Kegagalan Norma Hukum dalam Mengerem Kejahatan Klasik yang Paling Primitif Sekalipun

ARTIKEL HUKUM

Kesalahan Menyusun Stretegi Tertib Sosial, Norma Hukum yang Tidak Mungkin Sempurna justru Dijadikan Garda Terdepan Penegakan Disiplin dan Tingkat Kepatuhan Masyarakat

Birahi dan Libido untuk Melanggar, akibat Tidak Punya Rasa Malu maupun Rasa Takut untuk Melanggar, Pasti Melanggar, Setegas apapun Larangannya

Untuk mengerem pelanggaran ataupun perbuatan kejahatan lainnya oleh masyarakat kita, di Indonesia sebagai spesifik konteks khusus bahasan ini, tampaknya pendekatan norma hukum bukanlah solusi yang paling ideal—setidaknya tidak untuk jangka panjang, mengingat semakin canggih dan padat regulasi peraturan perundang-undangan yang mengatur larangan maupun perintah disertai ancaman sanksinya, tidak akan pernah mampu membendung berbagai pelanggaran hingga lahirnya modus-modus kejahatan yang lebih canggih dan lebih canggih lagi. Bila niat jahat suatu kaum jahat yang hendak berbuat jahat telah terbersit dalam niatnya, terutama unsur adanya “niat” untuk berbuat jahat dan adanya pula faktor “kesempatan”, maka ada atau tidaknya rambu-rambu hukum yang melarang, dan apapun ancaman sanksinya, tetap saja kejahatan tersebut akan terjadi dan dilakukan oleh sang pelaku.

Singkat kata, sebanyak apapun peraturan, aturan main, regulasi, larangan, perintah, prosedur, lengkap dengan ancaman sanksinya dibentuk dan diproduksi, tidak akan pernah mampu menekan angka kejahatan, pelanggaran, maupun kriminalitas. Terbukti, peraturan perundang-undangan telah demikian menjelma “hutan rimba belantara” yang sangat masif diterbitkan oleh otoritas negara dan berdirinya lembaga tempat bernaung berbagai institusi aparatur penegak hukum, namun tetap saja angka kejahatan dan pelanggaran demikian tinggi, masifnya narapidana penghuni berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang selalu diliputi berita “basi” perihal “over capacity” tingkat hunian Lapas dalam menampung para warga “binaan”, hingga kasus-kasus residivis maupun kasus-kasus kejahatan jenis baru yang tidak pernah kita kenal sebelumnya.

Terdapat teori ilmu sosiologi hukum yang menyebutkan bahwa “hukum selalu tertinggal satu langkah dibelakang kenyataan”, yang bermaksud untuk membingkai realita sosiologis bahwasannya modus-modus kejahatan baru akan terus bermunculan, berinovasi, dan berevolusi mengiringi serta melampaui berbagai regulasi yang diterbitkan pemerintah, karenanya adalah sebentuk delusi ketika kita berasumsi bahwa dengan mencetak berbagai regulasi baru hingga menjelma “rimba belantara regulasi” maka akan mampu menekan angka pelanggaran dan kejahatan ataupun kriminalitas di tengah masyarakat kita.

Sebanyak apapun regulasi diciptakan, diterbitkan serta diberlakukan oleh pemerintah, tidak akan pernah mampu menekan angka kejahatan dan pelanggaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat—terlebih ketika berbicara perihal faktor eksternal seperti penegakan hukum yang “separuh hati” dan “tebang pilih” oleh otoritas penegak hukum, sehingga menjelma menyerupai pelaku aksi kriminalitas yang “dipelihara” oleh negara yang hanya produktif mencetak regulasi namun minim dalam komitmen dan konsistensi penegakan terutama perihal adanya derajat paling minimum kepastian penindakannya, dimana bahkan terdapat kesan kuat bahwa negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat.

Bila modus kejahatan selalu melampaui regulasi yang paling baru diterbitkan sekalipun, sementara itu faktor penegakan hukum selalu tertinggal jauh dari norma hukum yang mengatur, itu sama artinya menjurus dan mengarahkan kita pada kesimpulan ataupun hipotesis bahwa semestinya berbagai “penjara” pada “hotel prodeo” bernama Lapas, tidak akan sepadat seperti sekarang ini dan selama ini. Bahkan, realitanya, berbagai Lapas di Indonesia tidak pernah sepi peminat dari narapidana penghuni baru, dimana pemerintah selaku otoritas Lapas kerap melakukan kebijakan penuh keterpaksaan bernama “obral remisi” demi menekan angka “overloaded” kapasitas hunian Lapas yang memang sudah menyerupai tumpukan ikan sarden yang berjejalan di dalam kaleng sarden yang berdesak-desakkan.

Faktanya, adagium perihal “Het recht hink achter de feiten aan” yang bermakna bahwa hukum dikodratkan akan selalu tertinggal di belakang perkembangan zaman, “the law is always there in the back and growing following the event or events in the community”, hukum yang kontemporer selalu buruh diperbaiki dan diubah setiap waktu secara temporer, “the law is always there in the back and growing following the event or events in the community”, hukum tertatih-tatih di belakang realita, “the law is always limping, chasing after the rapid turns of events in a society”, senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman di tengah masyarakat, yang mana karenanya hukum akan selalu tertinggal di belakang perkembangan zaman, adalah adagium yang memungkiri realita itu sendiri bahwa kejahatan paling primitif sekalipun masih kerap terjadi pada masa sekarang ini serta masih mendominasi catatan kriminal para narapidana penghuni Lapas di Indonesia maupun di negara maju maupun negara terbelakang manapun.

Adagium demikian di atas pada pokoknya mengerucut pada satu pemahaman bahwa norma hukum adalah “tugas yang belum selesai” sekaligus merupakan “mission impossible” untuk dituntaskan. Yang artinya pula, hukum yang sempurna untuk saat ini belum tentu akan tetap sempurna saat zaman telah berubah, dimana tuntutan untuk menjadi bersifat nisbi bukanlah keniscayaan, namun keharusan dan kepastian itu sendiri, tidak bisa lagi bersifat rigid menghadapi fenomena sosial yang terus berubah. Bahkan perihal teori spekulatif bernama “law as a tool of social engineering” akan menemui kegagalan hingga bencana kemanusiaan bila bersikap konservatif dengan bersikap rigid secara demikian kaku dan membuta, sekalipun fenomena sosial terus berkembang dan berubah secara dinamis terus mengalir yang tidak akan dapat disandera dalam ruang vakum dari waktu.

Meski demikian, terdapat satu keganjilan dari adagium yang selama ini terus didengung-dengungkan demikian, yakni perihal fakta realita betapa berbagai kejahatan klasik yang sejatinya sangat “primitif” menyerupai aksi-aksi tindak kejahatan pencurian, pembunuhan, penipuan, pemerkosaan, pemerasan, perampokan, penganiayaan, terus saja terjadi sekalipun peradaban manusia telah demikian maju dan canggihnya—terutama ditengah-tengah kondisi masyarakat Indonesia yang mengaku “ber-Tuhan” dan “agamais”. Realitanya, hukum tidak hanya selalu tertinggal dari perkembangan zaman serta gagal mengantisipasi perkembangan zaman yang tidak pasti arahnya, namun juga selalu gagal untuk membendung niat jahat warganya terhadap warga lainnya. Bukan kejahatannya yang berevolusi, namun cara kejahatan itu terjadi yang berevolusi polanya, semisal dari pencurian dompet saku menjelma menjadi pencurian lewat dunia cyber.

Sama seperti yang penulis alami dalam berprofesi sebagai Konsultan Hukum, dimana sekalipun dalam website profesi penulis ini telah penulis cantumkan berbagai peringatan dan larangan pada sekujur tubuh website, dimana bahkan penulis merancang langsung dimana hanya pihak-pihak yang telah membaca “Term and Conditions” layanan serta prosedur dan tata-cara pendaftaran klien pembayar tarif jasa yang dapat menemukan nomor kontak kerja maupun email profesi penulis, tetap saja para pelanggar sengaja melanggarnya dengan menyalah-gunakan nomor kontak kerja ataupun email profesi penulis semata untuk menghubungi guna “memperkosa” profesi penulis yang sedang mencari nafkah—yang merupakan hak asasi manusia, yang artinya pula para pelanggar dan pelaku penyalah-guna tersebut ialah pelaku pelanggaran hak asasi profesi orang lain.

Sebanyak dan serapat apapun “syarat dan ketentuan” maupun tata letak desain website profesi penulis ini dirancang untuk memberikan peringatan dan larangan bagi pengunjung website profesi penulis, tetap saja pelanggaran terjadi oleh pelaku “tamu tidak diundang”. Dengan kata lain, pendekatan semacam larangan dan peringatan tidaklah selalu efektif membendung niat buruk orang-orang yang sedari sejak awal memang memiliki niat buruk serta tidak menaruh hormat terhadap profesi orang lain yang sedang mencari nafkah secara legal. Bila seseorang sejak semula memiliki “mens rea” untuk melanggar, menyalah-gunakan, hingga “memperkosa”, maka berbagai alibi, modus, hingga pelanggaran secara vulgar akan mereka lakukan tanpa rasa malu ataupun rasa bersalah, bahkan tidak jarang “maling teriak maling”.

Hipotesis yang dapat penulis kemukakan ialah, norma hukum dan penegakannya bukanlah “frontliner” garda terdepan, namun justru menjadi garda paling akhir. Yang menjadi “frontliner”, justru diemban dan dipikul bebannya oleh para kalangan profesi yang berkecimpung dibidang keagamaan maupun pendidikan, bukan kalangan profesi hukum seperti hakim, jaksa, maupun kepolisian. Dengan menunjuk pada hidung kalangan hakim, maka para agamawan dan para guru tenaga pendidik merasa diberi ruang berkelit ketika kesalahan dan kegagalan dialamatkan ke hidung profesi mereka. Bila kita masih memakai metode yang selama ini diberlakukan, yakni dengan bertumpu pada pembentukan dan penerapan norma hukum, maka dapat dipastikan berbagai kejahatan paling “primitif” sekalipun akan terus di-reproduksi oleh masyarakat kita.

Norma hukum secanggih apapun sekarang ini, yang telah menyerupai “rimba hukum”, telah lama selalu terbukti senantiasa gagal membendung “birahi” kejahatan para pelaku jenis kejahatan paling klasik dan paling “primitif” sekalipun. Sudah menjadi “cerita lama”, yang entah mengapa seolah kita pungkiri. Sama halnya, norma “hukum agama” beberapa keyakinan mengatur perihal aturan-aturan yang bersifat mewajibkan dan melarang umatnya untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Berhubung norma “hukum agama” bersifat rigid, alhasil saat merebak pandemik akibat wabah virus menular mematikan antar manusia, para umat berseru dan menolak “protokol kesehatan” seperti menjaga jarak dan memakai masker, semata dengan alasan klise: “Tidak diwajibkan oleh Kitab Suci.” Bahkan, diberitakan terdapat kalangan pemuka agama yang menyatakan bahwa jenis obat-obatan terlarang tertentu tidak dilarang oleh Kitab Suci.

Bila dalam sistem penalisasi “hukum negara”, terdapat “escape clause” semacam “alasan pemaaf” dan “alasan pembenar”, yang sifatnya terbatas dalam rambu-rambu koridor tertentu yang sifatnya sangat limitatif, bahayanya ialah dalam norma “hukum agama” terdapat umar “escape clause” bernama “penghapusan / penebusan dosa”. Alhasil, tidak dapat kita pungkiri, praktik-praktik semacam “intoleran terhadap kaum yang berbeda” namun disaat bersamaan demikian “kompromistis terhadap maksiat (yang dipromosikan lewat ideologi penghapusan dosa”—pada titik kulminasi itulah, “hukum agama” menjadi kontraproduktif serta merongrong penegakan “hukum negara”, dimana bila “hukum agama” demikian kompromistis terhadap kejahatan adanya, maka mengapa “hukum negara” justru lebih tegas dan lebih keras daripada “hukum agama” yang telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan?

Itulah sebabnya, menjadi menarik ketika pokok “norma moralitas” dalam Buddhisme, menjadi lain daripada keyakinan yang lainnya, dimana hanya dikenal dua rambu utama, yakni “malu berbuat buruk / jahat” (hiri) dan “takut (akan akibat dari) berbuat buruk / jahat” (otapa). Sebanyak apapun aturan perintah maupun larangan diciptakan, bila “mind set” masyarakat maupun para umat masih tidak malu dan tidak takut berbuat buruk maupun jahat, apalah artinya segudang “rimba aturan” yang diatur oleh “hukum agama” maupun “hukum negara”?

Aturan “hukum karma” bahkan jauh lebih sederhana sekali prinsip kerjanya, yakni adil atau tidak adil, benar atau tidak benar, besar atau kecil, diakui atau tidak diakui, ingat atau tidak ingat, setuju atau tidak setuju, dibenarkan atau dipungkiri, sakit atau tidak sakit, luka atau tidak luka, perbuatan itulah yang akan diwarisi oleh sang pembuat perbuatan, berhubungan dengan sang pelaku itu sendiri, serta akan dialami oleh sang pelaku itu sendiri. Membuat pihak lain tersudutkan dalam posisi dilematis, sehingga bahkan tidak sadar telah menjadi korban modus kejahatan, maka perbuatan itu pula yang kelak dialami oleh sang pelaku. Singkatnya, apa yang kita tanam, perbuatan itu jugalah yang akan kita petik sendiri.

Itulah juga sebabnya, sebanyak dan segemuk apapun aturan yang diatur dalam “hukum agama” maupun “hukum negara”, namun tidak memiliki komponen moralitas paling mendasar seperti “malu dan takut berbuat jahat / buruk”, maka berbagai norma-norma demikian menjadi tiada maknanya sama sekali, atau bahkan menjelma kontraproduktif. Sebagai contoh, “norma agama” mengatur perihal perintah dan larangan, namun dinegasikan begitu saja oleh ideologi “penghapusan / penebusan dosa”, yang mana sifatnya justru menegasikan serta menihilkan “norma agama” itu sendiri—yang dalam peristilahan sederhananya, ialah “norma akrobatik jungkir-balik” dimana para pelaku kejahatan justru “berpesta-dosa dan berkubang dalam kubangan dosa”.

Sementara itu “norma negara”, sekalipun ilmu hukum pidana serta peraturan perundang-undangan kita telah menjelma “rimba hukum belantara” dimana kini tiada satu pun Sarjana Hukum di Indonesia yang mampu membaca dan menguasai keseluruh “norma hukum” yang ada, tetap saja kejahatan klasik “primitif” menjadi mayoritas narapidana penghuni berbagai Lapas di Tanah Air. Sama seperti “norma agama”, berbagai “nabi” utusan diturunkan oleh “Tuhan”, yang membawa pesan sebagai seorang “messenger”, berupa perintah dan larangan, ternyata tetap saja maksiat paling primitif sekalipun tetap berlangsung hingga saat kini—bahkan kian meraja-lela berkat ideologi yang dipromosikan dan diperkenalkan oleh “norma agama” itu sendiri, yakni ideologi berbahaya bagi peradaban manusia bernama “penghapusan / penebusan dosa”, dimana pihak korban menjadi pihak yang paling merugi bagi di dunia maupun di akherat.

Sebanyak apapun seseorang warga diatur lewat larangan dan perintah, bila sang warga tidak memiliki kelengkapan mentalitas dan moralitas paling mendasar-hakiki semacam sikap “malu dan takut berbuat jahat / buruk”, maka yang ada ialah wajah negeri penuh konflik, semacam cerminan negara-negara yang tergolong kawasan Timur-Tengah yang serba “agamais” namun penuh konflik bersenjata serta pertumpahan darah bahkan terhadap sesama kaumnya sendiri, tidak terkecuali wajah kriminalitas di Indonesia yang tergolong tinggi dimana berbagai kejahatan serta pelaku kejahatannya, bahkan para aparatur penegak hukumnya itu sendiri yang melanggar dan mengabaikan kejahatan (aparatur penegak hukum merangkap menjadi agen kejahatan), lebih banyak yang tidak ditindak secara tegas sebagaimana mestinya, yang artinya masih berkeliaran di tengah-tengah masyarakat.

Sungguh kasihan negara yang membutuhkan pahlawan, namun lebih ironis negara yang membutuhkan segudang “hutan rimba regulasi” untuk mengatur masyarakatnya. Masyarakat yang “beradab”, tidak butuh hal-hal semacam pahlawan ataupun segudang peraturan yang mengatur mereka. Menurut Anda dan para pembaca lainnya, apakah makhluk penghuni surga (para dewata di alam dewata), membutuhkan aturan-aturan semacam “hukum agama” ataupun “hukum negara” seperti yang kita kenal di dunia manusia ini? Orang jahat (memang) perlu diatur-atur (dimana peraturan sebagai pembatas kebebasan dan ruang gerak yang diatur), namun apakah seorang dewata yang suci dan berhati malaikat, memerlukan aturan-aturan semacam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.