Orang dengan IQ Tinggi Cenderung Memiliki EQ dan SQ Tinggi, Orang ber-IQ Rendah Cenderung ber-EQ & SQ yang Juga Rendah

ARTIKEL HUKUM

Redefinisi Emotional Quotient, Kecerdasan Emosional Manusia yang Humanis

Seorang manusia yang humanis, sudah merupakan indikator nyata “Emotional Quotient” (EQ) yang tinggi. Seorang manusia yang mulia, sudah merupakan indikator konkret “Spiritual Quotient” (SQ) yang tinggi—mengingat seorang manusia memang sudah seharusnya tidak bersikap hewanis serta mengingat pula “memuliakan Ketuhanan ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia, bukan lewat sembah-sujud”. Sebaliknya, seorang penjahat yang pandai menipu, akan cenderung mengembangkan sejenis “EQ” yang berupa pandai bermulut manis, cerdik dalam menyusun modus operandi, cerdas dalam menyusun rangkaian kebohongan, terbiasa dalam membingkai kebohongan, terampil menyiasati perangkap dan jebakan, hingga teknik-teknik manipulasi dan eksploitatif terhadap orang-orang lainnya yang dijadikan korban. Karenanya, kita perlu mengidentifikasi “EQ” yang semacam apa?

EQ tanpa dipandu ataupun disertai SQ, jadilah para penipu yang pandai menyusun modus kejahatan serta aksi penipuan dan kelicikan-kelicikan lainnya, seorang maestro dalam menghipnotis lawan bicaranya. Seorang psikopat, salah satu contoh paling tipikal seseorang ber-EQ tinggi karena mampu memanipulasi isi pikiran orang lain lewat bahasa lisan maupun bahasa tubuh, dapat menarik kepercayaan masyarakat maupun calon korbannya, namun sangat miskin dalam segi SQ karena tidak malu dan tidak takut menyakiti korbannya hingga dapat bersifat sangat “haus darah” dibalik topeng yang dikenakannya dengan sangat apik.

Sebaliknya pula, SQ tanpa dibekali maupun didampingi IQ (Intelectual quotient), jadilah mereka para pelaku aksi ter0risme yang menganggap diri mereka sedang berjuang di jalan Tuhan, memuliakan nama Tuhan dengan cara menyakiti, melukai, hingga merampas nyawa hidup manusia lainnya dengan mengatas-namakan perintah Tuhan, tanpa mampu berpikir secara logis-humanis bahwa Tuhan yang memberikan semua kehidupan di muka bumi sehingga Tuhan tidak pernah membutuhkan tangan-tangan manusia yang “kerdil otaknya” untuk mencabut nyawa-nyawa tersebut. Karenanya, dapat kita simpulkan bahwa IQ tidak lain merupakan tulang-punggung (backbone) dari tingkat kematangan SQ maupun EQ. Tanpa IQ, maka tiada tingkat paling minimum SQ ataupun EQ yang mana keduanya bergantung pada keberadaan IQ sebagai pilar utamanya untuk bertumpu dan bergantung.

Para penjahat yang pandai “bersilat lidah” tidak terkecuali dan terutama para kalangan penipu, sangat terampil dan pandai dalam bersiasat sehingga para korbannya akan terkecoh, masuk dalam perangkap, menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan sang korban, hingga menyetir arah berpikir korbannya lewat rangkaian ucapan yang menyerupai “hipnotis” karena sangat “manis” serta amat meyakinkan, seolah-olah penuh perhatian, empati, serta kebaikan hati—namun ada “udang dibalik batu” berupa perangkap yang memang sejak awal dirancang secara rapih oleh sang pelaku. Para pembual, dikenal pula sebagai orang-orang yang paling mampu berbicara secara “manis”, ketimbang orang-orang yang semata hanya akan berbicara secara jujur “apa adanya” tanpa pemanis apapun.

Tentulah, manipulasi emosi dan pikiran, dibutuhkan sejenis tingkatan “Emotional Intelligence” tertentu, namun jenisnya ialah jahat, buruk, serta busuk. Itukah jenis EQ yang kita agung-agungkan? Masih banyak lagi jenis-jenis manusia dengan “EQ” yang negatif, seperti aksi para “penjilat”, para pendusta yang pandai menutupi serangkaian kebohongannya dengan kebohongan lainnya, hingga para manipulator-provokator pelaku propaganda ataupun yang mampu memutar-balik logika moril maupun pembentukan opini publik, berupa pemakaian bahasa-bahasa diplomatis yang penuh jebakan seperti yang kerap digunakan para kalangan pengacara dan birokrat.

Banyak kalangan yang memandang rendah fungsi serta peranan “Intelectual Intelligence” (IQ), seolah-olah IQ lebih rendah derajatnya daripada EQ maupun SQ. Pertanyaannya, dalam realita, adakah dapat atau pernah kita jumpai seseorang dengan IQ yang rendah ternyata memiliki EQ dan SQ yang tinggi? Faktanya, hanya orang-orang ber-IQ tinggi yang lebih cenderung memiliki EQ serta SQ yang tinggi. Orang-orang bodoh, akan senang menggali lubang kubur yang dalam bagi dirinya sendiri dengan melakukan perbuatan jahat ataupun perbuatan-perbuatan tercela seperti aksi penipuan—karenanya orang-orang dengan IQ rendah justru lebih cenderung memiliki SQ maupun EQ yang dangkal. Secara pribadi, penulis tidak pernah menemukan kasus-kasus yang bertentangan dengan hipotesis demikian di atas, justru kian mendapat afirmasi.

JIka seseorang tidak bisa marah akibat diperlakukan secara tidak patut oleh orang lain, itu namanya tidak punya empati terhadap diri sendiri, sehingga mengapa sikap-sikap “tanpa emosi” disebut sebagai ber-EQ tinggi? Jadi, menurut sebagian kalangan, hanyalah sebongkah mayat yang memiliki EQ paling tinggi, semata karena pandai mengendalikan emosinya hingga bahkan tanpa mimik wajah selain wajah yang diam membeku dan dingin. Orang-orang baik, terlebih yang penuh kesabaran, adalah “mangsa empuk” terutama ketika hidup di tengah-tengah bangsa yang belum beradab (masih biadab) seperti Bangsa Indonesia yang (konon) “agamais”. Ada terdapat perbedaan antara sikap bersabar dan “bodoh”. Siapa yang dapat menyatakan bahwa Sang Buddha memiliki IQ, EQ, maupun SQ yang rendah? Faktanya, Sang Buddha justru pernah bersabda, bahwa “Seseorang yang telah menjadi suci sekalipun, sesekali harus menampilkan gigi taringnya agar tidak menjadi korban perundungan.”

Justru, adalah merupakan kegagalan terbesar bagi seseorang, jika dirinya mencoba terlebih terobsesi untuk menyenangkan semua orang—dan pastilah akan gagal serta menjadi bumerang bagi kondisi psikologis maupun emosi dirinya sendiri. EQ, makna singkatnya ialah daya empati dan mengamati, kemampuan serta kemauan untuk bersimpati dan tidak suka melukai ataupun menyakiti fisik ataupun perasaan orang lain yang tidak bersalah, tidak terkecuali keselamatan dirinya sendiri. Mengutip sabda Sang Buddha : “Perbuatan baik artinya, tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri sendiri, serta tanpa menjelekkan diri kita sendiri.”

EQ tidak identik dengan “banyak bicara”, “banyak teman untuk berkumpul”, “sering hang-out”, namun lebih kepada kemampuan mengamati, mencermati, serta memahami apa itu kebaikan dan kebenaran dalam tatanan metafisika berupa perasaan, batin, serta pikiran orang lain tidak terkecuali batin dan perasaan diri kita sendiri. Jika EQ hendak kita identikkan atau sinonimkan dengan “banyak bicara”, “pandai bergaul”, “banyak teman”, “suka kumpul-kumpul dengan banyak orang”, maka semua koruptor dengan demikian tergolong sebagai orang-orang ber-EQ super tinggi—mengingat seluruh kalangan koruptor dikenal memiliki jaringan pertemanan atau jejaring relasi kolega dan rekanan yang sangat luas dan sangat luwes dalam bergaul sehingga disukai banyak orang, karenanya dapat terpilih menjadi ketua suatu lembaga negara, menjadi ketua partai politik, menjadi menteri, menjadi presiden, menjadi pejabat negara, menjadi ketua rukun warga, menjadi kepala desa, maupun menjadi kepala daerah. Sejarah mencatat, seluruh koruptor di Indonesia adalah orang-orang yang berlatar-belakang super “gaul”, dalam artian gemar bersosialisasi dan memiliki banyak sahabat serta jejaring relasi yang luas, disamping “luwes” dalam melakukan pendekatan pertemanan dan berkomunikasi.

Mereka, sangat pandai merebut simpatik publik lewat permainan semiotika maupun linguistik tingkat tinggi. Bahasa tubuh mereka pun sangat meyakinkan, penuh pesona, tampak seolah berwibawa, karismatik, ramah, penuh kehangatan, murah senyum, tebar kata-kata bijaksana, dan populer. Lihat kasus Mario Teguh, yang hampir dianggap sebagai seorang “nabi” dengan banyak pengikut dan penggemar, menjadi bak selebritis yang selalu ditunggu dan dielu-elukan oleh para penggemarnya, mampu bertutur-kata manis serta penuh kebijaksanaan dan kemuliaan kalimat dalam orasinya, namun ternyata barulah terungkap fakta bahwa dirinya memiliki anak dari hasil hubungan tubuh diluar pernikahan dengan seseorang yang bukan istrinya, bahkan menggugat anak kandungnya itu sendiri ketika sang anak meminta sang ayah untuk mengakuinya sebagai ayah dan anak.

Siapa yang tidak mengenal sosok hakim pada era klasik di Tiongkok yang sangat termasyur, bernama Judge Bao. Judge Bao dikenal sebagai sesosok hakim yang sangat pemarah serta emosional terhadap para penjahat yang melukai orang lain, karena Judge Bao mampu memahami perasaan korban. Apakah Judge Bao hendak kita stigma sebagai gagal mengendalikan dan mengontrol emosinya sendiri? Bersabar dan bermurah hati, bertutur-kata lembut, pertanyaannya yang relevan ialah : kepada siapa dahulu? Itulah pertanyaannya. Judge Bao sangat lembut dan baik hati terhadap para korban, namun sangat amat pemarah dan gemar membentak serta mencaci-maki kalangan orang-orang jahat.

Itulah yang disebut sebagai cerdas dalam lembut dan kasar pada tempatnya masing-masing yang sesuai. Manusia yang fleksibel bersikap luwes dalam menyesuaikan pendekatan diri dengan wadah yang ada. Terhadap anak yang tergolong bertipe “plegmatis”, memang sudah sewajarnya harus diberikan kata-kata keras dan tegas oleh orangtuanya. Seorang penjahat memang harus diperlakukan secara keras, agar tidak berbelit-belit dan mencoba bermain-main dengan hukum. Sementara itu, korban harus diperlakukan secara lembut agar mendapat perlindungan. Karenanya juga, Judge Bao merupakan cerminan paling ideal sosok dengan EQ yang sangat tinggi, dimana dirinya mampu memahami perasaan korban.

Orang Indonesia, sebaliknya, justru korban yang menjerit akan dipersalahkan sebagai “tidak sopan” atau sebagai “sudah gila”, sementara itu pelaku yang telah merugikan atau menyakiti korban justru tidak diberikan kritik pedas sehingga seolah dibela dan dibenarkan—alias celaan yang salah alamat. Kita pun perlu menjadi Judge Bao ataupun pengacara yang tangguh bagi diri kita sendiri, ketika diperlakukan secara tidak selayaknya dan tidak sepatutnya oleh pihak lain. Baik “Kecerdasan Interpersonal” maupun “Kecerdasan Intrapersonal”, keduanya secara teori kecerdasan tergolong bagian dari IQ—itulah fakta uniknya, karena kedua kecerdasan tersebut ternyata digolongkan sebagai IQ, bukan EQ. Karenanya, EQ masih merupakan komponen dari IQ, bukan dua jenis kecerdasan yang saling terpisah satu sama lain.

Orang-orang yang mampu merasa menyesal, malu dan takut berbuat jahat, tidak pernah mengganggu terlebih merugikan ataupun melukai orang lain, itulah yang disebut sebagai EQ yang bermutu tinggi. Sangat dermawan, suka menolong, berjiwa ksatria, merupakan ciri lain orang dengan EQ yang tinggi. Karenanya, EQ yang tinggi selalu mencerminkan SQ yang sama tingginya pula—yang karenanya pula, membuat garis pemisah antara EQ dan SQ menjadi tidak lagi relevan, mengingat antara keduanya ialah identik dan tidak terpisahkan satu sama lain, tidak terkecuali IQ.

Orang-orang ber-IQ tinggi, tidak pernah merasa perlu merugikan ataupun menyakiti orang lainnya untuk dapat melanjutkan hidup, seperti membuka tempat usaha ilegal di wilayah pemukiman padat penduduk, karena dirinya terlampau besar dan terlampau kreatif untuk menjebak diri dalam kegiatan usaha ilegal yang merugikan warganegara lainnya. Itulah sebabnya mengapa, orang-orang dengan IQ tinggi tidak akan pernah merugikan ataupun mengganggu warga lainnya, sebagaimana Sebuah peribahasa Belanda pernah menyebutkan: “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig”—yang bermakna, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia. Orang-orang bodoh menunggu ditegur, bahkan ditegur secara keras atas perbuatan buruk mereka yang merugikan warga lainnya. Sementara itu, orang-orang ber-IQ tinggi mampu berpikir sendiri, tanpa perlu menunggu datangnya teguran ataupun komplain dari pihak di luar dirinya.

Pernah terdapat sebuah komentar dari publik, sanksi vonis pemidanaan berupa hukuman “kebiri” bagi pelaku tindak pidana asusila, adalah hukuman yang berlebihan karena melakukan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur ialah hal “sepele” semata—tentu saja, dapat kita maklumi bahwa seluruh kalangan pelaku kejahatan selalu menyepelekan perasaan korban karena gagal dalam berempati maupun bersimpati pada perasaan korban, tidak terkecuali para penonton yang hanya pandai berkomentar namun miskin dalam nurani.

Menyepelekan perasaan korban adalah cerminan EQ yang buruk, sekalipun diri mereka yang gemar (menghakimi lewat penghakiman berupa) menyepelekan tersebut sekalipun memiliki banyak teman untuk berbincang lelucon jorok maupun guyonan-guyonan “tidak cerdas” yang tentunya sama-sama gemar menyepelekan perasaan orang lain atau bila perlu turut melecehkan orang lain (sesama “serigala” yang karnivora, pastilah dapat saling akur, kecuali terhadap kalangan “kelinci” sang herbivora yang mana justru akan menjadi mangsa para predator tersebut). Mereka dengan EQ tinggi akan menyadari bahwa perasaan dan trauma korban akan tetap melekat sebagai luka batin untuk seumur hidupnya, dimana luka batin tidak akan sembuh seiring berjalannya waktu, dimana pula yang paling memahami betul perasaan korban dan yang mengalami seluruh peristiwa dan kejadian ialah sang korban itu sendiri, bukan sang komentator yang hanya menjadi penonton atau bahkan menjadi bagian dari pelaku yang melukai ataupun merugikan dan menyakiti pihak korban. Karenanya pula, orang-orang ber-EQ tinggi tidak pernah merasa berhak untuk menghakimi perasaan seorang korban.

Kemampuan berkata jujur, adalah cerminan EQ yang tinggi, bukan mereka yang berbicara santun dan lembut penuh keadilan, namun ternyata kemudian tertangkap-tangan oleh aparatur penegak hukum karena aksi korupsi, sebagaimana perilaku para pejabat negara kita. “Sense of justice”, bukannya pandai bicara bermulut manis seperti penipu yang “ada maunya”, dan bila perlu mencaci-maki secara keras dan kasar terhadap para pelaku kejahatan untuk memberikan keadilan bagi perasaan korban yang terluka, seperti yang patut kita teladani dari sosok Judge Bao, merupakan salah satu cerminan lainnya dari realisasi EQ yang berkualitas tinggi. Tiada yang ber-IQ lebih “jongkok”, ketimbang seseorang komentator yang justru mendiskreditkan dan menghakimi perasaan seorang korban, alih-alih mengkritik pelaku yang telah berbuat jahat dan tercela—sebuah tudingan dan penghakiman yang “salah alamat”, juga merupakan cerminan IQ disamping SQ yang tumpul nan “tiarap”.

Sebagai penutup, pengalaman nyata pribadi penulis beberapa dekade lampau saat penulis masih berstatus sebagai seorang pelajar pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia, dapat menjadi ilustrasi konkret untuk memudahkan pemahaman para pembaca mengenai apa itu “Emotional Quotient”. Penulis yang merupakan seorang “introvert” tulen (“introvert” bukanlah gangguan terlebih kelainan mental, semata karena minoritas di Indonesia yang mayoritas penduduknya ialah “eksternal”), saat itu tidak punya banyak kawan bermain—lebih tepatnya minim teman sekolah yang memiliki minat yang sama dengan penulis, dimana penulis lebih berminat pada olahraga seni beladiri Kung Fu ketimbang olahraga yang lebih populer seperti bola basket maupun sepak bola. Pada suatu hari, seseorang teman satu kelas yang sedang bermain sepak bola di lapangan sekolah bersama teman-temannya, mengalami kecelakaan, terjatuh dan tulang tangannya patah.

Yang unik, sekalipun murid-murid lain yang bermain bola di lapangan tersebut mengetahui temannya terjatuh mengalami kecelakaan fatal berupa patah tulang tangan, nyatanya teman-teman bermainnya acuh tidak acuh dan tetap asyik menyibukkan diri dengan aktivitas bermain bola, dimana simpati hanya sebatas “gimmick” di mulut dengan berkata “turut prihatin”, namun tiada satupun dari mereka yang mengaku dan selama ini menjadi teman sepermainan, yang benar-benar tulus prihatin semisal dengan menemani serta mendampinginya menuju klinik sekolah. Alhasil, penulis yang selama ini tidak didekati olehnya sebagai teman sekelas yang dekat, yang justru mengamati kondisi dirinya dari kejauhan, mendekati, lalu menemani dan membawanya ke ruang klinik sekolah dalam kondisi pucat lemah dengan tangan yang bengkok patah.

Pada momen itulah, peristiwa tragis yang dialami teman sekelas penulis tersebut menjadi pengalaman menggugah, untuk memaksa penulis mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan “teman”, “rekan”, “sahabat”, atau istilah sejenis lainnya yang berkonotasi persahabatan, pertemanan, sosialiasi, pergaulan, dan lain sebagainya, dimana selama ini dirinya menghabiskan banyak waktu untuk bermain bersama teman-temannya, akan tetapi tiada satupun dari mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai “teman”, benar-benar hadir dan tampil ketika sahabatnya mengalami petaka besar seperti kecelakaan yang cukup maut : patah tangan. Mereka semua tetap dengan asyik pada kesibukannya bermain bola (seolah lebih penting dan lebih urgen daripada segera menyelamatkan teman sepermainannya yang tertimpa musibah fatal), tidak punya empati ataupun simpati terhadap seseorang yang mereka sebut sebagai “teman”—sekalipun adalah fakta bahwa lingkungan pergaulan dan sepermainan mereka adalah luas dan gemar bersosialisasi.

Kemampuan-kemampuan untuk mendengarkan, memahami, saling mengerti, bersikap baik, dan sikap-sikap kebajikan itu sendiri, merupakan cerminan dari “Emotional Quotient” yang tinggi. Bila kita sungguh-sungguh mencintai dan mengasihi sahabat kita, maka kita akan mendorong serta mengajak mereka hanya untuk melakukan perbuatan baik yang tidak menyakiti orang lain juga tidak menyaktii dirinya sendiri. Banyak “teman” yang mana mereka justru lebih cenderung menjerumuskan kita pada perilaku dan kebiasaan-kebiasaan negatif, maka itu sama artinya berteman dengan “iblis”.

Seorang “sahabat sejati”, adalah langka, terlebih untuk dapat berjodoh dan berteman dengan seorang “malaikat”! Jadilah seorang introvert ketika kita tidak menemukan teman yang sepadan atau yang lebih baik dari kita dari segi moralitas. Sebagaimana sabda Sang Buddha : “Berjalanlah seorang diri bila tidak menemukan teman seperjalanan yang sepadan.” Bila Sang Buddha adalah seorang introvert, maka mengapa Sang Buddha memiliki banyak murid dan penyikut, bahkan para makhluk dewata turut berlindung dan menaruh hormat kepada Sang Buddha?

Itulah sebabnya dan mengapa, orang dengan IQ tinggi cenderung punya EQ dan SQ juga tinggi—dimana prinsip yang sama berlaku sebaliknya, mereka dengan IQ yang rendah, cenderung (bahkan dapat dipastikan) memiliki SQ serta EQ yang sama rendahnya. Hipotesis demikian yang diusung untuk pertama kalinya oleh penulis, sudah sejak lama dapat kita amati serta temukan kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari dengan mata serta kepala kita sendiri. Namun entah mengapa, tidak banyak kalangan yang bersedia mengakui kebenaran demikian, dan masih saja mencoba mendiskreditkan peranan penting IQ yang ternyata sangat berkorelasi terhadap tingkat level EQ dan SQ seseorang individu.

Bersikap lembut terhadap mereka yang bersikap lembut terhadap kita, bersikap keras terhadap mereka yang bersikap keras terhadap kita, bersikap kasar terhadap mereka yang bersikap kasar terhadap kita, dan bersikap ramah serta santun terhadap mereka yang juga bersikap ramah serta santun terhadap kita, sudah merupakan cerminan “Emotional Quotient” yang menghargai emosi serta eksistensi diri kita sendiri, alih-alih bersikap serba baku monoton lunak dan manis terhadap siapapun yang bisa jadi sejak semula memiliki niat buruk terhadap diri kita. Orang-orang jahat, tidak pernah layak ataupun patut mendapat ujaran secara santun dan lembut, karena mereka yang akan “memakan” sang santun dan lembut.

Orang-orang diantara kita yang tidak mencoba mengendalikan depresi, frustasi, rasa tertekan, kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, dengan obat-obatan anti depresan, menghirup dan mencandu nikotin asap bakaran tembakau, meminum kafein pada kopi, tidak memakan coklat secara berlebihan, dan juga sama sekali tidak berminat untuk menyentuh obat bius untuk dapat tidur terlebih obat-obatan terlarang, setia pada satu pasangan hidup, sudah merupakan cerminan watak serta kepribadian yang terbukti unggul dari segi “Emotional Quotient”.

Bhikkhu Bhuripanno pernah berkata : “Semakin banyak orang berbicara, semakin cenderung berkata dusta atau berbicara secara penuh kebohongan.” Seseorang yang belum mencapai tataran kesucian Arahat, masih memiliki kekotoran batin baik tipis maupun tebal, karenanya semakin banyak berbicara maka semakin besar potensi ataupun peluang dirinya untuk berkata-kata secara tidak benar, secara tidak baik, serta secara tidak jujur.

Karenanya, bila seseorang yang mampu “banyak bicara” disebut sebagai ber-EQ tinggi, maka semua orang ber-EQ tinggi tersebut patut kita curigai atau kita duga sebagai orang-orang yang terampil menutupi kebohongan dirinya dengan cara banyak berbicara. Bukankah pepatah sudah pernah mengingatkan, “Silent is golden”? Sebuah anekdot klise, namun terkadang klise memang dibutuhkan, seperti halnya pepatah klasik yang kerap relevan, “Tong kosong, nyaring bunyinya”. Seperti halnya anekdot “Kabinet Kerja” alih-alih “Kabinet Banyak Bicara”, itulah yang dibutuhkan oleh seorang Kepala Negara.

Sebagai penutup ulasan, fakta berikut ini akan membuat para pembaca merenungkan dan tergelitik untuk mendefinisikan ulang segala apa yang selama ini yang sejatinya merupakan salah-kaprah menjelma suatu kelaziman yang entah mengapa jarang dipertanyakan oleh masyarakat umum yang bersikap “latah”, ialah betapa mengherankannya telah jutaan penduduk Indonesia yang membaca berbagai ulasan serta buah pemikiran hingga keberanian beropini dalam website yang diasuh oleh Konsultan Shietra ini, serta siapa juga warga di Indonesia yang belum pernah mengenal nama Konsultan Shietra, sekalipun ternyata Konsultan Shietra adalah seseorang yang tergolong “introvert tulen”. Menjadi bukti nyata, kalangan “introvert” tidak jarang mampu menjadi sosok yang lebih “tersohor” dan dikagumi daripada kalangan “ekstrovert tulen” yang selama ini sibuk menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi dan berkumpul-kumpul untuk “banyak omong-kosong” (hang out).

Tidak sedikit kalangan masyarakat kita yang (kebetulan) ber-IQ dangkal, mendiskreditkan orang-orang yang tergolong “introvert” karena kurang menyukai kegiatan membuang-buang waktu (wasting time) untuk “bergaul”, karena tidak mengoleksi banyak teman (sekalipun sahabat sejati ialah langka), karena tidak suka untuk terlibat dalam lelucon maupun candaan yang tidak cerdas ataupun omong-kosong lainnya yang tidak produktif, tidak tertarik pada kegiatan kumpul-kumpul yang kurang positif. Tidak jarang pula, masyarakat umum kita demikian gemar dan mudahnya menghakimi orang-orang “introvert” demikian sebagai “tidak normal”. Mengapa juga, yang disebut sebagai “normal” ialah orang-orang yang “ekstrovert”? Mengapa juga EQ disinonimkan atau disaling-hubungkan dengan “ekstrovert”, meski tiada relevansinya?

Mari kita buat komparisi sederhana, sebagai berikut. Orang-orang jenius hanya dimonopoli oleh kalangan orang yang tergolong “introvert”. Orang-orang dengan tipe pribadi “deep thinker” (pemikir yang mendalam) dimonopoli pula oleh kalangan orang dengan jenis kepribadian yang tergolong “introvert”. Sebaliknya, orang-orang yang diberitakan meninggal akibat “bunuh diri” karena menjadi korban “cyber bullying”, selalu didominasi dan dimonopoli oleh kalangan orang yang tergolong “ekstrovert”. Begitu pula orang-orang yang merasa menderita akibat keberlakuan kebijakan “lock down” pada saat terjadi wabah yang ditimbulkan oleh pandemik virus menular mematikan antar manusia, selalu dimonopoli oleh orang-orang bertipe kepribadian “ekstrovert”.

Karenanya pula, tiada ada pernah ada alasan bagi orang-orang yang tergolong “introvert” untuk merasa iri-hati ataupun cemburu terhadap orang-orang “ekstrovert” yang tidak jarang demikian “norak”, “tong kosong nyaring bunyinya”, serta “ber-IQ rendah” sekalipun memiliki kebanggaan diri delusif yang “konyol” oleh sebab tidak malu menjadi dan mengumandangkan kepada dunia sekitarnya sebagai seorang “tong kosong”. Mengapa juga, yang disebut sebagai “normal” ialah kalangan berjenis “ekstrovert” yang senantiasa “hidup dengan membutuhkan banyak syarat” dalam hidupnya?

Kalangan “ekstrovert”, kerap mendiskreditkan kalangan “introvert” sebagai orang-orang yang tidak “normal”, semata karena masyarakat yang menjadi penduduk Republik Indonesia secara mayoritas didominasi orang-orang bertipe “ekstrovert”, sekaligus mencerminkan kedangkalan daya berpikir mereka mengenai psikologi yang paling mendasar perihal manusia mengenai perbedaan antara kepribadian “introvert Vs. ekstrovert” yang masing-masing memang memiliki dunia yang saling berbeda.

Itulah sebabnya, tidak menjadi mengherankan bila orang-orang jenius adalah makhluk yang langka di republik ini—atau, menutup kecermelangan potensi dirinya secara “low profile” agar tidak berpeluang di-diskreditkan oleh masyarakat “tong kosong nyaring bunyinya” dengan menjuluki sebagai pribadi yang tidak “normal”, semata karena berkepribadian “introvert”. Bila yang disebut sebagai “normal” ialah memang semata tipe kepribadian “ekstrovert”, tetap saja penulis lebih memilih untuk tetap menjadi seorang “introvert” sekalipun diberikan pilihan untuk menjadi salah satu diantara sekian banyak para “tong kosong” demikian yang demikian membanggakan betapa “nyaring” bunyi suara mereka yang lebih banyak didominasi oleh perbincangan “sampah” yang dangkal sifatnya.

Sudah begitu banyak ucapan-ucapan ataupun tulisan-tulisan karya lisan maupun karya tulis para “ekstrovert” di luar sana dalam lautan konten dunia maya maupun pada ruang-ruang publik, namun mengapa juga Anda maupun para pembaca lainnya lebih memilih untuk berkomunikasi dengan website yang dikelola oleh seorang “introvert tulen” ini? Tanya mengapa? Kualitas ucapan, bukan kuantitas ucapan maupun buah pikiran dan pendapat.

Lagu yang terindah ialah, keheningan—yang mana bagi sebagian besar kalangan “ekstrovert”, keheningan ialah “neraka”, dan hingar-bingar sebagai “surga”. Tetap saja, menjadi pertanyaan besar, mengapa juga Anda dan para pembaca lainnya yang kemungkinan besar (berdasarkan teori peluang) tergolong “ekstrovert”, kembali lagi dan lagi kembali membaca buah pemikiran Konsultan Shietra yang notabene seorang “introvert tulen”? Mengapa tidak memilih untuk berdiskusi dengan para sahabat-sahabat “tong kosong” Anda yang sesama “ekstrovert”?

Menurut Anda, di atau pada tangan siapakah, nasib Anda dipertaruhkan dan ditentukan, seorang hakim yang “ekstrovert” ataukah seorang hakim yang “introvert”? Sekali lagi, orang-orang yang cocok menjabat kewenangan sebagai seorang hakim, penyusun kebijakan dan regulasi (regulator), terapis, mediator, konsultan, ialah orang bertipe “deep thinker”, dimana karenanya menjadi sebuah kabar buruk bagi para “ekstrovert” ialah, orang-orang bertipe “deep thinker” dimonopoli oleh orang-orang berjenis kepribadian “introvert”. Beranikah Anda bila nasib Anda dipertaruhkan ke dalam tangan seorang “ekstrovert”?

Dunia ini mungkin memang kurang menggembirakan bila tanpa adanya orang-orang “ekstrovert” sebagai “penggembira” atau sebagai teman untuk bergembira. Namun, dunia ataupun sebuah negara ataupun rumah-tangga sebagai lingkup terkecil ini tidak akan pernah bisa berjalan sebagaimana mestinya tanpa peran seorang “introvert” yang selama ini selalu diberi stigma oleh masyarakat sebagai “orang aneh” atau “orang tidak normal”, oleh para kalangan “ekstrovert” yang selama ini dikenal sangat gemar menghakimi kaum “introvert” dan sukar menjaga ucapan mulutnya yang sangat produktif mencetak kata-kata “sampah” sehingga menjelma “inflasi kata-kata sampah”.

Faktanya, dunia ini tidak pernah kekurangan dan sudah terlampau banyak kata-kata “omong kosong”, berita “omong kosong”, gosip “omong kosong”, senda-gurau “omong kosong”, pendapat “omong kosong”, dan berbagai “omong kosong” lainnya. Seolah-olah “tong sampah” kita belum pernah dan tidak sedang penuh, meski senyatanya telah demikian “overload”. Produktif dalam “omong kosong”, disebut sebagai ber-IQ, EQ, serta SQ yang tinggi? Pengertian atau definisi yang keliru, akan mengantarkan kita kepada muara yang sudah jelas, kelirumologi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.