Makna HAK HUKUM dan KEWAJIBAN HUKUM, serta HAK & KEWAJIBAN PERIKATAN KONTRAKTUAL

ARTIKEL HUKUM

Ada Hak, (Maka) Ada Kewajiban. Tiada Kewajiban, (Maka) Tiada Hak. Itulah yang Disebut Keadilan Hukum

Ketika orang lain, selaku sesama warganegara yang sederajat di hadapan hukum, tidak menyakiti ataupun merugikan serta tidak juga melukai diri, martabat, maupun properti milik kita, maka tidaklah perlu kita mengucapkan kalimat berikut kepada mereka : “Trus, saya harus bilang terimakasih gitu, kepada kalian, karena tidak merugikan ataupun menyakiti diri ataupun properti milik saya?” Tidak melukai ataupun merugikan orang lain, sudah menjadi “Kewajiban Hukum” setiap warganegara terhadap warga lainnya. Disaat bersamaan, kontraprestasinya, kita selaku warga memiliki “Hak Hukum” untuk tidak serta bebas dari disakiti ataupun dirugikan oleh warganegara lainnya.

Sama halnya, ketika seseorang warga, katakanlah seorang wanita yang sedang berjalan kaki di jalan umum, mendadak dihadang oleh sekelompok pria jahat, entah untuk tujuan merampok ataupun untuk melakukan tindak asusila, maka (sejatinya) tidaklah perlu sang wanita berkata sebagai berikut kepada para berandal tersebut : “Maaf, tolong jangan rampok ataupun curi tas dan anting yang saya kenakan” atau seperti “Saya mohon maaf, tolong jangan perkosa saya.” Kesemua itu sudah menjadi “Kewajiban Hukum” seluruh warganegara untuk menghormati harkat serta martabat warga lainnya, dimana juga kita tidak perlu meminta “maaf” ataupun meminta “izin” untuk memakai apa yang sudah menjadi “Hak Hukum” kita.

Tidak terkecuali para Pegawai Negeri Sipil atau yang juga dikenal dengan istilah Aparatur Sipil Negara, mereka memiliki “Kewajiban Hukum” untuk melayani masyarakat dan publik, dimana masyarakat umum karenanya disaat bersamaan memiliki “Hak Hukum” untuk dilayani, karenanya tiada “Hak Hukum” bagi sang Aparatur Sipil Negara untuk meminta uang atau gratifikasi lainnya (pemerasan ataupun pungutan liar “pungli”) kepada rakyat pemohon pelayanan publik atas apa yang memang sudah menjadi “Kewajiban Hukum” sang Aparatur Sipil Negara sekaligus apa yang sudah menjadi “Hak Hukum sekaligus Hak Konstitusional” warga untuk dilayani sebagaimana mestinya. Tidak perlu pula bagi warga yang dilayani untuk mengucapkan “terimakasih” atas pelayanan yang diterima olehnya, karena memang sudah merupakan “Hak Hukum” kita selaku warga sipil, dimana sudah semestinya pula sang Aparatur Sipil Negara menjawab dengan tanggapan sebagai berikut : “Itu sudah menjadi TUGAS saya.

Bila kita mengenal konsep “Hak dan Kewajiban Hukum”, yang sumbernya ialah dari Konstitusi negara serta peraturan perundang-undangan (hukum positif suatu negara), dikenal pula “Hak dan Kewajiban Keperdataan” berdasarkan perjanjian alias hubungan hukum perikatan perdata, yang sifat paling utamanya ialah “peer to peer”, “person to person”, “legal entity to legal entity”, atau “business to business”—dimana tiada “Hak” maupun “Kewajiban” bila tiada yang berjanji dan bersepakat diantara dua atau lebih warganegara yang saling mengikatkan diri secara keperdataan, baik secara satu arah (seperti hibah) maupun bertimbal-balik (seperti jual-beli).

Sifat keberlakuannya pun proporsioal “ada hak, maka ada kewajiban”, satu sama lainnya sama-sama memiliki “hak dan kewajiban” secara saling bertimbal-balik (kontraprestasi), yang mana menjadi pilar falsafah dibalik asas “kebebasan berkontrak” ialah prinsip resiprositas / resiprokal, dimana dalam konteks “Hak dan Kewajiban Hukum” para pihak yang saling ber-kontraprestasi ialah antara dan antar Warganegara terhadap Otoritas Negara (Pemerintah).

Sebagai contoh, berhubung warganegara dirampas hak-haknya untuk “main hakim sendiri” maupun untuk menggunakan senjata api, maka otoritas negara memiliki “Kewajiban Hukum” untuk melindungi segenap warganegara-nya lewat sarana laporan atau aduan pidana yang wajib diproses dan ditindak-lanjuti oleh aparatur penegak hukum, serta jalur sarana pengadilan dalam hal gugat-menggugat yang akan diadili dan diputus oleh hakim.

Warganegara membayar pajak (seluruh rakyat notabene adalah pembayar pajak, dimana untuk berbelanja barang belanjaan pun kita setidaknya membayar sejumlah PPN, Pajak Pertambahan Nilai, dari total harga belanjaan), sehingga pemerintah memiliki “Kewajiban Hukum” untuk melayani masyarakat yang memiliki “Hak Hukum” untuk dilayani—meski menjadi pertanyaan falsafah “mana yang lebih dahulu”, warga patuh membayar pajak penghasilan barulah para Aparatur Sipil Negara melayani sepenuh hati tanpa “pungutan liar”, ataukah para Pegawai Negeri Sipil yang terlebih dahulu melayani sepenuh hati tanpa “pungutan liar” barulah warganegara patuh membayar pajak?

Kemelut demikian umpama pertanyaan mana yang lebih dahulu, telur ataukah ayam? Sejatinya, pemerintah perlu menunjukkan itikad baik untuk meyakinkan dan mengetuk hati segenap rakyat, lewat pelayanan publik yang bersih secara konsisten, barulah terbentuk budaya patuh hukum serta patuh bayar pajak dari segenap rakyatnya yang terbentuk sikap saling percaya (trust), tidak menampilkan “budaya” saling menaruh curiga dan saling “memakan” seperti yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Ada kalanya pula antara “Hak dan Kewajiban Hukum” bersinggungan dengan “Hak dan Kewajiban Keperdataan”. Sebagai contoh, dua orang warganegara saling mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan dalam rangka membangun rumah-tangga. Kewajiban sang suami untuk menafkahi keluarga dan kewajiban istri untuk merawat rumah-tangga, timbul akibat baik undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban antar pasangan suami-istri maupun akibat keduanya bersepakat untuk melangsungkan pernikahan, dimana “Hak dan Kewajiban Hukum” bisa jadi tetap berlaku dan melekat sekalipun kedua pasangan bercerai akibat aksi gugat-menggugat, sebagaimana ketentuan bagi mantan suami untuk memberikan nafkah bagi mantan istri.

Sementara itu sebagai contoh “resiprositas berpasangan” yang timbul akibat perjanjian, apakah ada “Kewajiban Kontraktual” bagi pihak pemesan barang ataupun pembayar '”ongkos kirim” untuk mengucapkan kata “terimakasih” kepada pihak kurir pengantar barang ataupun kepada pihak penjual ketika menerima barang pesanan? Faktanya, pihak pemesan / pembeli telah melakukan “Kewajiban Kontraktual” untuk membayar barang dan “ongkos kirim”, sehingga memang sudah menjadi “Kewajiban Kontraktual” pihak penjual dan pengantar barang untuk mengantarkan barang pesanan yang menjadi “Hak Kontraktual” pihak pemesan / pembeli secara baik dan benar.

Bila “Hak dan Kewajiban Hukum” adalah suatu resiprokal hak serta kewajiban yang bersumber dari negara berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum, maka “Hak dan Kewajiban Keperdataan” berlaku secara spesifik dan ter-cluster secara khusus individu tertentu dengan individu tertentu yang terlibat suatu kesepakatan dalam sebuah perjanjian yang tidak lain ialah perikatan perdata yang juga bersifat resiprositas.

Karena telah terikat dan saling mengikat, maka “Hak dan Kewajiban Keperdataan” yang bersumber dari suatu perjanjian-kontraktual, sifatnya tetap melekat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa kesepakatan oleh seluruh pihak, sehingga hak maupun kewajiban yang saling mengikat para pihak tersebut barulah akan tuntas dan selesai keberlakuannya bilamana seluruh kontraprestasi baik “Hak dan Kewajiban Keperdataan” pihak penjual / debitor maupun “Hak dan Kewajiban Keperdataan” pihak pembeli / kreditor, masing-masing telah tuntas sepenuhnya.

Sebagai contoh, sepanjang pembeli telah melaksanakan kewajibannya berupa pembayaran, maka dirinya memiliki hak yang dapat dituntut serta dipertahankan untuk menerima serta menuntut diserahkannya barang pembelian dari serta yang menjadi kewajiban pihak penjual, hak dan kewajiban mana akan tetap melekat sampai pihak penjual menyerahkan barang sesuai kesepakatan dalam perjanjian. “Hak dan Kewajiban Keperdataan” pun kerap diisi atau dilengkapi atau sebaliknya dibatasi oleh keberlakuan “Hak dan Kewajiban Hukum”, seperti tentang larangan adanya klausula baku, larangan menjual barang dengan “cacat tersembunyi”, dan lain sebagainya (vide Pasal 1337, Pasal 1338, dan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Berbeda lagi dengan “Kewajiban Moralitas” yang sandingannya ialah “Hak Moralitas”, keduanya tidak didasarkan pada ada atau tidaknya aturan hukum yang mengatur, namun semata “panggilan kemanusiaan” dan tanggung-jawab kemanusiaan yang bersumber dari seorang manusia yang humanis. Bila “Hak dan Kewajiban Hukum” sumbernya ialah Konstitusi Negara Kesaturan Republik Indonesia, sementara “Hak dan Kewajiban Keperdataan” bersumber dari kesepakatan dalam suatu perjanjian antar para pihak yang saling mengikatkan diri, maka “Hak dan Kewajiban Moralitas” bersumber dari nurani dan tanggung-jawab diri sebagai seorang manusia yang sudah sepatutnya berperilaku humanis dan manusiawi terhadap sesama manusia.

Bila ada diantara Anda yang bertanya, manakah yang paling tertinggi nilai kualitasnya antara “Hak dan Kewajiban Hukum”, “Hak dan Kewajiban Keperdataan”, ataukah “Hak dan Kewajiban Moralitas”? Jawabannya akan sangat sederhana, sesederhana bertanya pada diri kita sendiri, bilamana seseorang melakukan sesuatu sebagaimana perintah atau apa yang memang sudah menjadi kewajiban bagi dirinya, seperti Aparatur Sipil Negara yang melayani masyarakat maupun warga secara sepenuh hati, maka hal itu bukanlah kebaikan, namun sudah merupakan TUGAS PROFESI.

Sama halnya, seseorang pedagang tidak menipu pembelinya dan menyerahkan barang sebagaimana diperjanjikan, bukanlah sebuah kemuliaan, namun sudah merupakan KEWAJIBAN SESUAI JANJI. Sebaliknya, pihak penyelenggara negara memiliki “Kewajiban Hukum” untuk bersikap transparan, akuntabel, serta melakukan “keterbukaan informasi” bagi masyarakat umum yang karenanya adalah sebuah pelanggaran sekaligus kejahatan bilamana “Hak Hukum” rakyat tidak dipenuhi oleh otoritas negara.

Sementara itu, bilamana seseorang warga melakukan sebuah kebaikan dan perbuatan yang sifatnya memberikan kebaikan bagi orang lain, seperti berdana, bergotong-royong memberikan bantuan tenaga, memberikan penghiburan dengan kalimat yang menguatkan, bersikap saling merawat, saling menjaga, saling menghormati, saling menghargai, saling mengerti serta saling bertanggung-jawab, sekalipun tiada aturan hukum ataupun kesepakatan diantara sesama warga tersebut yang bisa jadi tidak saling mengenal satu sama lain, itulah yang disebut sebagai tindakan terpuji dan mulia disamping mendapatkan Karma Baik.

Sebaliknya, ketika “Kewajiban Moralitas” tidak diindahkan oleh seseorang secara sengaja maupun karena abai, itulah yang disebut sebagai perilaku ataupun tindakan tercela yang patut dicela dan terhina, disamping dapat berkonsekuensi tertanamnya benih Karma Buruk sekalipun bukan merupakan pelanggaran terhadap aturan hukum negara maupun tiada kesepakatan sebelumnya diantara mereka. Karena itulah, dari segi kualitas karena tiadanya “Hak dan Kewajiban Keperdataan” maupun “Hak dan Kewajiban Hukum”, akan tetapi tetap diindahkan dan diperhatikan serta dilaksanakan oleh seorang warga, maka itulah kualitas tertinggi yang dapat dicerminkan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang beradab—sekaligus cerminan “baik / mulia” atau “jahat / buruk”-nya seseorang warganegara.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.