Mengapa Orang Indonesia Menakutkan dan Sangat (Patut) Ditakutkan? Ini Alasannya Bangsa Indonesia Begitu Menakutkan & Ditakutkan

ARTIKEL HUKUM

Ideologi “Penghapusan Dosa” & “Penebusan Dosa”, Virus dalam Tataran Alam Pikiran Manusia, Ancaman bagi Peradaban Bangsa Beradab

Dalam konsepsi serta perspektif “Hukum Karma”, adalah orang-orang jahat yang paling patut merasa takut untuk berbuat jahat, karena dirinya sendiri yang kelak akan mewarisi serta terlahir dari perbuatannya sendiri—karenanya berbuat jahat dan menjadi penjahat seperti menyakiti ataupun merugikan orang lain, menjadi demikian menakutkan dan patut dihindari oleh seseorang yang masih memiliki “akal sehat” (kecuali “akal sakit milik orang sakit”). Karenanya pula, tiada yang lebih membuat tenang serta damai hidup berdampingan dengan orang-orang yang “malu” (hiri) serta “takut” (otapa) untuk berbuat jahat, sehingga dapat dipastikan kita selaku bagian dari warga komunitas lokal maupun global, akan merasa aman bersama mereka yang “takut dan malu untuk berbuat jahat”.

Sebaliknya, ketika menghadapi atau harus berhadapan dengan orang-orang yang “tidak takut dan tidak malu berbuat jahat ataupun dosa”, maka kita-lah yang berpotensi menjadi atau selaku korbannya, yang harus merasa waspada karena takut berjumpa ataupun hidup berdampingan bersama para penjahat alias “pendosa” demikian, ibarat berjumpa “manusia serigala” yang menjadi serigala bagi sesamanya. Ketika seseorang memiliki falsafah atau pandangan hidup, bahwasannya dosa ataupun perbuatan jahat bukanlah hal tabu untuk dilakukan, bahkan meyakini tiada bahaya ataupun konsekuensi dibaliknya, maka adalah “beruntung” orang-orang jahat tersebut dan disaat bersamaan menjadi “kesialan” / “ketidak-beruntungan” bagi para korbannya yang menjadi korban / tumbal para penjahat demikian.

Menjadi sangat demikian kontras, menghadapi orang-orang yang memahami betul “Hukum Karma”, maka kita tidak akan pernah takut ataupun cemas maupun takut menjadi korban kejahatan mereka—Hukum Karma, sifatnya tidak dapat ditawar-tawar, dihapus, terlebih dipungkiri dan dihindari kepastiannya berbuah bagi sang pelaku itu sendiri tanpa dapat meloloskan diri. Sebaliknya, ketika orang-orang tersebut “tidak takut berbuat jahat” serta “tidak malu berbuat dosa”, maka kita-lah selaku calon korban yang paling patut serta harus merasa takut menjadi salah satu korban dari perbuatan para penjahat “berdosa” demikian. Penjahat adalah jahat, tiada pernah ajaran yang lurus dan suci menyatakan bahwa orang baik disebut sebagai “penjahat” ataupun sebaliknya orang jahat disebut “bijak”. Jangan pula berharap pemeluk keyakinan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, disebut sebagai orang-orang “SUCI”.

Kesucian ialah bersih, sementara kejahatan adalah kotor. Bila Tuhan dan alam surgawi dikonotasikan sebagai kemurnian, bersih suci, bebas dari kekotoran batin, maka bagaimana mungkin, seseorang umat manusia mengharapkan bahwa manusia yang kotor, korup, jahat, tercemar, berbahaya, berdosa, pendosa, dan tercela, dapat bersatu dengan Tuhan dan alam surgawi yang suci murni bersih? Ibarat api hendak bersatu dengan air, mungkinkah ataukah harapan yang “too good to be true”—harapan yang “corrupt”, kecuali ada di antara kita yang meyakini bahwa Tuhan adalah “Maha Korup”.

Pelanggaran adalah pelanggaran, pelakunya disebut sebagai pelanggar yang telah melanggar. Kejahatan adalah kejahatan, pelakunya disebut sebagai penjahat yang telah melakukan kejahatan. Dosa ialah dosa, pelakunya disebut sebagai pendosa yang berdosa. Uniknya, Bangsa Indonesia konon ialah bangsa yang “agamais”, mengaku ber-Tuhan, rajin beribadah, sangat selektif dari segi aturan keagamaan seperti memakan makanan tertentu saja, patuh terhadap ritual rutinitas, memiliki “vaksin iman” yang demikian membuta, serta merasa lebih tinggi daripada bangsa lain yang sekuler. Namun, mengapa disaat bersamaan cerminan wajah Bangsa Indonesia justru memperlihatkan tren yang sebaliknya, “tidak malu dan tidak takut berbuat jahat dan dosa”?

Mulai dari menyakiti orang lain secara perkataan maupun perbuatan fisik, melukai, mencuri, menipu, merampok, korupsi, berzinah, fitnah, ingkar janji, bersikap tidak adil, bullying alias aksi perundungan, berkata bohong, maupun berbagai perbuatan tercela dan perilaku hina lainnya, namun masih juga rajin beribadah, berbusana “agamais”, gemar memakai jargon-jargon keagamaan, serta meyakini telah memiliki “tiket” masuk alam surgawi lengkap dengan segala harapan “kesenangan duniawi” yang demikian patut di-sensor yang justru menjadi gambaran alam surgawi?

Setelah lama melakukan observasi serta penelusuran selama hampir separuh abad hidup dan menetap di Indonesia, penulis sampai pada satu titik kesimpulan maupun pembuktian, bahwasannya akar “penyakit” serta “masalah” bangsa ini ialah akibat ideologi berbahaya dan merusak bernama iming-iming “penghapusan dosa” maupun variasinya seperti “penebusan dosa”, yang mana sifatnya sama-sama “korup” bagi orang-orang “berakal korup”, dimana seolah-olah berbuat dosa (perbuatan jahat serta tercela) bukanlah lagi hal yang demikian tabu yang harus dijauhi dan dihindari untuk dilakukan sedikit maupun banyaknya—ibarat menabung uang kecil, lama-lama menggunung juga pada akhirnya. Menyepelekan uang kecil, akibatnya kita tidak pernah menabung. Sebaliknya, akibat gemar menyepelekan dosa, pada akhirnya seorang manusia justru menimbun dirinya sendiri dengan segunung dosa.

Semata karena “dosa dapat dihapuskan” atau bahkan “dosa telah ditebus ribuan tahun lampau” sehingga menyerupai “meminta maaf terlebih dahulu sebelum menyakiti dan merugikan korbannya” (setidaknya menurut ideologi yang sangat digemari serta menjadi favorit para kriminal dan para berandal tersebut, mengingat sifatnya yang “too good to be true”), maka menjadi pihak korban ialah kedudukan yang sama sekali tidak menguntungkan serta kurang terlindungi—sehingga yang kemudian menjadi “tabu” bukanlah lagi dosa seperti perbuatan jahat, namun adalah “tabu menjadi seorang korban.

Berhubung “dosa dapat dihapuskan” dan “dosa yang terhapuskan” (menurut ideologi “penghapusan dosa”, abolition of sin, bukan lagi sekadar remission of sin), karenanya segala hal buruk dan negatif ataupun yang jahat seperti maksiat, pelanggaran, kejahatan, maupun perbuatan tercela dan perbuatan hina lainnya, menjadi bukan lagi “barang baru” maupun “barang langka” di dunia manusia ini. Justru akan menjadi “barang buruan” untuk dikoleksi dan menimbun diri dengan bersama dengannya untuk dibawa mati ke alam baka sebagai bekal atau “modal”.

Menjadi mengherankan, bila terdapat satu keyakinan besar dunia tertentu, yang mana sangat intoleran terhadap agama maupun umat keyakinan lain, namun ternyata sangat demikian kompromistis terhadap perbuatan jahat, buruk, dan tercela semacam dosa karena menyakiti dan merugikan orang lain? Bila pada satu sisi, ideologi keagamaan mengklaim memiliki misi suci untuk memberanguskan maksiat dan perilaku dosa dari muka bumi ini, namun pada sisi lain justru menawarkan “iming-iming” bernama “penghapusan dosa” maupun sejenisnya seperti “penebusan dosa”, sama artinya agama demikian sejatinya sedang melestarikan dan memelihara maksiat ataupun berbagai dosa serta perbuatan buruk yang jahat nan tercela lainnya.

Bila dalam persepsi “Hukum Karma”, adalah sesosok penjahat yang beruntung bila selalu gagal untuk merugikan terlebih menyakiti dan melukai korbannya, dan sebaliknya adalah sosok penjahat paling sial di muka bumi ini bilamana mudah dan selalu berhasil untuk berbuat kejahatan seperti merugikan dan menyakiti orang lain; justru menurut persepsi keyakinan lainnya ialah berlaku prinsip yang berkebalikan dan bertolak-belakang dari prinsip “Hukum Karma”, yakni adalah menjadi sebentuk kerugian bilamana seseorang menjalani praktik hidup suci bebas dari perbuatan dosa, terlebih justru menjadi pihak korban yang dikorbankan, maupun untuk tidak menimbun dan berkubang dalam dosa, maksiat, ataupun perbuatan buruk-tercela-jahat lainnya.

Bila kita selaku umat manusia, memang dilahirkan dengan kodrat sebagai seorang “pendosa” yang “berdosa” karena mewarisi dosa leluhur (bertolak-belakang dengan prinsip utama Hukum Karma, dosa tidak dapat diwarisikan kepada anak maupun cucu, namun diwarisi oleh diri sendiri), maka menjadi pertanyaan yang sangat ironi untuk kita ajukan bersama : Mengapa hanya menjadi “pendosa kecil”? Mengapa tidak menjadi “Koruptor Kelas Kakap”, toh sama-sama dikodratkan serta disebut sebagai “pendosa”?

Alhasil, karena dikodratkan dilahirkan sebagai “pendosa”, adalah omong-kosong klaim ajaran yang mengaku-ngaku sebagai penuh kesucian dan kebaikan hati, bilamana keluhuran dan kejujuran saja demikian ditabukan serta dianggap sebagai suatu kemustahilan di mata para “pendosa” yang “berdosa”. Yang niscaya pada akhirnya, ialah satu buah jalan tunggal bernama menjadi “pendosa” yang “berdosa”. Bukan salah bunda mengandung.

Dalam ranah ilmu logika yang paling dasar, antara ajaran ataupun ideologi “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa” ataupun istilah-istilah sejenis lainnya, terhadap “perang melawan maksiat dan dosa” merupakan dua kutub ekstrim yang justru saling bertolak-belakang dan tolak-menolak alias menegasikan dan meniadakan satu sama lainnya. Justru karena adanya dosa dan maksiat, barulah ideologi “penghapusan ataupun penebusan dosa” mendapat tempat baginya untuk berpijak dan bersandar sebagai tulang-punggungnya sebagai cara jitu “promosi” menghimpun anggota yang kebetulan sedang terbelit dan memiliki banyak “hutang” yang hendak (harapannya) “tidak perlu dibayarkan”.

Tidak melakukan dosa dan maksiat, maka tiada dosa akibat perbuatan buruk yang jahat maupun dosa akibat maksiat yang dapat dihapuskan. Karenanya pula, menjadi sebentuk kerugian bila melakukan praktik samadhi semacam latihan kontrol dan pengendalian diri, dalam rangka berlatih untuk senantiasa penuh kewaspadaan serta penuh perhatian terhadap perbuatan diri kita sendiri, agar tidak merugikan terlebih menyakiti orang maupun makhluk hidup lainnya, baik secara disengaja maupun secara alpha / abai.

Dikarenakan orang-orang suci tiada rajin dan tiada berminat melakukan dosa, maka tiada “remisi” terlebih “penghapusan dosa”, semata karena tiadanya dosa untuk dihapuskan. Terlebih adalah sebentuk kemubaziran, bilamana dosa telah terlebih dahulu “ditebus” (“penebusan dosa”), sehingga adalah sebuah “dosa” bilamana “penebusan dosa” demikian tidak dimanfaatkan dengan baik dan justru disia-siakan dengan cara tiada melakukan dosa (absen dari berbuat dosa). Ibarat adalah “dosa”, bila membiarkan hewan liar maupun buah-buahan liar tumbuh di pinggir jalan tanpa dipetik dan dicuri.

Hal kedua yang paling menakutkan ialah, ketika di “dunia manusia” di Planet Bumi ini, manusia yang menjadi korban kejahatan para penjahat demikian tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya yang mana semestinya menjadi haknya, menjadi “mimpi buruk” tatkala Tuhan justru lebih menganak-emaskan para “pendosa” (alias para penjahat) tersebut, dengan cara menghapus dosa-dosa para penjabat demikian yang memohon penghapusan dosa kepada Tuhan alih-alih kepada korbannya, harus menelan pil pahit bahwasannya sekalipun sang korban juga dimasukkan ke alam surgawi, yang artinya pula sang korban akan kembali menemukan kenyataan yang sangat “duniawi”, yakni menjadi korban perundungan untuk kedua kalinya, menjadi korban penipuan untuk kedua kalinya, menjadi korban kekerasan fisik untuk kedua kalinya, yang mana singkatnya ialah “menjadi korban kejahatan untuk kedua kalinya” atau untuk yang kesekian kalinya.

Setidaknya, kisah buruk di atas tidak berlaku bagi umat pemeluk keyakinan “Hukum Karma”, dimana orang jahat sudah dapat dipastikan menempati tempat sebagaimana mestinya, layaknya aliran air sungai yang secara alamiahnya bergerak dan mengalir ke bawah, bukan ke atas, sehingga kisah mengenai “menjadi korban di dua alam kehidupan” bukan lagi menjadi “mimpi buruk”. Justru, menjadi “mimpi buruk” bagi kalangan pemeluk ideologi “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa” itu sendiri, dimana dirinya seolah dikodratkan “merugi” dua kali, yakni rugi dunia dan akherat.

Selama dunia dan peradaban manusia masih dirusak oleh ideologi yang sangat merusak moralitas manusia semacam demikian, yakni ajaran penuh “iming-iming” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka selama itu pulalah kejahatan serta berbagai perbuatan tercela primitif hingga maksiat modern, seperti pencurian, zina, korupsi, penipuan, kebohongan, ketidak-adilan, pengrusakan properti, kekerasan fisik, hingga pembunuhan, akan terus meraja-lela dan tiada akan pernah menemui titik akhirnya. Semata karena, umat manusia pemeluknya menjadi demikian “tidak malu” serta “tidak takut” berbuat jahat, dosa, maupun maksiat—dan menjadi sangat kontradiktif dengan gerakan anti korupsi, korupsi yang notabene ialah aksi pencurian, akan demikian diberi kebijakan “kompromistis” bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Janganlah mencuri, adalah sebentuk kerugian bila hanya menjadi seorang “pendosa kecil”, jadilah seorang koruptor kelas “kakap”.

Itulah sebabnya, hukum tertinggi dalam konsepsi “Hukum Karma”, ialah sebatas dua pasal norma, yakni “malu berbuat jahat” serta “takut berbuat jahat”. Sebanyak apapun ayat-ayat perintah dan larangan suatu ideologi, sepanjang masih terjebak dalam ajaran penuh “iming-iming” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang menyesatkan sekaligus merusak mentalitas seorang manusia yang semetinya humanis, maka selama itu pula-lah maksiat serta dosa maupun perbuatan buruk-jahat-tercela lainnya, akan tetap lestari dan bahkan seolah “dipelihara” agar dapat “beruntung” memanfaatkan dengan sebaik-baiknya ideologi penuh “iming-iming” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Antara kesucian yang konon mitosnya hendak dituju oleh berbagai keyakinan besar yang dikenal dunia modern ini, terhadap ideologi penuh “iming-iming” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, bagai api dan air, bukan lagi bagaikan minyak dan air, yang tidak mungkin dapat dipersatukan dalam satu jalan. Terlebih mencoba mensejajarkan antara kesucian terhadap maksiat maupun dosa, bertolak-belakang alih-alih sejalan. Bila kita betul meyakini serta meng-iman-i ajaran kesucian, maka mengapa terdapat ideologi penuh “iming-iming” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”?

Adalah sebentuk keserakahan yang tidak rasional, seseorang hendak disebut sebagai “suciwan” sementara itu demikian “tergila-gila” dalam kesehariannya seolah “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” menjadi menu sarapan sehari-hari bagaikan “belum berbuat dosa seakan belum makan atau seakan ada yang kurang” atau bahkan pernyataan yang sangat mendiskreditkan orang-orang yang hidup susah-payah selama ini dengan berbuat baik dan jujur dengan menyatakan bahwa adalah mustahil hidup jujur dan bersih tanpa kecurangan ataupun perbuatan tercela (“memakan” sebagai pelaku atau “dimakan” menjadi korban).

Ataukah, adalah ego yang demikian serakah dari seorang penjahat yang “terlampau besar untuk diruntuhkan” harapannya tentang ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” dimana tabungan deposito dosa-dosanya telah demikian menumpuk ibarat gunung yang menjulang tinggi, sehingga tiada jalan mundur ataupun pilihan lain selain mengingkari dan memungkiri “Hukum Karma”, menjadi semata meyakini tanpa keraguan akan kebenaran ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang sifatnya “too good to be true” bagi kalangan penjahat maupun pendosa yang sudah tidak mungkin untuk berjalan mundur untuk bertanggung-jawab. Apa yang kemudian menjadi distingsi atau pembeda antara seorang buronan dan seorang “pendosa” yang mengharapkan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”?

Ataukah juga, dengan berlakunya “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka segala dosa tersapu bersih terhapuskan, karenanya menjelma putih, jernih, bersih, dan murni kembali, selayaknya seorang bayi yang baru dilahirkan, seolah-olah agama merupakan alat kejahatan untuk “mencuci dosa”? Religion as a tool of crime, sin laundring. Kerugian bagi korban, dan disaat bersamaan menjadi keberuntungan bagi pelaku kejahatan yang menyakiti korban-korbannya. Hal demikian sama artinya mengecilkan serta mendiskreditkan peran jalan kesucian, latihan maupun praktik pengendalian diri, alias suatu kerugian bagi orang-orang yang selama ini menempuh jalan kesucian dengan tidak merugikan ataupun menyakiti orang lain, atau setidaknya bila melakukan kesalahan maka bersedia mengakui dan bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri alih-alih “lempar batu sembunyi tangan” dan berkelit.

Dahulu kala, sebelum dikenalnya agama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, yang juga mereka sebut sebagai zaman “jahiliah”, orang-orang yang jahat serta berdosa, tidak satupun dari mereka yang meyakini akan dimasukkan ke alam surgawi. Sebaliknya, sejak lahirnya agama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, orang-orang baik yang menjadi korban dan kalangan suciwan yang menjadi sangat dirugikan, mengingat orang-orang jahat maupun “pendosa” yang telah merugikan dan menyakiti para korbannya yang tidak bersalah, justru diberikan hadiah berupa alam surgawi—seolah-olah Tuhan lebih “pro” terhadap pelaku kejahatan dan disaat bersamaan berulang-kali melakukan diskriminasi dan ketidak-adilan bagi para korban yang tidak bersalah.

Kalangan suciwan sangat memperhatikan perbuatannya sehingga menghindari betul-betul perbuatan tercela sekecil apapun, terlebih perbuatan jahat maupun dosa. Kalangan kesatria sangat bertanggung-jawab dan mengakui segala perbuatan jahatnya, serta senantiasa siap untuk dimintakan pertanggung-jawaban maupun hukuman oleh pihak hakim maupun kepada para korbannya. Kontras dengan itu, orang-orang “berdosa” (para “pendosa”) justru sangat mengandalkan serta sangat bergantung terhadap konsep “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, sebagai legitimasi serta justifiksai bagi diri mereka untuk mengorbankan kepentingan maupun hak-hak orang lain yang dijadikan korban oleh para pelaku kejahatan yang “berdosa” tersebut.

Terdapat bahaya serta “moral hazard” dibalik konsep “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, yang tidak bisa tidak harus kita perangi bersama. Betapa tidak, umat manusia menjadi kerap mengabaikan perbuatan-perbuatan jahat mereka, merasa tiada harus memikul konsekuensi dibalik sikap-sikap jahat demikian, menjadi arogan serta jahat terhadap orang lain yang mereka perlakukan secara tidak adil, tidak patut, dan secara jahat, karenanya para pelaku kejahatan tersebut kemudian akibat tiada rambu-rambu untuk tidak berbuat jahat, menekan pedal akselerasi dalam kecepatan penuh sedalam-dalamnya dengan penuh kesenangan, melaju dalam jalan bebas hambatan, menuju NERAKA.

Alam neraka, yang diberi label sebagai “surga”, sebagaimana teknik marketing para “agen iblis dari alam neraka” yang diutus untuk mempromosikan alam neraka bagi para umat manusia, tentunya akan menggelar “karpet merah” bagi mereka yang memiliki niat dan kebiasaan jahat untuk berbuat kejahatan maupun untuk merugikan dan menyakiti para korbannya. Selamat datang di “surga”, dan menjadi penghuni baru yang bergabung bersama mereka yang telah terjebak di dalam “surga”. Setelah masa promosi berlalu, barulah label “surga” dilepaskan dari pintu gerbang neraka. JEBAKAN! Siapa yang serakah dan korup karena hendak menghapus dosa, dapat dipastikan akan terjebak.

Dengan bersikap sejujur yang Anda mampu, cobalah Anda menjawab pertanyaan berikut yang cukup Anda jawab bagi diri Anda sendiri : Apakah Anda bersedia dan dapat hidup dengan tenang, di tengah-tengah komunitas bangsa yang meyakini sepenuhnya ajaran “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”? Siapa tahu, Anda atau anak dan cucu maupun sanak-saudara Anda yang pada giliran selanjutnya akan menjadi pihak korban, setelah demikian banyak korban-korban berjatuhan dan bergelimpangan tiada keadilan di dunia manusia maupun di alam setelah kematian karena tampaknya Tuhan demikian berpihak kepada kalangan “pendosa” yang “berdosa”. Pilihan yang ada hanya dua : memakan atau dimakan, menjadi korban atau menjadi pelaku kejahatan yang mengorbankan korban.

Sebagai contoh, bila Anda mampu membaca pikiran orang lain, atau setidaknya cukup bagi Anda mengetahui bahwa keyakinan yang dipeluk oleh calon rekan bisnis Anda ialah seseorang umat dari agama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, dapatkah Anda dengan merasa tenang bersepakat memberikan sejumlah uang pinjaman tanpa disertai “hitam diatas putih”? Beranikah Anda, meminjamkan kendaraan ataupun memberikan kepercayaan sepenuh-penuhnya tanpa setitik pun keraguan, kepada orang-orang yang berhaluan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”? Khusus ketika berhadapan dengan Bangsa Indonesia, jangan pernah berikan hutang tanpa adanya agunan, bila Anda tidak ingin menyesal dikemudian hari.

Dengan mudahnya mereka akan berkelit ketika ditagih, saat terjadi cidera janji, bahwa dosa-dosanya yang telah melakukan praktik ingkar janji hingga penipuan maupun penggelapan atas dana yang Anda pinjamkan, adalah telah di-“cuci bersih” (sin laundring) oleh agama, seolah-olah agama mempromosikan maksiat serta kejahatan yang penuh dosa. Ketika dana pinjaman ditagih oleh Anda selaku sang kreditor, sang “pendosa” yakni “debitor macet” bersangkutan akan berkelit dan berkilah dengan mudahnya tanpa rasa bersalah ataupun “rasa malu” terlebih “rasa takut” akan dosa, menjawab dengan tenang dan dengan demikian ringannya bahwasannya sang “nabi” yang dipuja-puji olehnya yang akan “menebusnya” (baca : membayarkannya). Bagaimana pula, caranya bagi kita selaku kreditor, untuk dapat menagih dari sang “nabi” yang diyakini oleh sang “debitor nakal” yang bisa jadi adalah fiktif dan fantasi belaka sebagaimana imajinasi terliar kalangan “pendosa”?

Berbuat jahat, adalah tercela disamping memalukan, kecuali bagi mereka yang “sudah putus urat malunya”. Terlebih-lebih, secara vulgar memohon dan mengharap-harapkan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, adalah jauh lebih mengerikan, mengenaskan, memprihatinkan, disamping penuh cela serta demikian hina, adalah sangat amat memalukan—namun fakta realitanya, Bangsa Indonesia demikian gemar mempromosikan serta mengkampanyekan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, bahkan lewat pengeras suara yang dikumandangkan kepada umum dari tempat ibadah setiap kali beribadah, seolah bukanlah hal tabu untuk mengharapkan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang “too good to be true”—dimana para korbannya hanya dapat “gigit jari” dan “menangis dalam bisu” karena masih pula dibungkam oleh agama yang mempromosikan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Rugi menjadi korban.

Bila hakim di pengadilan, yang notabene adalah manusia yang humanis, menjatuhkan vonis hukuman bagi penjahat yang akan diadili demi menegakkan keadilan bagi para korban sang pelaku kejahatan, maka mengapa sosok se-agung dan se-mulia Tuhan yang semestinya Tuhanis dan lebih tinggi derajat moralitasnya daripada Humanis, justru lebih berpihak kepada pelaku kejahatan dan disaat bersamaan sangat mendiskreditkan kedudukan maupun posisi korban kejahatan dari sang pelaku kejahatan yang “berdosa”, seolah demikian permisif dan kompromistis terhadap “pendosa” yang “berdosa”?

Praktik kesucian, tiada dapat dibenarkan meremehkan terlebih menyepelekan dosa ataupun perbuatan jahat sekecil apapun—sedikit demi sedikit menjelma “gunung” serta kebiasaan, dimana kebiasaan menjelma pola pikir, pola pikir membentuk karakter, dan karakter mengarahkan kita kepada apa yang kemudian akan menjadi nasib kita. Orang suci manakah, yang membutuhkan “iming-iming” rendah dan dangkal semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”? Peradaban manusia barulah akan maju dan menjelma Humanis, ketika tiada ajaran “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang secara langsung ataupun tidak langsung akan merusak sendi-sendi moralitas bangsa beradab.

Ajaran “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” adalah musuh sekaligus virus berbahaya yang lebih merusak daripada ideologi k0munisme maupun liberalisme. Bila kedua ideologi demikian, selama ini telah dilawan, dilarang, serta ditolak sebagai terlarang, sekalipun bisa jadi para umat dari ideologi k0munisme maupun liberalisme adalah orang-orang baik adanya, tetap saja kedua ideologi demikian dilarang serta di-brendel keberlakuannya pada berbagai negara di dunia. Menjadi pertanyaan besar, mengapa ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang sangat berbahaya bagi pola pikir bangsa beradab, tidak dilarang serta dilawan oleh peradaban umat manusia, alih-alih memeluk dan membelanya dengan taruhan nyawa dan darah bila perlu?

Berhubung ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” hanya dibutuhkan oleh kalangan “pendosa” yang “berdosa”, maka dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan, bahwasannya ada “demand” maka ada “supply. Sepanjang masih terdapat mansuia jahat yang penuh dosa, maka selama itu pula ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” akan terus hidup serta berkembang dan mendapatkan umatnya, jauh lebih berbahaya daripada ideologi ter0risme maupun k0munisme—yang mana dalam bahasa penulis, ialah “musuh dalam selimut”.

Ulasan di atas tidak menunjuk satu agama tertentu, karenanya menjadi “DISCLAIMER” dimana penulis tidak dapat diganggu-gugat, dimana ketersinggungan menjadi urusan Anda pribadi, yang disaat bersamaan artinya telah “mengena” pada sasaran. Silahkan bagi Anda untuk membuat kontra-narasi bila memiliki pendapat berbeda atau bertolak-belakang dengan ulasan di atas, pada medium karya tulis milik Anda pribadi, sebagai bentuk atau simbol demokrasi penyampaian pendapat yang merupakan hak asasi manusia dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.