Neraka adalah Ancaman, Surga adalah Iming-Iming, sementara KARMA adalah Perihal KONSEKUENSI, Domain yang Saling Berlainan

ARTIKEL HUKUM

Hukum Karma adalah Hukum Perihal Konsekuensi, Sebab dan Akibat, Bukan Ancaman, Namun Alamiah dan Natural Bersama Hukum Alam Layaknya Hukum Kimia dan Hukum Fisika

Perhatikan dialog yang terjadi di bawah ini, antara seorang pelaku kejahatan terhadap sang korban, yang bisa jadi tidak asing lagi di telinga kita atau bahkan terdapat diantara pembaca yang pernah mengalaminya sendiri secara langsung yang sifatnya masif terjadi dan dapat kita jumpai di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang konon meng-klaim diri sebagai bangsa “agamais” bersanding dengan kegemaran “menyelesaikan segala sesuatu dengan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, hingga penganiayaan”:

Korban:

“Akan saya panggilkan polisi karena Anda telah menyakiti dan melukai saya, atau apabila Anda masih tetap merugikan dan menyakiti saya!”

Pelaku Kejahatan:

“Panggil saja, saya tidak takut. Berani bertaruh, polisi yang Anda panggil tidak akan pernah datang. Hukum dan negara, tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, kecuali pada saat hendak menilang pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Hukum yang penuh kolusi, aparatur penegak hukum yang tidak kalah bengkoknya dengan penjahat, dan menghamba pada pemberi uang suap-gratifikasi, hukum yang dapat ditransaksionalkan, serta hukum yang dapat dinegosiasikan. Silahkan, Anda panggil atau telepon polisi sekarang juga, saya tunggu di sini. Saya tantang Anda, panggil dan telepon sekarang juga polisi itu!”

Korban:

Tulalit, suara tidak diangkatnya saluran komunikasi darurat yang disediakan oleh negara. “... Kalau begitu, akan saya kutuk Anda masuk NERAKA, karena telah menyakiti, melukai, dan merugikan saya selaku korban perbuatan Anda!”

Pelaku Kejahatan:

“Sayang sekali, saya tidak pernah takut neraka, semata karena saya TIDAK PERCAYA NERAKA! Silahkan Anda memanggil dan mengadu pada Tuhan Anda, buktikan adanya petir-geledek yang menyambar saya sekarang juga di titik sekarang saya berdiri, saya tunggu dan saya tantang Tuhan yang Anda sembah dan percayai. Tuhan yang PHP (pemberi harapan palsu) sudah merupakan api neraka bagi Anda yang kini ‘gigit-jari’.”

Korban:

“Berarti Anda tidak takut dosa, dengan berbuat dosa dan menjadi pendosa?”

Pelaku Kejahatan:

“Memangnya Anda sendiri tidak? Apakah Anda sendiri selama ini takut berbuat dosa dan menjadi seorang pendosa? Jika begitu, mengapa setiap harinya Anda beribadah kepada Tuhan dengan harapan dapat memohon serta mengharapkan ‘penghapusan dosa’?”

Korban:

“...” Tidak sanggup menjawab.

Pelaku Kejahatan:

“Anda dan saya, adalah jenis manusia yang sama, seorang pendosa. Sesama pendosa janganlah saling menjatuhkan dengan mengatas-namakan Tuhan ataupun tentang Neraka. Saya berdosa, Anda pun sama-sama BERDOSA seperti saya! Belum tentu saya lebih berdosa daripada Anda, bisa jadi sebaliknya, koleksi dosa Anda telah menggunung.”

Korban:

“Jadi, maksud Anda bahwa saya harus berterimakasih kepada Anda, yang telah berbuat dosa kepada saya, agar saya dapat menghibur diri bahwa bisa jadi ada yang lebih berdosa daripada saya?”

Pelaku Kejahatan:

“Anda yang bilang begitu dan menyimpulkannya sendiri, sekalipun saya tidak pernah berkata demikian secara eksplisit. Namun kurang-lebihnya, begitulah bila Anda meminta pendapat saya. Jadilah penjahat yang berbuat jahat, dengan menyakiti dan merugikan orang lain, agar Anda tidak merugi seorang diri menjadi korban, namun harus pula mengorbankan orang lain, agar menjadi seorang pendosa yang berdosa, agar tidak merugi janji-janji surgawi perihal ‘penghapusan dosa’. Pilih menjadi pelaku kejahatan, alih-alih memilih menjadi seorang korban kejahatan, itulah yang disebut pilihan cerdas.”

Bermaksud hendak menakut-nakuti sang penjahat agar bertanggung-jawab dan menghentikan perbuatan buruknya kepada sang korban, sang pelaku kejahatan yang kemudian justru merasa berhak untuk menggurui sang korban, perihal apa itu dosa, perbuatan yang tabu, kerugian-keuntungan, dan tentang ancaman neraka—dalil-dalil yang kontraproduktif bagi kepentingan sang korban itu sendiri, seperti meminta agar orang-orang yang tidak percaya adanya makhluk metafisika bernama “hantu” untuk mempercayai eksistensi “hantu”.

Jika sang korban ialah penulis, penulis tidak akan dengan naifnya melontarkan ancaman perihal pemanggilan polisi yang tidak jarang tidak kalah korupnya dengan para penjahat yang menghuni berbagai penjara, yang lebih kerap mengabaikan dan menelantarkan aduan ataupun laporan warga yang menjadi korban tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat, serta tidak akan secara lugu dan polos melontarkan ancaman perihal alam-alam abstrak seperti neraka yang menyerupai dongeng penuh mitos tentang dunia fantasi, kepada orang dewasa, orang dewasa yang jahat dan berdosa. Inilah yang akan menjadi ancaman penulis bagi seorang pelaku kejahatan, ketika para penjahat tersebut melakukan perbuatan yang tidak patut dan tidak semestinya terhadap harkat dan martabat diri kita : “Tidak takut HUKUM KARMA?

Hukum Karma, eksistensinya bukanlah perihal sebuah “ancaman”, namun ialah “KONSEKUENSI logis” saja sifatnya, dimana cara kerjanya secara garis besar ialah sangatlah amat sederhana (sehingga mustahil dibantah, menyerupai mencoba membantah perihal eksistensi hukum gravitasi selama masih berpijak di Bumi), yakni bagaikan metode ilmiah pada berbagai disiplin ilmu eksakta yang demikian tinggi tingkat kepastiannya yang karenanya mudah serta dapat diprediksi hasil output-nya. Merugikan, akan dirugikan. Menyakiti, akan disakiti. Melukai, akan dilukai. Menipu, akan ditipu. Memfitnah, akan difitnah. Segala perbuatan akan diwarisi dan berhubungan dengan sang pelakunya itu sendiri. Logis konsekuensi dibaliknya, karenanya disebut sebagai sebuah hukum perihal “Konsekuensi Logis”.

Sebaliknya, kontras dengan konsepsi perihal Hukum Karma, berbagai agama “samawi” hanya sekadar mengenal terminologi semacam : Pemberian dari Tuhan (yang karenanya cukup meminta dan memohon), segala sesuatu jatuh dari “langit” tanpa didahului oleh suatu sebab yang mendahuluinya, derita dari Tuhan serta nikmat dari Tuhan (sehingga seolah-olah Tuhan yang yang paling bertanggung-jawab atas bahagia dan derita suka-duka kehidupan para umat manusia, sekalipun sejatinya merupakan suatu penistaan terhadap ke-Agung-an sosok Tuhan), cobaan dari Tuhan (sekalipun umur umat manusia telah setua umur Planet Bumi namun masih juga seolah-olah Tuhan butuh eksperimen, dengan tong sampah bernama “neraka” bagi ciptaan yang gagal proses penciptaannya, sang “Maha TAHU”), hingga konsep-konsep “curang” yang kian mendiskreditkan kedudukan seorang korban (semacam ideologi iming-iming bernama “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa” yang sangat tidak berjiwa ksatria).

Karena itulah, konsepsi Hukum Karma tidak akan pernah dapat berjalan dan berdampingan bersama ideologi “samawi”, mengingat antara “Hukum Sebab-Akibat” saling menegasikan terhadap iming-iming “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”—yang karenanya adalah mustahil keduanya dapat eksis disaat bersamaan. Seorang manusia yang bertanggung-jawab, ialah pribadi yang memahami betul prinsip-prinsip hidup manusia beradab bernama sikap yang menyadari serta melihat adanya bahaya dibalik konsekuensi yang bersifat pasti akan adanya kemunculan “reaksi” terhadap setiap “aksi”, besar ataupun yang kecilnya perbuatan tersebut oleh sang pelaku, perbuatan itulah yang akan dia petik serta warisi sendiri.

Tiada kecurangan, tiada praktik persembunyian di sebuah gua terpencil sekalipun, tiada akses untuk melarikan diri dari buah Karma yang ditanamnya sendiri ketika waktunya telah masak, tiada toleransi, tiada negosiasi, tiada tawar-menawar, tiada ruang untuk “cuci tangan”, serta tiada ruang bagi kompromi. Konsekuensi bersifat tegas dan keras, menjadikan seorang individu yang menjunjungnya menjadi manusia yang penuh tanggung-jawab berani bertanggung-jawab, serta dapat dimintakan pertanggung-jawaban. Itulah sebabnya, dalam perspektif Hukum Karma, orang-orang yang berniat jahatlah yang (semestinya) paling patut merasa takut dan malu berbuat perbuatan buruk yang merugikan dan melukai individu lainnya.

Sebaliknya, dalam keyakinan “samawi”, orang-orang yang menjadi pihak korban-lah yang menjadi pihak yang paling merugi seorang diri serta yang paling takut dijadikan sebagai objek dari para pelaku kejahatan. Betapa tidak, orang-orang jahat tidak akan lagi ragu, malu, terlebih menyisakan rasa takut atas ancaman perihal alam “neraka” yang menyerupai dongeng bagi anak-anak di bangku Taman Kanak-Kanak perihal kisah-kisah fiktif-rekaan yang dapat ditangani semudah meraih erat ideologi “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”—idelogi mana membuat pelaku kejahatan tidak lagi menaruh waspada ataupun takut atas niatnya untuk merugikan, melukai, maupun menyakiti individu-individu lainnya. Sebuah ideologi yang “korup” bagi orang-orang “korup”, yang tidak akan pernah sepi dari pelanggan tetap ideologi tersebut dan “mencandu” (menjadi seorang pecandu “penghapusan dosa”) karenanya.

Pernah terjadi pada suatu ketika, saat kendaraan bermotor roda dua yang penulis kendarai hendak mengambil jalan memutar ke arah sebelah kanan pada sebuah ruas di jalan raya yang menyediakan jalan memutar bagi kendaraan bermotor, namun dari arah belakang sejak dari jarak jauh seorang pengemudi kendaraan bermotor roda dua lainnya mengklakson penulis, sekalipun sejatinya dirinya cukup melaju tanpa berisik serta bisa lewat berlalu melintasi kendaraan penulis secara tanpa membunyikan klakson apapun di samping kiri kendaraan yang penulis lajukan.

Namun bagaikan pengemudi yang “kerasukan iblis” (kesetanan), pengemudi dari arah belakang tersebut terus-menerus membunyikan klakson kendaraan bermotor roda duanya dengan sangat keras dan tanpa terputus sembari melaju kencang bak “preman”, mengakibatkan penulis dilanda panik dan menafsirkannya secara logis dalam tempo waktu yang hanya hitungan detik di tengah kepadatan lalu-lintas, sebagai isyarat bahwa penulis tidak boleh menghalangi jalan laju kendaraan pengendara pemilik suara klakson (pengendara serakah) tersebut melintas dari arah belakang, yang karenanya penulis secara refleks membanting setir kembali ke arah kiri untuk menepikan kendaraan dengan membatalkan niat untuk mengambil jalur memutar “U-turn”.

Sekalipun keadaan demikian, terjadi akibat sang pengendara dari arah belakang yang secara membabi-buta membunyikan klakson kendaraannya dan memecah konsentrasi penulis atas kendaraan yang penulis kendarai, disamping memberikan intimidasi serta ancaman dengan klakson yang terus dibunyikan olehnya sembari melaju yang sebetulnya tidak perlu dibunyikan dan cukup melintas berlalu dari samping kiri kendaraan yang penulis lajukan, tanpa merasa bersalah sekalipun “conditio sine quanon” atau “causa prima” diakibatkan oleh ulahnya sendiri yang bersikap arogansi di jalan raya milik umum, sang pengendara “preman” kemudian mengejar dan memepet laju kendaraan penulis, turun dari kendaraannya, dan menganiaya penulis tanpa lagi berbasa-basi, yang setelahnya melarikan diri begitu saja sembari membawa-bawa nama Tuhan (ber-Tuhan) dan nama salah satu agama tertentu sebagai keyakinan keagamaannya.

Rupa-rupanya, itulah yang disebut sebagai sikap “Tuhanis”, yang senyatanya dan nyata-nyata tidak ubahnya bak “premanis”—alias jauh dari makna “humanis”, dimana yang harus merasa takut ialah ketika seseorang menjadi pihak korban yang dikorbankan, dan disaat bersamaan sang pelaku kejahatan merasa bangga dapat menyakiti dan melukai korbannya, seolah-olah tanpa ada bahaya ataupun resiko konsekuensi dibalik setiap aksi atau perbuatan yang dilakukan olehnya, alias akibat atau reaksi dari apa yang ditanam sendiri oleh tangannya untuk dipetik olehnya sendiri di kemudian hari. Meminjam istilah dari Sang Buddha, sang pelaku kekerasan fisik yang arogan demikian ialah “manusia DUNGU”.

Bila kita memakai perspektif yang kita pinjam dari kacamata keyakinan keagamaan “samawi” perihal “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, penulis yang menjadi korban intimidasi saat berkendara pada jalan umum dan sekaligus menjadi korban penganiayaan dari sang pelaku, patut menyesali diri sendiri seorang diri karena menjadi seorang KORBAN. Namun, ketika penulis beralih kembali kepada paham “Hukum Sebab-Akibat” yang menjadi basic dari cara kerja alam semesta dan hukum alam ini, alias hukum perihal KONSEKUENSI, maka yang sejatinya paling merugi ialah sang pelaku kejahatan itu sendiri, mengingat pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

- Pertama, sang pelaku adalah orang jahat, yang artinya tidak malu dan tidak takut berbuat jahat dan buruk, menanam kejahatan dan keburukan yang penuh cela dan tercela, yang karenanya dirinya dapat dipastikan memiliki kebiasaan untuk berbuat kejahatan (meng-koleksi dosa dan menimbun diri dengan dosa) sepanjang hayat-hidupnya;

- Kedua, sang pelaku bukanlah orang baik, terlebih orang suci, yang karenanya adalah mustahil sang pelaku selama ini akan rajin atau gemar berbuat kebaikan dan kebajikan dalam usianya yang telah hanya menyisakan separuh dari total umur hidupnya sebagia manusia di dunia ini;

- Ketiga, sang pelaku merugikan dan menyakiti penulis dengan perasaan senang, gembira hati, tanpa rasa bersalah ataupun penyesalan, sebelum, sesaat, dan sesudah melakukan serangkaian kejahatan demikian, yang karenanya menurut Abhidhamma Pitaka maka buah Karma Buruk yang akan dipetik oleh sang pelaku, bukanlah satu berbanding satu, namun satu butir bibit menjelma satu pohon buah raksasa yang dapat memanen ribuan hingga miliaran potensi buah Karma Buruk yang akan dipetik oleh sang pelaku itu sendiri di kehidupannya sendiri pada masa yang mendatang.

Cara paling jitu bagi seorang korban untuk mencelakai dan membalas dendam kepada sang pelaku kejahatan, ialah dengan cara membiarkan orang jahat tersebut merasa bangga atas perbuatan jahatnya serta melanjutkan kebiasaan jahatnya, tanpa dapat mengevaluasi diri, gagal dalam hal introspeksi diri, ANTI terhadap protes ataupun teguran (kebetulan, itulah ciri khas orang Indonesia yang konon “agamais”), membalas komplain dengan “kekerasan fisik”, korban yang melawan dan membalas perbuatan sang pelaku dimaknai sebagai pen-zolim-an yang secara delusi artinya membawa hak bagi sang pelaku kejahatan untuk kian dan kembali melukai dan menyakiti korbannya, atau yang singkatnya ialah tidak perlu memberitahukan mereka dimana letak kesalahan yang mereka perbuat, agar mereka terus-menerus terjerumus makin dalam dengan merasa senang hidup dengan cara dan jalan demikian sepanjang hidup serta sisa hayatnya—alias dengan senang dan gembira menggali lubang kubur yang semakin dalam dan semakin dalam lagi, untuk diri sang penggali kubur itu sendiri, sebelum kemudian terkubur hidup-hidup di dalamnya, dan tertimbun, sebuah cara yang penulis istilahkan sebagai “jalan yang pasti menuju ‘mati (secara) konyol’ akibat gemar menanam Karma Buruk”.

Demikianlah cara membalas dendam yang paling cerdas, biarkan sang “bad guys” tetap sibuk dan bangga dengan kegiatan jahatnya, membiarkan mereka menggali dan menggali lebih dalam lagi, tanpa perlu kita berikan teguran apapun. Orang bodoh membalas teguran dan komplain korban sebagai tantangan untuk membungkam sang korban lewat ancaman secara intimidasi kekerasan fisik atau penyalah-gunaan kekuasaan lainnya, dan mengalami maut akibat terjerumus oleh perbuatannya sendiri yang tidak dapat dikoreksi, serta akibat hidup dalam delusi bahwa dengan tiada lagi yang berani mengajukan protes atau komplain terhadap dirinya maka sama artinya diri sang pelaku kejahatan ialah orang yang telah bersikap “baik”.

Kemunafikan selalu berakar dari sikap bodoh yang “konyol” sifat dasariahnya, alias irasional—dan tidak mengherankan, akibat kapasitas CC otak di dalam tempurung kepala mereka yang dibawah kapasitas otak rata-rata, karenanya hanya dapat mengandalkan kapasitas “otot” serta kekerasan fisik, untuk setiap masalah, untuk setiap protes, serta untuk setiap komplain yang diutarakan oleh para korbannya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.