Apakah Berhasil Merugikan Orang Lain adalah Keuntungan?

ARTIKEL HUKUM

Apakah Berhasil Melakukan Kejahatan merupakan sebuah Keberuntungan bagi Pelakunya? Apakah merupakan Beruntung, Selalu Berhasil Merampas Hak-Hak Milik Orang Lain? Apakah Untung, bila Korban Ternyata Tidak Berdaya, Ahimsa, Tidak Melakukan Perlawanan, Tidak Membalas, Tidak Sadar Diperdaya, dan Tidak Menuntut Ganti-Kerugian?

Entah apa yang terjadi di dalam otak (jika memang ada “otak” di dalam tempurung kepala) masyarakat Indonesia yang notabene mengaku ber-Tuhan dan serba menampilkan sosok “agamais” (klaim bangsa ber-SQ tinggi), ber-delusi ria bahwa seolah-olah dengan berhasil mengambil keuntungan dengan merugikan orang lain, menipu orang lain, menyakiti orang lain, merampas hak-hak orang lain, melukai orang lain, hingga merampok nasi dari piring milik orang lain, adalah sebuah keberuntungan—menanam benih Karma Buruk bagi sendiri dengan cara menyakiti ataupun merugikan orang lain, adalah sebuah “keuntungan” dan “keberuntungan”, bahkan membanggakannya seolah sebagai suatu prestasi?

Masif kita jumpai dengan mata-kepala sendiri atau lewat pemberitaan, ketika harga cabai membumbung tinggi maka para pedagang cabai mengecat warna merah kepada cabai yang masih bewarna hijau, pedagang ayam yang mewarnai pewarna tekstil agar kulit ayam berwarna kuning seolah-olah ayam yang mengandung minyak, pedagang kelapa yang menjual air kelapa palsu sekalipun konsumen membayar harga air kelapa butiran, buah-buahan yang disuntikkan pemanis, beras yang diberikan parfum dan pemutih agar tampak seperti beras bermutu tinggi, daging “gelondongan” hasil penggelembungan dengan air, sayur-mayur yang alih-alih menyehatkan dikonsumsi pihak konsumen justru penuh dan jenuh oleh karsinogenik pestisida berbahaya pemicu kanker, tahu berpengawet mayat, ikan yang diberikan “bumbu” pengawet beracun, pedagang madu yang sama sekali tanpa kandungan madu yang hanya mengandung fruktosa dan glukosa yang dapat mencelakai konsumennya yang menderita diabetes (bermaksud hendak sehat dengan menghindari gula, justru menjadi celaka dengan mengkonsumsi “madu” palsu), penjual yang mencurangi berat pada timbangan, menjual kembali obat-obatan yang telah kadaluarsa bahkan obat palsu, menjual “obat-obatan” terlarang yang alih-alih mengobati namun menghancurkan, menjerumuskan, dan merusak, maupun beragam modus penipuan atau kecurangan lainnya yang tidak akan habis disebutkan satu per satu dalam artikel ini.

Berhasil menipu konsumen dan mengambil keuntungan dengan cara praktik-praktik kecurangan dan manipulasi demikian, apakah disebut sebagai sebuah “keberuntungan”? Mengapa yang dicari serta dikejar-kejar oleh kalangan pedagang demikian, ialah “keuntungan” dengan cara menipu, mengecoh, merugikan, serta bahkan merusak serta menyakiti kesehatan konsumennya yang telah membayar dan diperdaya?

Membalas “air susu” (diberikan kepercayaan serta uang) dengan merusak, penipuan, menyakiti, dan merugikan. Bukan hanya sekadar merugikan keuangan milik konsumennya, namun juga merusak dan menghancurkan kesehatan konsumennya, suatu sikap yang sangat tidak bertanggung-jawab, disamping tercela dan lebih jahat dari sekadar praktik penipuan maupun pencurian yang hanya sekadar merugikan faktor keuangan.

Bangsa “agamais” selalu sesumbar, bahwa rezeki bersumber dari Tuhan, meminta kepada Tuhan, diberikan oleh Tuhan, dimana Tuhan yang menentukan dan mendistribusikannya sesuai kehendak, rencana, dan seizin Tuhan. Menjadi mengherankan, ketika praktik dalam realita di lapangan justru secara masif menampilkan corak wajah yang berkebalikan dari sesumbar sang bangsa “agamais”, yakni seribu satu cara modus penipuan dilakukan untuk mengecoh konsumen, dalam rangka mengambil keuntungan dengan cara merugikan konsumennya sendiri—sama sekali tidak bersikap selayaknya “simbiosis mutualisme”, saling menerima dan saling memberi (asas resiprositas), namun hanya tahu dan pandai untuk mengambil, merampas, dan merampok kesehatan maupun keuangan milik orang lain yang memberi mereka kepercayaan dengan menjadi konsumen mereka.

Kreatif dan pandai dalam kelicikan dan tipu-muslihat, kepandaian serta kreativits yang tidak sehat disamping merusak serta berbahaya bagi orang lain, alih-alih mengalihkan sumber daya kreativitas yang mereka miliki untuk hal-hal yang lebih positif. Menyerupai seseorang “pemalas”, mereka memiliki energi namun kikir dalam menggunakannya. Orang-orang yang pandai menipu dan menyusun modus tipu-muslihat, sejatinya ialah orang-orang yang memiliki sumber daya berupa pandai, cerdik, serta kreatif sehingga mampu menyusun siasat licik-picik dalam rangka memperdaya dan memanipulasi hingga eksploitasi korbannya yang terjebak bahkan terperangkap.

Mungkin, di mata bangsa “agamais” bernama Indonesia ini, adalah rugi atau sebentuk kerugian, bila tidak menjadi seorang pendosa yang berbuat dosa, karena sama artinya menjadi mubazir mekanisme curang bermental korup yang bernama “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa”. Itu barulah contoh ilustrasi mental kalangan pedagang kita di pasar tradisional, orang-orang jelata di “akar rumput”, dimana bahasan kita belum menyentuh kalangan elit yang tidak kalah korupnya, yang tampaknya tidak akan penulis  ulas agar para pembaca tidak muak dan mual mendapati wajah sejati Bangsa Indonesia.

Sejatinya, dalam lingkup tatanan sosial kemasyarakatan kita lainnya, dimana dan kapan pun itu dalam lingkup teritori Indonesia, apapun latar-belakang etnik, suku, tingkat pendidikan, warna kulit, gender, umur (preman cilik yang gemar main kekerasan dan pengeroyokan sudah “kenyang” penulis hadapi tatkala masih bocah hidup di Indonesia), kita dapat menemukan wajah praktik yang serupa, secara masif, seolah-olah “menggali lubang kubur”, semakin dalam menggalinya bila perlu, bagi dirinya sendiri, adalah sebentuk keuntungan dan keberuntungan bila berhasil menggali semakin dalam lubang kubur bagi dirinya sendiri. Bila menyakiti orang lain disebut sebagai “untung” dan cerdas karena berhasil menyakiti korban, maka menyakiti dan merugikan diri sendiri dengan “menggali lubang kubur” untuk diri sendiri bukankah itu disebut sebagai sebentuk kebodohan disamping kekonyolan mentalitas?

Sikap-sikap seperti “malu berbuat jahat” (hiri) ataupun “takut berbuat jahat” (otapa) sebagaimana menjadi prinsip paling utama Buddhisme, jauh dari wajah praktik bangsa “agamais” di Indonesia, yang setiap harinya selalu menyebut-nyebut, membahanakan, dan memuliakan nama Tuhan. Bahkan mungkin Tuhan (yang justru) merasa malu, mendapati manusia-manusia yang mengaku sebagai umat pengikut dari sang Tuhan. Memalukan saja, mencoreng nama Tuhan. Dengan bersikap mulia menyerupai seorang “Tuhanis”, sudah merupakan cara paling tulus dan konkret untuk menghormati nama Tuhan—menyerupai seorang anak memberi kehormatan berbakti kepada orangtua yang telah melahirkannya ke dunia ini, dengan menjadi manusia yang beradab dan “humanis”, alih-alih menjadi anak yang hanya pandai bertutur-kata manis kepada orangtuanya (alias “lip service”, yang mana semua orang pun mampu untuk itu dan “apalah juga susahnya?”).

Dalam Buddhisme, seseorang yang disebut beruntung ketika atau bilamana dirinya selalu gagal melakukan kejahatan, senantiasa gagal merugikan ataupun menyakiti orang lain. Adalah sebaliknya, merupakan kalangan penjahat yang paling merugi alias paling tidak beruntung, yaitu seorang penjahat yang selalu mudah dan berhasil dengan lancar melancarkan aksi kejahatannya, dengan merugikan, melukai, ataupun menyakiti orang lain—bagaikan memacu kendaraan sport berkecepatan tinggi di jalan “bebas hambatan” dengan pedal gas akselerasi berkecepatan tinggi, menuju ke NERAKA.

Perspektif demikian semata karena dalam Buddhistik, prinsip utama yang berlaku ialah sebuah hukum yang bernama Hukum Karma, dimana menanam kebaikan maka akan menuai kebaikan, dan sebaliknya, menanam keburukan hanya akan dapat menuai keburukan. Tidak menanam benih kebaikan, maka tiada kebaikan untuk dapat dipetik. Dengan demikian, tidak akan ada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini, dimana kita belajar untuk menjadi manusia serta individu yang bertanggung-jawab terhadap diri kita sendiri serta terhadap orang lain.

Tidak ingin repot-repot menanam Karma Baik apapun, namun mengharap memetik hal baik atau bahkan meminta langit memberikan dan menjatuhkan “hadiah” bernama “pemberian” buah manis kepada sang “pemalas” yang hanya mengetahui “meminta, mengambil, serta mengemis”, tanpa pernah bersedia menyingsingkan lengan baju ataupn merepotkan diri untuk menanam benih Karma Baik untuk dapat dipetik dikemudian hari. Itulah yang disebut sebagai, “mental PENGEMIS”.

Rajin menanam Karma Buruk, namun mengharap tidak memetik hal buruk apapun atau bahkan meminta langit agar menghapus dan menebus segala kejahatan dan dosa yang pernah ditanam dan diperbuat oleh sang pelaku, yang hanya pandai “mencuci dosa”, “mencuci tangan” dari tanggung-jawabnya terhadap para korbannya, lari dari tanggung-jawab dengan berkelit dan berkilah dari konsekuensi atas perbuatannya sendiri, menuntut membuat “aksi buruk” namun menghendaki tanpa “reaksi (yang) buruk”, bagaikan mengimpikan apa yang telah menjadi bagian dari sejarah dapat benar-benar dihapuskan catatan dalam lembaran sejarah yang telah ditoreh olehnya sendiri di masa lampau, mencurangi hidup dan kehidupan, seolah-olah langit atau “Tuhan” akan bersikap diskriminatif terhadap hak-hak dan keadilan bagi para korban sang pelaku kejahatan. Itulah yang disebut sebagai, “mental KORUP”.

Cukup dengan berbekal logika yang paling mendasar dari seorang dewasa yang mampu berpikir dan bernalar dengan rasio serta “akal sehat milik orang sehat”, alih-alih “akal sakit milik orang sakit” yang tidak mampu dan gagal untuk berpikir secara logis, adalah mustahil berbuat buruk namun mengharap memetik hal yang tidak buruk. Menanam keburukan, maka diri sang penanam (pelaku) hanya berhak untuk mengharap hal buruk untuk berbuah dan hanya akan memetik hal yang buruk. Entah dan mengapa dan bagaimana, bangsa “agamais” bernama Bangsa Indonesia ini gagal total untuk memiliki logika paling mendasar dari bangsa beradab, yakni prinsip kesetimpalan—terkecuali, kita mengakui bahwa bangsa “agamais” Indonesia belumlah beradab, alias masih biadab.

Entah bagaimana dan mengapa, mengaku ber-Tuhan namun “tidak malu” dan juga bahkan “tidak takut” berbuat jahat dan menanam kejahatan, alias menjadi penjahat yang berdosa (pendosa). Semestinya, ketika seseorang menjadi umat beragama, beribadah dengan cara menjauhi diri dari segala jenis bentuk dosa, kejahatan, maupun perbuatan buruk tercela, itulah yang disebut jiwa ber-Ketuhanan, alias mencerminkan sikap-sikap “Tuhanis” yang agung nan suci-bersih-murni. Namun, bagaikan “standar ber-ganda”, ideologi penuh iming-iming bernama “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa” yang ditawarkan kepada umatnya atau dalam rangka “menjaring” umat (lebih tepatnya dalam rangka promosi yang entah kapan promosi itu akan berakhir sekalipun promosi yang jujur artinya hanya sesekali waktu), justru menjadi kontradiktif terhadap upaya untuk menekan dan mengerem laju “birahi-libido” umat manusia untuk tidak melampiaskan keserakahannya.

Ternyata, pengendalian diri berpusat pada keberanian diri untuk menanggung segala konsekuensi dari perbuatan kita sendiri, alih-alih mencoba “cuci tangan”, lempar tanggung-jawab kepada Tuhan, terlebih “cuci dosa” dengan kembali merugikan para korbannya yang selama ini telah terluka dan menderita kerugian namun masih juga keadilan atas hukuman bagi pelakunya dirampas dari sang korban. Sikap lengah dan abai akan timbul, ketika seseorang merasa perbuatan buruk dirinya tiada membawa konsekuensi ataupun mengandung bahaya dibaliknya, baik perbuatan buruk yang kecil maupun perbuatan buruk yang besar. Bagaimana bila sebaliknya, segala perbuatan baik sang umat yang dihapuskan?

Bila hakim di pengadilan, ternyata masih bisa lebih adil daripada Tuhan yang justru menghapus segala kejahatan dan dosa-dosa para umatnya, maka menjadi pertanyaan yang paling esensial disamping krusial untuk kita bahas dan pertanyakan ialah, masih adakah keadilan yang tersisa dari diri Tuhan maupun yang ditawarkan oleh ajarannya? Bila memang nasib korban selalu “merugi” baik di dunia maupun di akherat, bukankah itu artinya umat manusia yang suci dan bersih maupun yang bersikap kesatria (dengan berani bertanggung-jawab atas segala perbuatannya), harus melakukan pergerakan perlawanan terhadap diktatoriat rezim Tuhan yang justru lebih PRO terhadap para pelaku kejahatan yang berdosa (pendosa), alih-alih kepada korban kejahatan sang pendosa yang berbuat jahat?

Akan ada saat dan masanya, dimana gugatan para korban diajukan terhadap berbagai agama “samawi” yang selama ini bertopang pada iming-iming dogma perihal “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa” yang sangat mendiskreditkan harkat dan martabat para korban para pelaku kejahatan. Bagaikan kisah Hercules si anak manusia melawan Zeus, sang Tuhan penguasa langit dan bumi. Ada cara yang lebih mudah untuk memenangkan pertempuran melawan “Tuhan”, sebagai seorang anak manusia murni yang tidak memiliki kekuatan dewa layaknya Hercules sang “blasteran”.

Sejatinya, dengan tetap menjadi orang baik dan suci, yakni dengan tidak melakukan segala perbuatan tercela yang tidak patut dan tidak layak, disamping menghindari diri dari perbuatan-perbuatan tidak etis serta tidak berperikemanusiaan terhadap pihak lain, yang artinya kita sama sekali tidak tertarik serta MENOLAK tegas untuk menyentuh tawaran iming-iming “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa” sebagaimana dogma agama “samawi”, maka sejatinya kita telah memenangkan pertempuran sengit melawan Tuhan dan para umat yang menjadi pasukannya (sekaligus agen pelaku kejahatan penyebar dosanya ke muka bumi secara meluas).

Dengan tidak masuk dalam lingkaran “dealy games” (bernama “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”) demikian, maka kita keluar sebagai pemenang kehidupan. Dengan menjadi orang suci, orang mulia, orang baik, ataupun dengan menjadi seorang kesatria yang siap bertanggung-jawab terhadap segala perbuatan kita, perbuatan baik ataupun buruk, besar ataupun kecil, maka kita telah MENOLAK tawaran Tuhan perihal “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, dan disaat menolak untuk tunduk terhadap rezim diktatoriat Tuhan yang kerap “pamer kekuasaan” lewat secara ancamannya, dimana pada saat itulah juga kita keluar sebagai pemenangnya dengan penuh kebanggaan, tidak menjadi “budak” yang menjual harga diri dan jiwa demi iming-iming “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”.

Orang suci dan kalangan kesatria, tidak membutuhkan sosok semacam Tuhan, terlebih iming-iming “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, karena orang-orang suci dan para kalangan kesatria sudah merupakan para pemenang kehidupan yang berhasil “menaklukkan diri mereka sendiri”. Apa kata dunia, bila orang-orang baik, orang-orang suci, maupun para ksatria justru dijebloskan oleh Tuhan ke dalam api “neraka jahanam” oleh Tuhan, sekalipun ketiga kaum tersebut ialah para kalangan mulia? Di sini, Tuhan justru memposisikan dirinya sendiri sebagai aposisi serta antagonis, di mata dunia yang menjadi saksi mata tragedi penjeblosan orang-orang baik, suci, dan kesatria ke dalam alam neraka oleh “diktator-otoriter” yang “sok kuasa” menjelma “raja (yang) lalim”.

Selamat datang di Indonesia, negeri dimana bangsanya menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”, negeri dimana seorang warga memberikan kepercayaan kepada warga lainnya sama artinya “cari mati sendiri”, negeri dimana segala kejahatan dilakukan dengan “mengatas-namakan Tuhan”, negeri dimana bahkan penjahat jahat yang berbuat kejahatan dan berbuat dosa (pendosa) merasa yakin seyakin serta sepenuh-penuhnya dan terjamin telah mendapat “tiket VIP menuju alam surga” lengkap dengan segala “hadiah adegan ‘SENSOR’” menunggu, negeri dimana seorang korban hanya dapat “gigit jari” yang bahkan dilarang untuk berteriak dan menjerit kesakitan ketika dilukai maupun dirugikan.

Entah mengapa dan bagaimana bisa terjadi, semestinya berbuat jahat, menjadi pendosa yang berdosa, serta melakukan perbuatan kejahatan seperti merugikan, melukai, dan menyakiti orang lain maupun makhluk hidup lainnya, ialah tindakan tercela yang patut disebut sebagai “aib memalukan” di mata Tuhan yang “Tuhanis”. Namun yang terjadi kemudian ialah praktik-praktik yang seolah mempromosikan serta mengkampanyekan “jangan takut berbuat dosa dan menjadi pendosa”, karena tersedia “kabar baik” berupa instrumen curang penuh kecurangan bernama ideologi iming-iming “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa” disertai janji-janji surgawi lainnya, dimana seolah-olah yang ditakutkan justru ialah menjadi korban kejahatan dari sang pendosa yang penuh dosa—yang mana celakanya, kesemua ini seolah-olah mengatas-namakan perintah atau kehendak Tuhan, alias keyakinan keagamaan yang alih-alih bermakud memuji dan memuliakan nama Tuhan, justru menista dan mencoreng nama Tuhan, alias “pujian yang menista”. Sama seperti kalangan koruptor yang berdelusi, meyakini bahwa uang hasil korupsi yang dihimpun olehnya secara korup, adalah pemberian dari Tuhan, pujian yang menista Tuhan.

Itulah ketika, umat manusia tidak lagi malu dan tidak lagi takut untuk berbuat kejahatan, melakukan perbuatan buruk, menjadi orang yang jahat, menimbun dan mengkoleksi dosa, menjelma pendosa yang berdosa, dimana yang merugi dan menderita kerugian seorang diri dalam konsepsi ataupun perspektif keyakinan keagamaan demikian, ialah korban dan melulu pihak korban dari abad ke abad semenjak agama “samawi” dikenal oleh umat manusia—yang tidak lain tidak bukan, berkat ideologi iming-iming “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, dimana bahkan sebelum agama “samawi” lahir, tiada satupun penjahat berdosa yang merasa yakin akan masuk surga, namun kini semua penjahat dapat cukup percaya diri serta tidur tenang karena yakin telah mendapat tiket masuk menuju surga sembari terus berbuat dosa serta sembari terus tanpa henti-hentinya menikmati manisnya “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa” dimana ritual kesehariannya ialah berbuat dosa yang bernama kejahatan tehadap korban yang seolah ditumbalkan sebagai tumbal ritual keagamaan, keyakinan keagamaan yang membutuhkan korban sebagai “tumbal”.

Kabar baiknya ialah, yang semestinya merasa iri dan “cemburu”, ialah mereka para pemeluk ideologi “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, alih-alih kaum pemeluk agama “Hukum Karma” (agama “samawi” Vs. agama “Hukum Karma”, keduanya saling bertolak-belakang, tidak saling selaras sejalan). Betapa tidak, ambil contoh kasus dimana para sesama umat seagama-sekeyakinan dimaksud saling menipu, saling membunuh, saling merampas hak, saling mencuri, saling menyakiti, saling melukai, saling merugikan, saling menikam, dan saling merampok satu sama lainnya, bagaikan kondisi di Timur Tengah maupun di Indonesia itu sendiri, dimana sekalipun para pelaku dan korbannya tidak jarang ialah umat seagama-sekeyakinan, lantas akibat praktik penegakan hukum negara yang tumpul dan koruptif-kolutif, sang pelaku dibebaskan dari vonis sanksi hukuman apapun.

Ketika sang sesama umat yang korban dari pelaku kejahatan yang sekeyakinan dengannya, justru dihapus segala dosa-dosanya pula oleh Tuhan serta masih pula digelar “karpet merah” menuju surga dan bergembira-ria di dalamnya, maka yang sejatinya paling merugi ialah sang korban yang merangkap sebagai umat agama “samawi”. Itulah sebabnya, para umat agama “samawi” tidak bisa tidak harus berbondong-bondong untuk menabung dan menimbun diri dengan dosa, berbuat jahat, melakukan perbuatan buruk, menjadi pendosa, menjelma manusia yang berdosa, tidak lain tidak bukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang menyerupai menyakiti, melukai, dan merugikan orang lain, tanpa perlu dihantui oleh rasa malu ataupun takut, menyerupai “hewanis”—karenanya pula, barulah menjadi “tabu” bila kita menjadi seorang korban, sehingga yang ada hanya dua pilihan, yakni : bila tidak (akan) dimakan maka memakan satu sama lainnya.

Kabar baik bagi para pemeluk Hukum Karma, bila hakim di pengadilan adalah hakim yang korup, polisi di kantor polisi ialah polisi yang terlibat kolusi dengan terlapor dan tersangka, jaksa di kejaksaan tampaknya memiliki kebiasaan yang sama dengan aparatur penegak hukum lainnya yang lebih PRO terhadap penjahat yang berdosa sehingga dakwaan disusun secara lemah, dimana kemudian sang pelaku kejahatan lolos dari jerat hukum atau bahkan “kebal” dan sama sekali tidak tersentuh oleh hukum, maka Hukum Karma yang akan mengambil-alih sebagai hakim-pengadil serta sekaligus sebagai algojo-eksekutornya secara setimpal—bahkan, menurut Abhidhamma Pitaka, perbuatan buruk yang sesaat sebelum dilakukan disertai kesenangan untuk melakukan perbuatan jahat, gembira saat melakukan kejahatan, dan tidak menyesali perbuatannya setelah melakukan kejahatan terhadap korbannya (bahkan tidak bertanggung-jawab terhadap luka ataupun kerugian yang diderita sang korban), maka buah Karma Buruk-nya (akusala vipaka) akan berlipat-ganda miliaran kali lipat, cepat atau lambat akan dipetik oleh sang pelaku yang menanamnya baik di kehidupan ini juga maupun di kehidupan-kehidupan yang akan datang.

Tidak ada yang benar-benar bisa kita curangi dalam kehidupan ini maupun terhadap hidup orang lainnya, itulah pesan yang dibawa dalam misi misionaris Sang Buddha. Bila Tuhan secara tidak adil mengintervensi Hukum Karma yang akan mengadili dan menghukum para pendosa tersebut, yang artinya bersikap tidak adil terhadap kalangan korban dengan memberikan “imunitas” kepada kalangan berdosa bernama “penghapusan dosa” dan “penebusan dosa”, maka penulis akan bersedia maju untuk menjadi wakil para korban dalam rangka “menggugat Surat Keputusan Tuhan” ke hadapan Mahkamah Semesta agar dibatalkan. Beranikah Tuhan, menanggung resiko digugat dan dipermalukan oleh gugatan para korban?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.