Memasukkan Pasal-Pasal Pidana ke Dalam Kontrak Perjanjian Perdata

LEGAL OPINION

Merancang Klausul Kontrak, Dimana Wanprestasi Membawa Konsekuensi Pidana, agar Serius dan Komitmen Berprestasi Tidak Menyalah-Gunakan Keadaan

Question: Apa maksudnya memasukkan pasal-pasal pidana ke dalam kontrak perdata? Memangnya apa bisa, ingkar janji dipidana? Apa memang bisa, buat pasal-pasal di dalam kontrak, mirip seperti pasal-pasal di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang merumuskan larangan ataupun keharusan disertai ancaman pidana penjara bila dilanggar oleh salah satu pihak yang bersepakat dalam kontrak?

Brief Answer: Yang selama ini SHIETRA & PARTNERS rumuskan pasal-pasal dalam suatu perjanjian perdata untuk disepakati para pihak yang saling mengikatkan diri, bukan berupa pasal-pasal menyerupai rumusan delik dalam sebuah KUHP yang merupakan domain pembentuk Undang-Undang, namun berupa instrumen legal yang dapat mengerucut pada delik pemidanaan ancaman hukumannya.

Seringkali, sakralitas perikatan-perikatan dalam sebuah perjanjian yang telah disepakati, dikotorkan lewat sikap-sikap memandang remeh dan menyepelekan oleh salah satu pihak yang bersepakat di dalamnya sehingga muncul niat-niat dengan itikad kurang baik, semata karena persepsi seolah-olah “ingkar janji” hanya berkonotasi atau membawa konsekuensi sebatas gugatan perdata yang kerap “menang diatas kertas” tanpa dapat dieksekusi secara mudah terutama ketika tiada ada aset milik pihak Tergugat yang dapat disita oleh pengadilan.

Untuk mengatasi kendala demikian, kreativitas kalangan “Legal Drafter” sebagaimana selama ini diselenggarakan oleh Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS menjadi krusial dalam membangun substansi-substansi dalam suatu draf surat perjanjian yang mampu mengakomodasi serta memitigasi kecemasan-kecemasan maupun potensi disalah-gunakannya pengetahuan umum bahwa putusan atas gugatan perdata wanprestasi kerap-kali “menang diatas kertas”, kemenangan semu yang mana eksekusinya dapat menjadi masalah hukum lebih kompleks dan lebih diwarnai kemelut berkepanjangan.

PEMBAHASAN:

Sebagai contoh, untuk memudahkan pemahaman, kerap kita jumpai metode pembayaran ataupun pelunasan dalam sebuah surat perjanjian, entah Surat Perjanjian Hutang-Piutang, Surat Perjanjian Jual-Beli, Surat Perjanjian Sewa-Menyewa, dan lain sebagainya, cara pembayaran ialah berupa transfer antar rekening bank—metode yang sangat “klasik” (untuk ukuran era zaman yang sangat masif aksi modus-modus penipuan). Bila memakai metode transfer antar rekening demikian, tidak dibayarkan, tidak dicicil, atau tidak dilunasinya harga sebagaimana yang telah disepakati di dalam perjanjian, maka pada muaranya selalu merupakan perkara perdata semata, yang sangat sukar untuk ditarik ataupun digeser ke arah pidana.

Namun, ketika cara atau metode pembayaran diubah dari transfer rekening antar bank dari seorang debitor ataupun pembeli kepada kreditor ataupun penjual, diubah menjadi alat pembayaran berupa cek maupun bilyet giro, maka konsekuensinya tidak lagi semata ataupun sebatas gugatan wanprestasi tidak dibayarkan ataupun dilunasinya harga yang telah disepakati dalam perjanjian, namun juga dapat masuk secara paralel hingga dikategorikan sebagai tindak pidana “penipuan”—yang mana bukan sekadar wacana ataupun teori, namun sudah merupakan praktik peradilan perkara pidana selama ini.

Berbekal pengetahuan praktis “best practice” praktik peradilan perkara pidana “penipuan”, dimana bila telah terdapat lebih dari satu kali terjadinya cek ataupun bilyet giro yang diberikan secara berturut-turut ternyata “kosong” entah saldo pada rekening pemberi cek ataupun bilyet giro berstatus kekurangan dana atau bahkan kosong sama sekali ataupun dikarenakan rekening telah ditutup, maka “cek / bilyet giro (yang saldonya) kosong” tidak lagi semata perkara urusan perdata, namun telah menjelma perkara pidana “PENIPUAN” dengan ancaman vonis pidana berupa pemenjaraan.

Berbagai norma hukum bentukan preseden yang bersumber dari kebiasaan pada praktik peradilan di Mahkamah Agung Republik Indonesia, telah memperlihatkan pada kita bahwa Mahkamah Agung RI telah cukup konsisten terhadap preseden “cek / bilyet giro kosong sebagai pidana penipuan”, terutama bila “cek / bilyet giro kosong” demikian diberikan lebih dari satu kali secara berturut-turut, sehingga pengetahuan praktis demikian dapat dimanfaatkan dengan apik secara optimal untuk digunakan sebagai bahan penyusunan sebuah draf Surat Perjanjian yang ideal dari segi “pengamanan” bagi pihak kreditor ataupun pihak pemberi sewa, sebagai contoh.

Berkebalikan dengan itu, kalangan Legal Consultant selaku penasehat hukum dari para debitor yang mendapati draf Surat Hutang-Piutang yang mencantumkan alat atau instrumen pembayaran, cicilan, maupun pelunasan berupa cek ataupun bilyet giro, maka perlu memberikan perhatian ekstra serta memberi edukasi kepada sang klien selaku debitor agar serius serta tidak memandang remeh dibalik sebuah terlebih serangkaian “cek / bilyet giro kosong” secara berturut-turut, dimana ancaman serta potensi pemidanaan sebagai sanksinya, disamping konsekuensi perdata, dapat menghantui di masa mendatang.

Contoh lainnya, banyak Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik Surat Perjanjian Hutang Piutang secara “akta dibawah tangan” maupun “akta otentik di hadapan notaris”, yang sama sekali tidak mencantumkan maksud serta tujuan peminjaman dana oleh pihak debitor, terutama bila dalam jumlah nominal besar maka dapat dipastikan untuk keperluan modal usaha, namun demikian tidak disebutkan dalam Surat Perjanjian Hutang Piutang antara sang debitor dan sang kreditor, untuk keperluan bisnis atau usaha apakah sang debitor meminjam / berhutang sejumlah dana sebesar itu dari kreditornya.

Berbekal pengalaman berupa pengetahuan berbagai preseden terkait “wanprestasi yang berujung pidana penjara”, Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS karenanya merekomendasikan pihak klien yang berlatar-belakang kreditor yang hendak meminjam sejumlah dana untuk modal usaha, agar mencantumkan klausul yang bersifat khusus dan spesifik mengenai bidang usaha apakah yang digeluti oleh sang debitor yang membutuhkan pendanaan dari perjanjian hutang-piutang ini sebagai peruntukkannya.

Sebagai contoh, dalam sebuah preseden atau yurisprudensi yang pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, seorang debitor mengaku-ngaku serta mencantumkan tujuannya meminjam sejumlah dana dari kreditornya, ialah dalam rangka bisnis tambang batu-bara. Setelah dana pinjaman diberikan oleh kreditornya yang berhasil diyakinkan oleh sang debitor, selang beberapa waktu ternyata cicilan mengalami ketidak-lancaran, hingga pada akhirnya benar-benar “macet” untuk selanjutnya dan seterusnya. Ketika sang kreditor dikemudian hari mengecek dan meninjau lokasi tambang, alangkah terkejutnya sang kreditor karena ternyata pertambangan batu-bara yang diklaim oleh sang debitor sebagai miliknya, ternyata dimiliki oleh pihak lain.

Dengan laporan serta dakwaan sebagai tindak pidana “penipuan”, sang debitor berakhir pada vonis pemidanaan penjara sebagai pelaku pidana “penipuan”, oleh kreditornya. Mahkamah Agung RI menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa ternyata usaha tambang batu-bara yang diklaim oleh sang debitor ketika bermaksud meminjam sejumlah dana untuk kegiatan atau modal usaha, adalah FIKTIF adanya, sehingga unsur rumusan delik “penipuan” terpenuhi secara sah dan meyakinkan.

Pernah juga terjadi, seorang calon kreditor benar-benar memiliki kios penjualan busana yang mengklaim membutuhkan sejumlah dana dalam rangka ekspansi usaha penjualan busana yang digeluti olehnya. Ketika beberapa waktu kemudian paska pinjaman modal usaha diberikan, saat pencicilan hutang mulai tersendat dan menjelma “macet” sama sekali, barulah diketahui oleh sang kreditor bahwa kios penjualan busana milik debitornya selama ini telah tutup dan terjadi tindak pidana “pencucian uang” (money laundring) berhubung dana pinjaman senyatanya tidak digunakan secara semestinya untuk permodalan kegiatan usaha kios dan butik sang debitor, namun dipergunakan untuk membeli berbagai aset dan properti atas nama diri sang debitor maupun istrinya.

Tanpa dicantumkannya tujuan penggunaan dana pinjaman dalam Surat Perjanjian Hutang Piutang, maka kebebasan sepenuhnya ada di tangah sang debitor apakah untuk tujuan konsumsi, investasi, berspekulasi, pembelian aset properti, ataupun untuk tujuan lainnya, karenanya potensi penyimpangan serta penyalah-gunaan dana pinjaman semakin kian tinggi kejadiannya akibat adanya faktor “godaan” disamping “kesempatan” mengingat rancang-bangun Surat Perjanjian yang disepakati oleh mereka ibarat memberikan “ruang untuk bermain”.

Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, ketika kalangan Legal Consultant menjadi konsultan hukum kalangan debitor, mendapati adanya klausul pada draf Surat Perjanjian Hutang Piutang mengatur perihal tujuan dan peruntukkan dana pinjaman bagi pemodalan usaha tertentu dari sang debitor selaku klien pengguna jasa, karenanya menjadi krusial serta penting untuk menyampaikan disamping memberi edukasi bagi sang debitor agar benar-benar mengalokasikan dana pinjaman semata untuk kegiatan usaha tersebut, bukan “digelapkan” terlebih melakukan aksi “pencucian uang” untuk kegiatan-kegiatan lain diluar apa yang telah di-“declare” sebagai peruntukkan pemodalan usaha tertentu milik sang debitor di dalam Surat Perjanjian Hutang Piutang, dengan memerhatikan betul potensi ancaman resikonya bila dilanggar ataupun menyalah-gunakan dana pinjaman yang telah “dikunci” semata untuk tujuan kegiatan usaha tertentu dari sang debitor.

Itulah yang dimaksud serta disebut sebagai merancang klausul-klausul dalam sebuah perjanjian yang mengandung ancaman pemidanaan bila dilanggar, dimana ingkar-janjinya suatu pihak yang bersepakat didalam perjanjian demikian tidak semata berkonsekuensi hukum secara perdata semata, namun juga memiliki atau membawa serta potensi resiko berupa ancaman sanksi pemidanaan penjara seperti jeratan pasal pidana “penipuan” maupun “penggelapan” yang selama ini mendominasi “wanprestasi bernuansa pidana”.

Sama juga menjadi penting untuk mencantumkan perihal “pernyataan kebenaran”, semisal menyatakan betul bahwa sang debitor memiliki izin usaha dan masih berlaku, bahwa kegiatan usaha yang dimodali adalah milik dari sang debitor, dan lain sebagainya seperti klaim-klaim bahwa pendapatan bulanan dari hasil usahanya ialah sebesar nominal sekian sebagai proyeksi kesanggupan mencicil dan melunasi (dalam rangka penerapan asas “know your customer”), mendapat tender pekerjaan dari pemerintah, rekanan dengan sejumlah pelanggan, adalah benar adanya sehingga membuat yakin sang kreditor untuk menyalurkan modal usaha kepada sang debitor, dapat menjadi “pintu masuk” masuknya pasal-pasal terkait “pemalsuan” maupun “memasukkan keterangan palsu ke dalam akta”, yang notabene ialah ancaman sanksi pidana itu sendiri pada muaranya bila dilanggar.

Keterampilan serta pengalaman seorang “Legal Drafter” menjadi memiliki peran penting dalam memitigasi segala resiko penyimpangan ataupun itikad buruk dari seorang debitor, agar tidak “tergoda” dan disaat bersamaan menutup segala “kesempatan” untuk berbuat “fraud”. Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS menyediakan jasa “legal drafting” maupun “legal review” terhadap berbagai jenis Surat Perjanjian untuk tujuan bisnis klien pengguna jasa, baik dari sisi kepentingan debitor maupun untuk kepentingan kreditor. Bukan sekadar sebagai “deal maker”, namun juga selaku “solving and preventing maker”, sebagaimana falsafah Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS selama ini berpraktik dalam bidang non-litigasi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.