Hubungan & Relevansi antara KORUPSI dan KOLUSI

LEGAL OPINION

Korupsi Bermakna Merugikan Hak-Hak Segenap Rakyat yang Lebih Miskin daripada Sang Koruptor, dan Kolusi Bermakna Merampas Nasi dari Piring Warga Lainnya

Question: Apakah jika seseorang tersangka, didakwa sebagai telah melakukan tindak pidana kolusi karena terbukti ada memberi suap (gratifikasi) ataupun menerima pemberian terkait kewenangan jabatan, maka apakah itu artinya juga para tersangka tersebut otomatis telah melakukan tindak pidana korupsi?

Brief Answer: Secara logika bisnis, sebagian besar karakteristik “kolusi” mengandung unsur “korupsi” sebagai konsekuensi logisnya. Sebagai ilustrasi, pemenang tender pengadaaan barang ataupun jasa dimenangkan karena memberi “uang pelicin” kepada oknum “Pejabat Pembuat Komitmen” dari pemerintah maupun pemerintah daerah selaku penyelenggara pengadaan barang dan jasa. Pihak pemenang tender yang melakukan kolusi dengan oknum Aparatur Sipil Negara tersebut, menerima anggaran dari pemerintah maupun pemerintah daerah dalam bentuk kucuran dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dengan atau belumnya APBN ataupun APBD disalurkan kepada pemenang tender, sebagian dari dana pembayaran dari pemerintah kepada pemenang tender tersebut sejak semula lewat konspirasi ataupun persekongkolan dalam rangka kolusi akan dialokasikan sebagian diantaranya sebagai dana untuk memberikan uang “suap” (gratifikasi) oleh pihak pemenang tender kepada pejabat yang berwenang dibidang pengadaan barang dan jasa.

Bila pembayaran APBN maupun APBD ternyata belum disalurkan, namun sang pemenang tender mengeluarkan dana pribadi miliknya terlebih dahulu untuk membayar uang “suap”, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi “kolusi” semata, terkecuali bila anggaran dana untuk uang “suap” bersumber dari pembayaran APBN maupun APBD yang telah terlebih dahulu dibayarkan sebelum pemberian “suap”, maka telah terjadi dua delik tindak pidana yang berlangsung secara simultan, yakni “kolusi sekaligus korupsi”.

Pelaku kolusi yang pandai, akan memilih untuk menggunakan dana pribadi miliknya terlebih dahulu sebagai sumber uang “uap” untuk “menyuap”, dimenangkan sebagai penyedia jasa dan barang, sebelum kemudian menerima pembayaran pengadaan barang dan jasa yang telah dimenangkan tendernya oleh sang pemberi uang “suap”, semata agar bila kolusinya ternyata cepat terungkap oleh aparatur penegak hukum, maka pasal yang dapat didakwakan Jaksa Penuntut Umum ialah hanya sebatas pasal “kolusi” semata, bukan “korupsi” karena sang terdakwa telah terlebih dahulu ditangkap aparatur penegak hukum sebelum sempat menerima sejumlah uang pembayaran bagi pemenang tender dari APBN ataupun APBD.

Namun demikian demi menghindari “moral hazard” serta tidak terkecuali mencegah penyalah-gunaan pengetahuan hukum, dimana pelaku kejahatan dapat “manalangi” terlebih dahulu uang “suap” dengan dana pribadinya, sebelum kemudian memenangkan tender dan menerima pembayaran dari APBN maupun APBD, maka dapatlah aparatur penegak hukum membuat konstruksi logis, dengan kriteria “sengaja sebagai kepastian” (menyuap pastilah akan dimenangkan dan mendapat kucuran dana dari APBN / APBD), dalam artian pihak pemenang tender telah dapat mengkalkukasi atau memperhitungkan secara prediktif perihal kepastian adanya pendapatan dari pembayaran yang akan diterima olehnya selaku pemenang tender sebagai kompensasi atas biaya pengeluaran ketika memberikan uang “suap”, dimana sebagai hasil kalkulasi “untung dan rugi memberikan suap” ialah akan tetap terdapat sejumlah keuntungan pada gilirannya dengan cara merugikan “keuangan negara” secara cepat atau lambat sebagai niat atau tujuan utamanya (mens rea), karenanya tindak pidana “kolusi” yang terkait penyaluran anggaran yang bersumber dari APBN maupun APBD, tetap tergolong sebagai tindak pidana “korupsi” sebagai tujuan utamanya.

Terdapat juga kolusi jenis kedua, sebagai contoh yang terjadi pada operator pelabuhan dan bongkar-muat peti kemas, dimana pihak pemerintah atau otoritas penyelenggara pelabuhan tanpa perlu mengadakan tender pengadaan jasa, memakai justifikasi berupa “celah dan penyelundupan hukum” untuk dibolehkan menunjuk penyedia jasa operator pelabuhan tanpa melalui proses tender pengadaan jasa bila sifatnya “ditunjuk untuk setiap satu tahun sekali”—sekalipun pada praktik yang selama ini terjadi pada berbagai pelabuhan besar di Indonesia, penunjukkan operator pelabuhan demikian sifatnya selalu diperoleh oleh satu atau segelintir pihak pengusaha swasta yang sama untuk sepanjang tahunnya dan setiap tahunnya lewat penunjukan ulang sehingga sejatinya tiada ubahnya pengadaan jasa pada umumnya, dimana modus operandinya ialah penunjukkan dan ditunjuk ulang untuk setiap tahunnya.

Kalangan pemberi suap mendalilkan, bahwa kolusi demikian tidak merugikan siapapun. Sejatinya, segala bentuk kolusi bersifat mendiskreditkan dan merugikan peserta tender (kompetitor) maupun penyedia barang dan jasa lainnya yang saling berkompetisi, sehingga yang kemudian terjadi bukanlah dalam rangka meritokrasi demi mendapat palayanan publik yang terbaik dan paling kompetitif bagi masyarakat oleh pihak penyedia barang dan jasa yang memenangkan proses tender maupun penunjukkan langsung penyedia pengadaaan barang dan jasa.

Pada gilirannya, tetap saja rakyat pada umumnya yang menderita kerugian dikarenakan tidak mampu dan tidak memungkinkan untuk bersaing sebagai kompetitor disamping kualitas pelayanan publik ataupun pengadaan barang dan jasa yang tidak optimal akibat minimnya semangat kompetitif yang dirusak oleh praktik kolusi yang hanya menguntungkan segelintir pihak yang terlibat kolusi, dengan atau tanpa adanya unsur korupsi didalamnya.

PEMBAHASAN:

Adalah sudah saatnya definisi “korupsi” dalam terminologi ilmu pidana perlu dikaji ulang serta disempurnakan, dalam artian bukan lagi bermakna “merugikan keuangan negara”, akan tetapi lebih tepatnya ialah “merugikan hak-hak rakyat yang lebih miskin”—sehingga sejatinya tindakan seperti “korupsi” maupun “kolusi” selalu menampilkan tiga corak kejahatan, yakni : tindak pidana “korupsi dan/atau kolusi”, tindak pidana “pencurian” (terhadap hak-hak rakyat, bahkan mengorbankan rakyat secara masif yang notabene lebih miskin daripada pelakunya), serta tindak pidana “penipuan” (dalam artian melanggar sumpah jabatan, dimana bila dirinya tidak melakukan sumpah jabatan ataupun tidak menanda-tangani pakta integritas sama artinya dirinya tidak akan diizinkan untuk menjabat ataupun dimenangkan sebagai pemenang tender pengadaan barang dan/atau jasa).

Kolusi maupun korupsi juga selalu bernuansa “kemunafikan”, dalam artian antara ucapan dan perbuatan ternyata saling bertolak-belakang, dimana “kemunafikan” merupakan unsur esensial dalam tindak pidana penipuan. Karenanya, terhadap seorang atau lebih pelaku korupsi ataupun tindak pidana kolusi, sudah seyogianya didakwa dengan dakwaan berlapis secara kumulatif, antara lain pasal-pasal terkait korupsi dan/atau kolusi, disertai pasal “juncto” terkait delik penipuan serta pencurian.

Meski demikian, fakta persidangan menunjukkan sebaliknya, para pelaku tindak pidana (murni) penipuan dihukum lebih berat daripada rata-rata vonis hukuman bagi para koruptor yang hanya dihukum sebatas kurang-lebih lima tahun penjara. Sehingga, semangat yang berlangsung di ruang persidangan seolah-olah melupakan atau bahkan mengabaikan fakta telah terjadinya delik “penipuan” disertai pula “pencurian” dalam setiap peristiwa tindak pidana korupsi maupun tindak pidana kolusi.

Menteri Sosial yang menjadi anggota Kabinet Menteri dibawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Juliari Peter Batubara, pada akhir tahun 2020 ditetapkan sebagai tersangka kasus kolusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus kolusi pengadaan barang berupa bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak pandemik yang diakibatkan oleh wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang membuat rakyat miskin kian termiskinkan dan kembali dimiskinkan akibat hak-haknya atas bantuan sosial di-“sunat”, program bantuan sosial yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha / makelar yang menjual kepada pemerintah barang-barang yang disalurkan kepada rakyat miskin.

Sang Menteri Sosial yang tampaknya tidak mendadapat didikan sebagaimana mestinya oleh sang Kepala Negara, disinyalir menerima dana kolusi senilai Rp. 10.000 untuk setiap paket bansos sembako yang dikucurkan pemerintah senilai Rp. 300.000. Total dari dua periode proyek pengadaan barang untuk tujuan bansos, sang menteri dikalkulasi menerima uang “suap” senilai Rp. 17.000.000.000 yang tidak lain tidak bukan bersumber dari dana APBN yang diperoleh oleh pihak penyedia barang yang ditunjuk oleh Kementerian Sosial sebagai harga pembayaran pengadaan barang. Kasus tersebut menjadi bukti konkret adanya pertalian yang erat antara korupsi dan kolusi, dimana kolusi bermuara pada korupsi itu sendiri, yakni “kerugian hak-hak rakyat yang di-sunat” oleh para pelaku kolusi.

Ternyata pula, sang Menteri Sosial, Juliari Batubara, sebelum tersandung kasus kolusi, cukup vokal mempromosikan gerakan antikorupsi. Yang mana ironisnya, kini sang Menteri Sosial (Mensos) yang diangkat oleh sang Kepala Negara justru menjadi tersangka hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat tersandung perkara kolusi—meski sayangnya, KPK hanya mendakwa dengan pasal terkait tindak pidana kolusi, alih-alih memasangkannya dengan pasal terkait tindak pidana korupsi secara kumulatif, sehingga berbuntut pegiat anti korupsi yang mendatangi kantor KPK guna memberikan “edukasi” bagi para pemimpin KPK yang semestinya telah berpengalaman dan memahami korelasi erat antara kolusi dan korupsi yang tidak dapat dipisahkan dalam banyak kasus.

Tepat satu tahun sebelum tertangkap tangan karena aksi kolusi, tepatnya pada 9 Desember 2019, Juliari dikabarkan oleh sejumlah media ternyata pernah memberikan pandangan “suci” terkait pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama dalam menyambut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Sang Mensos menyebut korupsi bakal tetap ada jika mental tetap bobrok.

Saya kira pemberantasan korupsi itu harus dimulai dari mental. Jadi mau sebagus apa sistem, seketat apa sistem, kalau mentalnya sudah bobrok ya tetep aja korup, ya,” demikian sebagaimana penuturan Juliari, saat itu, vokal dalam memberantas korupsi serta mengutuk perilaku para pelakunya. Namun, ucapan bukanlah sebuah teladan, dimana akan lebih fatal bilamana ternyata antara ucapan di mulut, isi pikiran di hati, serta tindakan nyata secara konkret di lapangan, ternyata saling bertolak-belakang.

Sebagaimana kita ketahui, ciri utama kalangan penipu ialah selalu menampilkan wajah atau citra penuh perhatian, baik hati, manis, pemurah, dalam rangka memenangkan hati serta untuk memperlemah kewaspadaan para calon korbannya terhadap modus-modus sang penipu. Semakin mendadak tampak penuh perhatian, baik hati, pemurah, serta penuh kata-kata bijaksana, maka semakin patut diwaspadai masyarakat—mengingat seluruh modus penipuan selalu menampilkan corak pola yang seragam dan serupa, yakni : manis di muka, melenakan, akan tetapi selalu pahit di belakang dan dikemudian hari.

Sang Mensos, Juliari, menuding korupsi dilatar-belakangi oleh sifat keserakahan, sifat mana harus diwaspadai betul-betul. Mereka yang tak pernah merasa cukup akan terdorong untuk melakukan perbuatan tercela semacam korupsi. “Karena ya itu tadi. Itu kan menurut saya antara lain karena sifat keserakahan. Jadi orang yang tidak merasa selalu cukup gitu loh, masih merasa kekurangan. Punya mobil dua, ingin punya tiga. Punya mobil tiga, ingin empat. Punya rumah satu, ingin dua. Punya rumah dua, ingin .... Ya ini kalo mentalnya seperti itu ya mau kapan, dibuat sistem seketat seperti apa yang akan ada korupsi terus. Jadi mulainya dari mental,” tambah sang Mensos.

Juliari menyebut sistem yang ada saat ini sudah cukup bagus. Dia menilai yang perlu diperbaiki saat ini adalah mental. “Kalau sistemnya sih udah cukup bagus ya, baik di internal kementerian, BUMN, BPK, ada juga KPK, kepolisian, kejaksaan, udah lengkap semua. Tinggal yang dibenahi itu mentalnya,” imbuh Juliari, yang entah apa yang kini disuarakan dalam benaknya ketika telah menjadi tersangka dan pesakitan di persidangan.

Juliari Batubara, sang Menteri Sosial yang tersandung perkara korupsi, ketika diwawancara kembali oleh wartawan, mungkin akan berkelit dengan pernyataan diplomatis sebagai berikut : “Yang saya bilang tahun lalu itu kan korupsi, korupsi yang saya cela dan patut oleh kita semua kutuk. Namun bukan KOLUSI. Korupsi dan kolusi itu berbeda. Korupsi itu mencuri dari rakyat, sementara kolusi yang saya lakukan ialah mencuri dari penyedia barang yang saya tunjuk langsung sebagai penyedia barang”.

Lantas, patut kita pertanyakan serta mintakan pertanggung-jawaban sebagaimana hak kita selaku rakyat jelata, sebagaimana konsep “tanggung jawab majikan”, apakah yang menjadi tanggung jawab sang presiden selaku Kepala Pemerintahan yang mengangkat para menterinya, selain aksi “lepas tangan”, “cuci tangan”, serta aksi “tebar pesona” klaim-klaim kesuksesan dan keberhasilan pemerintahan “kerja cepat” yang serba penuh jargon pencitraan belaka?

Dalam konteks korupsi maupun “kolusi bernuasa korupsi”, terdapat tanggung jawab keperdataan dalam hal ini, yakni “perbuatan melawan hukum” yang menimbulkan kerugian bagi rakyat, karenanya rakyat memiliki hak gugat secara perdata terhadap “vicarious liability” yang tidak lain ialah sang Kepala Negara untuk bertanggung-jawab serta membayar ganti-kerugian disamping dinyatakan sebagai telah melakukan “perbuatan melawan hukum”. “Bukan saya yang kolusi,” kilah sang Bapak Presiden secara sengit, yang pastinya.

Lantas, siapa juga yang menunjuk dan mengangkat menteri koruptor tersebut? Sang menteri koruptor bertanggung-jawab kepada siapa, serta menjadi anak buah siapa dan siapa jugakah majikan dari sang menteri koruptor? Hati nurani kita yang terdalam, sudah cukup mampu untuk menjawab kebenaran dibalik segala fenomena korupsi dan kolusi di republik yang tidak pernah kunjung “dewasa” namun “agamais” penuh pencitraan ini. Negeri ini tidak pernah kekurangan orang-orang seperti menteri korup demikian, bahkan terlampau banyak dan membanjiri sosial-kemasyarakatan kita, dimana kejujuran dan dapat dipercaya disamping sikap dapat bertanggung-jawab demikian langka sementara jargon-jargon politis bertebaran bagaikan pariwara sponsor produk komersiel.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.