KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kaitan / Hubungan antara Asas Resiprositas dan Asas Meritokrasi

ARTIKEL HUKUM

Hidup Ini Sendiri, Sifatnya Merepotkan. Bagi yang Tidak Ingin Repot, artinya Sudah Bosan Hidup, Silahkan Masuk Tong Sampah

Jika Anda Tidak Mau Merepotkan Diri, Untuk Apa Juga Orang Lain Ingin Direpotkan oleh Anda?

Meritokrasi, secara singkat dan secara sosiologis dapat dimaknai sebagai “yang tidak ingin repot-repot, tidak berhak untuk merepotkan serta tidak berhak mendapatkan penghormatan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain”. Merepotkan, berarti ada pihak yang direpotkan. Mau merepotkan, karenanya harus bersedia direpotkan. Sama halnya, yang “menipu” (artinya merepotkan orang yang ditipu atau terkena tipu olehnya) maka harus bersedia direpotkan dengan bersedia untuk “ditipu”. Bila tidak bersedia repot akibat “ditipu”, maka dirinya pun tidak berhak untuk merepotkan orang lain dengan “menipu”. Karenanya, prinsip “Meritokrasi” sangatlah bersandingan dan seiring-sejalan dengan prinsip “Resiprositas / Resiprokal” dalam derajat tertentu.

Sebagai ilustrasi sosiologis, mengapa lulusan Universitas Terbuka, tidak disukai kalangan pemberi kerja serta dipandang remeh “sebelah mata” oleh masyarakat? Semata karena mahasiswa lulusan Universitas Terbuka telah sejak semula diberi labelisasi atau stigma sebagai mahasiswa ataupun lulusan yang tidak mau repot-repot membayar mahal biaya kuliah, tidak juga mau repot-repot setiap hari selama bertahun-tahun datang dan pulang dari dan ke kampus, tidak ingin repot-repot sebagaimana para mahasiswa maupun lulusan Universitas Non-Terbuka—seburuk apapun kualitas Universitas Non-Terbuka dimaksud, setidaknya upaya serta jirih-payah para mahasiswanya lebih patut diakui karena telah teruji “pernah repot”.

Begitu banyak angkatan kerja yang tersedia di lapangan yang mencari lamaran kerja, maka adalah delusi bila pihak pembuka lowongan pekerjaan akan berminat menyeleksi dan repot-repot mengundang lulusan Universitas Terbuka yang “tidak ingin repot-repot” mendapat gelar kesarjanaan, dalam rangka mengikuti proses rekruitmen, testing, dan interview. Masih banyak lulusan Universitas Non-Terbuka yang mengantri di luar sana untuk diterima bekerja, sehingga sekalipun lulusan Universitas Terbuka melamar pekerjaan pada perusahaan atau pemberi kerja mana pun, adalah wajar bila pihak calon pemberi kerja “tidak ingin repot-repot” menghadapi orang-orang atau lulusan yang juga “tidak ingin repot-repot”.

Lulusan Universitas Terbuka selalu adalah lulusan yang sifatnya “tanggung-tanggung” sehingga mubazir saja adanya gelar akademik mereka—kecuali untuk tujuan murni menggali ilmu guna menjadi entrepreneur, bukan untuk mengejar “gelar akademik”. Namun bila memang tujuan utamanya ialah untuk menggali ilmu, belajar mandiri secara “online” bahkan dapat dilakukan pada Universitas Kehidupan, tidak perlu “tanggung-tanggung repot” pada Universitas Terbuka.

Karenanya, menempuh pendidikan yang sifatnya “tidak ingin repot-repot”, hanya cocok bagi mereka yang tidak bermaksud untuk menjadikan gelar akademiknya sebagai modal atau bekal untuk melamar pekerjaan. Dimana justru menjadi tidak adil, bilamana seseorang mahasiswa demikian bersusah-payah menempuh proses pendidikan tinggi pada Universitas Non-Terbuka, jirih-payah lengkap dengan segala pengorbanannya yang bersedia repot-repot hingga mencapai kelulusan dengan tidak sedikit biaya, tenaga, serta waktu untuk memperoleh gelar akademik, karenanya patut mendapat apresiasi dari masyarakat, penghargaan dari para calon pemberi kerja, serta penghormatan dari dirinya sendiri—berupa kepercayaan diri serta dipercaya disamping mendapat kepercayaan.

Terdapat satu keyakinan keagamaan tertentu, yang mana para umatnya mencela dan menghina praktik tradisi sembahyang turun-temurun seperti penyiapan altar penghormatan almarhum mendiang leluhur untuk mengenang serta sebagai tanda wujud bakti dimana secara rutin dan berkala membersihkan dan memberikan persembahan bunga ataupun buah-buahan, sebagai praktik budaya yang “merepotkan” (menurut istilah mereka, semata karena malas, dan hanya berminat untuk “semudah” dan “segampang” serta “semalas” seminggu sekali duduk manis “lip service” berupa menyanyikan paduan suara koor puja-puji yang mana menurut mereka sebagai cara untuk “melayani” Tuhan). Jika memang demikian adanya, lantas untuk apa juga para leluhur dan para dewa-dewi di angkasa mau repot-repot, merepotkan diri, serta dibuat repot untuk dan bagi para umat manusia tersebut?

Apakah merupakan diskriminasi serta ketidak-adilan, bila mereka yang berparas rupawan dan memiliki bentuk tubuh yang ideal, lebih dihargai dan lebih disukai ketimbang mereka yang gagal menjaga bentuk tubuh ataupun tidak merawat penampilannya? Justru sebaliknya, orang-orang yang bersusah-payah sepanjang hidupnya untuk mencari informasi perihal pola hidup sehat, diet rendah lemah, kemudian belajar-berlatih-berolahraga secara teratur demi menjaga berat badan serta rutin memakai berbagai produk dan kosmetik kecantikan agar tampil menarik dan rupawan / cantik memikat, memang patut diberikan penghargaan serta apresiasi oleh orang lain, atas jirih-payah dan segala daya-upaya mereka selama ini.

Para pertapa bersusah-payah mengontrol segala derita dan dorongan keinginan dalam dirinya, hidup dalam kondisi serba terbatas, bertahan dalam latihan diri dalam rangka mengendalikan keenam inderanya, karenanya layak dan patut bila para pertapa lebih disukai oleh para dewata dan para naga ketimbang manusia pada umumnya yang selama ini gemar mengumbar kekotoran batin serta nafsu-keinginan yang meluap-luap tidak terkendali—yang mana menurut para makhluk dewata, manusia demikian adalah “berbau busuk”, dimana sebaliknya para pertapa berbaju lusuh justru tampak memikat dan bersinar di mata para makhluk dewata menurut Sutta Pitaka, salah satu pitaka dalam Tripitaka.

Kita tidak dapat selamanya menunjuk “hidung” Kode Genetik seseorang sebagai pencetus potensi kelebihan berat badan seseorang. Sebesar apapun kontribusi sebuah Kode Genetik pada pribadi seseorang individu, adalah mustahil dapat mengakibatkan obesitas maupun bentuk tubuh yang berlebihan, bila bukan akibat faktor kelebihan konsumsi makanan (semua lemak di tubuh kita, asal sumbernya bukan dari genetik, namun dari asupan makanan).

Sama halnya, seseorang disebut sebagai “bodoh” bukan karena dilahirkan menjadi bodoh untuk seumur hidupnya sebagai sebentuk ‘kodrat”, karena jalur neuron dalam otak kita baru akan terbentuk dan terjalin lewat proses “pemahatan” berupa pembelajaran serta pelatihan disamping pembiasaan agar jalur-jalur baru dalam saraf neuron kita di otak terbentuk, terjalin serta terpahat secara kuat, apapun faktor genetik seseorang individu ketika dilahirkan. Seseorang “bodoh” karena dibiasakan serta terbiasa berperilaku “bodoh” serta mengasuh diri secara “bodoh” sepanjang hidupnya, bukan karena dikodratkan menjadi “manusia bodoh”.

Kurangnya faktor kontrol diri maupun kemauan untuk bersusah-payah berolah-raga, sehingga mengakibatkan berat badan tidak terjaga, mengakibatkan kurangnya penghargaan pihak luar diri, adalah sesuatu yang wajar-wajar saja sifatnya. Begitupula penampilan atau paras wajah yang cantik jelita ataupun tampan, bukan jatuh dari langit secara begitu saja tanpa adanya atau tanpa didahului oleh suatu sebab yang mendahuluinya. Segala sesuatunya ialah hasil atau buah dari benih Karma yang kita tanam dalam kehidupan sebelumnya, dimana orang-orang baik hati dengan rajin menanam benih Karma Baik, karenanya pada kehidupan saat kini menikmati buah manisnya berupa paras yang menawan dan menarik sedap dipandang disamping penuh talenta diri.

Tidak terkecuali mereka yang bersusah-payah sepanjang hidupnya untuk melatih ketarampilan seperti menari dan berdansa, belajar dan berlatih keterampilan bermain alat musik atau keterampilan lainnya, ataupun mereka yang bersusah payah berlatih membentuk otot-otot pada tubuhnya, sehingga memiliki penampilan yang atletis disamping ber-otot, maka kesemua itu patut mendapat apresiasi serta penghargaan dari publik berupa penghormatan serta dihargai melebihi mereka yang selama ini tidak bersusah-payah seperti mereka yang selama ini telah berkorban waktu serta tenaga dalam hidupnya sehingga menjelma seorang maestro yang dikagumi dan layak dijadikan teladan atau sebagai seorang “role model”.

Mengapa para ahli, dibayar lebih mahal daripada mereka yang bukan pakar dibidangnya? Semata karena para ahli adalah pakar yang mendalami suatu bidang profesinya, secara mendalam dengan jam terbang profesi maupun jam pembelajaran yang sangat panjang serta spesialis, karenanya pengorbanannya atas waktu serta tenaga disamping biaya-biaya yang telah dikeluarkan olehnya untuk menempuh riset serta pendidikan, patut diganjar balasan berupa honorarium tarif jasa yang lebih tinggi daripada mereka yang “sekadar tahu kulitnya” namun bukan ahli dibidangnya secara mendalam untuk dapat disebut sebagai seorang pakar.

Bagi yang tidak mau repot belajar dan mendalami serta menekui, wajar harus membayar mahal jasa seorang ahli, sebagai bentuk “kompensasi” ataupun penghargaan atas segala jirih-payah yang selama ini ditempuh oleh sang ahli—dimana bahkan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menegaskan secara eksplisit, bahwasannya hak atas kompensasi merupakan hak asasi manusia—sehingga layak disebut sebagai seorang “penjahat hak asasi manusia” bilamana ada pihak-pihak yang mencoba melecehkan seseorang yang sedang mencari nafkah secara legal lewat jirih-payah profesinya dengan menampilkan sikap-sikap “perbudakan” semacam “kerja rodi”.

Gaibnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang konon mengaku sebagai “agamais”, telah pernah secara sengaja memperkosa profesi penulis yang sedang mencari nafkah sebagai penyedia jasa Konsultasi Hukum, sekalipun mereka selama ini mereka telah menikmati berbagai publikasi ilmu hukum hasil pengorbanan penulis yang mana tidak terhitung jumlahnya dari segi waktu, biaya, tenaga, hingga kesehatan, justru “membalas air susu dan budi baik” alih-alih dengan kompensasi berupa tarif layanan jasa, namun “membalasnya dengan PERKOSAAN” terhadap profesi penulis, tanpa rasa malu serta tanpa rasa bersalah, bahkan masih juga menuntut dilayani serta melecehkan seolah perkosaan terhadap profesi orang lain belumlah cukup olehnya. Suatu cerminan moralitas yang sakit dan rusak dari bangsa yang rupanya memiliki budaya “balas air susu dengan air tuba”.

Budaya pragmatis serba instan seperti sikap-sikap “mau enaknya saja”, “tidak mau repot-repot” meski tiada kehidupan yang tidak merepotkan, “maunya segampang menyalah-gunakan” nomor kontak kerja dan email profesi orang lain, hingga yang “tak mau repot-repot” riset hukum belajar sendiri ataupun melakukan riset, “maunya semudah” memperkosa profesi orang lain, masih juga mengharap dilayani dan seolah-olah orang lain akan merasa senang direpotkan oleh orang-orang yang “tidak mau repot”? Bangsa Indonesia rupanya adalah bangsa yang rendah dalam tataran EQ, dimana EQ (daya empati) yang rendah merupakan cerminan SQ (Ketuhanan, sandingan Kemanusiaan bagi manusia) yang dangkal.

Memang mungkin pada dasarnya Bangsa Indonesia ialah bangsa yang “tidak punya malu” serta banyak terlahir dalam kondisi “putus urat malunya”, sebagaimana terbukti ribuan pelaku penyalah-guna nomor kontak kerja maupun email profesi penulis (yang sudah demikian jelas-jelas) selaku penjual layanan jasa konsultasi seputar hukum, masih juga para pelanggar serta para penyalah-guna tersebut tidak ingin repot-repot mencari dan mendatangi kantor hukum, tidak ingin repot-repot mendaftar dan mengantri, tidak ingin repot-repot membayar tarif jasa maupun ongkos jalan, tidak ingin repot-repot riset dan belajar hukum, tidak ingin repot-repot merepotkan diri sendiri, namun ingin semudah memperkosa profesi konsultan hukum serta memerkosa profesi orang lain segampang bermain handphone di tangan, namun masih juga mengharap, meminta, serta menuntut agar dilayani dan merepotkan orang lain yang sedang mencari nafkah—yang sama artinya memerkosa, merampok, serta sekaligus mencuri nasi dari piring milik orang lain yang direpotkan olehnya (baca : praktik mental terbelakang abad perbudakan oleh manusia satu terhadap manusia lainnya, penjajahan oleh bangsa sendiri, cerminan watak yang sangat tercela dan rendah, EQ dan SQ yang “tiarap”).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.