LAWYERING FEE artinya Tarif untuk KEGAGALAN, karenanya Ada juga SUCCESS FEE untuk KEBERHASILAN

LEGAL OPINION

Ada SUCCESS FEE, Berarti Ada “FEE (untuk) KEGAGALAN”, Kekonyolan Profesi Advokat yang Tidak ingin Disamakan dengan Debt Collector

Question: Sebagai orang awam, terheran-heran saya mendengar kantor pengacara minta “fee” ini dan “fee” itu. Ada “reimbursment fee”, “lawyering fee”, hingga “success fee”, memusingkan saya yang awam praktik dunia (kantor) hukum. Sebenarnya apa maksud kalangan pengacara di Indonesia dengan minta “fee-fee” semacam itu? Jika sampai gagal dan bermasalah ditangani itu pengacara yang kami sewa, apa saja yang menjadi tanggung-jawab mereka dan dapat kami tuntut darinya?

Brief Answer: Mungkin satu-satunya profesi yang mengenal “tarif untuk KEGAGALAN” ialah kalangan Advokat alias pengacara (lawyer), karena ada pula dikenal dalam dunia kepengacaraan istilah semacam “success fee”. Kalangan profesi Advokat kerap tidak ingin disamakan ataupun disetarakan dengan kalangan profesi “Debt Collector” yang baru akan menerima pembayaran berupa komisi ketika berhasil menagih dan menarik objek pembiayaan dari tangan debitor penunggak tagihan cicilan pelunasan hutang, karenanya tetap juga memungut “lawyering fee”.

Artinya, bila ada dikenal istilah “success fee” dalam terminologi dunia pengacara di Tanah Air maupun di dunia global, maka ada pula “lawyering fee”. Artinya pula, dapat kita simpulkan secara logika paling sederhana, bila sang pengacara tidak mendapatkan “success fee” akibat gagal memenangkan kepentingan sang klien, bahkan tidak jarang menjadi bumerang karena digugat-balik pihak lawan dan menderita kekalahan disamping kerugian hebat, maka sang pengacara tetap mendapatkan apa yang disebut sebagai “lawyering fee”—alias “fee untuk KEGAGALAN”.

Sehingga, dapat pula kita sebutkan, bila kalangan dokter tidak mengenal istilah semacam “medical fee Vs. success fee”, begitupula kalangan kontraktor, konsultan, mekanik, pendidik, hanya mengenal satu jenis tarif atas jasanya untuk berusaha yang terbaik yang mereka mampu (skema the best effort sebagai basis “tarif profesi”) tanpa memungut “tarif untuk KESUKSESAN” semacam “success fee”, karenanya kalangan profesi Advokat / Pengacara menjadi satu-satunya profesi yang memungut pula “tarif untuk KEGAGALAN” dari pihak pengguna jasa yang menderita kerugian akibat kekalahan.

PEMBAHASAN:

Pernah dan tidak jarang terjadi, sebagaimana kerap dikisahkan latar-belakang kemelut yang diderita oleh klien pengguna jasa Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS, dimana sebelumnya sang klien menyewa jasa litigasi yang disediakan oleh kalangan Pengacara untuk menjadi wakil serta kuasa hukum untuk mewakili kepentingan sang klien mengajukan gugatan ke hadapan Pengadilan Negeri. Dalam tingkat Pengadilan Negeri, sang Pengacara berhasil memperoleh kemenangan, sehingga sang klien harus membayar komponen biaya “lawyering fee” PLUS “success fee”.

Belum berhenti sampai disitu, sebagaimana kita ketahui keberadaan atau eksistensi lembaga semacam Pengadilan Tinggi (lembaga paling tidak berguna di Indonesia yang justru dipelihara) hanya menguntungkan pundi-pundi kaum Pengacara di Tanah Air, sehingga sang klien kembali harus merogoh-kocek biaya untuk mendanai “lawyering fee” perkara dalam tingkat banding oleh sebab pihak lawan mau tidak mau harus menempuh upaya hukum “banding” sebelum dapat menempuh tingkat “kasasi” pada Mahkamah Agung untuk diperiksa dan diputus. Sang Pengacara kembali memenangkan perkara, sehingga sang klien kembali harus membayarkan untuk tingkat “banding” komponen biaya antara lain “lawyering fee” PLUS “success fee”.

Masih juga belum cukup sampai disitu, sang klien kembali harus merogoh kocek lebih dalam kantung saku baju dan celananya untuk membiayai “lawyering fee” perkara dalam tingkat kasasi, mengingat pihak lawan mengajukan kasasi. Kembali lagi, sang pengacara memenangkan perkara dalam tingkat kasasi, dimana alhasil sang klien harus membayar komponen biaya untuk perkara tingkat kasasi terdiri dari “lawyering fee” PLUS “success fee”.

Seolah menjadi anti-klimaks, dalam tingkat Peninjauan Kembali sebagaimana diajukan oleh pihak lawan, sang Pengacara mengalami KEKALAHAN, dimana putusan-putusan sebelumnya dianulir oleh Mahkamah Agung RI dan menyatakan “Gugatan TIDAK DAPAT DITERIMA KARENA KURANG PIHAK”. Telah ternyata, surat gugatan yang disusun oleh sang Pengacara, mengandung cacat formil karena terdapat satu pihak yang tidak turut diseret sebagai “Turut Tergugat”—yang artinya, sejak semula dari tingkat Pengadilan Negeri sekalipun, sang Pengacara telah “SALAH” disamping “GAGAL TOTAL” dalam menyusun dan merumuskan konsep surat gugatan (yang artinya pula tidak berhak mendapat “fee” apapun), yang berimbas pada pengeluaran berbagai biaya yang harus ditanggung oleh sang klien. Masih juga, sang Pengacara mengutip biaya “lawyering fee” sebagai “tarif untuk KEKALAHAN”.

Jangankan mengharap sang pengacara untuk bertanggung=-jawab mengembalikan kerugian dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh sang klien, TAHU MALU PUN TIDAK, sebagaimana ciri-khas kalangan Pengacara di Tanah Air. Mereka tidak akan mengembalikan kepada sang klien yang menderita kekalahan berbagai “lawyering fee” ataupun “success fee” yang telah dipungut dan diakumulasi oleh sang Pengacara mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi, ditambah “lawyering fee” untuk tingkat Peninjauan Kembali. Rumusan gugatan disusun tidak secara sempurna (oleh siapa?), bahkan bisa jadi disusun secara serampangan dan belum matang konsepnya, namun justru resiko dipikul dan menjadi beban pihak klien pengguna jasa sang Pengacara?

Itulah sebabnya, kalangan Pengacara paling gemar berspekulasi (gugat-menggugat, sekalipun tanpa dasar), oleh sebab mengingat menang ataupun kalah hasil muaranya, aib ditanggung oleh pihak klien pengguna jasa, disamping tentunya tetap mendapatkan “lawyering fee”, dimana juga siapa tahu “untung-untungan” (dengan bermain dan mempertaruhkan nasib klien pembayar tarif) mendapatkan “success fee” bila berhasil, dimana kalah pun tidak rugi sama sekali alias tidak ada ruginya bagi kalangan profesi Advokat. Fakta statistik menunjukkan, separuh gugatan, bermuara pada KEKALAHAN. Artinya, gugatan kerap-kali dimajukan tanpa dasar serta lemah konsepsinya dimana dari sejak semula dapat diprediksi atau diperkirakan tidak akan membuahkan hasil selain kontraproduktif—namun tidak akan ada kalangan Pengacara yang sejujur dan se-transparan itu terhadap calon klien pembayar “lawyering fee” bila masih ingin berbisnis dalam dunia pengacara.

Sampai disitu saja dapat kita lihat sendiri, siapakah yang sejatinya paling diuntungkan dibalik aksi gugat-menggugat, sebagaimana pepatah berupa adagium klasik-klise berikut : Menang jadi arang, kalah jadi abu. Kehilangan sapi, menggugat justru kehilangan mobil.

Preventif, bukanlah ladang bisnis kalangan Pengacara, namun kalangan Konsultan Hukum. Ladang bisnis kalangan Pengacara, ialah kuratif, yang tidak jarang berupa iming-iming “kuratif semu”, dimana sejak semula dapat diperkirakan gugatan akan menjelma kontra-produktif bagi kepentingan sang klien pembayar “lawyering fee”. Sang Pengacara akan senantiasa tersenyum (dalam hati, mereka “terkekeh-mengejek”), karena apapun hasil dan kondisi kemenangan ataupun kerugian yang diderita oleh sang klien, sang Pengacara tetap mendapat “lawyering fee”, yang mana syukur-syukur dalam perkara tingkat sebelumnya pernah atau sempat mendapatkan “success fee”.

Kekalahan yang diderita pada muara “ending” perkara, seolah bukan menjadi aib bagi pihak Pengacara, namun kekalahan sang klien sebagaimana dalam putusan pengadilan akan tampak bahwa yang saling bersengketa ialah sang klien terhadap pihak lawannya, bukan pengacara masing-masing pihak. Kekalahan, aib diderita oleh sang klien, sementara sang pengacara tetap tersenyum puas mendapatkan “lawyering fee”, dan syukur-syukur aksi spekulasi berbuah “success fee”.

Contoh yang kerap juga terjadi dalam realita praktik di lapangan. Kalangan debitor “kredit macet” kerap didekati oleh para kalangan Pengacara “kurang kerjaan”, dengan membawa agenda propaganda untuk memprovokasi kalangan debitor agar memberanikan diri menggugat kreditornya sendiri—tentu saja, “lawyering fee” yang dibayarkan oleh sang debitor bersumber dari dana kredit yang di-tunggak alias tidak dikembalikan oleh sang debitor kepada kreditornya, alias durhaka, dan tetap juga “dimakan” oleh sang Pengacara—seolah-olah menggugat kreditornya dapat menjadi instrumen ajaib untuk menghapus hutang, dimana ketika gugatan berhasil “menang” maka hutang sama sekali tidak perlu dibayarkan ataupun dilunasi (too good to be true).

Alhasil, gugatan sang debitor dimajukan ke hadapan Pengadilan Negeri, bermuara pada kekalahan, kembali sang Pengacara menebar iming-iming kemenangan dan janji-janji “surgawi” seolah gugatan adalah cara ajaib untuk menyelesaikan kemelut benang-kusut semacam “kredit macet”, kembali pula “lawyering fee” untuk mengajukan banding dibayarkan oleh sang klien, bermuara pada kekalahan, kembali sang Pengacara dengan modus serupa menggiring sang klien untuk membayarkan sejumlah “lawyering fee” untuk perkara tingkat kasasi, dan kembali pula mengalami kekalahan.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita oleh sang klien, tetaplah merupakan “bad news is GOOD NEWS” di mata serta bagi kantung sang Pengacara yang tetap dapat menikmati manisnya “lawyering fee”—sekalipun tanpa mendapat “success fee”, namun sudahlah cukup untuk memiskinkan sang klien. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui, bukan hanya penyakit yang dapat memiskinkan taraf ekonomi sebuah keluarga, namun juga terjebak dalam jebakan “lawyering fee” dan “success fee” (mengharap keluar dari mulut buaya namun ternyata masuk ke dalam mulut harimau, bernama Kantor Pengacara) mampu membuat taraf ekonomi keluarga dari sang klien mengalami keruntuhan serta menjadi “orang miskin baru”. Tanpa bermaksud berlebihan, kesemua fakta demikian benar-benar terjadi sebagaimana dikisahkan tidak sedikit klien dari SHIETRA & PARTNERS.

Itulah sebabnya, antara kepentingan sang klien dan kepentingan sang Pengacara, tidak pernah berjalan beriringan, namun justru saling bertolak-belakang akibat “conflict of interest” kepentingan dan sumber bisnis kalangan profesi Advokat. Bukan hanya kerugian dari segi “lawyering fee” pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Kasasi yang diderita oleh sang klien, sang klien pun menderita kerugian FATAL yang akut sifatnya mengingat hutang-piutang yang tertunggak telah berlarut-larut selama proses gugat-menggugat (omong-kosong) selama bertahun-tahun, mengakibatkan total hutang tertunggak menjelma “gunung raksasa hutang” yang terus menggelinding bagai “efek bola salju”, karena tidak tertagihkan bertahun-tahun lamanya, yang terus berlipat-ganda akibat faktor beban bunga, bunga terhadap bunga tertunggak, denda, bunga terhadap denda, pinalti, serta bunga terhadap pinalti.

Itulah yang kerap SHIETRA & PARTNERS sebut dengan julukan sebagai “jalan buntu” (dead end), yang mana sang Pengacara tentunya akan menutup-nutupi informasi akan potensi terjadinya “jalan buntu mematikan” demikian—membukanya dimuka (pahit dimuka alih-alih manis dimuka hanya menjadi Kode Etik kalangan profesi Konsultan, bukan Pengacara) secara transparan sama artinya sang Pengacara akan kehilangan ladang bisnisnya (“lawyering fee”)—dan secara tidak bertanggung-jawab akan “hit and run” ketika telah mendapat sejumlah “lawyering fee” pada ketiga tingkat perkara yang bermuara pada kekalahan.

Satu hal terakhir—meski bukan yang paling akhir—yang akan diungkap SHIETRA & PARTNERS kepada publik, ialah mengapa kalangan profesi Advokat di Indonesia demikian mengagung-agungkan Kode Etik Advokat (yang telah lama terbukti gagal mendisiplinkan moralitas dan etika para Advokat di Tanah Air), dimana secara sederhana ilustrasi dialog singkat berikut mungkin dapat cukup mewakili dan tampaknya memang tidak asing lagi di telinga kalangan masyarakat di Indonesia, ketika kuasa hukumnya mengalami kekalahan telak di pengadilan saat mewakili kepentingan sang klien:

Klien :

“Pak Pengacara sudah saya bayar mahal-mahal ‘lawyering fee’, mengapa masih kalah juga? Jadi merugi besar ini derita yang saya tanggung selaku klien Bapak Pengacara!”

Pengacara :

“Jangan menyalahkan saya, jika ingin menyalahkan maka salahkan-lah Kode Etik Advokat yang saya junjung tinggi sekalipun langit akan runtuh ini, yakni larangan untuk menjanjikan kemenangan bagi klien pengguna jasa. Saya ingin sekali menjanjikan menang dan memenangkan perkara milik Pak Klien, namun apa daya, saya terikat oleh sumpah profesi Advokat yang mewajibkan setiap advokat untuk menegakkan Kode Etik Advokat sebagai HARGA MATI, tidak bisa lagi ditawar-tawar ataupun dinegosiasikan. Pengacara, officium nobile, profesi yang mulia.”

Klien :

“Jadi, maksud Anda, saya selaku klien yang merugi karena kalah dalam gugatan yang Pak Advokat ajukan ke pengadilan sebagai kuasa hukum saya, harus mengucapkan terimakasih dan menaruh hormat begitu, kepada Pak Advokat, karena telah bekerja secara profesional sesuai Kode Etik Advokat?”

Pengacara :

“Yup, tentu saja. Kini silahkan Anda pulang, saya ingin menikmati ‘lawyering fee’ yang telah Anda bayarkan untuk tiga tingkat peradilan.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.