Pejabat Presiden Mungkin Dihina dan Terhina, namun Jabatan Presiden Hanya dapat Dikritik dan Terkritik (Mustahil Jabatan Dihina)

ARTIKEL HUKUM

Bukanlah LOCK DOWN adalah PUASA? Mengapa Bangsa Indonesia ANTI Puasa Bernama LOCK DOWN?

Ketika Pengorbanan Diganjar Hukuman Terkurung dalam Rumah, dan Tidak Berpuasa Diberi Hadiah Kebebasan Ruang Gerak serta ber-Ekonomi-Ria

Bila tidak tahan terhadap kritik dimana hinaan seringkali merupakan manifestasi dari kekecewaan (spontanitas, tiada jeritan kesakitan yang patut disebut sebagai “tidak sopan”), maka jangan mencalonkan diri sebagai pejabat jabatan Kepala Negara. Rakyat adalah “bos” atau “majikan” dari seorang Presiden, bukan sebaliknya, terkecuali Raja dalam era Kerajaan dimana rakyat menghamba kepada Raja. Dalam berbisnis, ada resiko usaha. Kita menyebutnya sebagai “high risk, high gain”. Sama halnya, menjabat sebagai seorang Presiden, sama artinya juga berpotensi menghadapi “resiko jabatan” berupa dikritik serta dicaci-maki, sebagai bagian dari apa yang penulis sebut sebagai “high gain, high risk”.

Harus ada yang harus dibayar sebagai bayarannya mencalonkan diri sebagai seorang Kepala Negara, yakni diri sang pejabat harus bersedia menerima caci-maki ketika telah menjabat dan gagal melindungi dan mensejahterakan rakyat, tanpa terkecuali suara kekecewaan seorang warga, tanpa kriminalisasi terhadapnya. Seorang Kepala Negara yang tidak bersedia dicaci-maki oleh seorang warga yang merasa kecewa, sama artinya seorang pejabat Kepala Negara yang “serakah”, karena hendak menjabat jabatan namun tidak bersedia membayar apa yang menjadi harganya.

Seorang koruptor, apakah sudah pada tempat proporsinya melaporkan pidana penghinaan maupun “pencemaran nama baik” terhadap rakyat yang menghina dan mencaci-maki diri pribadi dan nama dari sang pejabat yang terbukti korupsi? Singkatnya, apakah fakta dapat dikriminalisasikan sebagai delik penghinaan? Seringkali penulis menyampaikan, selalu terdapat garis pemisah yang tegas yang jarang diperhatikan para aparatur penegak hukum di Indonesia, yakni pembeda antara dicemarkan dan mencemarkan nama baik sendiri. Melakukan korupsi (perbuatan aktif, tiada korupsi yang tidak disengaja kecuali lalai menjalani prosedur hukum administrasi negara yang artinya tetap melakukan kesalahan), memilih menjadi koruptor, maka itu artinya harus siap menanggung konsekuensinya yang bernama dihina dan dicaci-maki.

Sama halnya, menjadi seorang Kepala Negara, harus berhasil mengurus negara dan mensejahterakan rakyatnya, tidak bisa tidak (menjadi “harga mati”), sebagai konsekuensi jabatan yang tidak dapat ditawar-tawar sifatnya. Bila tidak siap menanggung resiko kegagalan dan dicaci-maki oleh rakyat, maka sang Kepala Negara tidak memiliki hak prerogatif apapun untuk bersikap anti terhadap “kritik” maupun caci-maki dari rakyat yang dilayani oleh sang Presiden yang mengabdi bagi rakyat, bukan sebaliknya. Presiden yang “anti (terhadap) kritik”, artinya menerapkan aturan ala “diktatoriat” era Kolonial : Aturan pertama, Presiden selalu benar. Aturan kedua, jika Presiden berbuat kesalahan maka lihat aturan Pertama.

Menghina Presiden selaku Kepala Negara, disebutkan oleh pihak juru bicara pemerintah sebagai membuat keonaran dan kegaduhan. Kegaduhan semacam apakah, dan keonaran semacam apa dibalik Presiden yang “terhina”? Gagal (alias “tidak becus” mengurus negara) harus diterima sebagai kegagalan secara lapang dada, bukan justru bersikap “keras kepala” dan mengganjar nasib warga yang harus menanggung akibat serangkaian keputusan aktif maupun abai dari sang Kepala Negara, caci-maki kekecewaan penuh derita sang warga dengan pemidanaan oleh sang pejabat yang merasa “terhina”.

Ketika sang Presiden kita sebut “gagal total” menangani wabah sehingga Indonesia menjadi negara terburuk di Asean dari segi penanganan wabah, apakah juga disebut sebagai penghinaan? Jangan bandingkan dengan Amerika Serikat yang selama ini mendahulukan ekonomi, namun bandingkan dengan China yang mendahulukan kesehatan dikala wabah Corona Virus Tipe-2 merebak untuk pertama kalinya di pada salah satu provinsinya di Wuhan. Terbukti kemudian, sekarang ini, Amerika Serikat justru jatuh poros ekonominya akibat wabah berlarut-larut penanganannya. Sementara itu China telah kembali melakukan pembangunan dan tingkat ekonomi bangkit mencetak angka positif dalam satu semester paska wabah untuk pertama-kalinya muncul dan meninggalkan negara-negara lain yang masih berjibaku “bernegosiasi dengan sang virus penyebab wabah”. Bagi penulis, itu bukanlah penghinaan, akan tetapi masih sebatas kritik, lebih tepatnya otokritik alias kritik yang membangun, karena pemerintah kita “masih dapat berputar haluan sekarang juga” untuk memperbaiki keadaan, yakni tidak berlarut-larut “bernegosiasi” dengan sang virus penyebab wabah yang tidak pernah membuka ruang kompromi.

Sementara itu jika “nasi sudah menjadi bubur”, maka kritikan terhadap pemerintah dan sang Kepala Negara adalah sebuah penghinaan karena adalah percuma dan tidak gunanya melontarkan kritik oleh sebab momennya sudah “menjadi bubur” dimana korban-korban telah banyak berjatuhan tanpa dapat diputar-balik terlebih bila pemerintah memilih untuk menerapkan kebijakan “berlarut-larut dalam menangani wabah” tanpa ketegasan maupun kepastian. Satu orang korban tewas, adalah tragedi. Namun puluhan ribu warga tewas, adalah (sekadar sebatas) laporan statistik di mata sang Kepala Negara. Namun di telinga sang Presiden, jelas itu adalah penghinaan, apapun momentumnya. Untuk lebih jelasnya, ilustrasi sederhana berikut di bawah ini dapat cukup mewakili.

Ketika untuk pertama kalinya Republik Indonesia berdiri, sang Presiden Republik Indonesia berencana dan menghendaki untuk mengambil-alih seluruh entitas bisnis korporasi milik Kolonial Belanda, timbul kritik dari beberapa elemen masyarakat yang meminta pemerintah untuk mewaspadai sikap ekstrim ddemikian radikal—namun diganjar “hinaan” dari sang Kepala Negara, sebagai sikap “tidak patriotik” kepada para pengkritiknya. Ketika arah kebijakan pemerintah masih dapat diubah, karena baru sebatas wacana atau baru tahap persiapan proses eksekusi kebijakan, itulah yang kita sebut sebagai “kritik”.

Namun, ketika “nasi telah menjadi bubur”, dimana ketika puluhan ribu pengusaha dan pekerja berwarga-negara Belanda diusir dari teritori Indonesia, menaturalisasi seluruh perusahaan Kolonial Belanda dan menyerahkannya ke tangan militer, mengakibatkan ekonomi makro dan mikro Indonesia pada era Orde Lama mengalami petaka ambruk yang sangat fatal, terutama dalam ranah ekspor-impor, sekaligus menjadi penyebab jatuhnya kekuasaan Orde Lama di Indonesia, kemiskinan ekonomi akut melanda Indonesia yang “melarat”. Ketika “nasi telah menjadi bubur” seperti ekonomi Indonesia yang kolaps paska naturalisasi secara radikal dalam hitungan hari berbagai entitas bisnis milik Kolonial di Indonesia, itulah yang disebut sebagai “hinaan” dari komponen warga, yang berujung pada dibungkamnya lawan-lawan politik sang Kepala Negara.

Sebagaimana dapat kita lihat sendiri, frasa “penghinaan” amatlah tendensius serta subjektif. Penulis tidak pernah memilih sang Presiden berkuasa (incumbent) dalam Pemilihan Umum periode pertama maupun kedua, apakah fakta itu juga tergolong “menghina” sang Presiden? Penulis menyatakan KECEWA negara Republik Indonesia pada kala dipimpin oleh Presiden semacam sang pejabat presiden, apakah sinisme-apatis itu juga terdengar bernada penghinaan? Dianugerahi oleh pejabat presiden yang “ANTI (terhadap) kritik”, adalah nasib tidak mujur bagi para rakyatnya yang ber-“pesta demokrasi” selama satu hari dalam tempo kurun waktu lima tahun namun tersandera nasibnya untuk selama lima tahun ke depan (minus satu hari, saat hari-H pemilihan umum) jatuh ke tangan dan genggaman sang pejabat jabatan Kepala Negara.

Sebagai contoh, dapat penulis katakan bahwa sang pejabat presiden sangatlah tidak rupawan rupa wajahnya, bahkan penulis pernah berjumpa dengan seorang “office boy” pada salah satu perkantoran di Jakarta, yang memiliki wajah sangat menyerupai sang Bapak Presiden (serius, bukan hoax), apakah fakta cerita demikian adalah penghinaan? Penghinaan terhadap siapakah, terhadap “jabatan” ataupun terhadap “pejabat”-nya? Yang penulis “hina” adalah wajah dari sang pejabat, bukan jabatan-nya selaku Presiden, mengingat jabatan Presiden tidak memiliki wajah, hanya berupa kursi jabatan Presiden. Kurang-lebih demikianlah analogi pembeda yang sederhana dan mudah dipahami, antara “jabatan” dan “pejabat”. Entah mengapa juga, seseorang berwajah “office boy” dapat terpilih sebagai Kepala Negara di republik ini.

Jabatan” yang dikritik, menjadi hak dari publik untuk mengkritik, dimana publik adalah konstituen atau stakeholder itu sendiri dari suatu jabatan Kepala Negara dan Pemerintahan, sehingga karenanya sangat tidak tepat bila seorang pejabat jabatan Presiden mengatas-namakan jabatannya ketika mempidana penghinaan terhadap rakyatnya sendiri. Jabatan, bersifat “silih berganti”, dalam artian sekalipun pejabat jabatan Presidennya beralih kepada pejabat lain, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun keputusan yang ditanda-tangani oleh pejabat jabatan Presiden sebelumnya tetap berlaku.

Ingatlah pesan berikut ini dari penulis, bahwa jabatan tidak dapat dihina, namun hanya dapat dikritik. Hanya sang pejabatnya yang dapat dihina, disamping juga dapat dikritik. Tidak mungkin dan adalah mustahil bila seseorang warga dituduh dan didakwakan sebagai telah “menghina jabatan Presiden”. Jabatan di-“hina”, apa yang dapat dihina dari jabatan Presiden kecuali oleh oknum-oknum separatis yang menolak demokrasi dan sistem presidensial itu sendiri (pengusung paham kepemimpinan khilafah). Karenanya, ketika sang pejabat hendak melaporkan pidana “penghinaan”, “pencemaran nama baik”, dan lain sebagainya, diri sang pejabat harus dan hanya boleh mengatas-namakan pribadi dirinya atas masalah pribadi, bukan sebagai seorang Kepala Negara ataupun Pemerintahan serta bukan juga terkait urusan pemerintahan. Sekali lagi, jabatan Presiden tidak dapat dihina, namun hanya mungkin untuk dapat dikritik.

Gelar atau jabatan Presiden, apanyalah yang dapat dihina, itu hanya sekadar nama dan jabatan. Ibarat kita menyatakan “baju yang Anda kenakan, buruk desain dan bahannya!”, itu merupakan kritik terhadap sesuatu yang dilekatkan kepada seseorang individu yang mengenakannya, namun bukan menghina diri pribadi subjek sang pemakai baju. Sama halnya, ketika seorang pejabat “mengenakan jabatannya” sebagai seorang pejabat jabatan Presiden, dimana Presiden adalah jabatan, maka gelar Presiden hanya dapat dimungkinkan untuk di-“kritik” belaka semata, tidak mungkin dapat di-“hina”.

Secara pribadi, penulis memberi gelar kepemimpinan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sebagai Kepala Pemerintahan yang hanya sibuk membuat berbagai klaim keberhasilan “semu”, seolah hendak membodohi rakyatnya sendiri. Betapa tidak, angka pengangguran baru dan “kemelaratan” ekonomi mikro rakyat, mencapai dua digit (bila tidak, buat apa juga pemerintah demikian terburu-buru menerbitkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja?), namun resesi ekonomi Indonesia diklaim pemerintah hanya sebatas satu digit—artinya, ada dua kemungkinan dari klaim-klaim pemerintah Republik Indonesia demikian. Pertama, klaim tersebut jelas “kebohongan” serta “pembodohan” terhadap publik oleh Kepala Negara yang dipilih langsung oleh rakyatnya sendiri beserta anggota kabinetnya. Kedua, penguasaan ekonomi dan sumber-sumber akses ekonomi hanya dimonopolisir oleh segelintir pihak elit-elit politik dan kaum borjuis-kapitalis.

Saat artikel ini disusun, telah hampir genap satu tahun lamanya pandemik akibat wabah virus menular mematikan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah yang memaksakan warganya hidup “berdampingan” bersama dengan sang virus penyebab wabah, tanpa adanya ketegasan, tanpa adanya keberanian berkorban selayaknya negara-negara tetangga di Asean maupun Asia yang dengan penuh keberanian mengambil pilihan kebijakan “LOCK DOWN” (secara murni, bukan separuh hati ataupun “banci”)—sekalipun, Bangsa Indonesia ialah bangsa “agamais” yang selama ini mengklaim dengan sesumbar gegap-gempitanya sebagai bangsa yang “jago” dan terbiasa dalam perihal ber-“puasa” sebulan penuh, yang artinya semestinya rakyat tidak akan resisten terhadap kebijakan “LOCK DOWN” (sebatas) selama satu atau dua bulan lamanya, sehingga pula dapat kita simpulkan bahwa adalah pihak pemerintah dan penguasa maupun elit-elit politik kita yang resisten serta anti terhadap “LOCK DOWN”—namun mengatas-namakan rakyat yang keberatan terhadap kebijakan “LOCK DOWN”.

Ratusan triliun Rupiah uang (hasil berhutang) digelontorkan pemerintah semata untuk pendekatan “kuratif”—alih-alih untuk memilih kebijakan “LOCK DOWN”, yang mana jangankan dana untuk “LOCK DOWN”, dana bantuan sosial bagi rakyat miskin pun di-korupsi oleh anggota Kakinet sang Bapak Presiden yang “anti kritik” yang hanya senang dipuja-puji sebagai presiden yang penuh prestasi—dan disaat bersamaan membiarkan para rakyatnya menderita kerugian akibat “potensial loss” yang menjadi konsekuensi logisnya.

Wahai Bapak Presiden, menteri yang Anda tunjuk dan angkat ternyata adalah seorang koruptor, sehingga mengapa juga seorang berwatak koruptor masih Anda percayakan sebagai menteri dengan taruhan nasib rakyat banyak? Apakah pertanyaan demikian, tergolong “menghina” serta “penghinaan”? Jelas hinaan dan penghinaan, mengingat sang anggota kabinet telah tertangkap oleh lembaga penegak hukum karena kasus korupsi. Kita tidak perlu berkilah dengan berteori secara penuh klise, namun secara tegas menyatakan bahwa pertanyaan demikian di atas adalah refleksi kekecewaan sekaligus penghinaan terhadap sang Kepala Kabinet, mengingat “nasi telah menjadi bubur”.

Sebagai salah satu dari segelintir kecil (minoritas) rakyat Indonesia yang sekalipun sehat kondisi fisiknya, namun tetap memilih “LOCK DOWN” secara pribadi dan mandiri di dalam rumah sendiri selama hampir satu tahun lamanya, penulis berhak untuk mengutarakan kekecewaan besar terhadap pemerintahan sang Bapak Presiden “pengumbar klaim-klaim keberhasilan”. Betapa tidak, penghasilan atas profesi penulis terpaksa terpangkas akibat memilih untuk secara swadaya melakukan “isolasi diri” (me-“LOCK DOWN” diri sendiri secara mandiri) dalam rangka memutus mata rantai penularan virus penyebab wabah, sekalipun penulis (sejauh yang penulis ketahui) tidak pernah jatuh sakit ataupun tertular sang virus penyebab wabah antar manusia ini).

Demikian kooperatifnya penulis terhadap kebijakan “logis” yang bahkan tidak diwajibkan oleh pihak pemerintah yang hanya sibuk “menghimbau” (seolah-olah demikian humanis, namun demikian represif terhadap kaum mahasiswa yang berorasi dan berdemonstrasi menentang regulasi dan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro terhadap rakyat kecil), ternyata dibalas oleh pihak pemerintah dengan berlarut-larutnya kebijakan penangangan wabah COVID-19 yang tidak memiliki kepastian selain sekadar menyerahkan nasib ke tangan vaksin yang ironisnya, mewajibkan warga untuk divaksin lengkap dengan ancaman sanksi namun disaat bersamaan pasokan atau ketersediaan vaksin masih sangat terbatas untuk dapat diakses oleh warga masyarakat. Bayangkanlah, bila vaksin tersebut hanya efektif menimbulkan antibodi selama sebatas setengah tahun lamanya, namun ketersediaan vaksin baru dapat diberikan untuk seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah ratusan juta jiwa, selama satu atau dua tahun mendatang, sama artinya mata rantai penularan akan tetap berlanjut.

Me-“LOCK DOWN” diri selama hampir satu tahun lamanya—dan entah akan sampai kapan, mengingat kebijakan pemerintah Republik Indonesia selama ini serba tidak tegas, berlarut-larut, dan hanya sibuk mengurusi pencitraan politis—alih-alih diganjar dengan “reward”, pemerintah kita tampaknya sangat tidak mengapreasi pengorbanan warga yang sangat kooperatif terhadap sekadar “himbauan” pemerintah agar “stay at home”, “holiday at home”, “work from home”, dan lain sebagainya “di rumah saja”.

Dari segi pendapatan, tidak terhitung lagi “potensial loss” yang telah penulis derita selama me-“LOCK DOWN” diri sendiri, tidak dapat memenuhi permintaan calon klien pengguna jasa untuk berkonsultasi hukum secara tatap-muka, juga dari sisi sebaliknya klien yang patuh dengan “tidak keluar rumah” akan membatalkan niatnya untuk berkonsultasi secara tatap-muka, disamping penulis terpaksa menolak berbagai kesempatan penjajakan kerja sama, dan lain aktivitas sosial maupun keperluan bisnis dan usaha. Kendaraan bermotor milik penulis benar-benar dibiarkan teronggok menjadi besi tua yang berkarat, dan menghadapi resiko kerusakan akibat tidak pernah dihidupkan dan dipakai selama masa “LOCK DOWN” diri sendiri secara pribadi yang penulis tempuh selama ini.

Alih-alih memberkan “reward”, pemerintah justru memberikan “punishment” terhadap kami, penulis para warga masyarakat Indonesia yang selama ini memilih me-“LOCK DOWN” diri secara mandiri selama hampir satu tahun lamanya sejak pandemik COVID-19 melanda Indonesia disamping terimakasih terhadap “kerja santai” pemerintahan sang Bapak Presiden “gila pujian plus anti kritik” yang hanya menunggu dan mengandalkan vaksin (itu pun saat kini masih terbatas pasokannya serta belum terbukti mampu menjaga antibodi selama bertahun-tahun lamanya setelah penyuntikan vaksin asal Tiongkok yang bahkan tidak dipakai oleh rakyat Tiongkok itu sendiri, dimana warga Tiongkok berjumlah miliaran penduduk namun vaksin dijual ke negara asing), yang penulis sebut sebagai “kebijakan (penuh) spekulatif” dengan nasib rakyat sendiri sebagai taruhannya, dimana kami para warga yang selama berbulan-bulan (mungkin juga akan menjelma bertahun-tahun, siapa tahu, berkat kebijakan serba berlarut-larut) dijadikan “pesakitan” seolah-olah sebagai narapidana yang divonis pidana hukuman “tahanan rumah”—setidaknya, itulah yang penulis rasakan secara langsung, dan menjadi testimoni dari penulis selaku warga dari Negara Indonesia.

Yang menjadi ironi pemerintahan tidak tegas Bapak Presiden “gila pujian anti kritik” ini ialah (namun tegas dalam mempidanakan pihak-pihak yang dinilai menghina sang Bapak Presiden), bagi warga yang melanggar “protokol kesehatan (cegah wabah)”, tidak pernah dipidana kurungan ataupun “penjara rumah”, dengan alasan aparatur penegak hukum wajib bersikap “humanis” terhadap “pelaku percobaan pembunuhan” (yang notabene ialah warga yang tidak menghormati hak-hak warga lain akan kesehatan maupun keselamatannya dari potensi tertular virus penyebab wabah menular mematikan antar manusia, dimana bisa jadi dirinya adalah agen penular sebagai “orang tanpa gejala”) yang sama artinya tidak melindungi warga lainnya yang berpotensi menjadi korban penularan dari sang warga yang tidak patuh terhadap “himbaun” menjaga “protokol kesehatan”.

Sementara itu, dengan sangat irasional, kami dan para warga yang kooperatif terhadap pemerintah dengan melakukan pengorbanan besar me-“LOCK DOWN” diri tanpa kompensasi apapun (justru di-korupsi dengan menyunat dana-dana bantuan sosial, dimana ratusan triliun Rupiah sebagaimana klaim pemerintah digelontorkan kepada rakyat meski senyatanya sama sekali “tidak dirasakan” oleh seluruh rakyat kecil dibawah akar rumput, dengan alasan klise “salah sasaran”), justru diberi sanksi vonis “pemidanaan” atau penghukuman bernama “ditahan dan dipenjara pada TAHANAN RUMAH”. Luar biasa, logika serba terputar-balik yang dipermainkan oleh pemerintah Republik Indonesia yang hanya sibuk memainkan semiotika pencitraan—dimana belum apa-apa saja, sudah mempidana “TAHANAN RUMAH” terhadap warga yang justru kooperatif dan bersedia melakukan pengorbanan diri tidak pernah beranjak keluar rumah.

Pemerintah Republik Indonesia kembali membuat klaim keberhasilan, bahwa tingkat ekonomi makro Indonesia masih lebih baik daripada Thailand maupun Vietnam. Faktanya, inilah fakta yang sebetulnya terjadi : Penulis memiliki sanak-saudara yang tinggal dan menetap di Thailand, salah satu negara tetangga kita di Asean yang berani melakukan kebijakan “LOCK DOWN” murni, yang membuktikan betapa lebih “jago” ber-“puasa” rakyat Thailand ketimbang segala gembar-gembor “bulan puasa” rakyat Indonesia.

Sekalipun ekonomi kerakyatan di Thailand benar-benar terpukul akibat kebijakan “LOCK DOWN”, namun angka terjangkit COVID-19 di Thailand amatlah rendah, jangan bandingkan dengan Indonesia yang mencapai ribuan kasus bahkan pernah menyentuh belasan ribu kasus per harinya, namun ketika penulis mengutarakan fakta berupa data angka warga terjangkit yang mencapai ribuan bahkan hingga belasan ribu kasus per harinya, saudara penulis yang merupakan warga lokal Thailand, tertawa dan terkekeh mendengarnya (yang mungkin disertai dengan nada mengejek-meremehkan) pemerintahan dan rakyat di Indonesia—yang memang patut diremehkan oleh rakyat di negara-negara tetangga yang berani berkorban menghadapi kebijakan “LOCK DOWN” di negara mereka masing-masing. NO RISK, NO GAIN. Tiada “LOCK DOWN”, maka tiada kedaulatan negara terhadap penjajahan wabah manapun.

Ketidak-adilan yang merata, alih-alih keadilan yang merata, tampak dari kebijakan yang penuh “standar ganda”, dimana warga yang kooperatif justru diganjar “di-penjara / di-kurung di rumah”, sementara warga yang tidak kooperatif diganjar “ekonomi maju terus”. Indonesia, praktis kini telah mencetak prestasi dengan gelar predikat “pengecut”, karena tidak berani mengambil langkah kebijakan tegas semacam “LOCK DOWN” sekalipun mayoritas negara tetangga kita setidaknya pernah menempuh kebijakan tegas demikian seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan lain sebagainya.

Ketika wabah oleh varian virus menular mematikan lainnya muncul dikemudian hari secara global ataupun secara segmental di suatu negara yang tidak terkecuali mewabah di Indonesia, besar kemungkinan “prestasi kegagalan” (ke-cengeng-an dan ke-manja-an) yang sama akan kembali dicetak oleh bangsa kita, yakni kebijakan “anti / takut LOCK DOWN”, bahkan dibuat kesan seolah “LOCK DOWN” lebih menakutkan dan lebih mematikan daripada virus penyebab wabah, seakan-akan gemetaran mendengar kata “LOCK DOWN”, seolah-olah sang virus dapat didekati untuk bernegosiasi agar bersedia kompromistis terhadap ekonomi dan keselamatan rakyat Indonesia.

Menyerupai ibarat, ketika invasi militer penjajah menginfiltrasi teritori Republik Indonesia, lengkap dengan bayonet dan moncong senapan api, kembali lagi rakyat Indonesia lewat komando pemerintah pusatnya, menolak mentah dan ANTI terhadap keadaan darurat semacam apapun, dan akan mencoba (secara irasional) pendekatan negosiasi tawar-menawar agar sang penjajah membiarkan kegiatan ekonomi rakyat jajahannya dibiarkan bergeliat disamping mengharap tetap selamat, sehat, sentosa—permintaan yang terlampau berlebihan, seolah-olah Bangsa Indonesia tidak memiliki kesadaran kolektif-historis bagaimana penjajah Jepang tidak mengenal kata kompromistis terhadap warga manapun, terhadap kegiatan ekonomi manapun, terhadap keselamatan warga manapun.

Itulah, prestasi “pecundang” yang diwariskan oleh Bapak Presiden “anti kritik” kita kepada generasi penerusnya yang bermental “pecundang”, tanpa pernah mencetak sejarah prestasi apapun yang patut membanggakan ataupun yang dapat membesarkan hati dan kebanggaan terhadap negara. Salah seorang Kepala Daerah, tepatnya di Kota Jakarta, sempat mewacanakan “LOCK DOWN”, dan sebagian rakyatnya di kota ini pun siap untuk itu. Namun, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kepala Negara, justru MENOLAK-nya.

Itulah ketika, penulis memberikan “gelar” ketidak-hormatan kepada sang pejabat jabatan Kepala Negara, sebagai “Presiden PECUNDANG”. Bila berpuasa sebulan penuh, rakyat kita terbukti tidak “kiamat”, bahkan perut warga kita kian membuncit bak “pria hamil”, apa pula ketakutan yang mendasari kebijakan “LOCK DOWN” sebatas satu bulan semata? Yang “pecundang” bukanlah rakyat Indonesia, namun pemimpinnya di pucuk tampuk kursi kekuasaan yang “totaliter”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.