KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apakah KUHP dan KUHPerdata adalah OMNIBUS LAW?

LEGAL OPINION

Jika Kodifikasi Norma Hukum Umum-Generalis (Lex Generalis) seperti Undang-undang Cipta Kerja ialah OMNIBUS LAW, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Semestinya) juga adalah OMNIBUS LAW

Question: Undang-Undang tentang Cipta Kerja, yang berisi muatan sekumpulan norma hukum secara umum (general) dan menyerupai kodifikasi, disebut sebagai Omnibus Law dan dianggap sebagai Undang-Undang tertinggi dari hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bukankah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) maupun KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) juga adalah sama-sama kodifikasi norma hukum yang menyerupai Undang-Undang tentang Cipta Kerja, karenanya apakah juga bisa kita sebutkan bahwa KUHP, KUHPerdata, maupun KUHD adalah Omnibus Law?

Brief Answer: Konsep semacam “Omnibus Law”, telah merusak asas ilmu peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama asas “lex specialis derogat legi generalis”, yang bermakna norma hukum dalam level regulasi yang setara, semisal antara Undang-Undang terhadap Undang-Undang lainnya, dimana Undang-Undang yang satu bersifat spesifik dan lebih khusus norma pengaturannya, sementara Undang-Undang lainnya bersifat umum-general, maka yang berlaku ialah norma hukum pada Undang-Undang yang bersifat lebih spesifik serta khusus pengaturan norma hukumnya, ketika terjadi “konflik antar norma hukum yang setara level regulasinya”.

Sistem norma hukum bertopang pada konsistensi, yakni konsistensi pada pola “cara membaca norma hukum” pada peraturan perundang-undangan, disamping konsisten dalam penerapan asas hukum ilmu peraturan perundang-undangan. Kita tidaklah dapat pada satu sisi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja yang sifatnya “Sapu Jagat” adalah “Omnibus Law”, yang jelas-jelas memang merupakan “kodifikasi norma hukum umum” yang mengandung sifat generalis, lantas pada sisi lain menyatakan Undang-Undang lainnya seperti KUHP, KUHD, maupun KUHPerdata, bukanlah “Omnibus Law”—maka itu menyerupai praktik “standar ber-ganda” dalam ilmu peraturan perundang-undangan yang sangat diskriminatif, disamping mengandung bahaya dibalik sikap yang tidak konsisten demikian, menjelma “kerancuan”, dimana kerancuan ialah sumber kekisruhan dalam praktik berhukum yang sangat mengandalkan kepastian hukum.

Ada harga yang harus kita bayarkan akibat sikap inkonsistensi yang timbul berkat terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja, yakni rusaknya tatanan “taat asas” ilmu peraturan perundang-undangan yang menjadi tulang-punggung dari kepastian hukum, “unifikasi pernafsiran norma hukum” (bukan unifikasi norma hukum, namun unifikasi penafsiran alias cara dalam membacanya), hingga simpang-siur yang tidak efisien dalam praktik berhukum di Indonesia.

Undang-Undang Cipta Kerja bahkan menimbulkan polemik baru secara laten dikemudian hari, dimana hal demikian berangkat dari kerancuan status Undang-Undang Cipta Kerja atau konsep “Omnibus Law” apakah sebagai berstatus “lex specialis” ataukah sebagai sekadar “lex generalis”—jika memang hanya sekadar semata “lex generalis” keberlakuan norma hukum dalam Undang-Undang Cipta Kerja, maka hal demikian sama artinya melanggar asas “lex specialis derogat legi generalis”.

Ilustrasikan skenario berikut. Suatu ketika nanti, pada tahun 2025 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan (yang notabene merupakan “lex specialis” alias spesifik dan khusus dibidang Ketenagakerjaan dan Perburuhan) direvisi atau diubah dengan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan yang baru, sekalipun telah terkandung beberapa norma hukum Ketenagakerjaan di Undang-Undang Cipta Kerja yang saat kini berlaku sejak tahun 2020.

Lagi-lagi, akan timbul konflik penafsiran yang sangat meletihkan, menguras energi penuh perdebatan yang tidak efisien, simpang-siur pendirian para praktisi hingga kalangan hakim di pengadilan, perihal isu hukum yang tidak mungkin terhindarkan : Manakah yang berlaku jika Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2025 ternyata berbentangan alias konflik norma hukum yang dikandungnya, terhadap pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja? Siapakah yang merasa paling memiliki otoritas untuk menjawab pertanyaan logis demikian?

PEMBAHASAN:

Bagai “buah simalakama”, ibarat “maju kena, mundur pun kena”, bila kita konsisten menyatakan bahwa KUHP, KUHD, maupun KUHPerdata ialah “Omnibus Law” pula, karena semata sifatnya ialah kodifikasi norma hukum yang serba “Sapu Jagat” dan “generalis” layaknya Undang-Undang Cipta Kerja, maka perhatikan skenario berikut yang akan membuat kita mulai mampu memahami bahaya dibalik konsep “Omnibus Law”—dan bukan tidak mungkin dan niscaya akan benar-benar membuahkan “blunder” hebat tak berkesudahan dikemudian hari, akibat kian rusaknya tatanan asas ilmu peraturan perundang-undangan di Tanah Air.

Katakanlah, sebagai sekadar ilustrasi, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor) direvisi atau diubah terakhir kalinya pada tahun 2021. Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2023, KUHP mengalami revisi ataupun perubahan, terbit KUHP baru versi tahun 2023, yang didalamnya mengatur pula perihal delik Tipikor disamping pasal pengaturan perihal sanksi berupa ancaman hukuman pidana penjara bagi pelaku Tipikor.

Menjadi kemelut yang ambigu disamping penuh disparitas, aksi seperti perilaku kolusi berupa penyuapan, diancam pidana penjara maksimum selama sepuluh tahun sebagaimana pengaturan dalam Undang-Undang Tipikor versi tahun 2021, sementara itu terhadap delik yang sama hanya diancam pidana penjara paling lama lima tahun dalam KUHP versi tahun 2023—alias terdapat korting ancaman sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Tipikor bagi Terpidana kolusi yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana penyuapan. Manakah yang berlaku, Undang-Undang Tipikor, ataukah KUHP, yang akan menjadi dasar hukum bagi Hakim Pengadilan Tipikor dalam memeriksa dan memutus perkara kolusi penyuapan terhadap sang Terdakwa? Jika demikian, untuk apa diadakan “lex specialis” semacam Undang-Undang Tipikor?

Simpang-siur serta ambiguitas belum cukup berhenti sampai disitu, efek berantainya sangatlah laten disamping penuh bahaya disamping jebakan liar, akibat penuh kerancuan dalam tatanan praktik saat diimplementasikan, sebagaimana akan penulis uraikan secara sederhana dalam ilustrasi di bawah ini. Sebagaimana kita ketahui, baik KUHD, KUHPerdata, maupun tidak terkecuali KUHP, sejak semula dinilai kurang bisa lagi mengikuti perkembangan zaman, karena tidak mengakomodasi perkembangan serta fenomena termuktahir dari kondisi sosial-ekonomi yang telah banyak berubah dan berkembang dari era sebelumnya saat berbagai Undang-Undang tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya, karenanya disparitas kondisi sosial-ekonomi itulah yang kemudian menjadi latar-belakang terbitnya berbagai Undang-Undang yang bersifat “lex specialis”, yang mengatur secara khusus, tematik, serta spesifik.

Sebagaimana telah kita ketahui pula, baik KUHD, KUHPerdata, maupun KUHP merupakan kodifikasi hukum yang bersifat general, alias umum sifat norma pengaturannya, yang karenanya sejak semula dilekatkan status sebagai “lex generalis”. Agar dinamika serta tuntutan perkembangan zaman yang terjadi di tengah masyarakat dapat diakomodasi oleh hukum, negara lewat otoritas pemerintahan pembentuk Undang-Undang, kemudian menerbitkan berbagai Undang-Undang “tematik” yang spesifik serta khusus norma pengaturannya secara fokus dan parsial (sehingga terbatas sifat bahasan norma pengaturan di dalamnya, alias tidak melebar layaknya “Undang-Undang Sapu Jagat”), dimana untuk “menghidupkan” efektivitas keberlakuannya untuk dapat diimplementasi serta dieksekusi, dilekatkanlah status “lex specialis”. Demikianlah sejarahnya, pertama kali Undang-Undang “spesialis” dibentuk, disahkan, diterbitkan.

Rantai distribusi supremasi keberlakuan norma hukum yang setingkat dan sejajar dalam level sesama Undang-Undang demikian, agar tercipta kepastian hukum, maka disepakatilah secara “aturan hukum tidak tertulis” bernama “asas hukum” (terutama asas ilmu peraturan perundang-undangan dalam konteks ulasan ini), yakni dua asas yang menjadi pilar penopang serta sebagai tulang-punggung norma peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni asas:

-  Lex Specialis Derogat Legi Generalis, yang memiliki makna sebagaimana telah kita bahas di muka; dan

- Lex Posterior Derogat Legi Priori, yang bermakna bahwa peraturan perundang-undangan dalam hierarkhi yang setara dan sejajar, bila terdapat norma hukum yang dikandung dalam pengaturan di dalamnya saling bertolak-belakang (overlaping) antar dua buah Undang-Undang, sebagai contoh, maka yang berlaku ialah Undang-Undang yang diterbitkan paling terakhir (terbaru-aktual) dan menyimpangi atau menutupi keberlakuan norma dari Undang-Undang yang terbit terdahulu.

Sebenarnya, terdapat satu asas yang tidak kalah penting dalam ilmu peraturan perundang-undangan, berupa asas yang juga “tidak tertulis”, yakni “asas konsistensi” dalam pendekatan penafsiran ilmu peraturan perundang-undangan. Bila Undang-Undang Cipta Kerja yang sifatnya kodifikasi serta umum-generalis kandungan norma pengaturan di dalamnya, dilekatkan status sebagai “Omnibus Law” yang seolah dimaknai sebagai Undang-Undang yang lebih tinggi dari sekadar Undang-Undang “biasa” lainnya, maka sejatinya kita pun wajib dan harus konsisten tanpa diskriminasi, dengan tegas menyatakan bahwa kodifikasi norma hukum lainnya yang sama umum-generalisnya, yakni KUHD, KUHPerdata, dan KUHP, adalah juga “Omnibus Law”.

Bila KUHPerdata ialah “Omnibus Law”, sama artinya menjadi mubazir pengaturan norma hukum dalam Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dan lain sebagaimnya, karena semua itu telah terdapat pengaturannya secara umum-generalis dalam kodifikasi KUHPerdata. Baiklah, bila ada diantara Sarjana Hukum yang berpendirian bahwa berkat keberlakuan asas “Lex Posterior Derogat Legi Priori”, maka yang berlaku ialah bukan KUHPerdata (terbit dua abad yang lampau!), namun Undang-Undang Perkawinan, Pokok-pokok Agraria, Hak Tanggungan, dsb. Namun, bagaimana bila kita berpaling pada asas “Lex Specialis Derogat Legi Generalis”, manakah yang berlaku?

Baiklah, bila ada diantara Anda yang berpendirian bahwa yang berlaku ialah asas yang disebutkan pertama, yaitu semata keberlakuan asas “Lex Posterior Derogat Legi Priori”, maka untuk itu pertanyaan dari penulis akan lebih berat lagi, yakni dalam skenario dengan ilustrasi sebagai berikut : Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria terbit tahun 1960, Undang-Undang tentang Perkawinan tahun 1974, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, dan kini pada saat ini juga, tahun 2021, KUHPerdata direvisi atau diganti dengan KUHPerdata terbaru versi terbitan tahun 2021, maka manakah yang berlaku? Karenanya, kita tidak dapat dibenarkan hanya memilih salah satu asas dan terjebak didalamnya, namun wajib kedua asas berjalan secara paralel serta simultan.

Kini, kita beralih pada KUHP, dengan nasib yang tidak jauh berbeda dengan blunder yang tercipta dalam praktik KUHPerdata. KUHP, terbit dua abad yang lampau. Kini, tepatnya beberapa dekade yang lampau, telah terdapat dan terbit Undang-Undang terkait norma pemidanaan yang sifatnya lebih spesifik, yakni Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang Pornograf!, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka Undang-Undang manakah yang berlaku, atau lebih tepatnya ialah, asas manakah yang berlaku? Lihat, isu hukum telah bergeser, dari sebelumnya “Undang-Undang manakah yang berlaku”, akibat terbitnya konsep “Omnibus Law”, isu hukum demikian kemudian justru bergeser menjadi seteru konflik serta pergesekan antara dua asas ilmu peraturan perundang-undangan yang sebelumnya “rukun-rukun saja berjalan secara berdampingan”. Berkat “Omnibus Law”.

Sekali lagi, kita perlu konsisten (konsistensi merupakan “harga mati’ dalam ilmu peraturan perundang-undangan yang sifatnya tidak lagi dapat ditawar-tawar). Bila kita memakai perspektif “Lex Posterior Derogat Legi Priori”, maka tentulah Undang-Undang terbaru yang berlaku, tidak perduli manakah yang sifatnya lebih spesifik-khusus dan manakah Undang-Undang yang sifatnya lebih umum-general. Andaikan saja memang sesederhana itu, meski bayarannya ialah bila KUHP direvisi sementara Undang-Undang Tipikor terbit lama sebelumnya, maka bisa jadi Undang-Undang Tipikor menjadi “tenggelam” keberluan norma hukumnya—“ambivalensi” dalam norma hukum.

Bila peraturan perundang-undangan sifatnya rigid, maka tidak menjadi masalah, setidaknya dalam waktu dekat. Namun ketika lewat setelah masa kini, Undang-Undang tetap saja kodratnya ialah liquid, cepat atau lambat akan diubah dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, terbitlah KUHP versi terbaru, yakni terbitan tahun saat kini juga. Kembali kepada pertanyaan semula, norma hukum dalam KUHP ataukah norma hukum pidana dalam UU ITE, UU Tipikor, UU Perlindungan Anak, yang berlaku secara efektif secara ilmu peraturan perundang-undangan untuk diimplementasikan dalam realita praktik di pengadilan oleh para kalangan hakim pemutus perkara maupun oleh para penyidik Kepolisian dan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan?

Sementara itu, bila kita beralih dan berpaling pada asas “Lex Specialis Derogat Legi Generalis” akibat tidak puas terhadap tiadanya kepastian hukum yang ditawarkan oleh asas hukum yang disinggung sebelumnya, maka menjadi jelas, bahwa sekalipun KUHP kemudian direvisi dan diterbitkan versi terbaru tahun ini juga, tetap yang berlaku ialah Undang-Undang yang lebih spesifik sekalipun diterbitkan satu atau dua dekade yang lampau, yang karenanya juga menjadi justifikasi tak terbantahkan bahwa “Omnibus Law” tidak lain tidak bukan ialah “Undang-Undang OMONG KOSONG”. Sayangnya, dan patut kita sayangkan, berbagai asas ilmu peraturan perundang-undangan demikian, sifatnya sebatas asas hukum yang “tidak tertulis”, karenanya daya ikatnya hanya persuasif saja tidak imperatif, yang tidak lain sumber pemicu ketidak-pastian dan ketidak-seragaman praktik hukum.

Mengapa juga, para pembentuk Undang-Undang di parlemen maupun di Lembaga Eksekutif yang memprakarsai dan mempromosikan Undang-Undang “Omnibus Law”, tidak melihat maupun menyadari bahaya laten yang tersembunyi dibalik segala ambiguitas dibalik konsep “Omnibus Law”? Untuk saat kini, mungkin belum ada gejala ataupun riak-riak masalah yang cukup berarti, karena Undang-Undang “spesialis” lainnya masih belum ada revisi perubahan. Namun, mau sampai kapan, kita membekukan berbagai Undang-Undang spesifik demikian untuk tidak direvisi dengan yang baru?

Bagaimana jika kelak, terjadi perubahan ataupun revisi terhadap Undang-Undang yang norma hukumnya telah diatur dalam “Omnibus Law”, norma hukum pada Undang-Undang manakah yang berlaku, yang mungkin lebih tepatnya ialah pertanyaan : Asas ilmu peraturan perundang-undangan manakah, yang berlaku, “Lex Specialis Derogat Legi Generalis” ataukah “Lex Posterior Derogat Legi Priori”? Ketika dua asas ilmu hukum saling berkonflik, maka itu sama artinya “mimpi” buruk, karena asas sangatlah abstrak, karenanya solusinya bisa jadi jauh lebih abstrak dan sukar dipahami banyak kalangan yang berlatar-belakang non-Sarjana Hukum.

Perdebatan yang tidak berkesudahan, menjadi polemik serta blunder yang sejatinya tidak perlu ada, bila kita taat terhadap asas ilmu peraturan perundang-undangan tanpa mencoba merusak tatanannya yang membutuhkan konsistensi sebagai “urat nadi”-nya. Sejatinya, secara falsafah ilmu peraturan perundang-undangan, konsepsi semacam “Omnibus Law”, ialah pada kodratnya mencoba memutar-balik waktu menuju era kodifikasi norma hukum dua abad yang lampau, saat pemerintah merancang serta menerbitkan aturan hukum dalam satu buah kitab norma hukum yang mengatur segala hal secara umum dan general—ketinggalan zaman, mindset usang yang dibangkitkan kembali pada era modern, salah waktu dan tidak pada tempatnya.

Sekalipun, sejatinya konsep yang hendak mengkodifikasi norma hukum layaknya “Omnibus Law”, ialah konsep usang yang sudah ditinggalkan zaman dan sama sekali BUKANLAH konsep baru—seolah-olah pemerintah hendak memutar-balik waktu menuju zaman pembuatan KUHP, KUHD, dan KUHPerdata, dua abad yang lampau, ketika peraturan perundang-undangan masih sangat sederhana dan minim, tidak menyerupai “rimba hukum belantara” seperti dewasa ini.

Zaman telah berubah, namun ternyata mental para penguasa dan penyusun kebijakan kita di republik ini, masih sangat terbelakang serta “ketinggalan zaman”, dan kita selaku warga dan rakyat yang harus “membayar”-nya, bayaran mahal bernama ambiguitas penafsiran norma hukum yang penuh ketidak-pastian disamping blunder polemik tidak berkesudahan yang meletihkan dan menguras mental serta emosi maupun energi. Bila pemerintah taat asas, mengapa “kodifikasi parsial terbuka” tidak direvisi secara satu per satu, merevisi Undang-Undang Koperasi, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Perseroan Terbatas, agar lebih fokus, lebih holistik, lebih akuntabel, serta lebih transparan, alih “Sapu Jagat”?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.