KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kiat agar Membeli Rumah yang Dijual Pengembang / Developer tidak Menyerupai Beli Kucing dalam Karung

LEGAL OPINION

Tips Membeli Rumah dari Developer, Ketika Rumah Belum Benar-Benar Eksis Berdiri (Masih Tanah Kosong)

Developer Properti, Praktik BUNDLING Harga Jual-Beli Tanah Kavling + Biaya Jasa Kontraktor

Question: Apa ada cara yang paling aman, bila hendak membeli rumah dari suatu perusahaan pengembang perumahan dan real estate, dalam rangka menghindari kejadian yang kerap terjadi dimana pembeli telah membayar lunas harga jual-beli rumah, ternyata sertifikat tanah rumah tidak kunjung juga diserahkan oleh pihak pengembang dengan alasan belum dipecah oleh pihak Kantor Pertanahan dan masih terkendala di Kantor Pertanahan?

Brief Answer: Sudah sering sekali kita mendengar pemberitaan yang selalu berulang terjadi, seolah otoritas pembentuk regulasi di Republik Indonesia gagal untuk belajar dari keadaan dan mengantisipasi masalah yang sama dikemudian hari agar tidak terulang kembali dengan tujuan melindungi segenap warga selaku konsumen produk properti, sekalipun konsumen atau pembeli produk properti telah melakukan pembayaran hingga tahap “LUNAS” dan telah menunggu selama bertahun-tahun lamanya, proses pemecahan / pemisahan sertifikat hak atas tanah “induk” milik pihak developer hingga proses “balik-nama” (peralihan hak atas tanah) ke atas nama pembeli, tidak pernah terealisasi, bahkan berlarut-larut hingga berujung pada gugat-menggugat atau dipailitnyanya sang atau pihak developer selaku pengembang produk properti—baik pailit yang dimohonkan oleh pihak developer itu sendiri ataupun oleh pihak pembeli produk properti.

Ketika produk properti yang ditawarkan dan dipasarkan oleh pihak developer, dimana seringkali bidang tanah atau objek jual-beli properti masih berupa tanah kavling yang kosong alias masih berupa tanah hamparan tanpa bangunan real apapun yang berdiri di atasnya, namun telah diperjual-belikan dalam proposal penawaran properti dengan wujud brosur atau miniatur maket belaka—alias menjual atau menawarkan “janji” dimana objek rumah belum benar-benar ada.

Itulah sebabnya, konsumen produk properti yang ditawarkan oleh berbagai developer, sebenarnya para pembeli berkedudukan sebagai pemodal, kreditor, sekaligus investor dari sang developer, sehingga praktis pihak developer dalam faktanya tidak “bermodalkan” apapun selain bidang tanah dan sumber daya kontraktor yang dimiliki olehnya (yang karenanya menjadi tidak logis bila terdapat kalangan developer yang jatuh pailit, selain karena “internal fraud” pihak developer itu sendiri), dengan rumusan kerja kalangan developer (papan atas dan ternama sekalipun) sebagai berikut : Tanpa atau belum ada pembeli, maka bangunan / rumah belum akan dikerjakan, baru sekadar proyeksi di atas tanah kosong, dan ketika telah dibeli dan dibayarkan oleh pembeli barulah proses pengerjaan pembangunan gebung / bangunan dimulai oleh pihak developer.

Menyerupai sedang berspekulasi dengan taruhan harga yang sebesar harga properti, “beli kucing dalam karung”, apakah properti benar-benar akan berdiri dan serah-terima sertifikat hak atas tanah akan benar-benar terealisasi atau tidaknya, sama artinya jual-beli berlangsung atas objek yang “BELUM ADA” alias hanya sekadar proyeksi serta “menjual janji”—yang karenanya menjadi tidak mengherankan bila kerap terjadi praktik “ingkar janji” alias wanprestasi untuk merealisasikan apa yang “BELUM ADA” namun telah ditransaksionalkan. Posisi hukum konsumen produk properti, karenanya ibarat berada di ujung tanduk, dengan menyerahkan nasib ke tangan itikad pihak developer, baik developer raksasa maupun developer perorangan yang belum ternama—dimana kerap kali yang telah memiliki nama besar sekalipun tidak jarang melakukan praktik penawaran dalam brosur yang berbeda dengan kualitas real properti yang diserah-terimakan kepada konsumennya.

SHIETRA & PARTNERS dalam kesempatan ini tidak akan membahas perihal pemasaran objek properti yang mana dikemudian hari benar adanya dibangun oleh pihak developer hingga berdiri di atas tanah yang telah berhasil dipecah / dipisahkan keatas nama dan diserah-terimakan kepada pihak pembeli lengkap dengan sertifikat hak atas tanah namun dalam kondisi yang berbeda dari “iming-iming” dalam rumah percontohan maupun brosur, namun kita berfokus dalam bahasan ini perihal objek jual-beli properti yang gagal diserah-terimakan sertifikat hak atas tanah-nya ke atas nama pembeli—sehingga untuk apa juga konsumen selaku pembeli membayar mahal kepada pihak developer biaya pembangunan dan pendirian rumah / bangunan di atas tanah milik pihak developer yang (ternyata) secara berlarut-larut tidak bisa (yang bisa jadi tanpa tertutup kemungkinan, pihak developer memang tidak pernah memiliki niat untuk itu) dipecah dan diatas-namakan keatas nama pihak konsumen?

PEMBAHASAN:

Bila objek jual-beli sejatinya masih berupa bidang tanah kosong (tanah kavling) yang belum berdiri bangunan atau properti apapun, dimana sertifikat hak atas tanah masih berupa “sertifika induk” yang belum dipecah ke bidang-bidang tanah kavling, sama artinya SHIETRA & PARTNERS dapat merumuskan konstruksi hukum yang terjadi ketika seorang konsumen membeli produk properti, ialah dalam kejadian hukum sebagai berikut : Jual-beli produk properti dari developer = jual-beli tanah KAVLING kosong + biaya jasa kontraktor.

Itulah konstruksi hukum yang sebetulnya terjadi dalam praktik perusahaan yang bergerak dibidang jasa sekaligus niaga developer—namun, dalam implementasinya pihak developer (secara penuh kecurangan) mem-BUNDLING tanah kavling disertai biaya jasa kontraktor, yang dibayar sebagai satu-kesatuan harga jual-beli objek properti yang dipasarkan, sekalipun terbuka besar peluang objek sertifikat hak atas tanah “induk” dikemudian hari berpotensi tidak dapat dapat dipecah terlebih dibalik-namakan keatas nama pihak konsumen, suatu kejadian yang lumrah terjadi dan kita dengar dalam pemberitaan secara berulang terjadinya di berbagai daerah.

Dengan kini kita telah memahami komponen real yang terjadi dibalik praktik jual-beli produk properti, maka kita sejatinya (bila tetap memaksakan diri membeli produk yang belum ada wujud fisiknya dari pihak developer) dapat menghindari resiko dibalik jebakan “beli kucing dalam karung”, yakni dengan secara “to the point” memasuki dua komponen harga jual-beli yang ternyata ialah tersusun dari komponen seperti unsur harga jual-beli tanah KAVLING kosong dan biaya jasa kontraktor (yang mana juga sejatinya keduanya ialah dua biaya yang saling terpisah), yang kesemuanya dimiliki oleh pihak developer selaku pihak penjual produk properti. Bahasan ini pun akan ada kaitannya dengan bahasan perihal kepentingan serta kepastian hukum bagi pihak kreditor perbankan selaku penyalur fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terkait objek tanah sebagai agunan jaminan pelunasan hutang sang pembeli selaku debitor pembiayaan lembaga keuangan.

Untuk itu, pihak calon konsumen produk properti yang dipasarkan oleh pihak developer maupun dari perspektif calon kreditor penyedia fasilitas KPR, dapat meng-komunikasikan kepada pihak developer, bahwa pihak calon konsumen bersedia dengan harga jual-beli produk properti yang ditawarkan oleh developer, begitupula dari pihak calon kreditor, namun bukan dalam wujud skema konvensional, namun dalam bentuk kedua komponen biaya sebagaimana telah SHIETRA & PARTNERS singgung sebelumnya, yakni separuhnya ialah harga jual-beli tanah kavling serta biaya jasa kontraktor untuk membangun properti di atas tanah kavling tersebut setelah tanah kavling berhasil dipecah / dipisahkan dan diatas-namakan keatas nama pihak konsumen.

Dengan cara demikian-lah, pihak developer dapat tetap memperoleh keuntungan margin usaha berupa penjualan seharga produk properti sekalipun bentuk skema objek jual-belinya ialah non-konvensional disamping tiadanya prosedur perizinan yang rumit seperti “izin lokasi”, pihak konsumen selaku pembeli mendapat kepastian hukum disamping kepastian objek hak atas tanah, demikian pula pihak kreditor penyedia fasilitas KPR dapat memastikan eksistensi objek hak atas tanah yang dapat seketika dibebankan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan fasilitas KPR tanpa berspekulasi apakah kelak ketika jual-beli properti telah dibiayai ternyata tidak dapat dipecahkan dari sertifikat “induk” atau tidak dapat diatas-namakan ke atas nama sang debitor selaku konsumen.

Disisi lain, keuntungan bagi posisi pihak konsumen serta kreditor ialah, pihak developer tidak lagi dapat bermain-main bila memang menghendaki profit margin laba usaha dari menjual properti, mengingat dirinya baru akan menerima keuntungan dari biaya jasa kontraktor bila sertifikat hak atas tanah “induk” telah berhasil dipecah / dipisahkan dan diatas-namakan keatas nama pihak konsumen (sekaligus debitor dari pihak kreditor perbankan pemberi fasilitas KPR), karenanya mau tidak mau sang developer terpaksa “all out” untuk berhasil memecah atau memisahkan sertifikat hak atas tanah “induk” dan mengalihkan haknya keatas nama pihak konsumen, sebelum dapat dibyarkan jasa kontraktor di atas objek jual-beli tanah.

Sementara itu, “moral hazard” dibalik praktik skema konvensional yang selama ini terjadi ialah, mengingat sifatnya ialah “bayar penuh” dimuka untuk kedua hal secara sekaligus yang sebetulnya saling terpisah dalam dua urutan proses yang tidak bisa dilangkahi seperti dengan membangun dahulu baru memecah sertifikat hak atas tanah, bahkan pembayaran untuk pembangunan rumah / gedung bangunan sekalipun sertifikat hak atas tanah masih berupa “induk” dan belum dipecah / dipisahkan, karenanya tidak terdapat sebentuk rasa kemendesakan untuk dipikul pada pundak-bahu pihak developer untuk secara SERIUS serta beritikad-baik mendorong percepatan pemecahan / pemisahan sertifikat hak atas tanah “induk” sekaligus proses peralihan hak atas tanah kepada pihak konsumennya. Strategi demikianlah, yang dapat membuat daya tawar pihak konsumen maupun kreditornya mendapat “suntikan” kekuatan dalam menghadapi “tembok tebal” dibalik “dapur” milik sang developer yang tidak jelas itikadnya.

Sebaliknya, pihak konsumen serta kreditornya yang selama ini merasa perlu mendesak-desak pihak developer untuk serius mengurus proses pemecahan / pemisahan sertifikat hak atas tanah “induk” yang dibeli oleh sang konsumen yang dibiayai oleh pihak kreditor perbankan. Dalam sudut pandang tersebut saja, sudah menjadi jelas bahwa skema alternatif dari SHIETRA & PARTNERS lebih memotivasi keseriusan sekaligus menutup sedikit-banyaknya itikad buruk (bila ada) dari pihak developer untuk bersikap “nakal” dan “bermain-mempermainkan” terhadap pembeli selaku konsumennya sendiri.

Sekalipun tidak dapat lagi disebut sebagai konsumen “produk properti”, karena kedudukan pihak konsumen ialah selaku pembeli tanah kavling serta sebagai pengguna jasa kontraktor, dimana dapat dikatakan bahwa seluruh kalangan developer ialah sejatinya merangkap sebagai pelaku usaha yang bergerak pula dibidang kontraktor, namun yang terpenting ialah esensinya, yakni mengamankan posisi hukum pihak konsumen sekaligus pihak kreditor penyedia fasilitas KPR—dimana pihak developer pun menjadi tidak lazim jika menolak opsi tawaran skema alternatif dari skema konvensional demikian, mengingat pihak konsumen bersedia membayar dengan harga jual-beli produk properti yang dipasarkan oleh pihak developer, yang mana bila sang developer tetap berkeratan maka menjadi indikasi atau petunjuk disamping persangkaan kuat bahwa sang developer sedari sejak awal memiliki niat buruk sehingga karenanya bersikap tidak kooperatif terhadap kepentingan serta posisi hukum pihak konsumen dan kreditor penyedia fasilitas KPR.

Sehingga, konstruksi yang ditawarkan oleh SHIETRA & PARTNERS sebagai opsi alternatif skema pembelian produk properti demikian sebagaimana dua urutan skema di atas, urutan pertama yakni ketika sertifikat hak atas tanah “induk” TELAH BERHASIL dipecah atau dipisahkan ke atas nama pembeli, menjadi filter pertama, sebelum pihak pembeli atau pihak kreditor penyalur fasilitas kredit perumahan dapat beralih pada tahap selanjutnya, yakni pembayaran atas jasa konstruksi atau jasa kontraktor pembangunan gedung atau bangunan.

Dengan demikian, bila ternyata pada tahap awal terdapat kendala pemecahan / pemisahan sertifikat hak atas tanah “induk” (yang entah benar-benar “kendala dan terkendala” atau bisa jadi “kendala yang dibuat-buat” patut kita duga kemungkinannya), maka pihak pembeli ataupun kreditor penyalur fasilitas kredit tidak akan menderita kerugian lebih jauh dengan berspekulasi turut membiayai ataupun membayar atas apa yang sejatinya proses urutan paling pertama pun belum tuntas dilewati, yakni sertifikat hak atas tanah masih belum berhasil dipecah / dipisahkan keatas nama sang pembeli, yang karenanya juga menjadi absurd bila sang developer masih juga menagih dan meminta tarif jasa kontraktor—dan itulah juga tepatnya “alam batin” yang berlangsung di dalam “dapur” dan benak pemikiran para pebisnis yang duduk dibalik meja manajerial perusahaan developer.

Yang selama ini terjadi dalam skema konvensional, ialah praktik spekulasi penuh resiko, mengingat sertifikat hak atas tanah “induk” belum dalam kondisi dipisah ataupun dipecah ke atas nama pembeli bidang tanah, dimana kemudian pembiayaan atau pembayaran telah dilakukan untuk proses pembangunan konstruksi atau gedung / bangunan DI ATAS TANAH (YANG MASIH) MILIK PIHAK DEVELOPER (sertifikat hak atas tanah “induk” atas nama pihak developer), yang tiada kepastian ataupun jaminan dikemudian hari ketika bangunan atau gedung telah berdiri maka proses pemecahan dan pemisahan sertifikat hak atas tanah “induk” tidak dapat diartikan tanpa resiko kendala dikemudian hari (bila kalangan konsumen cukup rasional, kasus-kasus dengan modus demikian bukanlah hitungan satu atau dua kali kejadian serupa mewarnai media massa), yang membuat seluruh pembiayaan atau pembayaran menjadi tidak realisasi hak dan kewajiban masing-masing pihak antara penjual dan pembeli produk properti.

Dari sudut pandang pihak kreditor penyalur fasilitas kredit perumahan, skema alternatif berupa dua tahap atau dua langkah yang lebih pasti dari SHIETRA & PARTNERS, berupa tahap pendahuluan yakni pemisahan atau pemecahan sertifikat hak atas tanah “induk” untuk kemudian di-alih-hak-kan ke atas nama pembeli sebelum dapat berlanjut pada tahap jasa konstruksi / kontraktor pembangunan gedung / bangunan, menyediakan “jaring pengaman” (safety nett) dimana lebih terjamin tingkat kepastiannya bagi pihak kreditor untuk dapat mengikat objek hak atas tanah yang dibiayai dengan beban Hak Tanggungan di atasnya, mengingat prosedur serta persyaratan untuk pemecahan / pemisahan sertifikat hak atas tanah dan peralihan haknya lebih mudah dilakukan secara parsial di Kantor Pertanahan setempat, ketimbang bila menggunakan opsi konvensional dimana pihak developer kerap kali terkendala dalam persyaratan yang lebih berat untuk memecah / memisahkan sertifikat hak atas tanah “induk” yang diatasnya terdapat “izin lokasi” produk properti yang dipasarkan pihak developer, dimana kendala tersebut sering kali berupa kecurangan yang dibuat sendiri oleh pihak developer terhadap ketentuan hukum terkait real-estate di Indonesia, seperti tidak memetakan dan menyerahkan sebagian bidang tanah dari hamparan sertifikat hak atas tanah “induk” milik pihak developer sebagai fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) kepada pihak Pemerintah Daerah setempat selaku pemberi “izin lokasi”—dan keseluruh proses demikian dapat demikian berlarut-larut, dengan taruhannya ialah kepastian hukum yang menjadi nasib bagi pihak pembeli produk properti maupun pihak kreditor pemberi fasilitas kredit.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.