Seperti Apakah Nasib Profesi Pengacara Satu Dekade Mendatang?

ARTIKEL HUKUM

Ramalan Suram Profesi Buram Bernama Advokat / Pengacara / Lawyer di Indonesia

Citra kalangan pengacara kian rusak di mata masyarakat, setidaknya itulah yang menjadi rata-rata keluhan klien dari penulis selama menceritakan kisahnya saat sesi konseling seputar hukum yang penulis selenggarakan berlangsung. Betapa tidak, yang merusak citra profesi Advokat di Tanah Air, ialah para kalangan Advokat itu sendiri. Bukanlah cerita baru, ketika penulis mendapati klien yang menceritakan betapa ketika dirinya mendatangi dan menemui kalangan pengacara di sebuah Kantor Advokat, sang pengacara “marah-marah” tanpa alasan yang jelas atas permasalahan hukum yang dihadapi oleh sang klien, dan tampak lebih marah daripada kemarahan sang klien itu sendiri, seolah-olah ada masalah besar yang demikian tidak beres dan keliru untuk dapat diperbaiki dan diluruskan lewat jasa sang pengacara yang hendak menjadi “pahlawan kesiangan”—lebih tepatnya : tebar “harapan palsu” disamping “ranjau darat”.

Ketika sang klien kemudian mencari penulis untuk meminta “second opinion” atas masalah hukumnya, ternyata hasil analisa hukum oleh penulis jauh berkebalikan dan sangat kontras dengan sikap sang pengacara. Secara empatik, penulis membuat pemetaan terhadap masalah hukum yang dihadapi sang klien, mengurainya satu per satu dan membuat analisa serta opini hukum secara netral serta objektif saja sifatnya, yang alhasil masalah tidak segawat yang dibayangkan oleh sang klien, bahkan cenderung sederhana saja pemecahannya selama tidak dibuat menyerupai “benang kusut”.

Penulis menanggapi secara perlahan sembari menenangkan kekalutan dan keresahan disamping segala kecemasan sang klien akibat ditakut-takuti oleh kalangan pengacara yang sebelumnya dijumpai oleh sang klien. “Menurut Anda, apakah hakim dalam putusan pengadilan perkara Anda ini, telah bersikap baik atau tidak dalam amar putusannya, sekalipun diputuskan secara verstek tanpa kehadiran Anda di persidangan?” Sang klien menjawab, “Umn, baik sih sebenarnya, sudah sesuai kepentingan saya, dan menghukum lawan saya untuk memberikan hak-hak meski tidak pernah saya minta ke pengadilan karena saya tidak pernah menghadap persidangan meski digugat oleh lawan saya.” Penulis menanggapi kembali untuk mempertegas, “Lantas, untuk apa pengacara yang Anda temui tempo hari, marah-marah?

Penulis untuk itu menjelaskan kepada sang klien, bahwa modus “marah-marah” tanpa alasan yang jelas bak hendak menjadi “pahlawan kesiangan” disertai modus menahan dokumen milik sang “CALON klien” guna “menyandera” sang calon klien agar tidak “berpindah ke lain hati”, adalah lazim dipraktikkan oleh kalangan pengacara yang kurang etis—dimana ironisnya itulah wajah rata-rata praktik kalangan Advokat kita di Indonesia, baik pengacara muda, pengacara “preman”, maupun pengacara yang telah senior bahkan pengacara yang cukup kondang di berbagai daerah.

Tidak sedikit klien, setelah penulis berikan opini hukum disertai rekomendasi opsi langkah hukum non-litigasi yang dapat ditempuh tanpa melalui forum pengadilan, kompleksitas permasalahan hukum sang klien dapat selesai tanpa berlarut-larut terlebih menguras banyak biaya litigasi yang hanya menggemukkan pundi-pundi kalangan pengacara yang mencari makan dengan cara membuat-membuat acara, memperbesar masalah yang sejatinya “tiada masaalah” alias memperbesar-besarkan masalah kecil, mempermasalahkan kecil dan memperkeruhnya (memancing ikan di air keruh, semakin keruh semakin menguntungkan), memberikan iming-iming “janji surgawi” yang “too good to be true” seolah-olah dengan menggugat (sekalipun menang) dapat menghapus kewajiban membayar hutang, hingga memonopoli dokumen-dokumen terkait persidangan yang sejatinya milik sang klien pemberi kuasa untuk mewakili principal-nya di persidangan.

Seringkali penulis utarakan dalam berbagai kesempatan dan berbagai medium ulasan hukum, bahwasannya kalangan profesi Advokat bukanlah “first aid” bagi masyarakat yang hendak mencari keadilan, oleh sebab kalangan profesi Advokat tidak akan dapat “makan” bila tidak “mencari-cari dan membuat-membuat acara” bernama “perkara” (alias “mencari-cari dan membuat-membuat perkara”). Karenanya, selalu terdapat “conflict of interest” antara kepentingan sang klien dan kepentingan sang Advokat.

Katakanlah, bila masalah hukum sang klien dapat cukup diatasi dengan memberikan dasar hukum dan preseden yang relevan untuk dapat dibawa pulang dan dipakai oleh sang klien dalam menghadap instansi pemerintahan, maka untuklah apa sang klien mengeluarkan banyak biaya untuk menyewa sang pengacara dalam rangka menggugat instansi pemerintahan ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menguras waktu, energi, perhatian, serta biaya disamping akan timbul “perpecahan” secara sosial antara sang klien Vs. instansi pemerintahan yang membuat kedudukan “politis” sang klien menjadi sukar dikemudian hari?

Tarif konsultasi yang hanya berupa satu atau dua jam, apalah artinya dibandingkan dengan “lawyering fee” lengkap dengan “success fee”-nya mencapai ratusan atau bahkan miliaran Rupiah? Itulah mengapa, seorang Pengacara dan Konsultan Hukum tidak dapat menjadi satu-kesatuan profesi dalam satu orang, karena berbeda domain jenis layanan (yang satu “bertendensi” sementara yang satunya lagi “netral disamping objektif” adanya). Pengacara, manis di depan. Konsultan Hukum, terkadang pahit di depan. Pengacara, pragmatis. Konsultan Hukum, sistematis. Keduanya bagai pinang dibelah dua, tidak dapat saling dipertukarkan satu sama lain. Konsultan Hukum adalah Konsultan, Pengacara adalah Pengacara—domainnya bersifat masing-masing dan berbeda “dunia”.

Itulah juga sebabnya, seorang lawyer yang jujur, dikodratkan akan mati kelaparan. Memasuki Kantor Pengacara, selalu ibarat memasuki kandang harimau kelaparan yang siap memangsa kliennya sendiri secara “hidup-hidup”, dikuras “success fee” untuk tingkat Pengadilan Negeri, “success fee” untuk tingkat banding, dan “success fee” untuk tingkat kasasi serta Peninjauan Kembali, sekalipun diri sang klien hanya tinggal menyisakan tulang berbalut kulit—salah dari pihak sang klien itu sendiri, begitu “naif” percaya begitu saja dengan kalangan pengacara yang sudah dikenal “lebih licik dan penuh kamuflase” ketimbang seekor bunglon yang pandai bermain warna dan berkamuflase.

Apakah ada kalangan Advokat di Indonesia, yang merasa berkeberatan atas fakta yang penulis ungkap tersebut di atas, kemudian menyatakan keberatan sembari mengklaim dirinya adalah “pengacara idealis yang suci bersih”? Jika ada seorang pengacara yang berani membuat klaim demikian, siap-siaplah untuk penulis “kuliti” serta “kebiri” hidup-hidup sampai dirinya “malu sendiri”, dimana akan penulis ungkap lebih dalam dan lebih gelap lagi sisi dibalik dunia suram dan kelam kalangan profesi pengacara yang tidak pernah sebersih setelan jas pakaian mewah yang mereka kenakan. Seseorang yang idealis, tidak akan memilih untuk terus-menerus menjadi seorang pengacara, atau setidaknya tidak akan bertahan lama menjadi seorang pengacara. Para Sarjana Hukum yang masih memegang erat prinsip diri serta idealisme disamping etika hidup, menyadari betul dunianya berbeda domain dengan kalangan pengacara.

Tidak sedikit diantara mereka yang pernah berkenalan dengan penulis, para pengacara tersebut mengutarakan niatnya untuk “alih profesi”, dari profesi ke-pengacara-an yang dahulu pada mulanya mereka “idam-idamkan” serta perjuangkan dengan susah-payah, ternyata tidak seindah yang mereka bayangkan, dan bertanya kepada penulis secar malu-malu, apakah bisa bila diri mereka bergabung dengan penulis sebagai Konsultan Hukum sekalipun mereka telah tercatat tergabung dalam sebuah Kantor Pengacara cukup ternama di ibukota?

Menjadi pertanyaan di benak penulis pada saat itu, sekalipun tidak pernah penulis ungkapkan secara terbuka kepada mereka, mengapa dari semula telah berhasil secara susah-payah menjadi seorang Advokat, kemudian hendak “pindah profesi” dan “down grade” menjadi seorang Konsultan Hukum dan bahkan meminta pekerjaan dari penulis? Dari berbagai fenomena yang tidak jarang penulis jumpai demikian, kian jelas dan kian ter-afirmasi segala pengamatan dan hipotesis penulis, bahwasannya manusia-manusia idealis tidak akan bertahan lama dalam dunia profesi ke-pengacara-an di Indonesia.

Adakalanya secara “iseng” atau sekadar “berbasa-basi”, penulis mengajukan sebuah pertanyaan sederhana terhadap mereka yang berlatar-belakang profesi Advokat. “Katakanlah, semisal seorang calon klien menghadap kalian, para pengacara di Kantor Pengacara,” penulis membuka dialog penuh introspektif, “Setelah sang calon klien memaparkan posisi hukumnya diserta duduk perkara, dan lewat analisa hukum yang objektif kalian dapat melihat bahwa kontribusi kesalahan terhadap permasalahan hukum justru dibuat oleh sang calon klien itu sendiri, dimana niatnya untuk menggugat dapat disebut sebagai tiada potensi ataupun peluang untuk menang, bahkan terbuka lebar digugat-balik oleh lawan hukumnya yang saling bersengketa, apakah kalian akan mengatakan yang sebenarnya-benarnya sebagaimana hak calon klien kalian tersebut, bahwa niatnya untuk menggugat ialah sama seperti ‘mencari mati sendiri’?” Faktanya, tiada satupun dari kalangan Advokat tersebut yang berani untuk menjawab pertanyaan paling sederhana yang dapat penulis ajukan untuk memulai diskusi ringan. Kode Etik Advokat, di mata penulis hanya berisi serangkaian kumpulan pasal-pasal yang minim etika, alias sekadar judul kemasan “Kode Etik” penuh “kegenitan” dan “kemunafikan” disamping “kepalsuan”.

Kini, tanpa wajah penuh coreng yang kian dicoreng sendiri oleh kalangan profesi Advokat itu sendiri, kita beralih pada fenomena teraktual dan ter-anyar bernama fenemena “abad digital” berupa “eCourt” serta “eLitigation” yang sangat “user friendly” serta mendekatkan diri kepada masyarakat umum, lengkap dengan slogannya “bersidang dan mengakses peradilan tanpa lagi dibatasi sekat ruang maupun waktu”, sehingga masyarakat umum dapat dengan mudah mengakses peradilan serta keadilan TANPA PERAN PENGACARA sekalipun. Akun “eCourt” dan akses sarana-fasilitas “eLitigation” dibuka lebar untuk diakses oleh masyarakat yang sama sekali bukan berlatar-belakang profesi pengacara dan tanpa perlu didampingi pengacara sama sekali—sebuah kabar gembira yang menjadi “bad news” bagi kalangan profesi pengacara, yang selama ini hidup dari “their bad news is our good news”.

Ketika pertama kalinya fitur terobosan Mahkamah Agung Republik Indonesia bernama “eCourt” dan “eLitigation” diperkenalkan dan diluncurkan kepada kalangan umum di Indonesia, tercatat lonjakan ribuan akun yang dibuat oleh masyarakat umum non-Advokat untuk bersidang dari jarak jauh tanpa lagi menghadapi kendala sekat ruang maupun waktu. Pengadilan dan keadilan menjadi benar-benar “dekat di hati” masyarakat umum, tidak lagi jauh dari jangkauan para pencari keadilan yang selama ini hanya dapat mengandalkan “biro jasa” bernama “Kantor Pengacara”.

Artinya, sejak pertama kali fenomena “eCourt” dan “eLitigation” diperkenalkan dan diluncurkan di Indonesia, antusiasme masyarakat umum demikian penuh apresiasi dengan memanfaatkan dengan baik layanan akses menuju peradilan via daring yang menjadi program unggulan Mahkamah Agung RI—yang mana memang patut kita apresiasi serta berikan penghargaan karena “PRO” terhadap masyarakat umum luas, bukan lagi menjadi monopoli kalangan pengacara untuk mengakses keadilan serta persidangan di pengadilan.

Bila sebelumnya para kalangan pengacara sok “ual mahal” jasanya berlitigasi dan beracara di pengadilan, dengan memonopoli akses peradilan, kini tidak bisa tidak kalangan pengacara di Tanah Air “di-pukul mundur” untuk lebih rasional dalam menetapkan “lawyering fee” yang demikian “memeras” kantung klien (“sapi perahan” sang pengacara), mengingat masyarakat umum sejatinya dapat bersidang sendiri dari jarak jauh, dari kantornya, dari rumah, atau bahkan dari kafe sembari menyeruput teh hangat ditemani alunan melodi lagu yang lembut, atau sembari mengobrol di ruang publik lainnya, di bandara, atau bahkan dari luar negeri. Untuk apa lagi, membayar mahal puluhan hingga ratusan juta atau bahkan mencapai miliaran Rupiah, hanya untuk persidangan yang sejatinya dapat ditangani sendiri dari rumah, dari kantor, atau dari kafe?

Dalam kesempatan lainnya penulis pernah menuliskan, bahwasannya “eCourt” dan “eLitigation” menjadi lonceng kematian bagi profesi Advokat di Indonesia. Fenomena baru dimulainya jilid “era suram” dan “era kematian” profesi Advokat, sejatinya telah di depan mata, menyusul kalangan profesi lulusan disiplin ilmu akutansi yang perlahan mulai tergantikan oleh “robot” bernama program akuntasi ter-otomatisasi yang saat kini secara global telah memasuki “era SHUT DOWN profesi Akuntan maupun Fakultas Akutansi” karena program akutansi telah dirancang sedemikian canggih oleh para programmer yang tidak lagi memberi ruang nafas maupun ruang hidup bagi kalangan Sarjana Akutansi.

Tidak perlu membuat prediksi rumit ataupun bertanya kepada seorang peramal, untuk memperkirakan akan seperti apa profesi Advokat akan berakhir dimasa mendatang tak lama setelah ini. Bila bukan karena momentum yang sangat tepat sasaran bernama fenomena wabah akibat pandemik Virus Corona Tipe-2 yang sempat menjangkiti wilayah Republik Indonesia pada awal tahun 2020, kemungkinan besar lobi-lobi politik Organisasi Advokat di Tanah Air akan mendesak Mahkamah Agung RI untuk tidak pernah meluncurkan “eCourt” maupun “eLitigation”, bahkan bila perlu membuang “cetak biru”-nya ke tong sampah agar tidak mengancam keberlangsungan profesi pengacara di Tanah Air yang selama ini menikmati manisnya monopoli akses peradilan.

Dahulu kala, pada saat era digital internel “www” alias “world wide web” belum dikenal publik secara umum, peraturan perundang-undangan hingga berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), draf baku surat gugat-menggugat maupun yurisprudensi, menjadi MONOPOLI kalangan pengacara. Sehingga, praktis kalangan non-pengacara tidak mengetahui “hewan” semacam apakah surat gugatan, cara membantah gugatan, SEMA, replik, duplik, dan lain sebagainya.

Kini, ketika era keterbukaan informasi yang demikian derasnya tenggelam dalam lautan konten dunia maya, dapat ditemukan semudah menekan “kata kunci” (keyword) pada layar “telepon genggam pintar” (smartphone) maupun pada komputer di rumah dan di kantor, dimana kesemua yang dahulu menjadi MONOPOLI kalangan Advokat, menjadi dapat diakses dengan mudah oleh publik, akan muncul kurang dari hitungan detik. Praktis, kini bukanlah lagi era atau zaman dimana kalangan Advokat masih bermimpi “menjual mahal” semua itu yang kini telah menjelma “rahasia umum”. Era keterbukaan informasi tidak lagi dapat ditutup-tutupi, dan kita hanya bisa mengucapkan selamat datang terhadap “babak baru” profesi hukum di Indonesia—beradabtasi terhadap kemajuan teknologi, atau tergerus oleh jaman.

Saat kini, masyarakat umum masih awam perihal “eCourt” dan “eLitigation”, bahkan mungkin belum pernah mengetahui akan adanya fasilitas “eCourt” dan “eLitigation”, atau mungkin mendengar istilah tersebut pun belum pernah. Kedepannya, ketika masyarakat umum luar non-Advokat telah “merakyat” tidak lagi asing dan mulai dinikmati aksesnya yang meluas bagi masyarakat luas tanpa terkecuali, maka kalangan profesi Advokat akan benar-benar terancam dilupakan sebelum kemudian terlupakan sama sekali.

Betapa tidak, warga yang berdomisili di Aceh, dapat mendaftar “eCourt” dan “eLitigation” lewat sarana fasilitas online semacam “eFilling”, “ePayment”, “eSummons”, dan persidangan hingga tahap putusan yang dapat dilakukan secara jarak jauh lewat sistem daring “online” dimana sekat ruang dan waktu tidak lagi menjadi kendala ataupun masalah kecuali permasalahan jaringan internet yang saat kini kian meluas dapat diakses jejaringnya bahkan hingga ke pedesaan. Dahulu kala, saat belum dikenal “eCourt” dan “eLitigation”, Kontor Pengacara setempat disewa dalam rangka kebutuhan pencari keadilan yang berdomisili di lain provinsi, karena tidaklah efisien dari segi waktu maupun biaya bila harus bersidang tatap-muka menghadap ke pengadilan di lain provinsi.

Faktor terpenting mengapa penulis selalu merekomendasikan klien agar bersidang sendiri dengan mendaftarkan akun non-Advokat pada “eCourt” dan “eLitigation”, tanpa diwakili oleh seorang atau tim Advokat, ialah semata agar segala kendali ada sepenuhnya pada tangan sang klien itu sendiri untuk membuat keputusan, akses keterbukaan informasi, penguasaan dokumen-dokumen terkait milik perkaranya, serta menutup peluang kolusi antar pengacara lawan dan pengacara yang disewa yang sudah pula menjadi “rahasia umum” perihal “pengacara memiliki empat kaki untuk berpijak”.

Kini, membayar mahal biaya jasa profesi pengacara untuk persidangan yang dapat dilakukan sendiri via “eCourt” dan “eLitigation”, menjadi sama sekali tidak logis dan tidak masuk diakal. Bila dahulu kala para penguasa di Organisasi Advokat saling berebut kekuasaan karena profesi Advokat masih mendominasi ruang peradilan, kini posisi tersebut tidak lagi “seksi” mengingat ruang persidangan kian dekat di mata dan di hati masyarakat umum pengguna layanan “eCourt” dan “eLitigation”, serta disaat bersamaan kalangan profesi Advokat kian jauh dari hati dan jauh dari mata masyarakat umum pencari keadilan.

Bila saat kini saja, “eCourt” dan “eLitigation” membuat kalangan profesi Advokat tampak demikian “suram” nan “kelam”, maka awan mendung hitam akan kian menutup kecemerlangan glamoritas yang selama ini ditampilkan kalangan Advokat maupun iming-iming yang dijual Perguruan Tinggi Hukum yang menjadikan Fakultas Hukum sebagai mesin pencetak uang yang menguntungkan dan menggiurkan karena banyak anak muda yang tergoda menjadi Mahasiswa Hukum akibat citra pengacara yang demikian glamor—sekali itu, itu cerita lama yang sudah usang dan sudah tidak lagi laku untuk konteks era digital terutama “eCourt” dan “eLitigation” seperti sekarang ini.

Bila pada saat “eCourt” dan “eLitigation” mulai diperkenalkan, profesi Advokat telah demikian “berdarah-darah”, maka akan lebih terlebih, satu dekade mulai dari “eCourt” dan “eLitigation” diperkenalkan kepada publik Indonesia, dapat penulis prediksi dimana pula dapat kita buktikan dan saksikan bersama, detik-detik kematian profesi Advokat yang tenggelam ke dalam dasar samudera terdalam jika tidak dapat kita sebut sebagai “punah” dan hanya tinggal sejarah yang mengisi museum-museum penuh debu berkarat bersama tulang-belulang dinosaurus yang “besar dan bongsor namun bukan ‘the fittest’”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.