Memahami Norma Hukum Tidaklah Lengkap Tanpa Memahami Sejarah Negara

LEGAL OPINION

Perihal Konstitusi Negara dan Konteks serta Asusmi Dasar yang Melatar-Belakangi Pembentukannya

Question: Ada beberapa seruan politisi agar Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Indonesia dikembalikan kepada UUD Republik Indonesia Tahun 1945 versi awal ketika kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya diproklamirkan oleh para “Founding Fathers” kita? bagaimana pandangan hukum Konsultan Hukum Hery Shietra, mengenai wacana dikembalikannya Konstitusi Republik Indonesia kepada UUD Republik Indonesia Tahun 1945 pra-amandemen?

Brief Answer: Perlu kita ketahui latar-belakang alias “konteks” dari pembentukan “teks” norma-norma hukum, tidak terkecuali norma hukum yang dikandung dalam Konstitusi Republik Indonesia saat pertama kali dibentuk dan diterbitkan para pendiri Republik, yakni suatu “asumsi” mendasar era revolusi kemerdekaan dimana ancaman penjajahan oleh bangsa kolonial masih sangat kental dan belum sepenuhnya merdeka dari pendudukan bangsa asing.

Karenanya, pengetahuan mengenai kondisi dan situasi negara dalam potret (terutama “potret buram-suram”) sejarah ketata-negaraan dan bangsa, lengkap dengan dinamika politik dan sosialnya, menjadi penting dalam rangka memahami “konteks” yang ada pada masa itu, serta dalam rangka menentukan ada atau tidaknya relevansi dengan masa kekinian disamping bahaya dibaliknya bila “teks” yang sudah tidak relevan “situasi dan kondisinya” dipaksakan keberlakuannya pada masa kekinian.

Wacana atau isu untuk kembali kepada Konstitusi awal kemerdekaan Republik Indonesia, sama artinya hendak membangkitkan kembali semangat revolusi pra-kemerdekaan, dalam konteks kontemporer saat kini yang sudah memasuki lembaran baru bernama era reformasi, sehingga “asumsi” yang mendasari UUD RI 1945 “versi awal” telah tidak lagi relevan—terlebih untuk dipaksakan, mengingat pada Konstitusi Republik Indonesia “versi awal” peran serta kewenangan Presiden selaku Kepala Negara dan Pemerintahan demikian kuat dan berkuasa yang memang diperlukan pada masa era revolusi kemerdekaan yang mana (akan tetapi) sudah tidak cocok lagi pada era reformasi yang mengedepankan konsep Trias Politica dengan pendekatan “check and balancing sistem”, bukan “Legislative Heavy” terlebih “Executive Heavy” sebagaimana pola pada Orde Lama maupun Orde Baru dimana seorang Kepala Negara demikian “superpower” sehingga hanya dapat digulingkan lewat “people power”.

PEMBAHASAN:

Dibalik sebuah “teks” norma hukum, terkandung “konteks” yang tidak tertulis, dimana sifatnya dapat kita ketahui lewat telaah sosiologis-politis berupa sejarah serta latar-belakang pembentukannya disamping kondisi maupun situasi ketata-negaraan serta ideologi negara serta fenomena sosial-kemasyarakatan pada zaman itu. Karenanya, kita tidak dapat menggunakan perspektif kontemporer “zaman kini” sebagai kacamata dalam membaca dan memaknai “teks” norma hukum warisan masa lampau ataupun yang dibentuk oleh generasi terdahulu.

Sebagai contoh, untuk memahami bagaimana “teks” norma hukum yang disalah-gunakan dengan melepaskan diri dari “asumsi” pada era awal pembentukannya (pembiasan konteks), dimana Konstitusi dapat dijadikan “alat” legitimasi sesuai kepentingan segelintir pihak elit politik dalam menggenggam kekuasaan, dengan cara menggeser dan memaksakan konteks yang sejatinya sudah tidak relevan lagi “asumsi” sebagai dasar pembentukan “teks” norma hukumnya, dapat kita lihat pada laporan hasil studi yang ditulis oleh John Maxwell, dalam buku berjudul  Soe Hok-Gie : A Bibliography of A Young Indonesia Intellectual, Penerjemah : Tri Wibowo Budi Santoso, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cetakan II Juli 2005:

Sukarno menyadari bahwa Kabinet Djuanda dan Dewan Nasional yang dibentuk pada (tahun) 1957 telah gagal dan melesat jauh dari rencana yang ia canangkan dalam konsepsinya. Yang dibutuhkan adalah cara memperbesar perwakilan “kelompok fungsional” dalam dewan resmi pemerintah untuk menghasilkan sistem politik yang lebih mematuhi petunjuk pribadi Sukarno dan merefleksikan otoritasnya yang semakin besar. Tetapi perubahan semacam itu hanya dapat dicapai dengan mengorbankan partai-partai politik yang ada, yang menguasai parlemen dan Dewan Konstituante. Meskipun kritik paling pedas terhadap presiden yang dilontarkan oleh partai-partai politik telah melemah menjelang (tahun) 1958, partai-partai secara keseluruhan menolak setiap usul yang akan sangat melemahkan posisi mereka. (Hlm. 67)

Mulai akhir Desember 1958 sampai awal 1959, Sukarno menyelenggarakan diskusi mengenai bermacam-macam persoalan dengan para pemimpin partai dan tokoh politik dalam upaya membujuk mereka agar menerima serta mengimplementasikan proposalnya tentang peraturan pemilu yang baru. Presiden berusaha mengurangi perwakilan partai politik di parlemen sampai separuhnya dan menggantikan mereka dengan perwakilan kelompok fungsional. Kurang dari seperempat kelompok fungsional ini dialokasikan untuk angkatan bersenjata dan selebihnya dipilih oleh organisasi-organisasi nasional. (Hlm. 67)

Ketika mulai jelas bahwa partai-partai, kecuali PKI, merintangi proposalnya atau, dalam kasus Masyumi dan NU, secara fundamental menolaknya, akhirnya presiden memutuskan untuk melakukan cara-cara yang lebih dramatis untuk mengamankan tujuan politiknya. Pada bulan Februari ia mengajukan proposal kabinet untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD RI 1945). Gagasan ini, yang pertama kali dikemukakan dalam kabinet oleh Nasution pada 1958, yang berlaku pada masa perjuangan revolusi, presiden diberi kekuasaan eksekutif yang lebih kuat. Kembali ke UUD RI 1945 membuat Sukarno dapat memainkan peran yang lebih sentral dalam politik sebagaimana yang ia inginkan. (Hlm. 67)

Kampanye untuk kembali kepada UUD 1945 segera dilaksanakan dengan terus-menerus menekan partai-partai agar menerima proposal ini sekaligus mengubah sistem pemilu. Sukarno sendiri, dalam pidato utamanya di hadapan Dewan Konstituante tanggal 22 April, mengangkat isu perubahan konstitusi. Lebih dari dua bulan kemudian, proposal presiden menjadi perdebatan yang tiada habisnya di dalam dan di luar Dewan Konstituante. Isu ini akhirnya diputuskan dengan pemungutan suara pada akhir Mei, tetapi dalam pemungutan suara ini dan pada dua kali pemungutan berikutnya, proposal ini gagal memperoleh dua pertiga suara yang diperlukan untuk mengesahkannya. Situasi politik kini menghadapi jalan buntu, para politikus sipil sudah lemah kedudukannya dan terpojok, tetapi tetap menentang setiap upaya untuk mengurangi kekuasaan mereka. (Hlm. 68)

Sukarno kembali ke tanah air pada akhir Juni setelah melakukan perjalanan panjang ke luar negeri selama dua bulan. Pada tanggal 5 Juli, tanpa menghiraukan konstitusi tetapi dengan dukungan penuh angkatan bersenjata, presiden membubarkan Dewan Konstituante dan memproklamasikan UUD 1945 dengan dekrit presiden. Akhirnya terwujudlah Demokrasi Terpimpin. (Hlm. 67)

Pembentukan Demokrasi Terpimpin : 1959-1963. Meskipun Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan bisa terwujud dengan tepat pada 5 Juli 1959 berkat ambisi kuat Sukarno, lembaga-lembaga sistem pemerintahan tersebut terbentuk perlahan setelah lebih dari dua tahun. Penjelasan tentang struktur insitusional Demokrasi Terpimpin itu sendiri ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan politik pada masa itu. (Hlm. 68)

Pidato presiden yang disampaikan pada Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1959 merupakan peristiwa penting dalam perkembangan Demokrasi Terpimpin. Pidato tersebut, yaitu “Penemuan Kembali Revolusi Kita,” segera memperoleh status sebagai sistem ideologi bagi seluruh bangsa. Dewan Pertimbangan Agung mengumumkan pidato itu sebagai Manifesto Politik (Manipol) negara. Ada lima prinsip utamanya, yaitu UUD RI 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Identitas Nasional, yang kemudian terkenal dengan nama singaktan USDEK. (Hlm. 70)

Meskipun lawan-lawan politik Sukarno di dalam negeri, khususnya Masyumi dan PSI, meremehkan apa yang mereka anggap sebagai kedangkalan intelektual dan slogan-slogan kosong dalam pidato ini dan bagian-bagian penting lain Demokrasi Terpimpin, prinsip tersebut kemudian diterima dengan antusias. Bagi banyak penduduk Indonesia yang diliputi kekhawatiran akibat perpecahan dan pengalaman pahit yang telah dialami bangsa selama empat tahun sebelumnya, penekanan pada persatuan dan upaya memajukan bangsa serta seruan untuk menghidupkan kebanggaan nasional telah menenteramkan mereka kembali. (Hlm. 70)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955 masih berjalan beberapa lama sebagai lembaga sementara. Namun pada bulan Maret 1960, ketika DPR menolak untuk mengesahkan rencana anggaran yang menurut penilaian mereka sangat tidak memuaskan, Presiden Sukarno kemudian segera membubarkannya. Menjelang Juni sebuah parlemen baru, yaitu “DPR Gotong Royong”, dibentuk dengan separuh anggotanya yang dipilih dari kelompok fungsional. Kursi-kursi yang tersisa diserahkan kepada partai-partai politik, kecuali Masyumi dan PSI. Di dalam parlemen baru ini tidak akan ada pemungutan suara, sebaliknya, setiap keputusan diambil melalui musyawarah dan mufakat. Dengan demikian, DPR-GR ini hanya merupakan lembaga yang lemah, tidak efektif, dan hanya berperan kecil dalam politik Demokrasi Terpimpin. (Hlm. 70-71)

Mempelajari hukum, suka tidak suka dan mau tidak mau, kita wajib mempelajari sejarah ketata-negaraan serta sejarah sosio-kultural kita sendiri, karena keduanya saling terkait erat tanpa dapat dipisahkan, agar menghindari potensi terulangnya kembali tragedi sejarah. Aturan-aturan dalam norma hukum dan konstitusi, merupakan sebuah produk politik-kompromistis bernama “potret” yang dilekatkan daya ikat dan pemaksa yang bernama hukum serta penegakannya. Sebuah “potret”, sebagaimana namanya, hanya sekadar merekam serta menggambarkan momen pada saat itu, namun tidak pada kodratnya untuk relevan sepanjang masa.

Karenanya pula, antara “teks” dan “konteks” hukum, keduanya menjadi dua sisi dalam satu keping yang sama—dimana ketika keduanya dicoba untuk dipisahkan demi kepentingan parsial elit politik tertentu, akibatnya rakyat dapat keliru menerjemahkan “asumsi” atau “konteks” oleh sebab proses pengalihan isu kebijakan-kebijakan publik (secara terencana dan sistematis) digiring kepada ranah yang bermain dalam tataran ideologi dan “asumsi” yang tidak kasat-mata dan jarang disadari oleh segenap masyarakat kita yang masih cenderung membutakan diri dari literatur sejarah bangsanya sendiri, dimana bahkan para anak dan cucu dari Sukarno masih saja merasa bangga akan jati-dirinya selaku anak dan cucu dari sang “proklamator”, dimana rakyat pun masih mengidamkan “romantisme” yang seolah-olah “lupa akan sejarah bangsanya sendiri”.

Meng-amanden Konstitusi sesuai perkembangan zaman dan bangsa, adalah dimungkinkan karena bukanlah hal yang tabu bila terdapat konsensus publik selaku konstituen negara, karena UUD RI 1945 bukanlah “harga mati”. Namun, kembali kepada Konstitusi Pertama dari Republik Indonesia, yakni UUD RI 1945 “versi awal”, adalah sebentuk kemunduran praktik ketata-negaraan yang perlu diwaspadai oleh segenap anak bangsa, agar tragedi sejarah tidak kembali terulang dimana “social cost” yang harus kita bayarkan demikian tidak sepadan dan cenderung spekulatif tanpa arah ataupun ukuran yang jelas selain kerancuan penuh ambigu di tangan seorang pemimpin yang bisa jadi (siapa tahun) kemudian menjelma menjadi penganut “otorianisme” yang dibalut dengan slogan nama kemasan “demokrasi” (namun minim esensi prinsip-prinsip demokrasi), akibat “empuk”-nya kursi kekuasaan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.