Hukum adalah MULUT HAKIM, Mulut Hakim Bukanlah Corong Undang-Undang

ARTIKEL HUKUM

Kepastian Hukum Terletak pada Putusan Hakim, Bukan Aturan Hitam di Atas Putih Undang-Undang

Mengapa peraturan perundang-undangan, dapat dan berpotensi mengecoh? Jawaban paling sederhana atas pertanyaan yang lazim kita jumpai di tengah masyarakat di atas, ialah semata karena kerapnya kita jumpai pasal-pasal yang mengandung ancaman sanksi berupa vonis hukuman pemidanaan baik penjara maupun denda, namun dalam realitanya menjelma “macam ompong” alias tidak benar-benar diterapkan secara tegas, konsekuen, maupun konsisten, selain sekadar “kegenitan regulator” selaku penyusun regulasi peraturan perundang-undangan yang seolah sekadar “PHP” (pemberi harapan palsu bagi masyarakat).

Dalam teori berbagai teks ilmu hukum pada perguruan tinggi ilmu hukum di Indonesia, disebutkan bahwa mulut kalangan hakim pemeriksa dan pemutus perkara hanya sekadar menjadi “corong” dari Undang-Undang. Jika memang demikian adanya, maka mengapa banyak putusan hakim di pengadilan yang mengandung nuansa “contra legem”, alias menyimpangi ataupun meniadakan norma hukum yang telah terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya? Simpang-siur pula terhadap anekdot “hakim bebas dan independen dalam memutus suatu perkara”—tidak terkecuali bebas dari kungkungan koridor norma-norma aturan “hukum positif” yang berlaku pada suatu waktu di suatu negara.

Barulah menjadi aneh dan kontradiktif, bila seorang hakim tidak menjadi “corong” dari norma hukum bentukan preseden, dimana menjelma peluang lahirnya bentuk-bentuk kolusi maupun penyimpangan hukum lainnya berupa disparitas antara putusan yang satu dan putusan yang lainnya sekalipun dengan nuansa atau karakter perkara yang serupa, alias meniadakan kepastian hukum. Karenanya pula, tiada mungkin (alias mustahil) bila kita mengharap terbentuknya keaadilan hukum namun disaat bersamaan tidak terdapat derajat paling minimum kepastian hukum yang ditawarkan oleh praktik hukum. “Law in concreto” adalah hukum yang “real” alias nyata, karenanya norma bentukan preseden jauh lebih “sakral” daripada sekadar norma abstrak dalam “law in abstrakto” bernama peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang paling kerap mengandung norma pidana “macam ompong”, ialah berbagai Peraturan Daerah (Perda), semisal Perda Kota Jakarta yang mengatur perihal ancaman sanksi pidana penjara bagi warga yang membakar sampah sembarangan. Sejak hampir satu dekade Perda tersebut diterbitkan, sekalipun realitanya di masyarakat pada Kota Jakarta kerap kita jumpai warga yang membakar sampah sembarangan sehingga menimbulkan polusi udara yang mengganggu warga sekitar dalam radius satu kilometer dan bahkan lebih jauh dari itu, mengingat sifatnya yang lintas batas, tiada satupun kasus-kasus warga yang membakar sampah sembarangan yang menimbulkan polusi asap demikian ditindak oleh aparatur penegak hukum, dimana dilaporkan pun hanya akan menimbulkan dua kali kerugian bagi warga yang menjadi korban, yakni menjadi korban polusi asap pembakaran serta kemudian menjadi pula korban perasaan “diabaikan dan ditelantarkan laporan / aduannya” oleh pemerintah maupun oleh aparatur penegak hukum.

Tidak hanya norma ancaman pemidanaan dalam peraturan perundang-undangan setingkat Perda, norma pidana dalam produk legislasi semacam Undang-Undang sekalipun, kerap kita jumpai berbagai pasal pidana yang bersifat “macan ompong”. Sebagai contoh, telah lama sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki pasal kriminalisasi semacam perbuatan mempromosikan alat kontrasepsi, berupa larangan lengkap dengan ancaman sanksinya bagi yang melanggar larangan tersebut. Namun, sejak lebih dari satu abad keberlakuan pasal dalam KUHP sebagaimana tersebut di atas, belum pernah terdapat satu pun preseden maupun yurisprudensi yang betul-betul mengimplementasikan alias menerapkan pasal pidana demikian—sehingga menjelma pasal pidana yang “dorman” alias tidak aktif, baik karena “di-ompong-kan” ataupun karena sejak awal sudah “ompong” (tanggal gigi taringnya).

Contoh lainnya ialah sebagaimana terdapat pengaturan sanksi pidana dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, disebutkan adanya ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi setiap pihak yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia:

a. Meterai yang dipalsu atau dibuat secara melawan hukum seolah-olah asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum; atau

b. barang yang dibubuhi Meterai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, seolah-olah barang tersebut asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum.

Ketentuan Pasal 25 Butir (b) pada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai tersebut di atas, mengindikasikan sesuatu dokumen yang dibuat secara melawan hukum, namun kemudian oleh pelakunya dibubuhkan materai seolah sebagai dokumen yang legal atau sahih secara hukum yang mana berpotensi dapat mengecoh pihak lainnya, diancam pidana dengan sanksi berupa penjara maupun denda.

Ketentuan demikian di atas bila kita terjemahkan secara harafiah, yakni baik meterai serta maupun dokumen yang dibubuhkannya ialah sama-sama palsu, menjadi tidak lagi relevan, oleh sebab pemalsuan barang telah diatur dalam KUHP perihal pemalsuan serta terkait meterai palsu telah diatur dalam Butir (a) Undang-Undang Meterai, sehingga keberadaan Butir (b) dari Undang-Undang bersangkutan menjadi absurd bila kita terjemahkan secara harafiah demikian.

Sehingga, penafsiran yang paling rasional dan perlu pengaturannya (secara ideal) ialah, ketika sebuah dokumen, surat, ataupun akta yang sejatinya berisi hal yang ilegal substansinya namun kemudian dilekatkan asli meterai pada dokumen tersebut, sehingga memberi kesan yang “mengecoh” seolah-olah dokumen tersebut adalah legal dan sahih alias tidak bertentangan dengan hukum, diancam pemidanaan agar pelakunya mengurungkan niat menyalah-gunakan meterai yang dibubuhkan untuk menutupi niat jahat yang terkandung dalam dokumen yang ilegal kandungan substansinya.

Idealnya demikian, namun tetap saja, dapat penulis dan kita semua prediksi, sampai kapan pun tahun berjalan sejak terbitnya peraturan berisi sanksi pemidanaan demikian terkait dokumen bermaterai, para pelaku yang membuat akta atau surat yang isinya melanggar / bertentangan dengan hukum, lalu berniat mengecoh masyarakat lainnya dengan membubuhkan materai asli di atas dokumen demikian, sehingga seolah-olah membuat dokumen yang sejatinya ilegal menjadi tampak sahih dan legal, tidak akan pernah sampai diseret ke “meja hijau” (persidangan) sebagai “pesakitan” dalam perkara pidana.

Hukum, dalam tataran penegakannya, kerap kali terbentur bila tidak masalah politis, maka masalah sosiologis—selalu dan selalu terulang demikian adanya dalam realita praktik berhukum di Tanah Air. Secara sosiologis, salah satu jawaban paling logis sehingga kita dapat membuat kesimpulan demikian, ialah fakta bahwa berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas, alias “penjara”) maupun berbagai Rumah Tahanan (Rutan) yang tersebar pada berbagai propinsi di Indonesia, telah “OVER kapasitas” (“over capacity”, alias “over load”) dari narapidana senior yang belum menyelesaikan masa hukumannya, narapidana kambuhan (para residivis), maupun para narapidana junior yang harus mengantri berjejalan bak ikan sarden di dalam kaleng sarden untuk mendapat “pendidikan” dan pembinaan Strata Dua (S2) gelar kejahatan yang mereka sandang. Konon, masing-masing Lapas di Indonesia telah “over load” hingga 170% dari kapasitas normal—komunitas yang paling padat penduduknya di dunia, bukan terdapat di Kota Jakarta, namun pada berbadai Lapas dan Rutan yang tersebar pada berbagai kota dan daerah di Indonesia.

Fakta sosiologis kedua, semaju apapun zaman dan bangsa kita saat kini, lengkap dengan segala jenis kejahatan baru yang canggih lainnya, mayoritas tahanan maupun narapidana yang menghuni berbagai Lapas dan Rutan di Tanah Air, didominasi para pelaku kejahatan yang sifatnya “konvensional” alias “kejahatan-kejahatan primitif” yang sifatnya ialah jenis-jenis kejahatan “klasik”, semisal kejahatan penipuan, pengedar obat terlarang, penganiayaan, pembunuhan, pencurian, perampokan, penggelapan, tindak pidana asusila, human trafficking, dan berbagai kejahatan “primitif” lainnya.

Uniknya, sejatinya sekalipun wabah akibat pandemik virus menular mematikan ialah masalah yang sudah pernah dihadapi nenek-moyang umat manusia, tetap saja para pelanggar “protokol kesehatan” yang demikian masif jumlahnya, tidak pernah benar-benar dibuat mendekam di penjara oleh pemerintah yang tampaknya hanya pandai “menggertak” dengan ancaman-ancaman pasal pemidanaan yang lagi-lagi minim aksi ataupun penegakan dan penindakan di lapangan. Selalu demikian, selalu masalah penindakan dan penegakannya yang lemah, sebagus dan sesempurna apapun peraturan perundang-undangan mengatur. Kebijakan separuh hati yang hanya sekadar “menyenangkan publik dengan pengaturan yang tampak ideal” akan tetapi minim penindakan, dapat juga kita jumpai pada berbagai regulasi sektor hukum ketenagakerjaan atau perburuhan di Tanah Air, dimana pelanggaran terjadi secara masif seolah tidak tersentuh oleh penegakan hukum.

Bila kita hendak memasukkan pula narapidana baru yang “fresh from the court” berupa para narapidana atas perbuatan pidana yang lebih canggih sifatnya, seperti korupsi, pembobolan rekening lembaga keuangan, hacker alias peretasan jaringan digital, pelaku pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kejahatan dunia maya, kejahatan “MLM” (multi level marketing) semacam “skema piramida ponzi”, hingga tidak terkecuali ancaman pemidanaan bagi para pengguna dokumen yang substansinya ilegal namun melekatkan meterai di atasnya untuk mengecoh korban-korbannya, maka dapat dipastikan berbagai Lapas dan Rutan kita tidak akan pernah cukup menampung segala macam jenis penjahat yang sekalipun negara telah mengandalkan kebijakan “obral remisi”, dimana ternyata pula Bangsa Indonesia yang (konon) “agamais” adalah sangat produktif dalam mencetak berbagai kriminil—dimana pula pada faktanya berbagai kejahatan “primitif” yang terjadi di tengah masyarakat, mayoritas lebih banyak tidak tersentuh hukum akibat faktor “negara tidak benar-benar pernah hadir di tengah-tengah masyarakat selain saat hendak menilang kendaraan bermotor” serta kerapnya para aparatur penegak hukum yang selama ini memonopoli penindakan hukum ternyata kerap kali mengabaikan serta menelantarkan aduan atau laporan warga yang menjadi korban, sehingga seolah-olah Negara Indonesia memang sejatinya tengah dan telah lama memelihara para pelaku aksi premanisme, dimana warga masyarakat harus berjuang seorang diri untuk melindungi diri, dimana tidak jarang pula terdapat “state crime actor”, dimana negara yang menjadi aktor kejahatan itu sendiri yang patut diwaspadai oleh warga masyarakat selaku rakyat sipil jelata yang tidak berdaya menghadapi diktatoriat “aparatur penyalahguna hukum”.

Sama halnya, ketika kita menjumpai adanya “law as a tool of crime”, maka seorang hakim yang baik akan memilih untuk menyimpangi bunyi undang-undang yang mengandung muatan “moral hazard” demikian, tidak lagi menjadikan mulutnya sebagai “alat” untuk melangsungkan terlebih untuk melancarkan intensi pembentuk Undang-Undang yang bisa jadi diragukan niat baiknya terhadap publik yang diatur di dalam produk legislasi mereka—kebijakan penalisasi yang bernuansa “kriminalisasi”.

Adalah fakta, bangsa yang disebut sebagai beradab, tidak membutuhkan banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur, melarang, membatasi, ataupun yang memerintahkan, terlebih dengan segudang aturan yang mengatur mulai dari A hingga Z kehidupan pribadi maupun kehidupan antar sesama warga masyarakat, lengkap dengan serangkaian pasal-pasal ancaman pemidanaan. Bangsa yang benar-benar beradab, cukup membekali warganya dengan dua pedoman hidup berperikemanusiaan, yakni “malu untuk berbuat kejahatan” serta “takut untuk berbuat kejahatan”, sehingga tiada lagi warga yang perlu cemas menjadi korban oleh sesama warga yang disakiti, dirugikan, terlebih dilukai hak-haknya atas fisik, batin, maupun properti kepemilikan. Semakin banyak regulasi diatur, menjadi cerminan betapa “sakit” warga suatu bangsa.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.