Indonesia Pandai Mencetak Sejarah Kegagalan demi Kegagalan. Ketika Wabah Lain Melanda, Vaksin menjadi Satu-Satunya Tumpuan

ARTIKEL HUKUM

Bola Liar Kampanye Vaksin yang Belum Tersedia dan Masih Terbatas Aksesnya, DEADLY GAME oleh Pemerintah Republik Indonesia Dikala Wabah Pandemik Virus Menular Mematikan Merebak

Saat vaksin asal Tiongkok belum teruji aman secara klinis, pemerintah Republik Indonesia secara prematur telah membeli, mengimpor, serta mempromosikan vaksin yang bahkan tidak dibutuhkan oleh warga Tiongkok itu sendiri, sebagai cara “satu-satunya” untuk menangkal pandemik yang diakibatkan oleh wabah Corona Virus Tipe-2 (COVID-19). Sekalipun kita ketahui, vaksin dibutuhkan oleh orang yang sehat, bukan orang-orang yang sedang sakit seperti di Indonesia. Saat wabah masih terus saja gagal ditangani, pemerintah Indonesia justru menantang maut dengan cara menerbitkan berbagai regulasi yang kontroversial menyulut sentimen negatif publik, yang kini terbukti investor asing tidak menaruh minat masuk berinvestasi ke dalam negara yang “zona merah”—tidak ada investor asing yang sebodoh pemerintah Indonesia yang “naif”.

Pemerintah Indonesia selaku otoritas, mengklaim bahwa pemerintah belum memiliki pengalaman untuk mengatasi wabah, meski faktanya Indonesia memiliki waktu “curi start” selama tiga bulan lamanya dengan mempelajari cara Tiongkok dalam mengatasi wabah sebelum virus penyebab wabah memasuki teritori Indonesia dalam rangka menyusun SOP penanganan wabah—waktu yang lebih dari cukup. Kembali lagi, pemerintah Indonesia lebih pandai mengklaim keberhasilan “telah bekerja cepat”, pembodohan terhadap rakyatnya sendiri. Pemerintah yang lebih pandai dan lebih sibuk membuat klaim-klaim sumir, sebuah teladan yang buruk bagi rakyat “patrilineal”.

Saat virus SARS merebak di Tiongkok beberapa dekade lampau, tanpa vaksin sekalipun ternyata pemerintah dan masyarakat Tiongkok berhasil mengatasi dan menaklukkan wabah. Kini, tatkala kerabat dari SARS dan MERS, COVID-19, kembali melanda teritori Tiongkok pada akhir tahun 2019, tanpa vaksin, lagi-lagi Tiongkok berhasil mencetak prestasi mengatasi serta menanggulangi wabah yang merebak dengan sangat cepat dan meluar, namun secepat kemunculannya itu pula wabah berhasil diatasi dan ditangani. Sang virus penyebab wabah pun, bertekuk-lutut. Alhasil, berbagai sejarah penuh prestasi dicetak oleh Tiongkok, sehingga membesarkan kepercayaan diri pemerintah Tiongkok maupun warganya untuk menghadapi wabah apapun dimasa mendatang. Sebaliknya, Indonesia hanya sanggup mencetak budaya “cengeng” serta prestasi “kerja santai”, menyerah sebelum benar-benar bertempur.

Masyarakat di berbagai belahan negara di Asia, seperti Australia, Selandia Baru, Vietnam, Thailand, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan China itu sendiri, berani untuk memilih opsi “LOCK DOWN”, ketika wabah COVID-19 merebak, sebagai bentuk pengorbanan diri dan keberanian ber-“puasa” yang konkret. Sebagai harga yang dibayarkan oleh alam semesta bagi pengorbanan hebat para masyarakat di negara-negara tersebut, kini mereka mampu mengendalikan wabah, dan kehidupan masyarakat mereka berangsur-angsur menuju pemulihan baik dari segi kesehatan maupun ekonomi secara sendirinya turut mengikuti tingkat perbaikan paska “LOCK DOWN”.

Sebaliknya, kontras dengan contoh negara-negara lainnya di Asia maupun Asean, berbekal budaya “mental penuh kecurangan”-nya masyarakat Indonesia hendak melangsungkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), ekonomi berjalan terus TANPA berani memilih opsi ber-“puasa” semacam “LOCK DOWN”, terbit Undang-Undang penuh kontroversi, tidak bersedia disiplin diri menerapkan “protokol kesehatan (dikala wabah merebak)”, negara menghambur-hamburkan ratusan triliun uang negara untuk upaya kuratif (uang bantuan sosial, seolah-olah sang virus penyebab wabah dapat diberi “suap” dengan uang) alih-alih upaya preventif (“LOCK DOWN”), namun masih pula mengharap kesehatan dapat tetap dijaga dan terjaga.

Selama ini sang bangsa “agamais” Indonesia mengaku-ngaku serta melakukan gembar-gembor sebagai negara “agamis” yang jago dalam hal ber-“puasa” makan atau “puasa-puasa” jenis lainnya selama satu bulan penuh. Namun, sekalipun para Epidemiolog di Indonesia telah menyatakan, tidak perlu “LOCK DOWN” selama tiga bulan penuh seperti negara-negara di Asia, cukup melakukan “puasa” penuh selama 14 hari hingga 28 hari yang menjadi masa inkubasi dari virus penyebab wabah, maka wabah dapat ditanggulangi dan dikendalikan, sehingga menjadi berlebihan ketika seorang warga menyatakan “Saya memilih EKONOMI!”, tanpa bersedia berpuasa barang satu bulan pun. COVID-19 bukanlah wabah yang tidak dapat ditanggulangi dan diatasi, dimana “LOCK DOWN” terbukti efektif dapat memutus mata-rantai penularan—sehingga menjadi aneh, pemerintah maupun masyarakat di Indonesia masih juga hidup dalam “mimpi” dengan memungkiri dan menegasikan fakta empirik demikian.

Melihat realita sang bangsa “agamais” yang justru mati-matian menolak opsi “LOCK DOWN”, dengan selalu beralasan “jika tidak bekerja maka dapur tidak mengebul”, menjadi patut kita curigai, bahwa selama ini bangsa “agamais” Indonesia TIDAK BENAR-BENAR MEMILIKI BUDAYA “PUASA”, selain sekadar pencitraan dan slogan klain “omong kosong” perihal praktik ber-“puasa” lengkap dengan budaya “pamer” (narsistik-norakistik) “minta dihormati”, lengkap pula dengan aksi-aksi intoleransi bernama “razia rumah makan” (dimana bahkan umat lain menjadi takut makan di luar rumah, dan harus “meminta maaf karena makan”?) dan terbitnya berbagai Peraturan Daerah pelarangan beroperasinya rumah makan selama bulan “puasa” (Perda-Perda intoleran)—sekalipun kaum pemeluk Buddhisme memiliki Uposatha dengan jam makan dan jam tidak makan yang berbeda dengan kaum mayoritas (Uposatha ialah praktik latihan dimana mereka yang berlatih hanya makan ketika matahari terbit hingga matahari berada tepat di atas kepala, sehingga selebihnya tidak makan hingga keesokan harinya. Tanpa larangan, tanpa kewajiban, serta tanpa pemaksaan, namun bersumber dari kesadaran dan minat dari dalam diri yang berlatih).

Patutlah kita mencurgai, selama ini sang bangsa “agamais” ketika bulan “puasa”, selama satu bulan penuh justru mengkonsumsi jauh lebih banyak konsumsi produk-produk konsumtif, sehingga tidak mengherankan bila sang bangsa “agamais” memiliki postur tubuh berperut “buncit”, konsumtif, serta indikator real berupa harga-harga bahan kebutuhan pokok selalu mengalami peningkat yang “meroket” ketika bulan “puasa”. Kontras dengan itu, praktik Uposatha benar-benar mengurangi “jatah” makan, namun tidak pernah “minta dihormati”, tidak melarang-larang pihak lain yang tidak turut ber-Uposatha, dimana juga bahkan orang lain seringkali tidak mengetahui (dan tidak perlu tahu, terlebih dilarang-larang) bahwa dirinya sedang ber-Uposatha. Itulah yang betul-betul disebut ajang berlatih diri dan latihan, bukan ajang narsistik-norak semacam “minta dihormati”, bahkan berwajah intoleran disamping radikat (praktik memaksa dan pemaksaan lengkap dengan ancaman kekerasan fisik).

Kini kita masuk pada pokok bahasan kita perihal vaksin COVID-19, dimana pemerintah Indonesia sejak semula tampaknya hanya pasrah dengan berspekulasi (ber-imajinasi) pada ada dan eksistensinya vaksin tersebut, dengan terlihat tendensinya secara prematur menyebut “vaksin” kepada “calon vaksin”, gencar mempromosikan dan mengkampanyekan vaksin impor dimaksud, sekalipun uji klinis belum selesai dan WHO belum meresmikannya sebagai vaksin yang teruji, karenanya opsi-opsi “puasa” semacam “LOCK DOWN” dikesampingkan.

Kini, setelah vaksin di-impor dan beredar di masyarakat Indonesia (sekalipun masih diperuntukkan bagi kalangan terbatas) serta izin penggunaan dalam kondisi darurat wabah telah diterbitkan Badan Pengawas Obat dan Makanan, kondisi pandemik justru kian mengganas serta menggurita di Indonesia—menjadi kontraproduktif. Alhasil, berbagai negara di dunia mem-“black list” Warga Negara Indonesia memasuki negara mereka, karena dinilai “tidak becus menangani wabah serta TIDAK DISIPLIN”, sehingga dapat menjadi ancaman bagi negeri mereka bila dibiarkan masuk ke dalam teritori negara mereka, dan disaat bersamaan tidak memiliki minat untuk masuk ke Indonesia untuk berwisata maupun berinvestasi. Bahkan Malaysia, yang merupakan satu rumpun Melayu dengan Indonesia, melarang Warga Indonesia memasuki wilayahnya, dimana kemudian Arab Saudi pun turut mengikuti langkah Malaysia (yang mana tampaknya Tuhan pun menolak keberadaan / kedatangan jemaah asal Indonesia).

Yang paling berbahaya dibalik kebijakan prematur pemerintah Indonesia, yakni sesumbar serta gembar-gembor perihal vaksin seolah-olah sebagai “juru selamat” untuk menolong Indonesia keluar dari jurang bencana penyakit serta jurang resesi, sekalipun vaksin BELUM TERSEDIA SECARA LUAS dan MASIH TERBATAS AKSESNYA UNTUK DAPAT DIPEROLEH oleh setiap penduduk di Indonesia yang berjumlah ratusan juta jiwa.

Pada titik itulah, penduduk “agamais” yang serba “tidak logis” nan “irasional” di Indonesia, yang sejak semula kerap meremehkan, menyepelekan, serta “underestimated” sang virus penyebab wabah, dan disaat bersamaan “overestimaed” terhadap “vaksin iman” milik sang bangsa “agamais”, kian memandang rendah ancaman bahaya dibalik pandemik COVID-19 akibat komunikasi publik yang dikumandangkan pemerintah Indonesia itu sendiri:

Wahai para penduduk-ku, silahkan teruskan menekan pedal akselerasi EKONOMI, kini telah tersedia VAKSIN yang akan menjadi JURU SELAMAT kita. Tidak ada lagi yang perlu kita khawatirkan bila sekalipun wabah akibat virus ini menular dan mematikan adanya, telah ada dan tersedia benteng pelindung yang lebih efektif daripada VAKSIN IMAN, yakni VAKSIN IMPOR COVID-19. Kini, silahkan lanjutkan kembali pesta EKONOMI, dalam akselerasi berkecepatan penuh. TANCAP GAS SEKARANG JUGA!

Terkecuali bila vaksin telah tersedia secara meluas dan mudah diakses oleh publik, tidak terbatas pasokannya, serta memang telah teruji mampu mengatasi wabah, dimana seolah juga pemerintah tidak mau belajar dari fakta perihal virus-virus yang tidak dapat ditangkal dengan vaksin apapun (semacam virus penyebab malaria, demam berdarah, HIV, dan lain sebagainya). Namun sebaliknya, ketika vaksin masih terbatas jumlahnya, aksesnya yang masih untuk kalangan terbatas, akan tetapi pemerintah Republik Indonesia telah secara prematur mempromosikan serta bertubi-tubi mengkampanyekannya kepada publik luas, alhasil bola liar menggelinding menyerupai “deadly game”, sebuah permainan yang mematikan.

China, cukup membutuhkan waktu satu semester alias enam bulan lamanya untuk mengatasi virus yang jauh lebih menular dan lebih mematikan dalam sejarah, yakni SARS. Kembali lagi, China mencetak serangkaian prestasi “keberhasilan demi keberhasilan” dalam sejarah ketata-negaraannya, dengan berhasil mengatasi dan menaklukkan COVID-19 hanya dalam tempo waktu yang sama, yakni satu semester. Sebaliknya, berhubung Indonesia hanya mampu mencetak sejarah “kegagalan demi kegagalan”, janganlah heran bila ditahun-tahun yang akan datang ketika muncul varian virus lain yang lebih mengerikan daripada wabah COVID-19, atau selevel dengan COVID-19, kembali lagi Indonesia baik pemerintah maupun penduduknya hanya dapat mengandalkan VAKSIN, “NO and WITHOUT LOCK DOWN”. Bahkan, ketika teritori Indonesia dijajah oleh bangsa asing yang bersenjatakan lengkap, lagi dan lagi, orang Indonesia mengajukan komplain untuk mendahulukan EKONOMI—mental “cengeng” bangsa yang selama ini mengandalkan kekerasan fisik untuk mengatasi segala masalah, kekerasan fisik mana tidak efektif melawan wabah.

Fakta empirik telah diungkap oleh pemerintah Tiongkok lama sebelum ini, bahwa adalah MUDAH mengatasi wabah COVID-19, karena virus penyebab wabah satu ini berbeda dengan Virus Herpes yang akan tetap bertahan di dalam tubuh orang terjangkit untuk seumur hidupnya sekalipun sang pasien telah dinyatakan pulih dan sembuh secara medik, berbeda pula dengan virus penyebab malaria maupun demam berdarah yang dapat bertahan dalam jangka waktu lama serta menyiksa disamping dapat juga mematikan. COVID-19, ketika pasien terjangkit mampu bertahan berkat imunitas tubuh yang terjaga, akan bersih 100% secara penuh dari virus COVID-19 selama satu hingga dua bulan, yang artinya kebijakan “puasa” seperti “LOCK DOWN” benar-benar mampu memusnahkan COVID-19 dari suatu negara, bahkan juga dari muka bumi.

Karenanya, janganlah pernah berharap Republik Indonesia hendak bertempur atau berperang melawan pemerintah Tiongkok. Dari segi ekonomi, para pelaku usaha kecil dan mikro di Indonesia begitu bergantung pada produk-produk konsumsi dan perkakas dari daratan Tiongkok (namun disaat bersamaan bersikap durhaka dengan menyatakan “Tolak CINA” atau seperti “Anti CINA”). Dari segi alat utama sistem persenjataan, jangan lagi ditanya perihal budget yang digelontorkan pemerintahan Tiongkok dari segi armada angkatan darat, udara, hingga laut. Dari segi strategi penanganan manusia, Tiongkok bahkan jauh lebih adidaya melampaui Amerika Serikat yang ternyata “babak-belur” oleh COVID-19.

Untuk menang dalam “perang dagang”, tidak bisa tidak kesehatan menjadi nomor satu, tidak bisa di-nomor-dua-kan. Pelajaran Amerika Serikat Vs. Tiongkok dalam “perang dagang” yang kini terlihat jelas hasilnya, siapa yang keluar sebagai pemenang, dapat kita tinjau dari cara masing-masing negara tersebut dalam pendekatan mengatasi wabah yang butuh penanganan secara holistik, cepat, serta tegas. Kini, tiada lagi yang dapat menyebut negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat sebagai negara adidaya.

Dari segi ekonomi, saat wabah COVID-19 memasuki semester kedua di seluruh penjuru dunia, ternyata China telah kembali melaksanakan pembangunan serta melesat tinggi meninggalkan negara-negara lain yang masih berjibaku mengatasi wabah, tatkala ekonomi Indonesia maupun Amerika Serikat menuju jurang resesi, semata karena China tidak membiarkan negeri dan rakyatnya berlarut-larut dalam kondisi berdarah-darah akibat wabah. Kebijakan berlarut-larut, tidak akan kita jumpai di Tiongkok, bahkan tidak ada di kamus mereka. Tiada seorang pun, yang mampu bekerja dalam kondisi sakit, karena sakit dan penyakit adalah sumber pemborosan. Itulah sebabnya, falsafah Tradisional Chinese Medicine begitu termasyur ke seluruh penjuru negara di dunia, tidak terkecuali di mata pasien para sinshe dan konsumen herbal impor asal China.

Seakan-akan tidak memiliki staf ahli yang benar-benar “ahli” pada lingkaran kekuasaan Istana Negara di Indonesia, pemerintah kita seolah tidak mampu membaca bahaya dibalik kampanye vaksin yang belum tentu efektif mengatasi wabah, disamping fakta bahwa Indonesia belum sanggup memproduksi vaksin-nya sendiri dalam skala masif. Masih pula pemerintah mengajak rakyatnya berspekulasi dengan menyerahkan nasib rakyatnya ke tangan vaksin, yang akan menjelma bencana yang melampaui segala tragedi, bilamana dikemudian hari terbukti bahwa vaksin impor demikian ternyata tidak mampu membendung intrusi sang virus penyebab wabah. Sungguh malu, mengaku sebagai Bangsa Indonesia. Kerabat penulis yang berdomisili di Thailand yang menerapkan kebijakan “LOCK DOWN”, melontarkan “tawa” ketika penulis menyebutkan berita bahwa belasan ribu kasus COVID-19 baru terjadi setiap harinya di Indonesia.

Hingga kini, rakyat Tiongkok tidak membutuhkan vaksin tersebut, dan mengekspornya ke Indonesia, dimana “bencana menjadi berkah”, dan harus dibayar mahal oleh orang Indonesia yang semula menyatakan “COVID-19 sebagai azab dari Tuhan”. Kini, waktu telah membuktikan, bilamana memang COVID-19 adalah “azab” dari Tuhan, mengapa justru dibayar mahal oleh Bangsa Indonesia? Mengapa justru kemudian masyarakat Indonesia memelintirnya sebagai “cobaan” (bagai menjilat ludah sendiri, apakah tidak pahit rasanya? Itulah akibat mencatut nama Tuhan). Seperti yang pernah disampaikan oleh pepatah, sungguh kasihan negara yang membutuhkan “pahlawan” (bernama vaksin).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.