yang berhak melakukan tindakan-tindakan terkait penyidikan seperti menghentikan seseorang warga, menggeledah, dan bahkan menyita serta perbuatan hukum lainnya, namun sang warga tidak berhasil ditipu alias tidak tertipu oleh tipuan sang “warga penipu” (bukan “oknum penipu”), maka apakah hanya sang warga “calon” korban seorang yang berhak dan berwenang untuk melaporkan sang pelaku kepada aparatur penegak hukum agar diproses sebagai terlapor tindak pidana penipuan, ataukah institusi Kepolisian berwenang untuk hal sama melaporkan sang “warga penipu” sebagai telah menipu warga dengan mencatut atribut serta seragam kedinasan milik kesatuan anggota polisi?

Contoh lainnya yang lebih dapat kita cermati sendiri di keseharian dan kerap kita dapati secara masif di tengah masyarakat, seorang warga mencoba melakukan penipuan dengan mengenakan seragam bhikkhu (ataupun busana pemuka agama lainnya), seragam kedokteran, seragam petugas perbankan, seragam Aparatur Sipil Negara / Pegawai Negeri Sipil, maupun seragam profesi-profesi lainnya, bahkan pernah terdapat sebuah kejadian dimana seorang warga tertipu dengan modus pinjam-meminjam sejumlah uang oleh warga lainnya yang mengaku-ngaku sebagai seorang pilot (semata karena mengenakan seragam pilot sehingga tampak meyakinkan calon korbannya), hingga penipuan berjenis semacam praktik perdukunan dimana sang pelaku penipuan mengenakan seragam dan atribut bak dukun sakti yang mampu “mengobati pasien”, maka sekalipun katakanlah akibat kewaspadaan calon korbannya, sehingga sang korban tidak berhasil tertipu, namun apakah artinya para umat Buddhist, kalangan profesi kedokteran, perbankan, pilot, Kementerian Dalam Negeri yang mengepalai berbagai disiplin pegawai pemerintahan, hingga para dukun di Tanah Air, tidak berhak melaporkan sang pelaku berseragam “gadungan” sebagai telah melakukan penipuan, semata-mata karena argumentasi sang pelaku bahwa yang hendak ditipu oleh sang pelaku ialah sang pihak calon korban?

Faktanya, banyak para pelaku modus penipuan demikian tidak tersentuh oleh hukum—bila tidak dapat disebut sebagai diantara kesemuanya—akibat tidak tegas dan tiadanya pengaturan yang jelas perihal isu hukum demikian yang sejatinya sudah klasik dan klise sekali untuk diungkit serta diangkat kembali ke permukaan. Berhubung minimnya (atau mungkin juga “tiadanya”) Sarjana Hukum maupun aparatur penegak hukum di Indonesia yang tertarik untuk membahas serta menyentuh hingga sejauh itu, maka dalam kesempatan ini penulis mengajak para pembaca untuk melakukan penelaahan terkait modus penipuan terselubung berupa pencatutan alias “martabat palsu”.

Pokok bahasan sentral dalam ulasan hukum singkat ini, penulis harapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi para penyusun kebijakan ataupun bagi aparatur penegak hukum untuk memberanikan diri melakukan interpretasi-elaboratif yang lebih “berani” terhadap ketentuan rumusan delik yang sudah ada tersaji rumusannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, agar dapat menjerat pula para pelaku penipuan yang memakai teknik “catut-mencatut” demikian—semata karena fakta aktualnya ialah adanya unsur niat buruk sebagai faktor batiniah sang pelaku untuk menipu sehingga tiada alasan lain dibalik penggunaan atribut-atribut demikian yang mana tidak lucu bila dimaksudkan hanya sekadar untuk menjadi seorang “badut” yang hendak “melucu” (namun dapat amat merugikan warga lainnya) dengan kostum tidak lucu demikian, yang mana sifatnya jelas sangat berpotensi mengecoh warga lainnya.

Apakah untuk dapat dipidananya pelaku pencatutan identitas milik orang lain, dapat dipidana sebagai penipuan, sementara itu korban tidak berhasil tertipu namun nama pihak atau tokoh yang dicatut menjadi rusak oleh sang pelaku di mata masyarakat, membawa hak bagi pihak yang dicatut namanya untuk melaporkan sang pelaku pencatutan ke hadapan persidangan pidana? Singkatnya, apakah unsur “adanya kerugian” dalam tindak pidana penipuan, harus selalu berupa kerugian dari pihak korban, tidak bisa kerugian dari pihak ketiga yang terkait, semisal ketika nama diri sang tokoh dicatut oleh sang pelaku yang mengambil keuntungan pribadi dengan mencatut nama tenar milik seorang tokoh ataupun orang lainnya sebagai “perangkap yang dipasang” untuk menjaring korban-korbannya? Penulis akan mengajak para pembaca untuk menjadi “arsitek” pembangunan norma-norma hukum, secara falsafati yang dapat dikonkretkan.

Sebagai contoh, tidak jarang kita jumpai pelaku penipuan yang membuat modus “kesan” seolah-olah diri sang pelaku adalah pengacara dari Presiden Republik Indonesia, dimana pada foto ID aplikasi messenger pribadi miliknya dipasang foto seorang Presiden Republik Indonesia, sehingga terkesan diri yang bersangkutan ialah pengacara resmi dari sang pemilik wajah pada foto yang dicatut oleh sang pelaku, dalam rangka memasang perangkap bagi masyarakat untuk masuk dalam jebakan dan terjebak (menaruh kepercayaan karena terpancing istilah “presiden” lengkap dengan foto tokoh sekaliber Presiden Republik Indonesia yang dicatut) dalam jebakan sang pelaku yang mencatut istilah “presiden” lengkap dengan foto sang Presiden Republik Indonesia, sekalipun kemudian berkat kewaspadaan masyarakat sehingga tidak terpancing atau setidaknya tidak berhasil tertipu oleh modus sang pelaku sehingga belum benar-benar terjadi kerugkan dari pihak korban, maka apakah artinya sang Presiden yang dicatut foto wajahnya dapat mempidanakan sang pelaku akibat pencatutan tanpa izin demikian?

Salah satunya ialah modus seorang pengacara penipu yang memberi gelar kepada dirinya sendiri sebagai “Presiden Advokat Muda Indonesia Musthofa”, “Presiden AMI DIY Mustofa SH”, “Presiden Advokat Muda Indonesia Musthofa”, dan gelar-gelar lain sebagainya yang selalu mencantumkan isilah “presiden” lengkap dengan foto wajah sang Presiden Republik Indonesia—seolah-olah dirinya adalah pengacaranya presiden (atau setidaknya pernah menjadi pengacaranya presiden), pengacara yang mendapat restu dari sang Presiden Republik Indonesia, dibiarkan (artinya disetujui) oleh presiden, hingga seolah-olah pihak Presiden Republik Indonesia mengenal dan menjalin “rekanan” dengan sang pengacara, tidak keberatan di-catut istilah jabatan dan foto wajahnya pada foto yang dipasang oleh sang pengacara penipu.

Berhubung ternyata rumusan “pasal tindak pidana penipuan” sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”—ternyata adalah “delik formil”, dimana artinya ada atau tidaknya kerugian dari pihak korban penipuan tidaklah relevan, maka pertanyaan atau isu hukum utamanya ialah siapakah yang kemudian berhak melaporkan perbuatan penipuan sang pelaku, korban (sekalipun tidak tertipu dan tidak menderita kerugian) ataupkah pihak yang bukan korban?

Jika memang sang korban gagal untuk berhasil ditipu, alias sang pelaku tidak berhasil menipu, apakah sang calon korban akan bersedia merepotkan dirinya melaporkan, mengingat tidak tertutup kemungkinan pihak penyidik justru tidak memahami dengan baik konsepsi ilmu hukum pidana, akan secara tidak simpatik menyudutkan pihak korban yang repot-repot bersusah-payah mengajukan laporan atas modus apa yang telah dihadapi olehnya, dengan menyatakan untuk apakah sang pelapor masih juga melaporkan jika tidak menderita kerugian serta bila tidak terjadi kerugian apapun maka apakah sang pelapor masih dapat disebut sebagai “korban” yang berhak untuk melaporkan?

Mencatut istilah “presiden” hingga mencatut pula foto dari sosok tokoh sang Presiden Republik Indonesia ialah jelas-jelas merupakan “martabat palsu” atau dapat pula kita sebut sebagai “tipu muslihat” untuk menjaring kepercayaan publik seolah-olah diri sang penipu demikian “bergengsi dan berbobot” untuk disandingkan dengan sosok sekaliber tokoh yang menjabat Kepala Negara, namun demikian korban yang dijadikan sasaran atau tujuan modus penipuannya ialah BUKAN sang tokoh yang ia catut istilah gelar ataupun fotonya—karenanya menjadi polemik bila disebut sebagai telah terjadi aksi tindak pidana “penipuan”, dimana sang pelakunya dapat bertanya-balik dengan argumentasi “berkelit” yang penulis akui sukar untuk kita bantah, sebagai berikut:

“Dimanakah letak penipuan dan tertipunya sang Presiden atas foto Presiden ataupun istilah Presiden yang saya gunakan? Atau, bahkan lebih ekstrim lagi, saya memakai klaim bahwa saya adalah pengacara dari sang Presiden sekalipun, maka dimana letak kerugiannya dari sang Presiden? Saya hanya berbohong, namun tidak merugikan harta materi milik sang Presiden atas kebohongan saya ini.

“Jika bukan sang Presiden yang menjadi sasaran modus penipuan saya, maka bukanlah sang Presiden yang menjadi korban modus penipuan saya. Bukanlah sang Presiden yang menjadi korban penipuan saya ini, sehingga apakah sang Presiden memiliki ‘legal standing’ untuk melaporkan saya sebagai telah melakukan penipuan, penipuan terhadap siapa dan siapa yang telah saya rugikan?

“Kecuali, yang saya lakukan ialah pemalsuan dokumen, pemalsuan tanda-tangan milik sang Presiden, ataupun pemalsuan lainnya. Namun, tidaklah dapat saya disebut terlebih dituduh sebagai telah memalsukan keterangan ketika menjaring masyarakat agar tertarik menggunakan jasa saya, namanya juga promosi jasa diri, hanya karena saya memakai istilah ‘Presiden’ dan memasang foto Presiden pada ID akun messenger milik saya. Para anggota masyarakat kita itu sendiri yang berasumsi bahwa saya adalah pengacaranya Presiden, namun itu semua bukan perkataan saya. Salahkan asumsi masyarakat kita itu sendiri! Saya adalah seorang nasionalis dan patriotik, karenanya memasang foto wajah Presiden Republik Indonesia pada foto profil aplikasi messenger milik saya.”

Secara falsafah (namun belum diakomodir secara ideal dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, ialah untuk dua tujuan utama, yakni : Pertama, untuk memberikan keadilan bagi korban. Kedua, untuk melindungi segenap warga dari perbuatan / kejahatan serupa, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku pelanggar hukum lainnya, agar tidak menjadi korban perbuatan pidana serupa di kemudian hari. Bila hanya sampai disitu saja, tampaknya kaku sekali praktik penegakan hukum kita selama ini di Tanah Air. Dibutuhkan sebentuk terobosan serta solusi tujuan lainnya yang hendak dibentuk dan dirancang oleh negara, untuk memecah kebuntuan dan kebekuan teoretis dan norma hukum pidana yang terbatas rumusannya (belum sempurna pengaturannya).

Mungkin, jika dimungkinkan, penulis hendak menambahkan tujuan ketiga, yakni penegakan hukum dalam rangka mencegah potensi terjadinya kejahatan, dimana “niat buruk” (mens rea) itu sendiri sudah cukup untuk menjerat pelakunya, sehingga “stakeholder” yang berhak mengajukan laporan pidana ialah bukan sekadar pihak calon korban, namun seluruh dan setiap elemen masyarakat, termasuk serta tidak terkecuali oleh pemegang atau pemilik istilah ataupun foto seseorang yang dicatut oleh sang pelaku yang mencatut bukan untuk dalam rangka penghormatan (tidak pada tempatnya), namun dalam rangka mengambil keuntungan / kepentingan pribadi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.