Konsekuensi Yuridis Pemegang Saham Tunggal pada Perseroan Terbatas

LEGAL OPINION

Keanehan Pemegang Saham Tunggal (Single Shareholder) dalam Konsep Badan Hukum Perseroan Terbatas

Question: Apa ada konsekuensi politis disamping konsekuensi sosiologisnya, bila sebuah PT (Perseroan Terbatas) didirikan dan dimiliki oleh satu orang warga saja? Bagaimana juga konsekuensi yuridisnya, bila kita adalah pihak luar yang hendak menjalin kerjasama dan tanda-tangan kontrak bisnis dengan PT semacam itu?

Brief Answer: Ketika sebuah badan hukum seperti Perseroan Terbatas didirikan oleh satu subjek hukum saja, entah itu didirikan oleh orang-perorangan (natuurlijk persoon) ataupun oleh badan hukum lainnya (rechtspersoon), maka hal demikian tidak terdapat konsekuensi penyerta apapun. Namun, ketika pada gilirannya pihak pendiri perseroan “demi hukum” menjelma sebagai pemegang saham, dalam hal ini sebagai “pemegang saham tunggal” (single shareholder, bukan lagi shareholders), barulah tercipta konsekuensi pengikutnya yang sangat ambigu sekaligus penuh ambivalen disamping terdapat bahaya laten dibaliknya.

Logikanya awalnya sangatlah sederhana, pendiri perseroan pada gilirannya akan berstatus menjelma sebagai “pemegang saham” ketika badan hukum Perseroan Terbatas resmi berdiri. Jika untuk selanjutnya dan seterusnya setelah Perseroan Terbatas berdiri dan beroperasi sekian lama, masih juga berwujud perseroan dengan satu orang pemegang saham, yang artinya menjadi pengendali tunggal kegiatan perseroan, maka mulailah terbentuk ambigu membingungkan, dimana tiada lagi terdapat perbedaan antara badan hukum Perseroan Terbatas dan usaha orang-perorangan.

Lebih kontras lagi ketika badan hukum Perseroan Terbatas yang menerapkan konsep “single shareholer” demikian, dalam operasionalnya kemudian dikomandoi oleh direktur ataupun komisaris oleh sang pemilik / pendiri itu sendiri (secara rangkap, antara sebagai pemegang saham sekaligus merangkap sebagai direktur maupun sebagai komisaris), maka menjadi rusaklah konsepsi dasariah Perseroan Terbatas yang membagi Organ Perseroan sebagai terdiri dari tiga komponen yang sejatinya terpisahkan dan saling interdependen, yakni antara : rapat umum pemegang saham, direksi, dan komisaris.

Akibatnya, ketika sang “pemegang saham tunggal” merangkap sebagai seorang direktur pada Perseroan Terbatas miliknya tersebut, sama artinya keputusan sang direktur menjadi pula cerminan kehendak atau keputusan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)—dimana bahkan tidak perlu adanya “rapat”, mengingat saham hanya dipegang dan dikuasai serta dimiliki secara tunggal oleh sang “pemegang saham tunggal” yang menjadi pengendali penuh seutuhnya tanpa akan pernah terjadi langkah “veto” oleh Dewan Komisaris ataupun RUPS terhadap direksinya, sebagaimana tidak jarang terjadi pada Perseroan Terbatas pada umumnya (Perseroan Terbatas versi “konvensional”).

Logika sederhana lainnya ialah, mengingat seluruh modal usaha Perseroan Terbatas bersumber dari satu pihak pemodal, yakni sang “pemegang saham tunggal” itu seorang diri, maka artinya sang pendiri sekaligus pemilik Perseroan Terbatas ternyata memiliki harta kekayaan serta permodalan memadai untuk melakukan bisnis dan kegiatan usaha maupun ketika melangsungkan perikatan perdata terhadap entitas bisnis maupun pengusaha lainnya, maka menjadi mengherankan mengapa juga sang pemodal tidak maju dengan mengatas-namakan dirinya sendiri alih-alih dengan memakai nama subjek hukum Perseroan Terbatas ketika membuat dan menanda-tangani kontrak perjanjian kerja-sama?

Negara lewat otoritas pemerintahannya, seolah hendak menaruh jebakan atau perangkap yang tampak menggiurkan, seolah-olah membangun badan hukum Perseroan Terbatas merupakan opsi yang menarik untuk dapat dipakai dan dimiliki kalangan pengusaha di Indonesia. Namun terdapat bahaya dibalik “hidden agenda” pemerintah yang hendak menarik “pajak badan hukum plus pajak penghasilan pemilik badan hukum” daripada hanya sekadar “pajak (bagi) pengusaha perorangan” bila berusaha tanpa memakai bendera badan hukum Perseroan Terbatas, yakni dengan “social cost” berupa pembiaran praktik-praktik seperti mengorbankan warga lainnya karena berpotensi dirugikan akibat dikemudian hari timbul sengketa dengan pengusaha yang berlindung dibalik badan hukum Perseroan Terbatas yang dijadikan boneka sekaligus “bumper”, dimana badan hukum Perseroan Terbatas miliknya dibiarkan (disengaja sejak semula) tanpa aset harta kekayaan (“shell company”, perusahaan “cangkang kosong” belaka) sehingga digugat dan disita atau bahkan dipailitkan sekalipun, harta kekayaan pribadi pemilik badan hukum tetap aman dan tidak akan dapat tersentuh oleh jerat hukum, sebelum kemudian mendirikan badan hukum-badan hukum Perseroan Terbatas lainnya dan korban-korban lain terus saja berjatuhan sebagai “tumbal” aksi modus penyalah-gunaan dengan memanfaatkan betul instrumen hukum perizinan berupa pendirian Perseroan Terbatas yang mudah dan murah, serta yang terpenting : tanpa batasan hendak mendirikan ribuan badan hukum Perseroan Terbatas sekalipun di Indonesia oleh satu pihak pendiri ataupun “beneficial owner” yang sama.

PEMBAHASAN:

Perihal “konsekuensi yuridis” atas niat melangsungkan hubungan hukum dengan sebuah badan hukum Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki dan dikusai oleh satu orang subjek hukum semata, akan tampak jelas ketika terlebih dahulu memahami konsep dasar esensi dari apa yang disebut sebagai “badan hukum” (legal entity), yang sama-sama tergolong sebagai “subjek hukum” bersama “natuurlijk persoon”, dimana ciri-ciri pokok dari “subjek hukum” ialah:

- Memiliki harta kekayaan dan aset atas nama subjek hukum bersangkutan (bila subjek hukumnya ialah badan hukum Perseroan Terbatas, maka aset ialah atas nama Perseroan Terbatas, bukan atas nama direksi ataupun pengurusnya. Semisal SHGB atas nama Perseroan Terbatas sebagai pemiliknya);

- Dapat digugat serta digugat ke hadapan pengadilan, atas nama subjek hukum bersangkutan; dan

- Dapat melakukan perbuatan hukum, atas nama subjek hukum bersangkutan.

Dengan memahami konstruksi yuridis di atas, maka yang menjadi konsekuensi hukum paling kentara ketika pihak luar hendak melangsungkan hubungan hukum terhadap badan hukum Perseroan Terbatas yang dimiliki oleh satu pihak saja penguasaan sahamnya, ialah menjelma “moral hazard” karena membuka peluang modus “bumper”, dengan skenario canggih berbalut instrumen hukum sebagai berikut yang patut diwaspadai oleh kalangan pengusaha maupun warga lainnya.

Seorang pengusaha, katakanlah bernama Tuan A, hendak menipu calon rekan bisnis dengan cara mendirikan badan hukum Perseroan Terbatas bernama PT. B yang tidak memiliki kekayaan ataupun aset dan hanya dimiliki olehnya seorang diri, namun ketika melakukan perbuatan hukum seperti hendak bernegosiasi maupun menanda-tangani kontrak, Tuan A tampil serta dikenali dari sosok diri pribadinya selaku “natuurlijk persoon”—dimana karena PT. B hanya dimiliki oleh Tuan A seorang, maka PT. B tampak seolah sebagai representasi sosok dari Tuan A, atau bisa juga disebut sebaliknya, Tuan A adalah berbicara PT. B dalam rangka, untuk kepentingan, serta atas nama PT. B.

Ketika dikemudian hari terjadi sengketa hukum, PT. B ingkar janji atas perikatan yang sudah disepakati olehnya dalam kontrak bisnis, pihak rekan bisnis menggugat PT. B, dengan harapan aset kekayaan pribadi Tuan A dapat disita dan dieksekusi. Ketika gugatan pihak rekan bisnis dimenangkan dalam proses gugat-menggugat di pengadilan, ternyata barulah diketahui bahwa PT. B tidak memiliki aset kekayaan apapun untuk dieksekusi—disamping kenyataan bahwa sang pengurus (sekaligus notabene pemilik tunggal perseroan) mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian bisnis dengan mengatas-namakan dirinya selaku wakil (legal mandatory) serta untuk dan atas nama Perseroan Terbatas miliknya. Katakanlah, PT. B kemudian di-pailit-kan, entah berdasarkan permohonan PT. B ataupun oleh pihak rekan bisnisnya yang menggugat ataupun oleh rekan bisnisnya yang lain, maka tiada satupun aset Perseroan Terbatas bersangkutan yang dapat ditemukan dan “dicairkan” dalam rangka pelunasan piutang para kreditornya.

Tuan A, mendirikan Perseroan Terbatas-Perseroan Terbatas lainnya, PT. C, PT. D, PT. E, dan sebagainya, dan jelas akan selalu tampil sosok Tuan A sebagai representasi tunggal (pemilik tunggal) dari berbagai Perseroan Terbatas tersebut. Pendirian berbagai badan hukum Perseroan Terbatas demikian, semata dengan tujuan untuk “mengamankan” aset pribadi milik sang pendiri yang tidak akan disalurkan terlebih didistribusikan kepada berbagai Perseroan Terbatas lainnya selain sejak semula semata difungsikan sekadar sebagai “bumber” ketika terjadi sengketa hukum yang mana juga tidak memiliki aset kekayaan apapun untuk dapat disita pengadilan terlebih untuk dieksekusi.

Itulah sebabnya, Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS selalu menyebutkan kepada klien pengguna jasa konseling seputar hukum, adalah lebih aman serta lebih menawarkan sebentuk derajat “jaminan” untuk saling mengikatkan diri dengan seseorang “natuutlijk persoon” seperti orang-perorangan pelaku usaha maupun badan usaha seperti “firma”, ketimbang “rechtspersoon” semacam badan hukum Perseroan Terbatas, dimana harta kekayaan dan aset dipegang oleh serta atas nama sang pemilik Perseroan Terbatas, bukan dimiliki ataupun atas nama badan hukum Perseroan Terbatas. Konsultan Shietra selalu menyampaikan rekomendasi kepada klien yang berlatar-belakang kalangan pengusaha:

Hanya buat kontrak perikatan perdata terhadap pihak yang yang memiliki aset kekayaan atas nama dirinya. Jangan lihat harta kekayaan dari sosok sang pemilik suatu Perseroan Terbatas, namun lihat apa saja aset kekayaan yang dimiliki badan hukum Perseroan Terbatas tersebut yang dapat disita dan dieksekusi dikemudian hari.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.