SERI SENI HIDUP, Tegar dan Kuat Menghadapi Oral Bullying Orang Lain

ARTIKEL HUKUM

Biar Aneh, yang Penting JENIUS, Itu yang Paling Penting dan yang Terpenting. Selebihnya, Bukan Urusan Penting dan Silahkan Di-Eliminir dari Pikiran Kita

Selamat datang kembali pada “Kurikulum Kehidupan” dari “Universitas Kehidupan” yang dikelola oleh Konsultan Shietra, dimana topik bahasan “langka” kali ini sangat cocok untuk ukuran masyarakat yang kerap menjadi korban aksi perundungan secara verbal oleh sesama warga lainnya di Indonesia, negeri dimana masyarakatnya lebih suka memperbincangkan hal-hal tidak berguna, dangkal, tidak produktif, serta gemar menjadikan orang lain sebagai objek lelucon ataupun “olok-olok”—seolah-olah dengan cara begitu, membuat diri mereka akan tampak lebih cerdas dan lebih unggul (asumsi semu, yang membuat mereka kian mempertontonkan kebodohan dan kedangkalan dirinya sendiri).

Sekitar satu dekade lampau, penulis masih mengingat betul pernah membaca sebuah buku yang sangat menarik dalam mengupas dan mengungkap ciri-ciri orang “dangkal” dan perbedaan kontrasnya dengan orang-orang yang cara berpikirnya “unggul dan besar”. Ilustrasinya sangatlah sederhana, dimana mungkin dapat kita amati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari lewat kepekaan dalam observasi (daya mengamati). Sebagai contoh, amati pengunjung sebuah restoran, yang mana latar-belakang pengunjungnya bisa sangat beragam dari segi level intelektual dan kebesaran berpikirnya.

Pengunjung yang cukup “dangkal” dari cara berpikirnya, akan seketika mengomentari betapa pegawai restoran tersebut memiliki noda pada salah satu bagian bajunya, betapa pegawai restoran lainnya begitu ceroboh sehingga bisa menjatuhkan makanan yang diantarkan olehnya, dan hal-hal “dangkal” lainnya untuk disibukkan lewat komentar penghakiman. Sebaliknya, kontras dengan tipe pengunjung “dangkal” demikian, para pengunjung yang lebih berkelas dan lebih “besar”, cenderung tidak menghiraukan hal-hal yang tidak perlu dikomentari, cukup mengetahui sepintas, dan lebih banyak berfokus serta mengisi waktu untuk memikirkan serta mendiskusikan hal-hal besar yang penting untuk dielaborasi secara abstrak dalam benaknya yang sudah sibuk, serta membatasi fokus perhatian pada semata yang lebih bermanfaat ketimbang memperbincangkan atau menggunjingkan orang lain.

Baru-baru ini penulis juga menemukan sebuah pepatah dari sumber yang berbeda, ternyata sangat relevan dengan bacaan yang pernah penulis baca satu dekade lampau, dengan bunyi sebagai berikut : “Orang-orang kecil dan dangkal, membicarakan tentang orang lain. Sementara orang-orang besar, hanya memperbincangkan tentang ide-ide besar.” Sangat kentara perbedaan atau kesenjangan sikap dan kebiasaan orang-orang “besar” terhadap sikap ataupun kebiasaan orang-orang “dangkal”, terlihat secara kasat-mata bahkan dari apa yang mereka katakan dari mulut yang gencar mereproduksi kata-kata penuh “sampah” seolah menjadi “mesin sampah”.

Sederhananya, lihat dan amati lewat observasi kebiasaan orang-orang yang berprofesi sebagai “driver ojek online” sang “tukang becak besi”, kemudian bandingkan terhadap mereka yang benar-benar intelek dan berkelas dari segi intelijensi maupun ilmu pengetahuan—perbedaannya akan sangat mencolok, dari segi moralitas, tendensi, kemampuan mengontrol diri, kualitas perbincangan, topik dialog, selera dalam bergurau lelucon (orang-orang jenius alergi terhadap lelucon dangkal yang tidak cerdas, terlebih lelucon “jorok” ataupun lelocon yang menjadikan orang lain sebagai objek ejekan), visioner dibalik kata-kata, ide-ide atau gagasan abstrak yang melompat jauh ke masa depan, memiliki “sense of justice” (arif dan bijaksana), idealisme atau prinsip hidup, hingga prinsip fairness dan sikap yang menjunjung tinggi hak asasi manusia maupun penghormatan terhadap harkat dan martabat masing-masing warga.

Segi-segi kualitas demikian, tidak akan dapat “menipu”, cukup dalam waktu singkat bagi kita dalam mengamati dan menangkapnya untuk mengukur pribadi seseorang sebagai “dangkal” atau tidaknya, sekalipun “first impression” terkadang bisa mengecoh, namun “first impression” orang-orang “dangkal” ialah selalu dangkal dari awal hingga kapan pun dari segi kedangkalan ucapannya, dangkal pemikirannya, dangkal selera leluconnya, dangkal ide-idenya, dangkal visi dan misinya, dangkal dalam komunitas pergaulannya, serta dangkal perilaku dan dalam berbagai hal. Orang “dangkal” mudah diukur, bahkan dapat diukur dengan “jari tangan”, sama sekali tidak memiliki “kedalaman”.

Seorang komedian yang cerdas, tidak pernah menjadikan orang lain atau komedian lawan mainnya sebagai objek lelucon ataupun ejekan dan diskredit lainnya semata agar dirinya sendiri menjadi tampak lebih cerdas—itu asumsi bodoh, justru menampilkan kebodohan disamping sejatinya sedang mempermalukan dirinya sendiri ketika mencoba membuat diri mereka tampak lebih cerdas dengan menjadikan pihak lain sebagai objek lelucon. Penulis menyebutnya sebagai, lelucon dangkal oleh orang dangkal, lelucon tidak cerdas oleh orang yang tidak cerdas.

Penulis pribadi, tidak pernah menjadikan objek tertawaan ataupun objek hinaan, objek olok-olok, objek “oral bullying”, objek lelucon, objek pelecehan, objek diskredit, objek penghakiman, terhadap warga lainnya yang bersikap seperti apapun “aneh”-nya sepanjang mereka tidak merugikan orang lain. Semisal, terkadang melintas di wilayah pemukiman penulis berdomisili, pedagang atau penjual makanan ringan yang mengendarai sepeda ataupun sepeda motor sembari mengeluarkan suara-suara yang bisa saja dijadikan sebagai bahan lelucon ataupun olok-olok oleh warga lainnya. Namun itu terlampau “dangkal” untuk penulis lakukan, mengingat masih banyak hal “besar” lainnya yang menunggu untuk dipikirkan, disibukkan, dan dikerjakan. Orang-orang “besar” amat selektif serta membatasi diri, itu ciri khas kedua dari orang “besar”.

Sama halnya ketika orang lain di tengah jalan yang berpapasan dengan penulis, mengenakan pakaian seaneh apapun, bahkan seorang “bencong” sekalipun yang dandanan atau “make up”-nya luar biasa “mengerikan”, penulis tidak pernah tertarik untuk berkomentar ataupun untuk menghakimi hidup dan kehidupan orang lain, karena memang penulis tidak punya hak untuk itu, dimana adalah hak asasi manusia setiap masing-masing individu untuk hidup sebagaimana cara mereka memilih ingin menjalani hidup, sepanjang tidak merugikan dan tidak menyakiti warga lainnya atas pilihan hidup mereka sendiri.

Ternyata, cara berpikir penulis sangatlah cocok dengan budaya masyarakat di Thailand, dimana warga Thailand tidak pernah menghakimi ataupun menjadikan orang lain sebagai objek tertawaan ataupun perundungan secara verbal. Di Indonesia, alih-alih mengolok orang lain, justru penulis yang kerap diolok-olok atau dijadikan objek lelucon oleh sesama warga yang “kurang kerjaan”. Sebagai contoh sederhana, dahulu kala beberapa dekade lampau, sebelum tren penggunaan masker di jalan umum dan jalan raya, dapat dikatakan bahwa penulis menjadi pelopor pejalan kaki yang mengenakan masker penutup hidung di jalan raya untuk menyaring udara kotor asap kendaraan bermotor yang sudah lama kita ketahui tidak baik bagi kesehatan bila terhirup pernafasan. Akan tetapi pejalan kaki lainnya yang berpapasan dengan penulis, justru menertawakan dan mengolok-olok penampilan penulis yang seolah “aneh sendiri” atau “lain daripada yang lain”. Hidup dan pilihan hidup diri penulis pribadi, mengapa juga orang lain merasa berhak untuk mengatur dan menghakimi? Apakah tampil sebagai pejalan kaki di jalanan umum dengan mengenakan masker, adalah menyakiti atau merugikan warga dan pejalan kaki lainnya? Buktinya, kini telah menjadi tren dan kebutuhan bagi pejalan kaki pada umumnya untuk mengenakan masker di jalan raya.

Ternyata pula, prinsip hidup “tidak merugikan orang lain dengan harapan tidak akan pula dirugikan oleh warga lainnya”, tidak berlaku di Indonesia yang konon mengklaim “bangsa agamais”. Beruntungnya, rata-rata dapat penulis observasi, yang kerap melontarkan olok-olok “dangkal” demikian ialah orang-orang yang memang “dangkal” dari segi profesi maupun kecerdasan intelektual. Kontras dengan itu, di Thailand, seorang “tukang becak besi” sekalipun tidak pernah bersikap mudah melecehkan secara verbal warga lainnya sebagaimana kelakuan masyarakat di Indonesia, semua saling menghormati dan menghargai warga lainnya sebagai seorang sesama individu manusia yang saling berbagi ruang hidup atas ruang perkotaan.

Kini mari kita alihkan fokus perhatian pada sosok-sosok semacam badut atau orang-orang yang memakai kostum di berbagai tempat umum, mengapa mereka tampak santai dan asyik-asyik saja atau bahkan menikmati ketika ditertawakan dan ditunjuk-tunjuk oleh para warga pelintas? Pertanyaan yang menjadi bahan renungan di benak penulis atas fenomena “badut” demikian, seaneh apapun penampilan dan kostum sang badut, tetap saja si badut tampak tegar dan kokoh kuat mental batinnya ditertawakan seperti apapun oleh anak-anak ataupun oleh-oleh orang-orang dewasa yang melintas. Ternyata, jawabannya yang kemudian muncul di benak penulis cukup menyentak kesadaran penulis : DARI AWAL PEMAKAI KONSTUM BADUT ITU TELAH SIAP DAN MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK DITERTAWAKAN!

Ternyata, selama ini yang membuat mental kita “down” akibat ditertawakan, diejek, diolok, dihakimi, dihina, ialah kita tidak pernah benar-benar siap untuk mempersiapkan batin kita bagi kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang tidak diharapkan semacam ditertawakan. Itulah yang menjadi letak pembeda paling utama antara kita yang tidak memakai kostum seorang badut dan para artis badut yang sedari awal sudah siap mental dan sudah mempersiapkan diri untuk ditertawakan, dijadikan objek ejekan hingga sebagai bahan lelucon dan hinaan sejelek apapun oleh warga lainnya.

Dengan demikian, kesimpulan utama yang dapat kita petik dari “Pelajaran Kehidupan” ini ialah, “vaksin bagi batin yang mudah goyah” ialah anjuran untuk siap mental ketika atau bahkan sebelum kita melangkah keluar dari kediaman kita bertempat-tinggal. Kesiapan diri dari sejak semula, menjadi penting. Keterkejutan akibat tiadanya antisipasi, itulah yang menjadi penyebab utama mudahnya mental seseorang dijatuhkan dan mengalami kejatuhan. Menjadi relevan pula, terhadap adagium geopolitik yang termasyur dengan bunyi : “Sivis pacem para bellum”—alias yang bermakna “JIka ingin hidup damai, maka bersiap-siaplah untuk keadaan peperangan.”

Harus siap, siap ataupun tidaknya, wajib hukumnya untuk senantiasa siap, yang mana tertuang dalam pepatah Bahasa Inggris : “Prepare for the worst case”. Hal itu pun sangat menyerupai warga yang mampu bertahan dari kondisi wabah akibat pandemik virus menular mematikan, semata karena sedari dini telah siap dengan bekal modal berupa tabungan yang dikumpulkan untuk hal-hal tidak terduga dikemudian hari. Mereka yang tidak mengeluhkan kondisi hujan, ialah mereka yang sedari awal telah siap dengan menyiapkan diri berbekal payung (“sedia payung sebelum benar-benar hujan”).

Sang Buddha dalam keserharian hanya mengenakan jubah dari kain bekas yang dipungut di tengah jalan, dimana banyak kaum yang “dangkal” akan menertawakan Sang Buddha sebagai penggelandang miskin berbaju lusuh usang yang “tidak sedap dipandang” dari segi berbusana dan berpakaian. Namun para kalangan dewata serta Raja Sakka, raja dari para dewata, justru kemudian bersujud ketika berjumpa Sang Buddha. Para dewasa memberikan penilaian terhadap seseorang manusia dari moralitasnya, sementara manusia yang “dangkal” menilai seseorang dari pakaian, kepemilikan, serta kedudukan, yang mana sejatinya semua itu telah dilepaskan oleh Pangeran Siddharta Gaotama sebelum kemudian menjadi petapa hutan yang hanya makan satu kali sehari dan mencapai penerangan sempurna, menjadi seorang Buddha—guru agung para dewa dan para manusia. Inilah yang kemudian disabdakan oleh Sang Buddha : “Bagaikan batu karang yang kokoh, tidak goyah sekalipun dihempas ombak dan badai, seperti itulah batin seorang Buddha, batin yang tidak tergoyahkan.”

Sebagai penutup, penulis akan mengisahkan sebuah tokoh fiktif yang sangat melekat pada benak penulis hingga saat kini, yakni seorang tokoh animasi beberapa dekade lampau yang bernama “Ryuk” dalam serial manga dan animasi “DEATH NOTE” yang termasyur, dimana sosoknya sangat eksentrik, jenius yang sangat tidak memperdulikan penampilannya yang “aneh” dan “nyeleneh”. Dapat dipastikan para penggemar anime dan manga asal Jepang ini telah dikenal bagaimana sosok penampilannya yang “aneh”, tidak lazim, serta tampil lain daripada yang lain. Seaneh apapun sosoknya, tiada yang bisa meremehkan kemampuannya dari segi daya berpikir yang jenius melampaui kecerdasan orang kebanyakan.

Sang Ryuk pun menyadari potensi dan talenta dirinya yang diatas rata-rata orang kebanyakan, sehingga tidak pernah menaruh perduli ataupun untuk ambil pusing terhadap komentar, hinaan, perundungan verbal, ejekan, ataupun penghakiman orang lain perihal penampilan dirinya yang “nyeleneh nan eksentrik”. Dapat dikatakan, Ryuk menjadi sosok paling berpengaruh bagi banyak pemirsa, yang melampaui kemasyuran tokoh utama dalam serial animasi “DEATH NOTE” itu sendiri—setidaknya bagi pribadi penulis.

Kemudian, dengan menggunakan “The power of ‘seolah-olah / seakan-akan’”, penulis mencoba merefleksikan diri penulis bilamana seandainya penulis berposisi sebagai Ryuk, atau sebaliknya Ryuk berada pada posisi penulis, apakah yang akan menjadi sikap penulis bila ditempatkan pada posisi Ryuk dan sebaliknya seperti apakah yang akan menjadi sikap Ryuk bila ditempatkan pada diri penulis? Itulah yang paling menarik dari segala refleksi topik utama pada kesempatan ini, dimana jawabannya akan menjadi penutup yang “manis” pada ulasan perihal “SENI HIDUP” kali ini.

Penelitian ilmu psikologi telah menunjukkan berbagai bukti tidak terbantahkan, orang-orang jenius dimonopoli oleh orang-orang yang tergolong INTROVERT—kabar baik bagi penulis yang kerap disalah-pahami banyak kalangan, sebagai “kurang pergaulan”, “aneh”, lain daripada yang lain, “anti sosial”, serta “low profile” disamping lebih cenderung menutup diri dan “sibuk dengan diri sendiri”. Kajian ilmu psikologi memperlihatkan pula, adalah wajar bagi kalangan introvert untuk lebih cenderung menarik diri dari pergaulan selayaknya kaum ekstrovert ala “sanguinis” tulen, dimana kaum introvert lebih menyerupai kepribadian dengan sosok-sosok “melankolis” yang lebih merasa nyaman mengeksplorasi potensi dirinya sendiri.

Mereka yang sangat rendah pemahaman intelektualnya, kerap menghakimi para introvert sebagai “anti sosial” atau “asosial”, “aneh”, serta berbagai penghakiman lainnya. Kabar baiknya, orang-orang yang diberitakan kerap melakukan aksi ekstrim seperti “bunuh diri” akibat “cyber bullying”, ialah mereka yang berlatar-belakang golongan ekstrovert, sementara itu orang-orang introvert bahkan tidak pernah terlampau memusingkan komentar dan pendapat orang lain mengenai dirinya, disamping kabar baik yang hanya menjadi monopoli kalangan “introvert tulen” (yang ternyata langka di Indonesia, dimana ternyata juga Negeri Indonesia memang miskin dari segi kuantitas orang-orang jenius) ialah bahwa kejeniusan hanya menjadi MONOPOLI kaum introvert. Bila kaum ekstrovert kerap menghakimi kaum introvert sebagai orang “aneh”, maka kaum introvert sejatinya menjadi berhak pula untuk menghakimi kaum ekstrovert seabagai orang yang “bodoh”.

Hampir tidak pernah ditemukan publikasi yang memaparkan betapa kaum ekstrovert mampu memiliki IQ (intelligence quotien) yang tinggi. Salah satu teori ilmu psikologi bahkan menyebutkan, para “pemikir mendalam” (deep thinker) juga hanya menjadi MONOPOLI kaum introvert. Pada mulanya, penulis merasa segala penghakiman masyarakat Indonesia yang rata-rata ekstrovert dan “dangkal” cara berpikirnya, merupakan “petaka” bagi pribadi penulis yang “berbeda” dengan mereka. Kini, ketika ilmu pengetahuan tentang psikologi manusia telah meluruskan segala kerancauan yang lazin kita jumpai demikian pada keseharian, semua realita tentang diri penulis lebih menyerupai “berkah”—petaka yang berubah menjelma menjadi berkah, yang tidak akan penulis tukar dengan apapun bila dapat memilih.

Menjadi berbeda dan langka, ternyata bukanlah hal yang salah ataupun hal yang tabu. Justru, di negara di luar Indonesia dimana orang-orang jenius tidak selangka di Indonesia, orang-orang semacam penulis adalah cukup jamak, dan dapat diterima oleh masyarakat mereka karena bukanlah “manusia langka” yang sukar untuk dipahami lingkungan dan komunitas mereka. Kini, di mata penulis, yang betul-betul memalukan patut di-tabu-kan ialah ketika menjadi manusia “dangkal”, bukan karena menjadi seorang introvert. Yang barualh ber-dosa ialah ketika seseorang menjadi “tong kosong nyaring bunyinya”, bukan menjadi seorang “deep thinker”.

Kembali kepada sosok Ryuk sang “eksentrik” jenius yang “nyeleneh” penampilannya, seperti apakah kira-kira yang akan menjadi respons dari Ryuk sang jenius, ketika terdapat manusia-manusia “dangkal nan kurang kerjaan MADE IN INDONESIA” yang menghina, mengejek, menertawakan, dan mengolok-olok diri Ryuk sebagai “aneh”, “gila”, “sinting”, “bodoh”, “tidak waras”, bahkan disebut sebagai “konyol” semata karena penampilannya yang tidak lazim sekalipun IQ-nya jauh diatas para komentator dan pelaku bully tersebut, maka dengan bersikap “seakan-akan sebagai Ryuk pada posisi diri penulis” atau sebaliknya “seolah-olah penulis berposisi pada kedudukan Ryuk”, penulis dapat memproyeksikan apa yang menjadi respons dari Ryuk, secara imajiner saja, yakni : Tidak membalas komentar orang-orang “dangkal” tersebut, namun juga tidak gentar, bahkan sebaliknya memiliki keberanian untuk menatap dengan sepasang matanya yang terbuka lebar langsung kepada sang pelaku “oral bullying”, tanpa goyah sedikit pun dari segi mental ataupun batinnya, bergeming dan tetap memilih untuk menjadi dirinya sendiri apa adanya tanpa syarat dan mampu membebaskan diri dari segala penghakiman orang lain tentang dirinya, dengan memilih untuk tetap menjadi dirinya sendiri.

Siapa yang menyangka, begitu populernya popularitas Ryuk di mata para penggemar anime di Tanah Air maupun mancanegara, dan masih dikenang serta terkenal meski telah berumur lebih dari satu dekade lampau, hingga kerap dibuatkan film “live action” beberapa episode layar lebar “DEATH NOTE”—yang tidak akan fenomenal bila bukan dikarenakan sosok sang tokoh eksentrik, Ryuk. Bagi para pembaca yang penasaran dengan sosok dan penampilan Ryuk, cobalah cari para mesin penelusuran website dengan kata kunci : “Ryuk DEATH NOTE”, dan janganlah kaget melihat penampilan “sang jenius yang eksentrik” (namun jangan pula kaget bila mendapati fakta bahwa betapa populernya sang Ryuk di mata para penggemarnya, terutama bagi sesama jenius dalam dunia nyata, dimana Ryuk patut dijadikan maskot). Entah mengapa dan bagaimana, seolah bisa terdengar suara Ryuk berkata lembut pada telinga yang suaranya masuk hingga ke benak penulis:

Semua orang jenis memang rata-rata ‘aneh’, jadi wajar saja jika menjadi ‘aneh”, itu hal yang wajar terjadi pada orang-orang jenius. Tidak ada yang harus ditutupi ataupun untuk dihindari. Menjadi jenius bukanlah sebuah tragedi kemanusiaan. Menjadi langka bukanlah sebuah dosa ataupun tabu. Bila ada yang berkata pada saya, ‘Ryuk, kamu orang yang aneh!’, maka akan saya jawab dengan santai saja, ‘MEMANG, baru tahu, tidak boleh?’ Di mata orang-orang jenius, orang-orang dangkal lebih konyol lagi, namun tanpa mereka sadari. Setidaknya, orang-orang jenius sadar betapa aneh dirinya sendiri, namun orang-orang dangkal tidak pernah mampu menyadari betapa konyol diri mereka.

Kesimpulan kedua yang dapat kita petik ialah dari kurikulum “SENI HIDUP” ini, ialah : Pahami diri kita sendiri, siapa dan secara apa adanya tentang diri kita sendiri. Bila ada diantara pembaca yang bernasib sama dengan penulis, yakni selaku introvert, bahkan tergolong “deep thinker”, adalah wajar bila tidak sedikit warga di Indonesia yang ekstrovert akan menghakimi dan memberikan stigma “aneh” kepada Anda tanpa mampu memahami tipe kepribadian seorang introvert—dimana sejatinya itu menjadi ajang mempertontonkan kebodohan mereka sendiri yang memberitahu kepada dunia betapa dangkal pengetahuan dan cara berpikir mereka, bahkan tidak mengetahui letak perbedaan tipe kepribadian antara introvert dan perbedaan kontrasnya dengan seorang ekstrovert.

Ekstrovert mana juga yang jenius bahkan mampu melakukan “deep thinking”? Penelitian lebih kontemporer bahkan menunjukkan, EQ lebih tinggi cenderung dimiliki oleh mereka yang ber-IQ tinggi, bukan sebaliknya, sehingga antara IQ dan EQ ternyata saling berkorelasi. Seorang koruptor mampu memiliki rekan sosialisasi yang luas, namun itu bukanlah EQ—koruptor mana juga yang ber-EQ dengan membuat derita banyak rakyat jelata akibat dikorupsi hak-hak mereka oleh sang koruptor? “Menggali lubang kubur sendiri” dengan menanam benih karma buruk (bersikap egois terhadap diri sendiri di masa mendatang yang harus memetik buah pahit karma buruk), disebut memiliki kecerdasan emosional? Koruptor manakah yang meski memiliki jejaring rekan sosialisasi, dapat disebut sebagai mampu ber-empati?

EQ, ternyata adalah salah satu bagian dari IQ, yakni kecerdasan intra dan inter personal. Artinya pula, tanpa IQ yang tinggi, mustahil seseorang memiliki EQ yang tinggi. Daya observasi yang tajam, menjadi salah satu ciri khas seseorang ber-IQ tinggi. IQ mungkin bukan segalanya, namun segalanya membutuhkan IQ, dimana juga penulis berani membuat hipotesis berdasarkan pengalaman pribadi penulis, bahwa IQ juga memiliki korelasi dengan SQ, dimana artinya tanpa IQ maka SQ menjadi tumpul. Entah mengapa dan bagaimana, penulis merasa sosok Ryuk memang diadaptasi dari sosok nyata oleh sang pengarang pencipta serial manga dan anime “DEATH NOTE”, mengingat betapa menyerupai dengan karakter dan sifat-sifat “aneh” yang “nyeleneh” yang khas dimiliki orang-orang jenius dalam dunia nyata.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.