Perbedaan Ayat-Ayat MoU dan Perjanjian yang Mengandung Perikatan Perdata

LEGAL OPINION

Makna OBJEK / HAL YANG SPESIFIK sebagai Syarat Sah Perjanjian

Question: Sebenarnya apa perbedaan antara Perjanjian MoU (Memorandum of Understanding) dan Perjanjian biasa? Konon, MoU itu tidak mengikat para pihak, sekalipun ada kesepakatan di dalam dokumen MoU, mengapa bisa begitu? Apa yang sebenarnya menjadi unsur atau karakter pembeda dari Mou dan Perjanjian biasa ini?

Brief Answer: Kurang tepat membuat terminologi yang seolah-olah terdapat segregasi demikian berjarak bagaikan “hitam-putih” antara MoU dan Perjanjian. Kerap disebut sebagai MoU, karena isi butir-butir kesepakatan ataupun kesepahaman di dalamnya tiada yang spesifik pengaturannya satu pasal pun, alias tanpa mengandung detail apa yang sebetulnya disepakati. Sebaliknya, tidak jarang dalam dokumen legal berupa Akta Kredit, sebagai contoh, kerap dijumpai “ayat-ayat MoU”, sehingga khusus ayat atau pasal tersebut dalam sebuah Akta Kredit tidak memiliki daya ikat secara hukum karena sumir pengaturannya alias tidak detail, tidak spesifik, serta tidak “tertentu” (namun secara “sumir”).

Karenanya, untuk dapat menentukan secara legal-yuridis apakah suatu dokumen legal sebagai suatu MoU adalah murni MoU belaka (tanpa perikatan), Perjanjian dengan Perikatan, ataupun Perjanjian yang sebagian muatannya mengandung “ayat-ayat MoU”, bukanlah ditentukan oleh “JUDUL” suatu dokumen, akan tetapi dari substansi di dalamnya itu sendiri yang disepakati oleh para pihak, apakah telah memenuhi syarat formil “syarat sah perjanjian” bernama “unsur objektif” berupa “suatu hal yang tertentu”—yang dalam bahasa teknis SHIETRA & PARTNERS ialah sebagai “objek / hal yang ter-SPESIFIK” sifat pengaturan dan kesepakatannya.

Prinsip yang sama berlaku sebaliknya, yakni ketika sebuah Memorandum of Understanding mengatur beberapa klausul atau bahkan beragam klausula berisi berbagai jenis “perikatan perdata” berupa “objek / hal yang SPESIFIK”, maka secara sejatinya Memorandum of Understanding demikian tidak lain ialah “Perjanjian” itu sendiiri (yang hanya saja dikemas dengan diberi label judul “Memorandum of Understanding”). Contoh konkret yang dapat kita jumpai pada praktik di lapangan, selama ini kalangan berbagai perbankan di Indonesia kerap mengadakan kerjasama dengan Balai Lelang Swasta untuk melakukan jasa pra-lelang eksekusi Hak Tanggungan, dengan payung hukum berupa kesepakatan jasa yang dituang dalam sebuah kontrak dengan judul “Memorandum of Understanding”, namun demikian senyatanya amat sangat detail pengaturan didalamnya seperti hak dan kewajiban, tarif jasa, berbagai prestasi mulai dari larangan, keharusan, dan perintah, disertai ancaman sanksi bagi pelanggaran.

PEMBAHASAN:

Secara umum, “syarat sah perjanjian” terdapat pengaturannya dalam norma hukum perdata sebagaimana tertuang dalam kaedah Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur sebagai berikut:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: [Note SHIETRA & PARTNERS: Frasa “diperlukan empat syarat”, bermakna sifatnya kumulatif bukan alternatif.]

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. [Note SHIETRA & PARTNERS : Sebuah dokumen legal semacam MoU akan tetapi tanpa perikatan apapun di dalamnya, sejatinya hanya memenuhi unsur ayat ke-1 ini, namun tidak memenuhi unsur atau syarat sebagaimana ayat ke-3.]

2. Cakap hukum untuk membuat suatu perikatan perdata.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab / causa yang sahih.”

Note SHIETRA & PARTNERS : Secara teori konseptual, unsur pada butir ke-1 dan butir ke-2 dari Pasal 1320 KUHPerdata di atas, disebut sebagai “unsur subjektif”, dimana bila tidak terpenuhi keseluruh syaratnya, maka konsekuensi yuridisnya perikatan (berpotensi) menjadi bersifat “dapat dibatalkan” (voidable). Sementara itu, “syarat sah perjanjian” sebagaimana unsur pada butir ke-3 dan butir ke-4, kerap disebut sebagai “unsur objektif”, dimana bila tidak terpenuhi keseluruh syaratnya, berakibat hukum perikatan menjadi “batal demi hukum” (null and void).

Sebagai wujud pembuktian falsafah terkait makna “objek / hal yang SPESIFIK”, dapat kita rujuk langsung pada berbagai Akta Kredit yang kerap kita jumpai pada berbagai praktik lembaga keuangan perbankan di Tanah Air. Dalam Akta Kredit dimaksud, dapat kita jumpai pasal-pasal ataupun ayat-ayat yang mengatur kesepakatan antara Debitur dan Krediturnya seperti bahwa pihak Kreditur berhak untuk menjual hak tagih atau mengalihkan piutangnya kepada kreditor lainnya lewat mekanisme semacam “cessie” ataupun “subrogasi”, perihal dibebaninya pihak Debitur atas pengeluaran-pengeluaran pihak Kreditur terkait objek agunan seperti “fee” atau tarif jasa Pengacara (lawyering fee) maupun tarif jasa Balai Lelang Swasta maupun berbagai biaya lainnya.

Sayangnya, tiada satupun dari ketentuan tersebut yang dapat dieksekusi pada praktiknya, mengingat sifatnya merupakan “hal yang tidak SPESIFIK” sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai “perikatan perdata”, yang karenanya sekalipun pasal-pasal di dalam Akta Kredit dimaksud seperti klausula terkait “Event of Default”, ketentuan “bunga”, “denda”, “pinalti”, jangka waktu pelunasan dan pencicilan, “personal / corporate guarantee” dan pengaturan selain serta selebihnya dapat dieksekusi dan mengikat para pihak yang terikat karena “SPESIFIK”, tetap saja Akta Kredit tersebut disebut sebagai akta yang berupa “Perjanjian” dengan muatan “Perikatan Perdata”.

Dalam rangka menjelaskan apa atau bagaiman merapkan prinsip “objek / hal yang SPESIFIK”, untuk itu SHIETRA & PARTNERS akan mengupas satu per satu kelemahan dibalik “klausula atau ayat-ayat MoU” di dalam sebuah Perjanjian semacam Akta Kredit demikian. Kita mulai pada ketentuan terkait “cessie / subrogasi”, hanya sebatas disepakati bahwa Kreditur boleh melakukan “cessie / subrogasi”, namun tiada “objek / hal yang SPESIFIK” seperti kapan itu boleh dilakukan oleh sang Kreditor (apakah apabila Debitur tidak pernah menunggak pembayaran cicilan hutangnya, maka Kreditur tidak diperbolehkan mengalihkan piutangnya?), kepada “kreditor baru” siapa yang boleh membeli hak tagih terkait sang Debitur, dan apakah “kreditor baru” perorangan ataukah “kreditur baru” sesama lembaga keuangan perbankan? Tidak jelas, alias “sumir”, sama sekali tidak memenuhi syarat “objek / hal yang SPESIFIK” sehingga sifatnya tidak ubahnya alias menyerupai sebuah “MoU” yang karenanya juga patut kita sebut sebagai “ayat-ayat MoU dalam sebuah Perjanjian”—yang karenanya juga tidak mengikat dan bukan dikategorikan sebagai sebuah pasal yang mengandung “perikatan perdata”.

Kita berlanjut membahas pasal berikutnya di dalam sebuah Akta Kredit yang akan sangat jamak kita jumpai, yakni pasal terkait pengeluaran biaya penyewaan jasa Advokat oleh pihak Kreditur ketika hendak menggugat Debiturnya atau sebaliknya dalam rangka digugat oleh sang Debitur, dinyatakan dalam Akta Kredit bahwasannya segala biaya jasa hukum tersebut dibebankan kepada pihak Debitur—namun pengaturannya hanya secara “sumir” sampai disitu saja, tidak ada detail lebih lanjut. Pertanyaannya, apakah pasal yang sekalipun telah disepakati antara pihak Kreditor dan Debitor tersebut, dapat efektif berlaku mengikat para pihak yang sebelumnya telah saling bersepakat secara hukum perdata?

Jawabannya terletak pada pertanyaan observasi lainnya, yakni dengan rincian sebagai berikut: Sebesar apakah tarif jasa pengacara yang dimaksud pada pasal tersebut? Lawyer manakah yang diatur dalam pasal tersebut? Pembebanan “lawyering fee” demikian sebagai beban Debitur, adalah dalam konteks sang Kreditur digugat oleh sang Debitur, sang Kreditur menggugat Debiturnya, ataukah keduanya? Bila tiada diatur secara mendetail dan spesifik (tertentu), artinya pasal demikian ialah “pasal sumir” belaka, dimana “pasal sumir” pada karakternya merupakan “objek / hal yang SPESIFIK” sehingga bukanlah “perikatan perdata”. Contoh, mengapa hanya menyewa jasa pengacara “murah”, mengapa tidak sang Kreditur menyewa jasa pengacara terkenal dengan tarif jasa “selangit” untuk dibebankan kepada sang Debitur?

Sama halnya dengan pengaturan pasal dalam Akta Kredit terkait pembebanan tarif jasa Balai Lelang Swasta sebagai beban biaya yang harus dipikul oleh Debiturnya ketika agunan jaminan pelunasan hutang perlu diajukan ke pelelangan umum lewat permohonan lelang eksekusi Hak Tanggungan kepada Kantor Lelang Negara, dimana tiada kewajiban hukum bagi Kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk memakai jasa Balai Lelang Swasta, disamping pengaturan dalam pasal tersebut sangat “sumir”, sehingga sejatinya tiada kesepakatan sebesar apakah tarif jasa Balai Lelang Swasta dimaksud yang dapat dibebankan untuk dipikul oleh pihak Debitur, 2% ataukah 3% ataukah nilai lainnya? Balai Lelang Swasta manakah yang ditunjuk dan disepakati oleh Kreditur dan Debiturnya, serta berbagai detail lain yang tidak terjawab oleh pengaturan pasal yang “sumir” demikian.

Kesimpulan dan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Pasal-pasal yang pangaturannya tidak diatur secara mendetail dan tidak spesifik perikatan di dalamnya, baik itu sebuah Memorandum of Understanding ataupun sebuah Surat Perjanjian, artinya merupakan “pasal sumir”, yang akibat dari pengaturan “pasal (secara) sumir” demikian, ialah status pasal bersangkutan sejatinya merupakan “objek / hal yang TIDAK SPESIFIK”—sehingga pula bila terdapat “pasal-pasal sumir” semacam itu dalam sebuah “Surat Perjanjian”, maka “pasal-pasal sumir” demikian batal demi hukum tanpa mengakibatkan seluruh pasal lainnya yang berisi perikatan menjadi gugur (partial annulment).

Ketika merancang suatu kontrak, perjanjian, Memorandum of Understanding, atau istilah lainnya yang pada pokoknya mengandung kesepakatan bertimbal-balik (perikatan berjenis resiprokal / resiprositas) ataupun “perjanjian sepihak” lainnya, maka kurang-lah penting apapun judul dari kontrak atau akta dimaksud, namun lebih terutama kepada subtansi pengaturan di dalam pasal-pasalnya, apakah pasal-pasal tersebut mengandung muatan perikatan dengan pedoman “objek / hal yang SPESIFIK” ataukah tidaknya sebagai penentu paling utama corak karakternya.

Sepanjang apa yang disepakati oleh para pihak yang saling bersepakat, sifatnya spesifik dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka sifatnya ialah mengikat para pihak sejak detik perikatan tersebut disepakati para pihak yang saling bersepakat. Tidak terkecuali terhadap konteks hukum seperti “hibah” yang merupakan perjanjian tidak bertimbal-balik, jika Akta Hibah tersebut ternyata hanya mencantumkan secara “sumir” dengan bunyi “Menghibahkan sebidang tanah”, akan tetapi tanpa menyertakan “objek / hal yang SPESIFIK” seperti detail mengenai objek tanah yang terletak di daerah manakah, seluas berapakah, berbentuk SHM / SHGB / SHGU / Hak Pakai / Girik, serta atas nama siapakah, maka hibah demikian dari sejak awal telah “batal demi hukum”—semata karena “sumir” tiada “objek / hal yang SPESIFIK”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.