Ormas KontraS, singkatan KONTRAdiktif dalam Segala-galanya, Berteriak tentang HAM namun Melanggar HAM, Omong-Kosong ala Munafik

LEGAL OPINION

Prinsip PRADUGA TIDAK BERSALAH, Presumption of Innocence, merupakan HAK ASASI MANUSIA

Question: Sebenarnya, apakah asas praduga tidak bersalah terhadap seseorang yang dituduh sebagai pelaku kejahatan, termasuk sebagai hak asasi manusia atau bukan? Jika asas praduga tidak bersalah memang adalah hak asasi manusia, mengapa juga ada LSM (lembaga swadaya masyarakat) bernama KontraS yang menuding-nuding seseorang sebagai pelaku kejahatan, dan terus saja berteriak-teriak terjadi pelanggaran hak asasi manusia sekalipun pemerintahan telah silih-berganti dalam dua dekade era reformasi ini, sementara itu belum pernah ada satu pun putusan pengadilan yang buktikan tuduhan KontraS terhadap seorang tokoh pejabat sebagai pembunuh seorang aktivis bernama Munir. Bukankah itu namanya “pembunuhan karakter” terhadap orang yang dituduh?

Brief Answer: Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), adalah bagian dari hak asasi manusia yang telah ditegaskan dalam instrumen hukum internasional maupun konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang bermakna tidak dapatnya seseorang diberikan label ataupun stigmatisasi sebagai seorang bersalah ataupun sebagai pelaku kejahatan yang dituduhkan tanpa adanya putusan pengadilan yang membuktikan kebenaran telah terjadinya tindak pidana. Sebuah sangkaan dan tuduhan, adalah dua hal yang saling berbeda derajatnya. Tuduhan bersifat lebih tendensius dari sekadar sangkaan belaka, dimana kerangkanya ialah “penghakiman” dan “menghakimi”.

Perihal Organisasi Massa (Ormas) semacam KontraS, kini dan sudah sejak meninggalnya almarhum Munir, KontraS bukanlah lagi tergolong LSM, mengingat LSM merupakan akronim dari “Lembaga Swadaya Masyarakat”, sementara itu KontraS justru bergantung dari segi pendanaan operasional dan gaji / honor bagi anggotanya dari pihak asing yang tidak jelas agenda politiknya (hidden agenda, tidak ada hibah dana yang tanpa adanya agenda politis dibaliknya, there is no free lunch!), karenanya KontraS tidak lagi berhak mengklaim dirinya sebagai LMS, namun sebuah Ormas yang lebih kerap menjadi Provokator, Propaganda, serta Antagonis yang tidak rasional dalam menuding dan menghakimi.

Mengkritik bangsa sendiri, tanpa mendapat keuntungan dari bangsa asing, adalah bagian dari otokritik yang bisa membangun demi kebaikan dan kemajuan bangsa. Namun bila tujuannya ialah menuding, mengkritik, menyalahkan, menjatuhkan, mendiskreditkan, menegasikan, menghasut, menuduh, merendahkan, dan segala bentuk ujaran yang dapat memprovokasi lainnya terhadap sesama anak bangsa untuk memandang rendah bangsa sendiri dan disaat bersamaan menjelekkan Bangsa Indonesia ke hadapan komunitas dunia internasional, dengan tujuan agar diberikan dan digelontorkan dana hibah agar para pejabat dan pegawai di KontraS dapat tetap mencari keuntungan berupa sumber penghasilan, itu sama artinya menjual harga diri dan menjelek-jelekkan bangsa sendiri kepada pihak asing dimana semata untuk kepentingan dan motif pribadi internal pejabat KontraS.

Yang disebut sebagai LSM, ialah lembaga yang benar-benar swadaya dari dan untuk masyarakat, dari segi pendanaan, personil, serta mengabdi demi kepentingan sesama anak bangsa. KontraS, tercatat kerap membuat keruh suasana sebelum kemudian memancing di air keruh, seperti menjadi pihak pembela para pelanggar Hak asasi manusia (HAM) berat seperti bandar obat-obatan terlarang kelas kakap ketika akan dihukum mati sekalipun para korban sang bandar bergelimpangan dan terampas nyawa hidupnya, secara membuta membela LSM lainnya yang selama ini dikenal kerap membuat onar dan anarkhi, hingga tendensi aksi tuding-menuding dan tuduhan tanpa bukti yang konkret dapat dipertanggung-jawabkan terhadap mereka yang disebut KontraS sebagai aktor-aktor pelangaran HAM berat sekalipun tiada satupun putusan pengadilan yang dapat membuktikan berbagai tuduhan para personil maupun petinggi yang berkuasa KontraS.

KontraS mengaku sebagai “human rights defender”, pembela dan penegak HAM, namun disaat bersamaan justru telah dan kerap melanggar HAM paling mendasar, seperti “hak atas praduga tidak bersalah” yang sudah menjadi prinsip paling utama dalam stelsel hukum acara pidana di Indonesia maupun di dunia. KontraS bukanlah tidak memahami perihal asas praduga tidak bersalah, namun sejak dahulu kala telah memelintirnya sedemikian rupa melancarkan kepentingan pribadi KontraS agar tetap eksis pada berbagai media publik.

PEMBAHASAN:

Isu ataupun rumor klasik perihal “pelanggaran HAM berat”, selalu merupakan “isu strategis” sepanjang masa yang garing dan menguntungkan ketika di-“goreng”, dapat menjelma promosi “murahan” untuk tetap eksis dan mendapat sorotan publik ketika tampil bak “pahlawan kesiangan”. Bad news is good news, terlebih perihal “pelanggaran HAM berat” yang terus-menerus disinggung, direproduksi, serta diangkat ke permukaan sekalipun kehidupan semestinya dan sudah waktunya tidak berlarut-larut pada masa lampau, mulai mengalihkan tatapan perhatian pada masa yang akan datang dengan  berjalan maju ke depan dan melakukan pembangunan jembatan yang baik bagi masa yang masih dapat dibangun secara ideal alih-alih bersifat destruktif dengan segala tudingan dan tuduhan, bukan lagi terpaku di tempat, atas peristiwa yang alat-alat bukti dan kesaksian hidup para saksi mata telah menjelma bias akibat tergerus waktu, dan sekalipun era reformasi kontemporer telah jauh berbeda dari rezim otoriter era Orde Baru. Apa yang dituduhkan oleh KontraS, telah terjadi kadaluarsa hak penuntutan berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

KontraS, pada era Munir yang menjadi pendiri, dibentuk pada momen yang tepat dan memang dibutuhkan, yakni pada era Orde Baru yang otoriter berkuasa. Kini, isu-isu publik serta dunia internasional lebih menyoroti masalah fenomena masifnya korupsi di Indonesia, ketimbang isu-isu “basi” dan “usang” yang sebetulnya sudah tidak lagi laku bagi telinga masyarakat Indonesia itu sendiri maupun oleh dunia global. Tetap saja, KontraS melakukan strategi “re-framing” guna membingkai ulang seolah-olah tiada kemajuan berarti perlindungan serta penghargaan HAM rakyat Indonesia paska runtuhnya Odre Baru dan tumbuh-kembangnya era reformasi, dimana bahkan sistem pemerintahan dan pemilihan umum di Indonesia konon bahkan lebih demokratis ketimbang Amerika Serikat. Jika betul demikian sebagaimana klaim KontraS, maka itu artinya KontraS selama berpuluh-puluh tahun telah gagal total mengkampanyekan dan mempromosikan konsep HAM di Indonesia sekalipun telah selama puluhan tahun pula menikmati manisnya dana-dana hibah berjumlah besar dari pihak asing, sehingga tidak menjadi alasan lagi bagi kalangan donatur asing untuk terus menjadi donor pembiayaan bagi dana operasional kegiatan maupun gaji petinggi dan pegawai KontraS yang bukanlah orang “sesuci yang mereka klaim”.

Sekalipun telah mendapatkan dana yang tidak pernah sedikit dari pihak donor asing, tetap saja KontraS mengusung konsep “KontraS adalah LSM yang bergerak dibidang NIRLABA NON PROFIT”, sehingga membuka banyak rekrutmen sukarelawan anak-anak muda yang “bodoh” dan “mudah diperalat kepololasannya” untuk menjadi pekerja dan anggota mereka. Orang-orang baik namun bodoh, diperalat oleh KontraS untuk menjadi motor penggerak propanda KontraS, tanpa perlu membuat KontraS meronggoh kocek seperti pemberian gaji, kampanye politis yang lebih murah daripada murahan. Praktis, berbagai dan sebagian besar dana dari pihak donor asing, habis terserap sebagai pundi-pundi keuntungan pribadi para petinggi dan pejabat di KontraS, lengkap dengan biaya “iklan” guna mempromosikan kontra-narasi dalam rangka “reframing” agar seolah-olah kondisi HAM di Indonesia masih dalam status “darurat” dan “merah raport-nya”.

Kepentingan KonstraS, dengan demikian menjadi bertolak-belakang terhadap visi dan misi yang diklaim oleh KonstraS itu sendiri. Betapa tidak, bila praktik HAM di Indonesia telah menjadi demikian ideal dan sempurna sekalipun (meski tiada kebijakan yang sempurna dan dapat diterima seluruh pihak di dunia ini, dimana para bandar obat-obatan terlarang akan berkoar-koar perihal hak untuk hidup “bagi diri sang bandar itu sendiri”, tentunya), sama artinya KonstraS mematikan hidup, nafas, serta kegiatannya itu sendiri—alias menjadi “jobless”, dimana “jobless” artinya tidak ada lagi dana besar yang digelontorkan oleh donor asing yang selama ini membiayai gaji serta operasional petinggi dan pejabat yang berkuasa di KontraS. Adalah merupakan alat bukti “petunjuk”, bahwa mustahil para pejabat serta petinggi di KontraS tidak mendapat keuntungan berupa gaji atau istilah lain sejenisnya—sementara para “sukarelawan” (orang baik namun bodoh, tampaknya memang layak diperalat) bekerja secara rodi tanpa bayaran upah.

Karenanya, menjadi sebentuk “conflict of interest” yang tidak dapat dipungkiri, ketika KonstraS masih juga menikmati manisnya donasi besar yang deras mengalir dari pihak asing, dengan memanfaatkan (lebih tepatnya menyalah-gunakan) isu-isu domestik lokal di Indonesia untuk menjadikan pihak donor asing sebagai “sapi perahan”, dimana para donor asing tersebut tidak mengetahui bahwa lembaga-lembaga semacam Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) bahkan pada saat kini hampir benar-benar “jobless”. Era sudah berubah, ini era reformasi, bukan lagi “Oder Baru yang Lebih Baru”. Berkat “ulah” KontraS, tiada investor asing yang berminat berinvestasi di Indonesia, karena dipandang masih sebagai negara yang kerap melanggar HAM. Pada era reformasi ini, para pahlawannya ialah para penggerak sektor ekonomi, bukan para provokator yang sekalipun itu mengatas-namakan (menyalah-gunakan) kata “HAM”.

Bila KonstraS terus-menerus “menggoreng” serta menjual isu “basi” maupun isu-isu pelanggaran HAM yang demikian dipaksakan sifatnya karena tidak lagi pada tempat ataupun waktu zamannya, bahkan saat kini terlihat tendensi “kebakaran jenggot” KonstraS dengan secara berlebih-lebihan menuding pemerintah telah melanggar HAM, atas berbagai peristiwa yang sama sekali tidak terjadi pelanggaran hukum acara pidana sekalipun, semata agar kondisi HAM di Indonesia tampak “panas” tidak kondusif di mata komunitas global dan dunia internasional, semata agar dana donasi segar tetap mengalir deras oleh donor asing, kepada KontraS tentunya.

KonstraS butuh pelanggaran HAM berat terjadi kembali di Indonesia, itulah tepatnya kini yang dimainkan oleh KonstraS yang berperan sebagai “provokator” serta “propaganda” anti serta menentang pemerintah, sehingga wajah praktik kegiatan KontraS praktis tidak ubahnya wajah praktik HTI (Hizbut Taheer Indonesia) yang hendak menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa, sehingga sudah selayaknya KontraS dinyatakan sebagai organisasi terlarang yang sepatutnya dibubarkan oleh pemerintah. KontraS masih secara masif mempublikasikan berbagai laporan “pelanggaran HAM” (fiktif) versi KontraS pada berbagai media, namun tiada satupun diantara warga masyarakat kita yang tertarik membaca ataupun mencari tahu isi laporan KontraS. Masyarakat Indonesia lebih mempercayai laporan berita para berbagai media mainstream yang lebih netral dan lebih objektif ketimbang laporan KontraS yang sarat unsur subjektivitas yang tinggi lengkap dengan unsur-unsur propaganda serta provokasi terhadap publik untuk merasa benci dan bermusuhan terhadap pemerintah yang berkuasa. Pada perspektif itulah tepatnya, KontraS sama mengancamnya dengan organisasi ter0risme, memecah belah persatuan dan keutuhan bangsa.

Sama halnya dengan KonstraS, Universitas Trisakti terus-menerus “menggoreng” serta mengkampanyekan isu-isu pelanggaran HAM berat “tragedi Trisaksi dan Semanggi”, agar mendapat popularitas “murahan” sebagai “kampus pahlawan reformasi”, sekalipun fakta realitanya pihak Rektorat Universitas Trisaksi justru berulang-kali melawan eksekusi hukum yang sah dengan menentang putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap agar pihak Rektorat Universitas Trisaksi menghormati eksistensi Yayasan Trisaksi yang dimenangkan kewenangannya mengelola universitas oleh pengadilan. Mendulang emas dengan terus-menerus memainkan isu-isu lama yang terus didengungkan, dibangkitkan (dari liang kubur, jika perlu), digaungkan, dan dimainkan sebagai komoditas yang menguntungkan. Isu “pelanggaran HAM masa lampau”, akan terus direproduksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sekalipun para orangtua korban pastilah memilih untuk merelakan kejadian masa lampau dan beranjak maju melanjutkan hidup alih-alih terpaku di tempat sementara dunia terus bergerak maju tanpa pernah menunggu kita yang melekat pada tragedi masa lampau.

Saat pemilihan umum Presiden di Indonesia, KontraS menolak Prabowo dicalonkan sebagai calon Kepala Negara, namun disaat bersamaan membela Jokowi yang memilih Hendropriyono sebagai bagian dari lingkaran penguasa di dekat Jokowi maupun partai politik pengusung Jokowi yang dikomandoi oleh Megawati. Sebagaimana kita ketahui, KonstraS selama ini secara masif menuding Hendropriyono sebagai dalang dibalik terbunuhnya aktivis Munir yang merupakan pendiri KonstraS, dan KontraS pula mengetahui betul bahwa Megawati sangat dekat dengan Hendropriyono, namun mengapa KontraS tidak pernah kampanye “boikot Parpol PDIP” saat berlangsungnya pemilu presiden RI?

Mendadak, KonstraS memainkan isu “presumption of innocence” ketika pemilu berlangsung ketika Jokowi kian dekat dengan Hendropriyono, memainkan isu “pelanggaran HAM berat” yang dialamatkan tudingannya kepada Prabowo yang menjadi pesaing Jokowi, serta kembali (secara sesuka hati sesuai kepentingan) menghidupkan kembali memori terbunuhnya Munir oleh racun sianida di atas pesawat disertai tuduhan KonstraS terhadap Hendropriyono ketika Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Nama dan sejarah tewasnya Munir, tampaknya selalu dijadikan komoditas “sensuil” yang disimpan di saku para petinggi KonstraS, untuk sewaktu-waktu disimpan dan dikeluarkan dari kantung saku mereka saat dibutuhkan, dan begitu seterusnya.

Adalah “omong kosong” serta kemunafikan Ormas semacam KontraS, gemar mengecam pihak lain namun selalu gagal BERCERMIN. Ketika mereka menunjuk dengan satu jari mereka kepada seseorang yang mereka tuduh sebagai “pelanggar HAM” ataupun “pembunuh Munir”, empat jari mereka justru menunjuk diri mereka sendiri. Itulah ironi terbesar KonstraS, yang saat kini kian menjauh serta meredup pamor dan citranya di mata masyarakat. Jika Munir masih hidup, sudah lama KonstraS “gulung-tikar”, mengingat sebelum meninggalnya Munir, almarhum sempat mendirikan Ormas lain dan meninggalkan KonstraS, sehingga bukanlah KontraS yang paling berkepentingan ketika Munir ditemukan tewas terbunuh. Justru, berkat tewasnya Munir, KonstraS bisa eksis hingga hari ini dengan terus-menerus memasang potret wajah Munir—menyalah-gunakan serta mencoreng wajah Munir.

Dari pengalaman pribadi penulis terlibat beberapa waktu lamanya dengan internal kehidupan di KontraS, hampir seluruh anggota dan petinggi KontraS merupakan para pecandu berat bakaran tembakau, dan membakar serta menghirupnya sekalipun terdapat orang lain yang bisa jadi bukan penghisap tembakau atau bahkan menderita asma dan alergi asap bakaran tembakau. Hal paling sederhana, namun disepelekan, melanggar HAM orang lain atas kesehatan dan terbebas dari gangguan polusi udara yang beracun, terlebih hal-hal lain yang lebih besar? Hal-hal besar dibangun dari hal-hal kecil. KontraS lewat para anggota dan petingginya, terbukti gagal menghargai eksistensi orang lain yang bisa jadi anti asap bakaran tembakau.

Para petinggi dan pejabat KontraS kerap melecehkan individu lain yang dijadikan objek lelucon untuk dijelek-jelekkan secara tidak berhati nurani dan seolah lucu (lucu melecehkan dan menjelek-jelekkan pribadi pihak lain?). Adalah pelanggaran HAM itu sendiri, aksi-aksi semacam insult, slander, maupun HARASSMENT. Atas dasar hak apa, KontraS lewat para pejabat dan anggotanya yang angkuh dan pecandu berat tembakau, menjadikan diri orang lain sebagai bahan lelucon untuk dipertontonkan kepada publik? Produk tembakau, merupakan pintu gerbang pemakaian obat-obatan terlarang. Menjadikan orang lain sebagai “korban perasaan” aksi pelecehan para petinggi dan pejabat KontraS, terlebih hal lain yang lebih besar sifatnya HAM-nya?

Kemunafikan KontraS, yang kembali melakukan pelanggaran HAM terhadap hak setiap subjek hukum warganegara atas prinsip “praduga tidak bersalah”, bukan hanya dilakukan KontraS terhadap Hendropriyono, namun dapat kita jumpai pula dalam pemberitaan berikut: (diakses pada tanggal 7 Januari 2021, bersumber dari https:// jogja. Idntimes .com/news/indonesia/margith-juita-damanik/kontras-kecam-keputusan-jokowi-pilih-prabowo-jadi-menhan-regional-jogja)

KontraS Kecam Keras Langkah Jokowi Tunjuk Prabowo Sebagai Menhan

Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengangkat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan menuai beragam reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mengecam keras langkah Jokowi yang telah memilih terduga pelanggar hak asasi manusia (HAM) dalam Kabinet Indonesia Maju.

Menurut KontraS, Prabowo merupakan salah satu orang yang dianggap memiliki rekam jejak kelam masa lalu terkait HAM. Prabowo yang kala itu menjabat sebagai Danjen Kopassus pada 1998 dianggap turut menjadi pihak yang bertanggung jawab terkait kasus penghilangan paksa 23 aktivis pro-demokrasi.

Siapakah KontraS? Untuk menjawabnya, ialah dengan mencari tahu bagaimana dan darimana KontraS hidup serta apa yang urat nadi KontraS, yakni sumber pembiayaan operasional dan honor pejabat KontraS. Sama halnya, untuk menjawab apa tujuan utama operasi serta kegiatan KontraS, maka “follow the money”. Untuk mengetahui siapa dibalik layar yang menyetir arah kegiatan KontraS, serta apa yang menjadi agenda tersembunyi KontraS, maka kembali lagi pada pertanyaan bahwa siapakah yang menjadi “god father” KontraS yang selama ini menyuapi KontraS dengan dana-dana segar yang tidak pernah sedikit nominalnya. Salah satu berita yang sempat mencuat sebagaimana dipublikasikan: (dikutip dan diakses pada tanggal 7 Januari 2021, dari https:// www. beritasatu .com/nasional/148942/ncid-tuding-banyak-lsm-dikendarai-pihak-asing)

Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) menyesalkan maraknya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tidak jelas kredibilitasnya dengan memberikan keterangan terkait proses perjalanan demokrasi di Indonesia.

Direktur Eksekutif NCID, Jajat Nurjaman menjelaskan, LSM di Indonesia justru bisa menjadi kendaraan pihak asing untuk ikut campur dalam urusan pemerintahan bangsa.

LSM bisa dikendarai pihak asing untuk kepentingan tertentu. Misalnya, menaikkan atau menjatuhkan kandidat presiden yang dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh asing. Tentu melalui sokongan dana besar-besaran,” kata Jajat, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/11).

Dijelaskannya, cara kerja dari LSM biasanya adalah selalu memunculkan isu-isu politik sesuai dengan kebutuhan asing. Jajat menyebut, keinginan aktivis Kontras untuk membawa Prabowo Subianto ke persidangan terkait kasus 1998 misalnya, menurutnya adalah salah satu contoh kemungkinan agenda pesanan pihak asing.

“Isu-isu pesanan seperti itu muncul karena keinginan pihak asing,” ucap Jajat.

Menurut Jajat pula, salah satu donator terbesar Kontras adalah Kairos, sebuah lembaga yang berbasis di Kanada. Dikatakannya, tertulis pula di situs Kairos bahwa Kontras tidak akan bisa mempertahankan perannya di Indonesia, tanpa sokongan dana dari Kairos.

Hal seperti ini, menurut Jajat, juga terjadi di lembaga-lembaga lain seperti IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) serta Imparsial. Keduanya menurutnya memiliki afiliasi dengan HIVOS yang memberi donasi dalam bentuk YSIK (Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan).

“Pada satu titik, mereka akan membutuhkan bantuan asing. Dan di saat itulah independensi mereka dirampas,” jelasnya.

Ditegaskan Jajat, LSM memang sudah lama menjadi target empuk pihak asing. Kekuatan jaringan yang dimiliki LSM adalah daya jual yang mereka miliki.

“Saat ini, sudah hampir tidak ada LSM yang transparan dalam masalah pendanaan dan agenda setting,” sindirnya.

Sebagaimana kita ketahui, Prabowo anti investor asing. Sebaliknya, Jokowi pro investor asing. Tidak mengherankan bila para donatur asing KontraS merasa “gerah” bila Prabowo sampai terpilih sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan di Indonesia, dan dapat menjadi ancaman nyata bagi para investor asing tersebut untuk bercokol dan berkuasa di Indonesia. Dengan kata lain, “omnibus law” adalah buah hasil “perjuangan” KontraS. Jika memang KontraS demikian “dicintai” serta dibutuhkan oleh masyarakat, mengapa bukan masyarakat Indonesia yang mendanai kegiatan serta operasional KontraS? Setidaknya, mengapa KontraS tidak mencoba swasembada dana pembiayaan operasionalnya dengan menghimpun dana dari para anggotanya sendiri, agar setidaknya sedikit lebih “terhormat”?

Menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, KontraS sejatinya menghamba kepada anak bangsa ataukah kepada pihak asing? Beranikah KontraS berhenti menggunakan dana-dana pihak asing dan benar-benar menjadi murni sebuah LSM? Tiada untungnya bagi penulis mengkritik pemerintah, bukan pihak yang pro terhadap kedua kandidat presiden, murni otokritik demi membangun bangsa. Berbeda dengan KontraS, yang mendulang pendapatan dengan suara teriakan-teriakan serta yel-yel penuh kemunafikan.

Berhubung KontraS gemar melecehkan orang lain, tidak mengherankan pula bila KontraS gemar pula menjelek-jelekan pemerintah, sekalipun belum tentu wajah para petinggi dan pegawai KontraS adalah tampan dan rupawan adanya. Kegagalan terbesar petinggi dan pejabat KontraS, mereka hampir tidak pernah bercermin, bahwa wajah mereka tidak kalah “premanis” ketimbang para “preman pasar”. Lebih jauh perihal KontraS, sang “pahlawan moralitas” : (diakses pada tanggal 7 Januari 2021, sumber dari https:// www. kompasiana .com/berric99/54f77f02a333112b6f8b4591/rahasia-gelap-kontras-imparsial-dan-ylbhi)

NGO-NGO Indonesia seperti Kontras, AJI, Imparsial, YLBHI, LBH, Walhi dan lain-lain selalu berusaha menampilkan diri mereka sebagai suara moralitas rakyat. Jadi pertanyaannya tentu saja apakah mereka layak dan mempunyai kapasitas maupun kapasitas penjaga gerbang moralitas bangsa ini?

Baru-baru ini misalnya Kontras, Imparsial dan YLBHI mengeluarkan pernyataan bahwa mereka menolak Prabowo sebagai presiden. Pemikiran saya gampang saja, memang mereka siapa bisa menolak orang menjadi presiden?

Saya pribadi tidak peduli Prabowo terpilih menjadi presiden atau tidak selama bukan Jokowi yang terpilih maka saya sudah sangat senang, dan bila Prabowo menjadi presiden maka saya ucapkan selamat bekerja untuk Prabowo. Bila skenario Prabowo yang menjadi presiden maka Kontras, Imparsial dan YLBHI yang menyebut diri mereka sebagai pembela demokrasi dan HAM harus menghormati Prabowo sebagai presiden Indonesia selanjutnya, demikian juga saya akan menghormati Jokowi bila bangsa ini cukup sial mendapatkan Jokowi sebagai presiden.

Nah, terhadap jawaban apakah Imparsial, Kontras dan YLBHI layak menjadi suara moral, suara demokrasi dan hak asasi manusia di negara ini maka kita akan melihat rekam jejak mereka selama ini.

Yang paling mudah adalah Imparsial dan Kontras. Kedua lembaga ini adalah lembaga yang menerima dana asing untuk menjalankan agenda negara asing di Indonesia, Imparsial mendapat kucuran dana dari HIVOS sedangkan Kontras selama ini didanai oleh KAIROS.

Kadang kala Imparsial dan Kontras seperti yang dilakukan Haris Azhar baru-baru ini di Uni Eropa akan membawa segepok dokumen pelanggaran HAM di Indonesia dan mengadu kepada Amerika, Inggris, Uni Eropa atau Australia demi menciptakan kesan bahwa kondisi pelanggaran HAM di Indonesia sudah begitu buruknya sehingga Kontras dan Imparsial sebagai lembaga sipil pengawas HAM membutuhkan dana segar supaya bisa melanjutkan aktivitas mereka.

Mengapa Imparsial dan Kontras sampai harus mengemis-ngemis ke Uni Eropa dan negara lain? karena dunia barat melihat perkembangan Indonesia untuk masalah HAM dan demokrasi sudah sangat baik sehingga mereka sudah mengurangi pengucuran dana, dan dana yang ada tidak sebesar dulu. Sekarang ini alokasi dana mengucur deras ke LSM yang mengawasi korupsi. Bisa dibilang sekarang lembaga anti korupsi seperti ICW atau Transparency International Indonesia lebih kaya raya dibandingkan lembaga HAM dan demokrasi seperti Imparsial, Kontras dan YLBHI.

Kondisi sekarang ini menyebabkan lembaga HAM dan demokrasi harus pintar mengemas suatu isu di Indonesia sehingga seolah negara ini adalah negara dengan penegakan HAM dan demokrasi paling buruk dan jelek dibanding negara lain. Tidak ada cara lain selain menjelek-jelekan Indonesia di dunia internasional untuk mendapatkan donasi. Apakah perbuatan Kontras, dan Imparsial ini keji dan masuk kategori penghianatan terhadap Indonesia? Apakah mereka pantas menjadi suara moral rakyat Indonesia? Anda yang menilai.

Uniknya, baik Imparsial dan Kontras hanya giat mengkritik Indonesia tapi mereka menolak mengkritik pelanggaran HAM dan demokrasi yang dilakukan oleh negara donatur mereka, misalnya mengapa keduanya diam terkait masalah Guantanamo; pembunuhan Osama Bin Laden tanpa pengadilan oleh Navy Seal Amerika Serikat, genosida terhadap aborigin di Australia dan diskriminasi terhadap Indian oleh Amerika? Jawabannya karena isu di atas tidak akan memberikan mereka donasi.

Selebihnya, berpulang kepada para pembaca untuk menilai. Ulasan di atas penulis susun secara objektif, sebagai penduduk Indonesia yang tidak memilih satupun dari kedua calon presiden yang hanya terdiri dari “kampret” dan “kecebong”. Ingatlah bahwa, masih banyak Juliari Batubara-Juliari Batubara lainnya di luar sana, sang mantan Menteri Sosial yang teriak-teriak anti korupsi namun ternyata terjerat kasus korupsi dana bantuan sosial bagi masyarakat terdampak pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Bhante Bhuripanno dari Sangha Agung Indonesia beberapa waktu lampau pernah berkata : “Semakin banyak seseorang berbicara, semakin banyak dirinya sedang berbohong.Semakin banyak suatu Ormas berteriak-teriak perihal pelanggaran HAM, semakin banyak dirinya sedang melanggar HAM. Apakah betul, Bangsa Indonesia di era demokrasi ini, masih membutuhkan “provokator” yang ketinggalan zaman semacam KontraS?

KontraS tidak mau menyadari, berkat pemerintah mereka bisa terus eksis dan beroprasi di Indonesia, namun KontraS justru ingin meniadakan dan menegasikan pemerintah yang memberikan KontraS ruang bergerak dan bernafas. Apalah artinya KontraS, bila pemerintah mampu dengan mudahnya membubarkan Ormas-Ormas keagamaan sekalipun seperti HTI maupun FPI (Front Pembela Islam).

Negeri ini sudah cukup ricuh, sekalipun tanpa digaduhi oleh Ormas “kurang kerjaan” semacam KontraS yang sudah “basi”. Adakah anggota masyarakat kita yang sedemikian “kurang kerjaan” sehingga hendak meluangkan waktu mendengarkan “omong kosong kemunafikan” KontraS? Negeri Indonesia tidak akan kehilangan atau kekurangan apapun, sekalipun KontraS dibubarkan oleh pemerintah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.