IQ, EQ, dan SQ sebagai Satu Kesatuan Paket, HQ (HUMANISTIC QUOTIENT)

ARTIKEL HUKUM

Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang EGOISTIK, Kebodohan (Ignorance) sebagai Sumber Sikap EGOISTIK yang Justru Dipelihara dan Dilestarikan oleh Pemerintah Bersama Masyarakatnya

Konon, sebuah survei menyebutkan bahwa Bangsa Indonesia ialah bangsa yang sangat dermawan dan gemar berdonasi. Benarkah demikian? Survei yang patut kita ragukan validitasnya tersebut menjadi kontradiktif terhadap realita bahwa ketika pandemik yang diakibatkan wabah Virus Corona Tipe-2 alias Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merebak kian hari kian parah mengkhawatirkan kondisinya, dengan ribuan kasus warga terjangkit mencapai ribuan kasus positif baru setiap harinya, dimana seluruh penjuru dunia telah melaporkan betapa mematikan serta eksis virus menular antar manusia ini disertai mutasi patogenitas sang virus penyebab wabah yang kian ganas, ternyata kurang dari sepuluh persen warga di Indonesia (setidaknya pada kota serta tempat kediaman penulis berada) yang memakai masker penutup hidung dan wajah (secara patut) serta setidaknya menjaga jarak ketika berkomunikasi serta saling berjumpa.

Betapa sangat tidak humanisnya Bangsa Indonesia, memberikan potensi bagi orang lain untuk tertular yang pada gilirannya berdampak pada tidak kunjung usainya pandemik akibat virus menular antar manusia ini, yang pada muaranya berlarut-larut penanganan dan pengendalian wabah yang tidak kunjung usai, kian rusaknya sendi-sendi perekonomian, kian sengsara warga yang harus melakukan “isolasi mandiri” dengan harapan pandemik cepat berlalu dengan harapan terputusnya “mata rantai penularan”, angka perceraian meningkat, angka pemutusan hubungan kerja meningkat, kasus “sakit jiwa” hingga halusinasi akibat tidak keluar rumah selama berbulan-bulan mengalami peningkatan signifikan dan kian mencemaskan, kegiatan usaha lesu “mati suri”, kesemua itu ialah akibat demikian EGOISTIK dan MISKIN EMPATI-nya Bangsa Indonesia yang “agamais” namun demikian ternyata amatlah tidak mencerminkan tingkat EQ (Emotional Quotient) yang paling rata-rata sekalipun.

Di Kota Wuhan pada khususnya, serta di China pada umumnya, maupun di Thailand, berlaku prinsip secara komunal dikala wabah (outbreak) merebak, bahwa “tidak keluar rumah” atau setidaknya “memakai masker” dikala wabah, “sudah merupakan perbuatan baik yang paling baik”. Dengan cara demikianlah, para warga bahu-membahu dan bergotong-royong demi kebaikan sesama manusia dan seluruh rakyat, dengan semangat serta jiwa rela berkorban dengan menahan diri melakukan “lock down” secara mandiri sekalipun tanpa perintah ataupun pengawasan pemerintah, berpuasa dari segi makanan ataupun kegiatan ekonomi, karenanya sudah merupakan donasi tertinggi dan terbesar dikala wabah ketimbang tetap berkeliaran keluar rumah atau bahkan dalam kondisi tanpa mengenakan masker penutup mulut dan hidung, dikala wabah merebak.

Kita akan berterima-kasih sekali terhadap sesama warga kita, bila seluruh masyarakat di negeri ini bersedia secara bergotong-royong untuk “lock down” diri, atau setidaknya paling minimum mengenakan masker dan saling menjaga jarak fisik dikala pandemik kian meraja-lela serta tidak menjadi “agen” penyebar wabah dengan bahkan secara terkamuflase sebagai “orang terjangkit namun tanpa gejala” dimana tidak membuat dirinya waspada serta tidak membuat orang lain menaruh waspada bahwa dirinya adalah seorang “agen pembunuh”.

Tanggung-jawab terbesar sebagai sesama umat manusia dikala wabah merebak, ialah dengan tidak meremehkan ancaman dibalik wabah menular mematikan. Bagi Anda yang “kebal”, belum tentu orang lain turut “kebal” terhadap wabah, dimana orang yang Anda tularkan bisa jadi kemudian akan menularkan keluarganya sepulangnya ke rumah, anggota keluarga mana memiliki resiko tinggi dan rentan akibat “lanjut usia” (lansia) maupun bila terdapat penyakit penyulit serta penyerta, sehingga tingkat mortalitasnya menjadi tinggi.

Bagaimana dapat diharapkan menjadi bangsa yang benar-benar pemurah dan gemar berdana, bila untuk urusan yang demikian serius seperti kesehatan dan keselamatan nyawa antar manusia, justru diremehkan dan disepelekan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang benar-benar penting dan urgen, diremehkan dan disepelekan. Sementara yang tidak penting seperti keluar rumah untuk tujuan bersenang-senang, dikala wabah, justru dianggap sebagai hal yang penting dan didahulukan diatas segalanya. Karenanya, tepat kiranya bila kita berikan vonis bahwasannya IQ (Intelectual Quotient) Bangsa Indonesia amatlah rendah—jika tidak dapat kita sebut sebagai “tiarap”.

Bila tindakan semacam “mencoba pembunuhan” dengan memberi potensi resiko menulari orang lain dengan virus penyebab wabah menular mematikan saja, “tidak malu” serta “tidak takut” berbuat sejahat demikian, sama artinya Bangsa Indonesia benar-benar “tidak takut dosa”. Artinya pula, SQ (Spiritual Quotient) Bangsa Indonesia dapat dinilai sebagai “jongkok”. Karena itu pulalah, tidak mengherankan bila penulis (mungkin) menjadi orang pertama di dunia yang membuat klaim bahwa terdapat kaitan atau sangkut-paut erat antara IQ, EQ, dan SQ, dimana bila IQ “rendah”, maka dapat dipastikan EQ dan SQ turut “rendah” adanya.

Antara ketiganya, IQ, EQ, dan SQ, merupakan satu paket alias satu-kesatuan—dimana tidak mungkin terjadi seseorang individu memiliki IQ “rendah” sementara EQ dan SQ “tinggi”, ataupun sebaliknya. Sehingga, kombinasi yang ada peluangnya hanya terdapat sebatas dua kemungkinan, sebagai berikut : IQ, EQ, dan SQ ketiganya “tinggi”, atau IQ, EQ, dan SQ ketiganya “rendah”. Penulis menyebut satu-kesatuan “paket quotient” demikian sebagai “HQ” alias “Humanistic Quotient”. HQ yang rendah, cerminan “Manusia (mirip) Hewan”. HQ yang tinggi, menjadi cerminan “Manusia Dewa”.

Sikap-sikap seperti tidak mengenakan masker dikala wabah, tetap keluar rumah sekalipun untuk tujuan yang tidak penting dan tidak perlu, tidak menjaga jarak fisik di ruang publik, tidak bersedia menahan diri ataupun berkorban “lock down” lewat berpuasa makan dan berpuasa ekonomi, sekalipun konon Bangsa Indonesia mengklaim sebagai “jagoan puasa makan”, tidak menghargai keselamatan nyawa orang lain yang berpotensi tertular, tidak menghiraukan laporan medik adanya korban jiwa yang tewas-meninggal akibat tertular sang virus penyebab wabah dan memilih untuk berspekulasi sekaligus menjadi “TELADAN YANG BURUK”, bahkan tidak merasa “takut dosa” ataupun bersalah ketika orang lain kemudian tertular dan mengakibatkan fatalistik kematian (sama artinya “membunuh” atau setidaknya “patut menduga dapat membunuh alias percobaan pembunuhan, dengan sengaja sebagai kemungkinan”), merupakan cerminan konkret tidak terbantahkan bahwasannya ternyata Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat EGOISTIK, alias “rendah” dari segi IQ, EQ, maupun SQ—patut kembali di-ingat, ketiganya merupakan satu-kesatuan paket, yang dapat juga kita simpulkan atau sebutkan bahwa Bangsa Indonesia memiliki HQ yang “jongkok” alias belum beradab serta masih jauh dari sifat-sifat beradab bangsa yang humanis.

Sekalipun sang virus penyebab wabah, telah dilaporkan dunia medik lokal maupun komunitas medik internasional sebagai nyata, eksis, serta real, dimana penularannya terjadi lewat medium antar manusia yang tidak menjaga jarak dan tidak mengenakan masker, tetap saja Bangsa Indonesia demikian “bebal”—alias cerminan IQ yang “tiarap”. Sikap-sikap arogansi serta kesombongan, ketika masih sehat dan seolah tampak “kebal”, tanpa menaruh empati terhadap warga lainnya yang bisa jadi sangat rentan dan beresiko tinggi atau bahkan terhadap para korban yang telah meninggal dunia, merupakan cerminan EQ yang “dangkal”. Dimana juga Bangsa Indonesia yang mencoba untuk “mencoba-cobai” Tuhan dengan cara tiada memakai masker dan tetap keluar rumah tanpa menjaga jarak untuk tujuan tidak penting, dikala wabah, merupakan cerminan SQ yang “rendah”. Sehingga, vonis yang dapat kita berikan bagi Republik Indonesia ialah sebagai negeri dengan bangsa yang memiliki HQ yang “tiarap”.

Ignorance” (kedunguan), merupakan lawan kata dari “Intelligence” (kecerdasan), dimana “Ignorance” memiliki padanan serta makna kata sebagai “lack of knowledge, education, or awareness”. Dengan kata lain, “Ignorance” merupakan kebalikan serta bertolak-belakang dari “Quotient”—yang karenanya pula, dapatlah kita sebutkan bahwa Bangsa Indonesia memiliki “Intelectual Ignorance” (II), “Emotional Ignorance” (EI), serta “Spiritual Ignorance” (SI) yang sangat tinggi.

Karena itulah, negara harus hadir dan berperan nyata menolong segenap rakyatnya agar tidak celaka akibat sifat-sifat ataupun sikap-sikap “ignorance” milik serta dari sang rakyat itu sendiri. Sebagai contoh, negara lewat otoritas pemerintahannya perlu membendung niat masyarakat sebagai ekses dari kebodohan / kedunguan (“Ignorance”, baik II, EI, maupun SI) rakyatnya yang hendak mengakses serta mengkonsumsi produk bakaran tembakau, obat-obatan terlarang, minuman keras beralkohol, dan segala bentuk barang madat lainnya yang melemahkan kesadaran ataupun yang merusak kesehatan mereka sendiri.

Begitupula pemerintahan yang tinggi dari segi IQ, EQ, dan SQ, tidak akan memberikan bantuan kepada rakyat dalam wujud “diberikan permen” ataupun “diberikan gula-guna” yang manis sebagai pemanis guna menyenangkan rakyatnya yang dikuasai oleh “ke-bodoh-an” (ignorance), bernama bantuan bahan kebutuhan pokok, bantuan uang tunai, dan segala embel-embel populis lainnya yang merupakan produk “pembodohan” dari “rezim pembodohan”. Baru-lah akan menjadi bantuan tertinggi dan paling bernilai harganya, bila pemerintah memberikan bantuan dalam wujud “LOCK DOWN” murni secara tegas dan secara keras, bila perlu secara represif bila rakyatnya yang “ignorance” mencoba membangkang dan mem-“bandel” hingga melakukan perlawanan.

Karanenya, “lock down” yang dilakukan pemerintahan China, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, merupakan wujud bantuan terbesar bagi rakyatnya agar terbebas dari pandemik akut mematikan yang disebabkan oleh virus menular antar manusia. Sehingga, bisa kita katakan bahwa Negara serta Bangsa yang paling dermawan serta pemurah, tidak lain tidak bukan ialah negara-negara tersebut yang kini telah berhasil mengatasi dan menangani pandemik, dimana geliat ekonomi dan pembangunan para warganya dapat kembali dilanjutkan dengan tenang, jauh meninggalkan negara-negara “ignorance” lainnya seperti Indonesia yang kian jauh tertinggal di belakang karena lebih banyak sibuk menguras sumber-daya perhatian, biaya, tenaga, serta waktu untuk sekadar menambal luka berdarah-darah (gejala) akibat pandemik yang dibiarkan “berlarut-larut” tidak kunjung usai (akar penyebab)—wujud pengabaian pemerintahan yang menjadi otoritas negara, pengabaian penguasa negeri terhadap nasib rakyatnya sendiri.

Antara pemerintah dan penduduk, yang sama-sama “ignorance”. Terbukti sudah, pemerintah Indonesia yang sedang berkuasa, tidak benar-benar mencintai rakyatnya karena minimnya ketegasan dikala wabah yang merebak memerlukan komando yang tegas dan ter-arah agar dipatuhi segenap rakyatnya (sekalipun dibawah ancaman laras senjata api), selain sekadar tebar klaim prestasi keberhasilan disamping sekadar “menghimbaukan” himbauan yang “minim kehadiran negara lewat otoritas penertibannya”, sekalipun senyatanya kalim demikian bertolak-belakan dengan realita, sekaligus sebagai suatu pembodohan terhadap publik untuk kedua-kalinya.

Indonesia sungguh ialah “Republik Ironis” yang dipimpin oleh seorang Kepala Negara sekalipun Kepala Pemerintahan yang kerap “membodohi” rakyat jelatanya sendiri, lebih banyak bicara dan klaim keberhasilan ketimbang benar-benar “bekerja (secara) cepat”, lebih banyak “kerja santai”, lebih gemar bermain sandiwara, namun minim prestasi ataupun komitmen. Ketika butuh ketegasan dikala wabah, dengan demikian urgen, justru Pemerintah Indonesia hanya sekadar “mengimbau” tatkala demikian represif terhadap para buruh dan mahasiswa yang berdemo “menolak terbitnya (suatu) Undang-Undang”? Justru menjadi aneh, tidak wajar, tidak patut, serta tidak dapat diterima akal-sehat, bila Indonesia mampu keluar dari ancaman wabah, bila rakyat bersama pemerintahnya sama-sama beritikad tidak baik—memang sudah sepatutnya dan sewajarnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.