Norma Hukum RETROAKTIF Vs. NONRETROAKTIF, Berlaku Tidak Surut Namun Juga Berlaku Surut

LEGAL OPINION

Standar Ganda Asas NON RETROAKTIF, Asas yang Banci, Bias, dan Tidak Pasti Berlaku Surut atau Tidaknya

Question: Maksudnya apa, ada istilah non-retroaktif dalam tulisan-tulisan teks ilmu hukum?

Brief Answer: “Retroaktif” memiliki makna berlaku-surut keberlakuan norma hukumnya, sehingga asas “non-retroaktif” menjadi bermakna sebagai norma hukum yang dibentuk otoritas negara tidak dapat berlaku secara surut ke belakang sifat keberlakuannya, namun progresif ke masa kini dan ke masa depan sepanjang norma hukum tersebut belum diubah atau diganti dengan norma hukum yang baru.

Komplomenter dengan istilah di atas, dalam terminologi hukum dikenal pula istilah “norma hukum positif”, yakni norma hukum yang saat kini berlaku (current moment), yang bisa jadi berbeda dari masa ke masa, yang karenanya perlu disesuaikan dengan kapan suatu peristiwa hukum terjadi dan “norma hukum positif” yang berlaku pada masa peristiwa hukum demikian terjadi.

Karena itulah, norma hukum ternyata memiliki “Syarat dan Ketentuan”-nya sendiri pula. Namun demikian, menurut pendapat SHIETRA & PARTNERS, sifat keberlakuan asas “non-retroaktif” hanya berlaku secara tegas dan konsisten dalam konteks norma hukum pidana, tidak sepenuhnya dapat kita jumpai pada praktik hukum perdata, administrasi, maupun rezim perizinan, yang tampaknya masih menyisakan ragam “standar berganda”, sebagaimana akan kita bahas pada bagian di bawah ini kemelut serta bahaya dibaliknya, tanpa pernah banyak pihak sadari.

PEMBAHASAN:

Sebagai contoh, sekadar untuk ilustrasi dalam rangka memudahkan pemahaman namun tidak mencerminkan norma hukum yang saat kini sedang berlaku, sebuah pasangan suami-istri menikah pada tahun 2000, lalu pada tahun 2020 terbitlah peraturan baru dibidang hukum perkawinan yang menyatakan bahwa seorang suami yang menggugat cerai istrinya, maka sang istri tidak berhak untuk menuntut sang suami atas pemberian nafkah paska perceraian bila sang istri ternyata berstatus seorang wanita karir alias bekerja dan memiliki pekerjaannya sendiri, sementara itu peraturan yang berlaku sebelum tahun 2020 tidak membuat pembeda semacam itu dimana seorang mantan istri tetap dapat menuntut diberikan tunjangan nafkah oleh mantan suaminya.

Pertanyaannya, aturan manakah yang akan berlaku bila seandainya sang pasangan suami-istri betul-betul mengalami tragedi putusnya perkawinan akibat gugat-menggugat, Hakim yang memeriksa dan memutus perkara akan memakai regulasi terkait perkawinan yang baru terbit pada tahun 2020 ataukah tetap memakai dasar hukum berupa regulasi yang berlaku sebelum tahun 2020, mengingat status perkawinan telah terjadi dan berlangsung sejak tahun 2000?

Semisal dalam rezim hukum penanaman modal asing, terdapat “daftar negatif investasi” dimana untuk bidang usaha rekayasa genetika, pihak penanam modal asing boleh masuk dan berinvestasi di wilayah teritori Indonesia tanpa diwajibkan bermitra dengan pengusaha lokal. Saat pihak penanam modal asing telah berinvestasi serta beroperasi di Indonesia dalam skala penuh, mendadak terbit regulasi terbaru, bagai “jebakan” atau “perangkap”, yang mewajibkan sang penanam modal asing untuk bermitra dengan pengusaha lokal, maka apakah sang penanam modal asing tetap bersikukuh berpegang dan berpendirian pada regulasi pada awal ia masuk berinvestasi di Indonesia, ataukah harus tunduk dan patuh menyesuaikan bisnisnya serta beradabtasi dengan regulasi terbaru?

Dalam rezim hukum pertanahan, disebutkan bahwa sertifikat hak atas tanah menjadi memiliki kekuatan pembuktian formil “kuat serta mutlak sempurna” setelah memiliki umur setidaknya lima tahun sejak sertifikat hak atas tanah tersebut pertama kali diterbitkan oleh Kantor Pertanahan setempat. Katakanlah Anda memiliki sertifikat hak atas tanah yang terbit pada tahun 2020, namun saat menjelang masuk tahun 2025, pada tahun 2024 pemerintah menerbitkan regulasi terbaru dibidang agraria pertanahan, bahwa sertifikat hak atas tanah baru akan memiliki kekuatan pembuktian formil “kuat serta mutlak” setidaknya minimum bila telah memiliki umur sepuluh tahun sejak sertifikat hak atas tanah tersebut diterbitkan bagi pihak pemegang hak atas tanah. Pertanyaannya, regulasi manakah yang berlaku, ketika tahun telah memasuki tahun 2025?

Sama halnya, sekalipun kita selaku warganegara memiliki sertifikat hak atas tanah yang terbit sejak tahun 1970, sebagai contoh lainnya, saat kita selaku pemilik sertifikat hak atas tanah hendak menjual alias mengalihkan hak atas tanah yang kita miliki kepada pihak pembeli, terbit peraturan terbaru dibidang pertanahan yang mensyaratkan lebih banyak berbagai prasyarat agar jual-beli dapat berlangsung, maka jual-beli yang akan kita langsungkan saat kini memakai “norma hukum positif” yang berlaku saat sertifikat hak atas tanah kita tersebut terbit, yakni regulasi pertanahan tahun 1970, ataukah memakai “norma hukum positif” yang berlaku pada saat kini, yakni saat jual-beli akan akan kita langsungkan?

Kembali pada contos kasus semacam hukum perkawinan, seseorang gadis yang terlahir pada tahun 2005, sebagai contoh, masih berlaku “norma hukum positif” pada saat ia dilahirkan ialah hukum perkawinan di Indonesia yang mengatur bahwa usia seseorang pria yang hendak melangsungkan perkawinan ialah bila telah minimal mencapai usia 19 tahun, sementara itu mempelai wanita setidaknya telah mencapai usia 16 tahun. Sang gadis rencananya hendak melangsungkan perkawinan pada tahun 2021 (yang artinya berdasarkan perhitungan maka dirinya akan telah genap memasuki usia cakap hukum untuk menikah, yakni 16 tahun), yang mana sayangnya mendadak telah ternyata pada tahun 2020 terbit peraturan terbaru dibidang perkawinan yang mengatur bahwa usia minimum seorang gadis untuk melangsungkan perkawinan, ialah bila minimum telah memasuki usia 19 tahun. Apakah rencana perkawinan, suka tidak suka, harus dibatalkan dan menunggu tiga tahun mendatang, sekalipun bisa jadi, telah terjadi “married by accident” yang tidak lagi dapat ditunggu-tunggu? Beruntung, terdapat “escape clause” berupa kebolehan mengajukan “dispensasi usia perkawinan”, dengan memohon ke pengadilan setempat, meski tetap saja menyita waktu dan biaya.

Menjadi pertanyaan bagi kita bersama—meski fakta realitanya pertanyaan yang mendasar dan logis demikian tidak pernah dipertanyakan oleh masyarakat, tidak terkecuali kalangan Sarjana Hukum itu sendiri—regulasi manakah yang berlaku bagi sang gadis yang hendak melangsungkan pernikahan? Kesimpulannya, boleh ataukah tidak boleh melangsungkan pernikahan bagi sang calon mempelai? Jika kita ataupun Anda menyatakan dengan tegas, bahwa sang gadis belum diizinkan untuk melangsungkan pernikahan karena belum genap memasuki usia 19 tahun, itu sama artinya Anda membuat penegasan bahwa “norma hukum positif” sifatnya berlaku surut. Tentunya Anda harus konsisten, bahwa norma hukum sifatnya berlaku surut. Apa jadinya, bila hukum bersifat tidak konsisten.

Kini, kita mencoba beralih kepada norma hukum perizinan yang sedikit menyerempet norma hukum perdata. Sebagai contoh, para pihak melangsungkan kontrak bisnis memakai surat perjanjian berbahasa asing tanpa disertai rangkap surat perjanjian berbahasa Indonesia. Kemudian, tidak lama berselang, terbit regulasi dibidang bahasa, yang mewajibkan kontrak bisnis apapun untuk membuatnya dalam Bahasa Indonesia. Seiring berjalannya waktu, timbul sengketa berujung pada gugat-menggugat wanprestasi antar para pihak yang saling mengikatkan diri dalam kontrak tersebut.

Salah satu pihak kemudian berkelit, bahwa surat perjanjian demikian ialah melawan hukum karena ilegal, dengan mengaitkannya dengan keberlakuan regulasi yang mewajibkan kontrak apapun wajib berbahasa Indonesia, yang karenanya “unsur objektif syarat sah perjanjian”, yakni “causa yang sahih” tidak terpenuhi dalam proses pembentukan kontrak demikian yang menggunakan bahasa asing, yang karenanya pula menjadi “batal demi hukum”. Bila Anda adalah seorang hakim, dalil manakah yang Anda dapat terima secara logis dan dapat dipertanggung-jawabkan?

Kembali pada pernyataan sebelumnya, bukankah “norma hukum” dapat bersifat “retroaktif”? Kontrak tersebut masih memakai ketentuan meterai yang saat kontrak tersebut dibuat dan disepakati, namun ketika regulasi terkait meterai berubah, terutama besaran nominalnya, apakah artinya kontrak tersebut maupun keseluruh dokumen bisnsi apapun yang selama ini ada, perlu menyesuaikan diri dengan ketentuan meterai terbaru dengan menambahkan kekurangan nominal meterai sebagai pajak atas dokumen? Bila segala hal terkait norma hukum terbitan terbaru, harus bersifat retroaktif keberlakuannya, tentu akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa membingungkan serta tercipta ketidak-pastian hukum yang tidak terhindarkan disamping tidak efisien.

Tampaknya memang terdapat standar ganda disini, sebagai contoh ialah ketika seorang pengusaha memiliki badan hukum Perseroan Terbatas yang sudah didirikan dengan tunduk pada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas yang terbit pada tahun 1995. Seiring berjalannya waktu, terbit Undang-Undang Perseroan Terbatas terbaru pada tahun 2004. Telah ternyata, badan hukum Perseroan Terbatas milik sang pengusaha perlu disesuaikan dengan regulasi terbaru—yang artinya pula retroaktif diberlakukan terhadap badan hukum Perseroan Terbatas apapun yang sekalipun telah berdiri sejak tahun 1995.

Begitupula saat badan hukum Perseroan Terbatas tersebut hendak merubah Anggaran Dasar, ketentuan batas waktu mengajukan dan melaporkan akta perubahan Anggaran Dasar, ketentuan kourum dan voting, seringkali Anggaran Dasar berbagai Perseroan Terbatas hanya mencantumkan : “...ketentuannya berlaku sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku”. Pertanyaannya, bila sang pengusaha hendak mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sekalipun badan hukum Perseroan Terbatas miliknya telah berdiri sejak tahun 1995, maka apakah artinya memakai dasar hukum ketentuan RUPS dalam regulasi terbitan tahun 1995 ataukah merujuk pada ketentuan prosedur yang terkandung dalam regulasi terbitan tahun 2004?

Memang membingungkan, hukum seharusnya dan idealnya bertopang kepada kepastian hukum dalam derajat yang paling optimal. Namun senyatanya wajah hukum dalam praktik senantiasa menampilkan nuansa “standar berganda”. Contoh lainnya ialah regulasi dibidang administrasi kependudukan, berlaku bagi generasi yang baru lahir, generasi muda, maupun generasi tua yang lebih senior, secara “pukul rata”, sekalipun regulasi terbaru baru saja terbit saat kini menggantikan atau merubah regulasi lama sebelumnya.

Salah satu contoh penutup berikut tampak ektrim, namun bukan tidak mungkin terjadinya, dimana dapat SHIETRA & PARTNERS pastikan banyak kalangan buruh / pekerja yang terkena imbas merasakan langsung ketentuan “norma hukum yang berlaku retroaktif”. Sesaat sebelum akhir tahun 2020, berlaku ketentuan pesangon bagi kalangan pegawai / buruh sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketenagakerjaan. Katakanlah, sekadar sebagai contoh ilustrasi abstrak, seorang pekerja telah bekerja pada suatu perusahaan selama setidaknya tiga puluh tahun, sejak tahun 1990. Bila kita merujuk pada regulasi yang ada sebelum tahun 2020, sekadar sebagai contoh, sang pekerja berhak atas pesangon sebesar dua puluh bulan upah.

Ironisnya, pada akhir tahun 2020 terbit Undang-Undang “Sapu Jagat” saat pandemik akibat virus menular mematikan sedang merebak pesat di Indonesia, sehingga mengakibatkan terjadi gelombang pemutusan hukungan kerja secara besar-besaran, tidak terkecuali diputusnya hubungan kerja sang pekerja yang telah bekerja sejak tahun 1990. Malangnya, Undang-Undang “Sapu Jagat” menyatakan bahwa pekerja yang telah memasuki masa kerja selama tiga puluh tahun, (hanya) berhak atas pesangon sebesar lima belas bulan upah.

Pertanyaannya ialah untuk Anda serta kita semua jawab, bila Anda adalah salah seorang diantara Majelis Hakim yang duduk di kursi hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial, ketika dihadapkan pada gugatan pemutusan hubungan kerja sang pekerja untuk diperiksa dan diputus, berapakah besaran pesangon yang menjadi hak sang pekerja dan menjadi kewajiban untuk dibayarkan oleh pihak pemberi kerja? Memilih tunduk pada aturan hukum formal, ataukah memilih nurani? Hanya karena regulasi yang mendadak dan tiba-tiba berubah pada momen yang kritis, yakni saat sengketa gugat-menggugat diajukan, sang pekerja kehilangan hak atas pesangon dengan disparitas yang sangat mencolok.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.