Hak Atas Privasi Individual Vs. Hak Publik untuk Mengetahui Kebenaran

ARTIKEL HUKUM

Antara Norma Hukum dan ASUMSI yang Melatar-Belakanginya, ASUMSI sebagai Dasar Validitas Norma Hukum

Privasi Diakui dan Dilindungi Sepanjang Tidak Membawa Ancaman Merugikan Warga Lainnya sebagai ASUMSI DASAR, yang Mana Bila Asumsi menjadi Tidak Lagi Relevan Maka Privasi Tidak Lagi Dilindungi oleh Hukum

Kita tidak pernah membutuhkan teori penuh “kolesterol” yang gemuk oleh “lemak” bernama “tetek-bengek” untuk memahami ilmu hukum maupun falsafah yang bekerja dibaliknya. Sebagai bukti, artikel singkat ini akan menjabarkan secara ringkas namun padat perihal “Privasi Vs. Hak Publik untuk Mengetahui Kebenaran”, dan sandingkan dengan berbagai buku-buku teks ilmu hukum berbahasa Indonesia di pasaran yang tebal namun materi substansinya hanya dipenuhi oleh “sampah” bernama teori yang “omong kosong” dan abstrak sifatnya—sehingga jangan pernah berharap dapat diimplementasi selain sekadar “pemanis bibir” atau “kegenitan intelektual” belaka.

Jangankan diminta membayar mahal untuk membelinya, membuang waktu untuk untuk membaca buku-buku teori yang tebal “lemak teori”-nya demikian pun, penulis tidak akan pernah sungkan hati untuk menolaknya. Terlampau banyak kata-kata ucapan maupun tulisan-tulisan “sampah” beberapa dekade terakhir ini membanjiri masyarakat kita, dimana kesemua itu menjadi “sampah” yang berserakan dan membuat tidak sedap dipandang disamping mengganggu pemandangan, dimana bahkan tong sampah pun telah penuh-sesak dijejali kata-kata dan tulisan-tulisan sampah (junk articles). Simple is beautiful, demikian pepatah menyebutkan. Yang sejatinya sederhana, mohon untuk tidak diperumit agar tampak “intelektual”.

Kita, sejatinya tidak pernah perlu sibuk berteori-ria pada konsep-konsep tidak praktis dan tidak aplikatif bernama konsep-konsep abstrak-teoretis, dimana dua orang dengan sudut pandang yang berbeda dapat memaknai dan menafsirkannya secara bertolak-belakang satu sama lainnya, sehingga kesemua itu lebih menyerupai “omong kosong” tidak produktif yang hanya menjadi “time killer” yang harus kita waspadai. Itulah sebabnya, tiada ada yang lebih “kurang kerjaan” ketimbang kaum akademisi yang serba membosankan serta “tidak membumi” yang mana mereka akan tergopoh-gopoh ketika harus diminta untuk praktik (secara) nyata.

Tiada kalangan litigator terampil yang mengandalkan kutipan pasal-pasal dalam Konstitusi Republik Indonesia ketika menyusun surat-gugatan, karena sifatnya abstrak non-terapan, yang selama ini menjadi ciri khas kaum akademisi yang “membosankan”. Pejabat pemerintahan, sebagai contoh, lebih patuh dan lebih siap tunduk terhadap Peraturan Menteri, ketimbang Undang-Undang, terlebih pasal-pasal dan ayat dalam Konstitusi Republik Indonesia—semata karena sang pejabat pemerintahan ialah bawahan dari sang menteri dalam institusi yang sama yang menerbitkan Peraturan Menteri. Sama halnya, bagi kalangan hakim di pemeriksa dan pemutus perkara di pengadilan, Peraturan Mahkamah Agung lebih penting dan lebih suprematif ketimbang Undang-Undang sekalipun, semata karena pihak yang menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung ialah atasan “big boss” dari sang hakim. Bahkan, dalam praktik di Mahkamah Konstitusi RI, pasal-pasal Konstitusi yang dikutip sama adanya, ayat-ayat Konstitusi yang dirujuk adalah sama adanya, namun putusannya bisa saling berbeda dan bertolak-belakang antar Hakim Konstitusi. Bukankah itu “konyol” adanya?

Adalah “dosa besar”, pemborosan terhadap waktu (tidak terkecuali pemborosan terhadap ucapan lisan, kata-kata verbal, maupun tulisan) pada era dimana semuanya bergerak cepat dimana waktu menjadi sangat amat berharga serta kian sensitif sifatnya (“time is money and your life span”). Secara pribadi, penulis berhaluan pada “gerakan hukum praktis” (yang mungkin termotivasi oleh ideologi Jeremy Bentham perihal utilitarianisme alias asas kemanfaatan, alias juga harus ada manfaat atau faedahnya, sekalipun penulis bukanlah penganut paham “pragmatisme” yang meng-“halal”-kan (menjustifikasi) segala cara demi mencapai tujuan), dimana ilmu hukum dapat dijelaskan secara praktis, dipahami secara praktis, serta dapat diaplikasikan secara praktis pula.

Ketika masyarakat kita terpecah menjadi dua pendapat yang saling berseberangan, apakah Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) harus tetap diselenggarakan sesuai amanat Undang-Undang, maupun data pasien terjangkit virus penyebab wabah menular mematikan antar manusia harus diungkap kepada publik sebagai “early warning system” dan menjadi hak publik untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, keberadaan, dan kebenarannya, ataukah sebaliknya, apapun keadaannya secara “membuta”, baik dikala wabah, dikala normal, dikala krisis ekonomi, dikala perang meletus, dikala bencana alam, dikala konflik sosial komunal, dan lain sebagainya?

Faktanya, tiada satupun peraturan perundang-undangan yang dapat mengklaim norma hukum yang diaturnya berlaku untuk segala zaman, segala situasi, dan segala kondisi. Contoh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pembeda ancaman hukuman bagi pencuri yang melakukan aksi pencurian pada siang hari dan aksi pencurian yang dilakukan pada malam hari, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi membedakan ancaman hukuman bagi koruptor yang melakukan aksi korupsi dikala keadaan ekonomi normal dan pembedanya dengan ketika keadaan ekonomi negara dan masyarakat sedang dilanda krisis ekonomi.

Karenanya juga, patut kita kritik praktk peradilan pidana di Indonesia, ketika seseorang Terdakwa didakwa kerena telah membunuh seorang preman yang selama ini sang korban pembunuhan melakukan aksi pemerasan hingga “bullying” terhadap sang Terdakwa, sehingga sang Terdakwa terdorong untuk merenggut nyawa hidup sang preman, Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus dalam pertimbangan hukumnya tidak pernah menyebutkan dalam pertimbangan yang meringankan ataupun yang memberatkan kesalahan, apakah korbannya adalah tergolong orang baik yang “innocent” sehingga patut dilindungi oleh negara serta diberikan keadilan seadil-adilnya ataukah ternyata hanyalah orang buruk yang memang sudah sepatutnya dieliminir dengan “dilempar ke tong sampah” (penyakit sosial, sampah masyarakat).

Begitupula distingsi antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku bagi rakyat sipil dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer yang berlaku bagi anggota satuan kemiliteran, ranah berbeda, konteks berbeda, kondisi berbeda, maka pengaturan norma hukumnya pun saling berlainan—dan memang harus berbeda serta dibedakan antara yang “ordinary” dan yang “extra-ordinary”.

Pada prinsipnya, “privasi dalam keadaan normal” (keadaan “normal” sebagai ASUMSI) ialah privasi yang tidak membawa ancaman merugikan pihak manapun, dimana itulah tepatnya kriteria atau jenis privasi perorangan yang diakui serta wajib dilindungi oleh hukum dan oleh negara. Namun seseorang menyalah-gunakan hak atas privasinya untuk membuat obat-obatan terlarang, sebagai contoh, dimana praktik penggunaan privasi berupa ruang tertutup yang disewa atau dimiliki olehnya demikian dapat mengancam keselamatan publik, maka hak-hak atas privasi demikian berhenti pada titik itu juga dan ditanggalkan oleh negara, mengingat asumsi dasarnya telah tidak lagi relevan.

Sehingga, dapat pula kita katakan, ketika kita mulai memahami bahwa penghormatan terhadap “hak untuk hidup” sebagaimana ditegaskan dan diakui dalam / oleh Konstitusi Republik Indonesia, ialah dalam rangka ASUMSI warganegara yang baik dan patuh terhadap hukum. Ketika seseorang warga memilih untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum berupa kejahatan maupun tindak pidana lainnya, maka itu sama artinya sang warga / pelanggar yang telah secara aktif melepaskan hak-hak konstitusionalnya atas nyawa hidupnya. Adalah bentuk keserakahan, dimana sang warga pada satu sisi dengan rasa senang memilih untuk melanggar dan menjadi warga yang tidak patuh terhadap hukum, namun pada sisi lainnya tetap mengklaim memiliki hak konstitusional untuk hidup.

Sama halnya, secara analogi, ketika keadaan negara sedang dalam kondisi normal tanpa pandemik akibat wabah menular mematikan, kerahasiaan rekam medik seseorang pasien ataupun warganegara, adalah mutlak tanpa dapat diganggu-gugat oleh warga lainnya, semata karena tidak merugikan ataupun membawa ancaman bagi kesehatan maupun keselamatan publik yang menjadi pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) atas ruang publik.

Namun, menjadi berbeda kasus-konteksnya ketika keadaan negara sedang dilanda wabah, maka asumsi dasar demikian tidak lagi relevan, sehingga seorang atau lebih warga yang terjangkit wabah, adalah wajib hukumnya informasi-informasi perihal “ancaman tertular bila dekat dengan dirinya” demikian untuk dibuka kepada publik sehingga warga lainnya dapat menaruh waspada dan mengetahui kebenaran yang sesungguhnya atas kesehatan komunitas lingkungan selaku sesama pemukim dan keselamatan warga atas ruang interaksi antar warga.

Bahkan, ketika otoritas negara tidak membuka dan mengungkap informasi penting demikian kepada publik, maka sang warga yang tertular / terjangkit tetap memiliki kewajiban hukum maupun kewajiban moril untuk mengumandangkannya kepada publik, setidaknya kepada warga lain di lingkungan sekitar agar menaruh waspada terhadap dirinya agar tidak turut tertular. Menghargai dan menghormati kesehatan serta keselamatan warga lainnya, sudah merupakan kewajiban hukum setiap warganegara itu sendiri. Dari segi tanggung jawab moril, bila warga lain sampai turut terkena tertularnya virus yang bersarang dalam tubuh sang warga terjangkit yang menularkan, dan membawa akibat yang merugikan atau bahkan mematikan bagi yang tertular, sama artinya mau tidak mau harus “takut (terhadap) dosa” atau setidaknya takut terhadap konsekuensi dibalik Hukum Karma.

Hukum dalam keadaan “normal”, tidak berlaku dalam hukum dalam keadaan “darurat”, itulah falsafah yang paling mendasar perihal “hukum dan asumsi yang menyertainya”, dimana ketika asumsi dasarnya telah tidak lagi relevan, maka norma hukum yang mengaturnya pun kehilangan pijakan falsafah maupun validitasnya. Sebagai contoh ilustrasi sederhana, Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa hak untuk hidup serta hak untuk dirampas kemerdekaannya ialah hak asasi manusia. Maka, apakah artinya ancaman hukuman penjara atau bahkan hukuman mati sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, telah merampas hak-hak konstitusi sang Terpidana untuk hidup dan tidak dirampas kemerdekaannya?

Ketika seorang bandar obat-obatan terlarang, sebagai contoh, melukiskan dirinya sebagai “korban” karena dihukum vonis mati oleh Majelis Hakim di persidangan, seolah-olah negara telah merenggut hak konstitusionalnya untuk hidup, itu sama artinya sang terpidana telah menyalah-gunakan norma-norma yang diamanatkan oleh Konstitusi. Terlebih, ketika suatu Organisasi Massa (Ormas) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat yang kerap didanai oleh pihak asing sehingga tidak benar-benar swadaya oleh dan dari masyarakat) meneriakkan seruan anti eksekusi vonis hukuman mati bagi sang bandar obat-obatan terlarang, sama artinya disaat bersamaan menafikan kematian dan nyawa-nyawa yang bertumbangan akibat perbuatan sang bandar ataupun pengedar obat-obatan terlarang lainnya, sehingga seolah-olah justru memperjuangan hak untuk hidup bagi sang “pembunuh” dan disaat bersamaan menutup mata dari nyawa-nyawa yang bertumbangan dari para korbannya.

Jawabannya sesederhana yang telah penulis kemukakan di muka, tanpa memerlukan teori-teori “bombastis rumit (namun penuh omong-kosong)”, yakni aturan-aturan dalam Konstitusi Republik Indonesia bertopang pada ASUMSI bahwa keadaan negara dan warga masyarakatnya dalam kondisi “normal” serta adalah warga yang baik nan patuh terhadap hukum (seperti tidak merugikan ataupun menyakiti / melukai warga lainnya). ASUMSI, adalah bagian paling utama dari “aturan main” hukum negara terhadap para penduduknya dan antar sesama warga.

Ketika asumsi menjadi “runtuh” akibat kehilangan pijakan relevansinya, semisal keadaan negara sedang dalam kondisi urgensi tingkat tinggi penuh kegentingan akibat peperangan maupun pandemik melanda, atau ketika seseorang warga melakukan tindak pidana kejahatan, maka norma-norma hukum yang bertopang pada asumsi keadaan “normal” menjadi tidak lagi memiliki legitimasinya untuk diberlakukan, semata karena kehilangan dasar berpijaknya, yakni ASUMSI yang ada tidak lagi relevan dengan konteks yang aktual.

Jika suatu negara, tidak mengatur norma-norma hukum untuk keadaan genting dan darurat, jadilah kondisi yang disebut sebagai “recht vacuum” alias kekosongan hukum, mengingat hampir seluruh atau mayoritas pengaturan norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan kita hanya relevan diterapkan / diberlakukan bagi masyarakat dalam keadaan “normal” dimana kondisi saat proses penyusunan dan pembentukan regulasinya ialah dalam keadaan “normal” bebas dari penyulit seperti peperangan maupun pandemik melanda. Itulah sebabnya, penting sekali untuk mengatur peraturan perundang-undangan dalam beragam gradasi, yakni regulasi yang diberlakukan dalam konteks keadaan “darurat” serta regulasi yang diberlakukan dalam konteks negara dalam keadaan “normal”.

Pendekatan-pendekatan norma hukum secara “darurat”, disebut sebagai “extra-ordinary”, yang artinya diluar keadaan biasa. Itulah sebabnya, semangat penegakan hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah berbeda karakteristik keberlakuannya ketika kita menyandingkannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku untuk kondisi normal, begitupula dalam hal cara-cara penegakan serta ancaman hukumannya yang tidak “ordinary” sifatnya.

Informasi terkait rekam medis seorang pasien, adalah rahasia milik pasien. Namun, itu adalah postulat hukum untuk kondisi “normal”. Antara Undang-Undang tentang Kesehatan (yang berlaku khusus untuk konteks kondisi “normal”), tentunya berbeda semangat keberlakuannya bila kita sandingkan terhadap “spirit” pengaturan norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tentang Karantina Wilayah akibat kondisi menjelma darurat wabah, sebagai contoh. Sayangnya, Undang-Undang yang disebutkan terakhir tidak mengatur selugas dan seutuh Undang-Undang yang berlaku dalam kondisi “normal”, sebagai misal ialah perihal rekam medis milik para warga terjangkit apakah akan diperlakukan seperti ketika privasi pasien dijaga kerahasiannya dalam kondisi “normal” sekalipun senyatanya wabah sedang merebak?

Untuk itu, penulis akan mengangkat fakta dalam praktik kebiasaan kalangan profesi Konsultan Hukum dalam menyusun dan menyajikan “Legal Opinion” (L.O.) yang berisi kajian hasil analisa maupun kesimpulan dan rekomendasi, selalu dimulai dalam bagian pendahuluan dokumen L.O. yang mencantumkan semacam klausul “disclaimer” berupa “ASUMSI”, dengan menegaskan dalam L.0. yang disusun dan disajikan oleh sang Konsultan Hukum tidak luput dari ASUMSI yang diasumsikan. bahwa L.O. disusun dan dibentuk dengan asumsi dasar bahwa segala dokumen yang diberikan pengguna jasa untuk di-review maupun di-audit, akan dianggap telah benar dan terjamin otentikasi sesuai keasliannya, telah utuh dan lengkap, serta berbagai asumsi yang asumtif lainnya.

Karenanya, menjadi penting bagi kalangan Konsultan Hukum untuk men-deklarasi-kan (declare) sedini mungkin adanya ASUMSI demikian, se-logis dan se-rasional apapun adanya (mengingat tidak semua kalangan klien pengguna jasa adalah rasional adanya, sehingga berlaku juga sebagai antisipasi), agar tidak dipersalahkan dikemudian hari bila ternyata adanya unsur manipulatif pada data-data yang diperlihatkan oleh sang klien pengguna jasa. Ketika ASUMSI ternyata “bertepuk sebelah tangan” dan tidak mendapatkan asumsinya sebagaimana diasumsikan, maka segala hal yang berpijak pada “ASUMSI semula” menjadi runtuh dan gugur secara sendirinya dengan cap stempel “TIDAK RELEVAN LAGI”. Kumandangkanlah terlebih dahulu, sebelum kita yang dipersalahkan secara irasional.

Apa yang kemudian terjadi, ketika salah satu asumsi dalam “Legal Opinion” yang disusun oleh pihak Konsultan Hukum, ternyata oleh pengguna jasa secara tidak jujur diberikan sebagai bahan yang tidak utuh, tidak benar, hingga mengandung unsur pemalsuan atau penipuan (invalid), maka “Legal Opinion” menjadi tidak lagi relevan—yang karenanya pula tidak lagi dapat dipertanggung-jawabkan segala substansi analisa hukum dalam “Legal Opinion bersangkutan, dimana pihak pengguna jasa yang tetap memaksakan diri untuk membacanya, menjadi seutuhnya resiko yang ditanggung serta dipikul oleh pihak pengguna jasa itu sendiri.

Penulis adalah satu-satunya Sarjana Hukum di Indonesia, setidaknya hingga saat ulasan ini disusun, yang mem-pelopor-i struktur baru yang lebih sadar “melek” situasi ketika pemerintah bersama parlemen hendak menyusun dan mengesahkan bersama Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan yang satu atau beberapa level berada dibawahnya, untuk selain mencantumkan “Menimbang” maupun “Mengingat”, menjadi penting untuk turut mengadopsi model format “Legal Opinion” yang selama ini dipraktikkan beragam kalangan Konsultan Hukum di Tanah Air, yakni menyertakan pula “Asumsi” pada bagaian pendahuluan dari Undang-Undang dimaksud—dapat berupa “Asumsi : Keadaan negara tidak sedang dalam kondisi pandemik, darurat, peperangan, bencana, krisis moneter”, dan lain sebagainya.

Dengan cara begitulah, kita tidak perlu lagi dibentur-benturkan antar norma hukum untuk dua konteks kondisi yang saling bertolak-belakang secara menghambur-hamburkan waktu untuk sesuatu yang saling tidak relevan namun “dipaksakan relevansinya” semata karena peraturan perundang-undangan kita selama ini di Indonesia sama sekali tidak mencantumkan keterangan “Asumsi” demikian, apakah berlaku dalam segala situasi, ataukah hanya berlaku pada kondisi dan keadaan “normal” semata? Bagaimana mungkin, dua orang atau lebih saling memperdebatkan antara norma hukum yang saling berbeda kondisi dan situasinya, bagaikan mencoba memperbandingkan antara buah melon dan buah semangka, lemon terhadap jeruk, planet bulan dan matahari, pria dan wanita, tua dan muda, dsb?

Contoh “asumsi” tidak tertulis yang sudah sejak lama kita kenal, ialah sebagaimana tertuang dalam norma-norma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun hukum acaranya, dimana disebutkan dan diatur bahwa penangkapan terhadap seorang tersangka wajib ada surat penangkapan dan penahanan dari pihak penyidik untuk diberikan kepada pihak keluarga sang tersangka. Namun, apakah artinya ketentuan demikian juga diberlakukan terhadap kasus-kasus dimana kejahatan “tertangkap tangan” semisal pencuri yang tertangkap tangan sedang mencuri di tempat itu juga?

Dapat pula kita tafsirkan secara lebih rasional, ketika peraturan perundang-undangan tidak menyatakan atau tidak mendeklarasikan dalam substansi norma hukum yang diatur di dalamnya maupun dalam bagian pembuka-konsiderans regulasi yang berlaku umum dan mengikat bagi publik dimaksud, apakah berlaku untuk keadaan “normal” ataukah berlaku khusus bagi keadaan “darurat”, maka patut kita baca serta interpretasikan sebagai norma hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk keadaan “normal” sebagai basis ASUMSI-nya—dimana regulasi atau norma hukum demikian menjadi tidak lagi relevan sehingga tidak berlaku validitasnya ketika ASUMSI-nya tidak lagi sesuai dengan konteks kondisi dan keadaan aktualnya. Karenanya, norma hukum sejatinya “situasional” sifat keberlakuannya.

Itulah sebabnya, pengaturan norma hukum dalam setiap peraturan perundang-undangan, selalu harus dibaca secara sistematik sesuai konteks aktual-nya, alias ASUMSI yang melatar-belakangi penyusunan, pembentukan, serta pengaturan norma-norma hukum di dalamnya, apakah landasan ASUMSI-nya kondisi dan situasi negara dalam keadaan “normal” ataukah dalam keadaan sebaliknya. Aturan-aturan dalam kondisi “darurat”, tidak tepat diterapkan (terlebih dipaksakan) dalam keadaan “normal”—dimana juga berlaku prinsip sebaliknya, aturan-aturan hukum dalam kondisi “normal” menjadi tidak pada tempatnya dan tidak pada waktunya bila diterapkan secara membabi-buta dalam keadaan “darurat” dimana ASUMSI semula menjadi tidak lagi mendapat pijakan relevansi maupun landasan falsafah pembentukannya dalam keadaan aktual yang telah atau sedang berubah.

Sesederhana itu saja, kita tidak pernah membutuhkan teori-teori menjemukan yang penuh “omong kosong” untuk menjelaskan segala fenomena terkait norma hukum, yang pada permukaannya tampak sangat rumit dan penuh kompleksitas sekalipun. Seorang Sarjana Hukum yang baik serta ideal, membuat hukum yang kompleks menjadi tampak lebih mudah dicerna dan dipahami oleh orang awam sekalipun. Hukum, bagaimana pun, dibentuk bukan semata untuk kalangan Sarjana Hukum, namun “erga omnes” alias berlaku bagi publik secara umum, tanpa terkecuali—yang karenanya ilmu hukum yang “citizen friendly” (mudah dipahami dan diurai secara mudah) menjadi wajib hukumnya, setidaknya menurut pribadi penulis.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.