LEGAL OPINION
Tindak Pidana Penggelapan oleh Kantor Lelang Negara yang Tidak Disadari Kalangan Debitor atau Pemilik Agunan di Indonesia, Aneh Namun Nyata, Akibat Mencampur-Adukkan Konkuren dan Preferen
Adalah Pidana Penggelapan bila Piutang Konkuren Seketika Dipungut dari Dana Hasil Penjualan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan
Question: Bukankah kreditor yang punya hak tanggungan atas tanah, hanya punya hak istimewa untuk didahulukan pelunasan piutangnya berdasarkan nilai pertanggungan dalam Sertifikat Hak Tanggungan? Mengapa pada praktiknya justru semua hasil penjualan lelang terhadap agunan, oleh Kantor Lelang Negara disetorkan sepenuhnya dan seutuhnya kepada pihak kreditor pemohon lelang, meskipun total hutang debitor pemilik agunan jauh dibawah nilai terjual lelang dan juga harga terjual lelang itu masih diatas nilai pertanggungan dalam Sertifikat Hak Tanggungan? Jika kreditor pemohon lelang eksekusi Hak Tanggungan-nya, ialah kreditor perorangan yang bukan lembaga keuangan perbankan, apakah juga seluruh hasil terjual lelang agunan milik debitornya tetap diserahkan oleh Kantor Lelang Negara kepada pihak kreditor perorangan tersebut?
Brief Answer: Undang-Undang Hak Tanggungan sebenarnya telah secara tegas, jelas, serta eksplisit menjadikan asas “droit de preference” sebagai jaminan pelunasan hutang dari agunan yang diikat sempurna oleh Hak Tanggungan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan. Dalam artian, nilai nominal hasil penjualan lelang atas agunan yang menjadi jaminan pelunasan “Piutang Preferen” (lelang eksekusi Hak Tanggungan), yang menjadi hak dari pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan selaku “Kreditor Preferen” ialah sebatas nilai preferensi atau yang didahulukan pelunasannya sebagaimana tercantum besaran nominalnya dalam Sertifikat Hak Tanggungan.
Adalah merupakan “perbuatan melawan hukum”, bila seorang atau suatu lembaga yang notabene “Kreditor Preferen” yang disaat bersamaan berkedudukan pula selaku “Kreditor Konkuren” terutama bilamana total hak tagih atau piutangnya melebihi atau melampaui nilai preferensi sebagaimana dalam Sertifikat Hak Tanggungan, ternyata secara seketika menguasai seluruh hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan yang bersifat preferensi sebagaimana Sertifikat Hak Tanggungan, termasuk juga mengusai nilai nominal hak tagih “konkuren” yang hanya dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan secara perdata untuk menagih pelunasannya terhadap piutang “konkuren” dari sang kreditor.
PEMBAHASAN:
Bila kita memahami betul makna “parate eksekusi” yang bermakna lelang eksekusi diajukan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan berdasarkan kuasa yang diberikan oleh pemberi jaminan (pemilik agunan) untuk mengeksekusinya secara “serta-merta” (tanpa perlu didahului gugat-menggugat untuk mengeksekusinya) sebagaimana tertuang pemberian kuasa demikian dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang dilekatkan menjadi satu-kesatuan dengan Sertifikat Hak Tanggungan, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan “Pemohon Lelang Eksekusi Hak Tanggungan” ialah pihak pemlik agunan, BUKAN pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan.
Mengingat karena yang sejatinya secara yuridis-formil menjadi pihak “Pemohon Lelang Eksekusi Hak Tanggungan” ke Kantor Lelang Negara ialah pihak pemberi jaminan selaku pemilik agunan jaminan pelunasan piutang demi kepentingan kreditor dari sang debitor yang dijamin dengan agunan yang diikat dengan Hak Tanggungan, maka sejatinya Kantor Lelang Negara memiliki kewajiban yuridis-formil untuk menyetorkan nominal hasil penjualan lelang eksekusi dengan dua pembagian sebagai berikut: Pertama, diserahkan nominal senilai preferensi sebagaimana tersebut besaran nominalnya dalam Sertifikat Hak Tanggungan. Kedua, hasil penjualan selebihnya dilakukan konsinyasi pada rekening pihak Kantor Lelang Negara untuk sewaktu-waktu dapat diambil oleh pihak yang berhak, yakni pemilik jaminan.
Bila pihak kreditor masih memiliki piutang “konkuren” yang belum terlunasi oleh sang debitor, maka sang “Kreditor Konkuren” hanya berhak untuk menuntut pelunasan piutang “konkuren”-nya ke hadapan pengadilan dalam bentuk gugatan wanprestasi pelunasan hutang. Itulah juga sebabnya, bila pemilik agunan tidak merangkap sebagai debitor, namun murni sebagai pemilik agunan yang memberikan hak atas tanah miliknya sebagai jaminan pelunasan hutang sang debitor, sebesar dan sebatas nilai nominal dalam Sertifikat Hak Tanggungan (mengingat harga jual objek agunan dapat jauh lebih tinggi dari nilai preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan), maka tidak dapatlah secara serta-merta pihak kreditor dari sang debitor memungut pelunasan piutang “konkuren”-nya dari hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan, namun hanya berhak semata sebesar piutang “preferen”.
Fakta yuridis di atas itulah, arti atau makna pencantuman nilai nominal preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan, yang bukan tanpa memiliki maksud maupun konsekuensi yuridis terkait pelunasan piutang bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan (“Kreditor Preferen”). Dengan kata lain, sifat “Preferen”-nya ialah memiliki batasan alias terbatas, yakni terbatas sebatas nilai nominal preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan.
Solusi alternatif lainnya, pihak “pembeli lelang” alias “pemenang lelang”, memecah nominal pelunasan harga terjual lelang eksekusi Hak Tanggungan, dengan menyetornya kepada : Pertama, kepada pihak kreditor pemegang Sertifikat Hak Tanggungan, hanya sampai sebatas sebesar nominal preferensi yang tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan. Kedua, bila nilai terjual lelang melampaui nilai preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan, maka pihak “pemenang lelang” menyetor dalam bentuk konsinyasi ke rekening pihak Kantor Lelang Negara atau langsung ke rekening milik pihak pemilik agunan (alias pemberi jaminan).
Praktik selama ini pada berbagai Kantor Lelang Negara, melahirkan “moral hazard” disamping melanggar tertib hukum perdata, dimana para kreditor pemegang Hak Tanggungan kerap secara “main hakim sendiri” (eigenrichting) dengan merampas seluruh nominal harga hasil terjual lelang eksekusi hak tanggungan, sekalipun nilai terjual lelang agunan jaminan pelunasan hutang milik penjamin ternyata jauh diatas nilai nominal preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan, yang artinya pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan, secara “main hakim sendiri” sekalipun “melawan hukum” secara melawan hak mengambil pelunasan piutang “konkuren” tanpa mengikuti prosedur hukum acara perdata yang semestinya, yakni via gugatan secara perdata, gugatan wanprestasi terhadap sang debitor dan tidak memiliki “hak retensi” seperti merampas dan menahan dana “konkuren” hasil terjual lelang—karena sang kreditor bukan lagi “Kreditor Preferen” atas piutang “konkuren”-nya, dimana telah berulang kali kita bahas bahwasannya keberlakuan sifat piutang yang “preferen” sebatas nilai preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan.
Kemanakah pihak pemenang atau pembeli lelang eksekusi di Kantor Lelang Negara, membayar pelunasan harga terjual lelang? Itulah dilematika pertanyaan klasik yang bila kita jawab secara logis sesuai asas Hak Tanggungan, justru memperlihatkan bahwa selama ini pula selama puluhan tahun berjalan pada praktiknya di Kantor Lelang Negara, senyatanya pihak Kantor Lelang Negara telah melakukan “perbuatan melawan hukum” sekaligus melanggar hak pemilik jaminan dengan menyetor seluruh hasil terjual lelang kepada pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan, sekalipun didalamnya (bisa jadi) terkandung nominal harga “Konkuren” disamping “Preferen”—sekalipun jelas-jelas kreditor pemegang Hak Tanggungan hanya berhak atas pelunasan piutang “preferen” semata, BUKAN “konkuren”.
Perbuatan melawan hukum oleh otoritas negara atau pemerintah (abuse of droit) demikian, seperti ketika “pemenang lelang” menyetorkan sejumlah harga terjual lelang kepada pihak Bendahara dari Kantor Lelang Negara, pihak Kantor Lelang Negara alih-alih menyetorkan nilai “konkuren” kepada pihak pemilik agunan, justru menyetorkan seluruh nominal harga terjual lelang baik “konkuren” maupun “preferen” kepada pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan—maka bila itu sampai terjadi, pihak pemilik agunan dapat mengajukan gugatan terhadap Kantor Lelang Negara ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Mengingat sifatnya yang saling berlainan antara “Piutang Konkuren” dan “Piutang Preferen”, maka menjadi logis bila hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan hanya memberikan sumber dana cair guna pelunasan terhadap kreditor dengan “Piutang Preferen”, sementara terhadap “Piutang Konkuren” dari sang kreditor sama sekali tidak ditanggung oleh agunan jaminan pelunasan piutang yang sekalipun diikat sempurna dengan Hak Tanggungan. Adalah hak pihak pemilik objek jaminan sejak semula pertama kali dirinya bersedia menjadi penjamin pihak debitor, hanya menjamin pelunasan hutang debitor sebesar sebagaimana nominal yang tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan.
Karenanya, kesalahan terbesar mungkin bukan terletak pada pundak kreditor pemegang Hak Tanggungan, yang sekadar menerima penyerahan dana hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan yang bercampur-aduk antara “Konkuren” dan “Preferen”—sekalipun objek jaminan pelunasan piutang yang dilelang eksekusi Hak Tanggungan hanya untuk menjamin pelunasan piutang jenis “Preferen”—dari pihak bendahara Kantor Lelang Negara, menjadi terang-benderang bahwa kontribusi kesalahan terbesar dipikul oleh pihak bendahara Kantor Lelang Negara selaku penyelenggara lelang eksekusi Hak Tanggungan dan yang menerima dana hasil penjualan lelang eksekusi dari pihak pembeli / pemenang lelang eksekusi Hak Tanggungan.
Karenanya pula, menjadi sangat mengherankan ketika kalangan debitor dan/atau pemilik jaminan kebendaan, tidak pernah satu kali pun dijumpai kasus dituntut pidananya oleh sang pemilik agunan terhadap pihak Bendahara Kantor Lelang Negara ataupun pihak penanggung jawabnya, atas haknya berupa uang hasil penjualan lelang yang berjenis “konkuren”—dana hasil penjualan lelang eksekusi yang berjenis “preferen” memang sudah sepatutnya dan secara yuridis dapat dibenarkan seketika dan serta-merta menjadi hak pelunasan kreditor pemegang Hak Tanggungan—ternyata alih-alih diserahkan kepada pihak penjamin atau pemilik agunan, justru diserahkan pula kepada pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan sehingga sempurnalah rumusan delik pasal tindak pidana “PENGGELAPAN” sebagaimana tertuang pengaturannya dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Sekalipun sejatinya pengetahuan legal-formil dan yuridis dibalik instrumen hukum Hak Tanggungan dan eksekusinya, terutama perihal asas “droit de preference” dari sifat jaminan pelunasan piutang atas agunan yang diikat sempurna Hak Tanggungan, telah menjadi pengetahuan yang umum sifatnya karena diketahui oleh beragam kalangan mulai dari akademisi, praktisi, tidak terkecuali kalangan pengacara di Indonesia, tetap saja sukar dipahami dan dimengerti mengapa hingga saat kini tiada pernah dijumpai satu pun kasus tuntutan pidana terhadap pihak Bendahara Kantor Lelang Negara maupun pihak Kreditor pemegang Hak Tanggungan yang diproses bersama-sama secara “penyertaan” atas delik pidana “PENGGELAPAN” dana “konkuren” milik sang pemilik agunan. Bagaimana mungkin, dana hasil penjualan yang bersifat “konkuren” diserahkan oleh Kantor Lelang Negara kepada “Kreditor Preferen”?
Jika antara piutang dan dana “konkuren” maupun “preferen” pada praktik di Kantor Lelang Negara, disamakan, maka apalah lagi sisa dari makna Hak Tanggungan jika demikian? Hak Tanggungan bermakna didahulukan pelunasannya secara preferen, karenanya hanya berhak atas dana pelunasan yang bersumber dari eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan nilai preferensi dalam Sertifikat Hak Tanggungan secara mudah tanpa perlu “fiat eksekusi” terlebih melalui mekanisme gugatan perdata ke pengadilan.
Justru karena sifatnya yang saling berbeda dan berlainan satu sama lain antara “konkuren” dan “preferen”, yang membuat “Piutang Konkuren” tidak memiliki keistimewaan layaknya “Piutang Preferen” yang bersumber dari hasil penjualan lelang eksekusi agunan yang diikat sempurna Hak Tanggungan. Jika antara “konkuren” dan “preferen” adalah sama-serupa-identik dan dapat saling dipertukarkan, maka untuk apa ada instrumen hukum Hak Tanggungan, serta mengapa Undang-Undang Hak Tanggungan tidak dibubarkan saja keberlakuannya? Uniknya, berbagai kalangan debitor maupun pemilik jaminan di Indonesia, seolah-olah tidak berdaya atau mungkin mengetahui namun tidak menyadari makna implisit dibalik instrumen hukum Hak Tanggungan, sehingga tidak mengetahui betul hak-haknya sendiri yang diamputasi oleh praktik di Kantor Lelang Negara.
Sama ganjilnya dengan ketika nilai terjual lelang terhadap objek Hak Tanggungan, ternyata jauh melampaui total piutang pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan, tetap saja pihak Bendahara pada Kantor Lelang Negara justru menyerahkan dana pembelian yang telah diserahkan “pemenang lelang”, seluruh dan sepenuhnya kepada pihak kreditor sehingga sang kreditor dapat melakukan aksi “main hakim sendiri” dengan mendebit dana milik debitor untuk pelunasan “Piutang Konkuren” sang kreditor—yang juga sama janggalnya ialah ketika agunan merupakan milik pihak ketiga, yakni milik pemberi jaminan kebendaan murni (yang tidak merangkap sebagai debitor), tetap saja Kantor Lelang Negara secara salah alamat justru menyerahkan seluruh hasil terjual lelang kepada pihak “kreditor dari sang debitor” yang mana bisa jadi antara pihak debitor dan pihak pemilik jaminan ialah dua subjek hukum yang saling terpisah. Praktik demikian bukanlah mitos, wacana, ataupun tudingan, namun fakta yang terjadi pada realita lapangan di berbagai Kantor Lelang Negara di Indonesia—seolah tidak pernah mendapat sentuhan pembenahan ataupun supervisi dari segi administrasi penanggung-jawab bendahara Kantor Lelang Negara.
Menjadi lebih pelik, ketika kreditor pemegang Hak Tanggungan ialah berlatar-belakang kreditor perorangan non lembaga keuangan perbankan, maka hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan seutuhnya diserahkan oleh pihak Kantor Lelang Negara kepada pihak kreditor perorangan demikian, sekalipun bisa jadi total nilai “Piutang Preferen” maupun “Piutang Konkuren”-nya jauh dibawah nominal hasil penjualan lelang eksekusi terhadap objek agunan, namun sang kreditor tidak bersedia menyerahkan dana diluar “Piutang Preferen” yang menjadi hak pelunasannya kepada pihak pemilik agunan (pemberi jaminan), maka justru beban untuk mengajukan gugatan perdata yang semestinya diajukan oleh pihak “Kreditor Konkuren” atas “Piutang Konkuren”-nya, beralih menjadi beban pihak debitor atau pemilik agunan untuk menggugat sang kreditor agar tidak menguasai dana miliknya secara melawan hukum dan tanpa hak.
Bukanlah tidak mungkin, namun suatu keniscayaan, sang kreditor perorangan setelah menerima seluruh dana penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan, kemudian membawa kabur dan menggelapkan dana diluar “Piutang Preferen”—namun aktor utamanya, sekali lagi, bukanlah sang kreditor, namun pihak Bendahara pada Kantor Lelang Negara yang menyerahkan semua dan seluruh dana hasil penjualan lelang eksekusi Hak Tanggungan kepada pihak kreditor bersangkutan, sehingga membuka ruang celah serta peluang penyalah-gunaan untuk “main hakim” sendiri ataupun untuk “digelapkan”. Kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat, namun juga karena adanya kesempatan berupa prosedur atau SOP yang absurd di Kantor Lelang Negara.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.