KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

OMNIBUS LAW, Executive Heavy, Rezim Peraturan Pemerintah Pengganti Peran Undang-Undang

ARTIKEL HUKUM

Ketika seorang Presiden Menyandera Parlemen Republik Indonesia, BUKAN SEBALIKNYA. Kepala Pemerintahan yang PAMER MONOPOLI KEKUASAAN dan MONOPOLI PENEGAKAN HUKUM ke Hadapan Rakyat yang Dilarang Menggunakan Senjata untuk Melawan

Undang-Undang Cipta Kerja “OMNIBUS LAW” di-klaim oleh pemerintah sebagai “undang-undang payung”, sekalipun ilmu hukum peraturan perundang-undangan maupun hierarkhi peraturan perundang-undangan yang diakui oleh sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang yang satu adalah sederajat dengan Undang-Undang lainnya, tiada yang lebih tinggi hierarkhi-nya satu sama lain kecuali tunduk semata taat pada asas “lex posterior derogat legi priori” serta asas “lex specialis derogat legi generalis”.

“OMNIBUS LAW” merupakan “Undang-Undang Sapu Jagat”, karenanya menjadi bersifat “kelewat umum” (over-generalis) yang oleh karenanya tidak valid alias tidak memiliki validitasnya untuk “menderogasi” (menyimpangi) keberlakuan Undang-Undang lainnya yang lebih “spesialis” pembentukan serta keberlakuan normanya. Satu-satunya “payung” dari segala Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, ialah Konstitusi yakni UUD RI 1945 Republik Indonesia semata dan satu-satunya, dimana “OMNIBUS LAW” bukanlah pengganti terlebih alternatif dari Konstitusi NKRI.

Terlepas dari ilmu mendasar dari peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Cipta Kerja telah ternyata memberikan “blangko kosong” untuk diisi sesuka hati oleh Lembaga Eksekutif yang berada dibawah kekuasaan Presiden Jokowi Dodo yang menjadi inisiator serta promotor naskah draf sang “Undang-Undang Sapu Jagat” ini. Betapa tidak, produk legislasi yang semestinya berwujud setingkat Undang-Undang karena menyangkut “hajat hidup orang banyak”, kini cukup hanya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang tentunya akan banyak mengatur “norma baru-norma baru” apa yang tidak diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Ketika Undang-Undang Cipta Kerja memberikan legitimasi, mandat, serta amanah atau delegasi bagi Lembaga Eksekutif untuk “mengatur lebih lanjut” dalam puluhan Peraturan Pemerintah, sama artinya bandul kekuasaan dibidang kebijakan legislasi, beralih dari Lembaga Legislatif menjadi beralih bandulnya kepada kekuasaan seorang pemimpin Lembaga Eksekutif. “Deal-deal politik” apakah, sehingga Lembaga Legislatif bersedia diamputasi kekuasaan dan kewenangannya membentuk Undang-Undang, dan menyerahkan kekuasaan istimewa-nya tersebut dengan penuh “kesukarelaan” kepada Lembaga Eksekutif?

Pembentukan Undang-Undang, terlepas seperti apapun praktiknya, diawasi oleh rakyat dan juga oleh pers, cendekiawan hukum, serta para wakil rakyat yang duduk pada fraksi oposisi. Kontrol sosial serta kontrol oleh para wakil rakyat menjadi penting agar arah kebijakan norma hukum yang mengatur norma-norma imperatif, tidak menjurus ke arah “abuse of power”. Konsep “check and balancing” antar lembaga tampak diperlemah oleh keberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan mandat berlebihan “overdosis” kepada pihak Eksekutif yang semestinya hanya sekadar “meng-eksekusi” kebijakan-kebijakan legislasi yang disusun Lembaga Legislatif. Undang-Undang, dapat diibaratkan Perjanjian Kerja Bersama antara pihak Perusahaan dan pihak Serikat Pekerja secara kolektif kolegial, adanya unsur partisipatif, transparansi, serta akuntabilitas dalam hal ini.

Sebaliknya, pembentukan Peraturan Pemerintah menjadi domain sepihak pihak Presiden selaku pemimpin Lembaga Eksekutif Pemerintahan. Dengan demikian, tiada terbuka ruang partisipatif ataupun “uji publik” sekalipun, berbagai Peraturan Pemerintah dapat saja diterbitkan dan diberlakukan secara tegas, keras, imperatif, serta tanpa kompromi—atau sebaliknya penuh kompromistis tergantung pada kepentingan pihak penguasa yang punya “hajatan”, dimana ketika “penguasa hendak hajatan” maka tiada rakyat jelata yang berhak untuk menolak “libido birahi” tidak terkontrol milik pemerintah sekalipun hak-haknya terampas dan dirampas olah yang punya “hajatan” (seolah-olah menggelar “hajatan” sama artinya berhak merampas hak orang lain, “hajatan” yang “tidak sopan” sekaligus “tidak etis”).

Ketika dahulu kala tatkala seorang Kepala Negara di-makzul-kan oleh parlemen lewat “mosi tidak percaya”, yang terjadi ialah “Legislative Heavy”. Namun itu adalah “cerita lama”. Kini, Presiden Jokowi memainkan “politik pencitraan” seolah-olah dirinya adalah “korban”, “tidak berdaya”, “pro terhadap rakyat dan pemberantasan korupsi”, “menghamba kepada rakyat bukan kepada Partai Politik pengusung dan koalisi”, “lugu”, “polos”, “lembut”, “baik hati”, “jenaka”, “penuh perhatian terhadap rakyat”, “santun”, hingga membuat kesan seolah-olah sang “Bapak Presiden TERSANDERA dan DISANDERA”—meski disaat bersamaan sang Bapak Presiden sedang membangun “dinasti politik” dimana anak dan sanak-saudaranya hendak turut memiliki jabatan kenegaraan sebagai penguasa, seolah-olah menyerahkan diri serta mengajak keluarganya untuk secara sukarela “disandera”?

Faktanya, ketika Undang-Undang Cipta Kerja terbit, hal demikian membuktikan kepada publik, bahwasannya sang Bapak Presiden tidaklah selemah dan sepolos ataupun selugu yang dibayangkan oleh publik (“hyper reality”, pencitraan semu). Faktanya pula, terbukti sang Bapak Presiden mampu membawa Lembaga Eksekutif yang dikepalai olehnya menjadi demikian fasih menyetir dan mendikte serta me-nego Lembaga Legislatif agar menyerahkan kekuasaan esensialnya ke tangan Lembaga Eksekutif bernama “Peraturan Pemerintah”.

Bahaya terbesar dibalik “OMNIBUS LAW” bernama Undang-Undang Cipta Kerja, dimana diklaim sebagai lebih tinggi derajatnya daripada Undang-Undang lainnya, sehingga Peraturan Pemerintah (yang sekadar mengatur lebih lanjut Undang-Undang Cipta Kerja) seolah sama atau sejajar derajatnya dengan sebuah Undang-Undang. Perhatikan ilustrasi potensi skenario yang bisa terjadi sebagai berikut. Kelak parlemen menerbitkan Undang-Undang yang sebelumnya norma substansinya telah atau pernah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, atau yang lebih tepatnya apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah yang menjadi “peraturan pelaksana” dari Undang-Undang Cipta Kerja.

Karena Undang-Undang Cipta Kerja diklaim sebagai “supra Undang-Undang”, maka akibatnya terjadi kesan seolah-olah Peraturan Pemerintah sejajar dengan “Undang-Undang biasa”. Ketika terjadi perbenturan antara norma yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah dari Undang-Undang Cipta Kerja terhadap norma di dalam Undang-Undang yang baru terbit dikemudian hari, manakah yang akan berlaku? Berbagai kerancuan dan kerusakan sistem peraturan perundang-undangan, menjadi harga yang harus kita bayar mahal akibat terbitnya sebuah Undang-Undang Cipta Kerja “OMNIBUS LAW” yang terkesan dipaksakan.

Dengan menjelmanya era rezim Undang-Undang Cipta Kerja yang bernuansa “Executive Heavy”, menjadi indikator nyata tidak terbantahkan, bahwasannya sang Bapak Presiden demikian berkuasa, demikian kuat, demikian “super body”, demikian “powerfull”, demikian pandai bermain “topeng” serta ber-sandiwara, demikian pandai berkamuflase (sehingga pula tidak perlu kita takjub atas betapa penuh “belang”-nya Presiden Amerika Serikat Donald Trump oleh sebab Presiden Republik Indonesia ternyata tidak kalah pandainya bermain “politik kamuflase” dimana spesialisasinya ialah “pencitraan politik” serta “pencitraan publik” seolah-olah sang Bapak Presiden adalah lemah, lembut, lugu, “korban”, serta tidak berdaya “tersandera”).

Namun demikian, terdapat satu kelebihan Donald Trump yang tidak dimiliki oleh Jokowi Dodo, yakni KEJUJURAN TERHADAP PUBLIK. Donald Trump tidak pernah membuat pencitraan ataupun mengklaim dirinya sebagai orang baik, orang santun, orang lembut, orang lemah, orang suci, orang budiman, orang pemurah, orang yang “tersandera”, orang yang menjadi “korban”, maupun segala pencitraan positif lainnya. Semua orang tahu dan sadar bahwa Donald Trump ialah seorang “bajingan”, namun karena kejujurannya yang terbuka itulah Donald Trump pernah terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Sebaliknya, Jokowi Dodo memainkan wajah “bertopeng” penuh pencitraan palsu, seolah dirinya lembut, “tersandera” (bahkan oleh menteri yang menjadi anak-buah sang presiden itu sendiri), hingga “korban” keadaan percaturan politik yang senantiasa memanas.

Meski demikian, terdapat beberapa kesamaan yang sangat identik antara Presiden Donald Trump dan Presiden Jokowi Dodo, yakni sama-sama “gila kekuasaan” (dalam hal ini, Jokowi Dodo lebih “parah” derajat keparahannya, karena cukuplah si “kecebong” dan “kampret” sedari sejak awal duduk bersama di warung kopi untuk “bagi-bagi kekuasaan” tanpa menghabiskan uang rakyat untuk Pemilihan Umum), sama-sama ingin terpilih dua kali masa jabatan, sama-sama pro terhadap korporasi yang mengatas-namakan perluasan lapangan kerja, sama-sama gagal mengatasi wabah, serta sama-sama penuh kamuflase.

Kini kita telah belajar dari pengalaman yang akan menjadi sejarah pahit Bangsa Indonesia, diktatoriat tidak melulu berupa orasi berapi-api Adolf Hitler sang diktator. Seorang Kepala Negara yang tampak lembut, dicitrakan “tersandera” dan “korban” sekalipun, bisa menjadi diktator yang demikian represif, otoriter lewat tangan-tangan anak-buahnya sementara sang pucuk pimpinan tertinggi tetap menampilkan wajah bersahabat dan humanis (sangat menyerupai perusahaan yang perlakuannya terhadap karyawan sangat tidak manusiawi, namun pihak pemilik perusahaan di hadapan publik maupun di hadapan karyawannya selalu tampil bak malaikat yang suciwan serta baik hati, karena sifat otoriternya cukup disalurkan oleh tangan-tangan orang lain yang dijadikan “alat”), se-represif membiarkan anak buah sang presiden untuk “memukul mundur” mahasiswa dan para demonstran tidak terkecuali para buruh yang berdemonstrasi.

Sang Presiden mengklaim Undang-Undang Cipta Kerja di-gol-kan demi kepentingan lapangan kerja para pekerja, namun bagaikan paradoks penuh ambivalensi, sang Presiden lewat tangan-tangan orang lain yakni berupa jajaran kepolisian dibawahnya, justru bersikap represif terhadap para buruh yang berdemontrasi, jauh lebih represif ketika menertibkan warga yang tidak menerapkan “protokol kesehatan (cegah wabah virus menular mematikan)” ketika pandemik akibat Corona Virus masih kian merebak tidak tertangani sebagaimana mestinya.

Sang Presiden menanggapi ringan seolah tidak bersalah, “Bukan saya yang memukul mundur para buruh yang berdemonstrasi itu, tapi Polisi.” Memangnya kepada siapa para aparatur kepolisian tersebut mengabdi dan menghamba jika bukan demi kepentingan sang “penguasa negara”? Kepolisian diperalat oleh kepentingan pribadi sang Kepala Negara, namun segala “dosa” dan kejahatan seolah hendak dilimpahkan dan dilampiaskan kepada aparatur Kepolisian.

Ketika pemerintah seharusnya bersikap represif terhadap warga pelanggar “protokol kesehatan”, senyatanya hanya bersifat “menghimbau” dan “imbauan minim ketegasan”. Ketika semestinya pemerintah bersifat “humanis” terhadap demonstran, yang dipertontonkan pemerintah justru berkebalikan, yakni represif dan demikian ber-“taji” serta ber-“taring”. Kesimpulan pribadi penulis, setelah proses assessment terhadap berbagai manuver politik Presiden Jokowi Dodo, senyatanya tidak terdapat konsistenso antara “topeng wajah” yang ditampilkan kepada publik, janji-janji kepada publik saat kampanye Pemilihan Umum, maupun antara kata-kata semisal “Pemerintah telah bergerak cepat mengatasi wabah” (meski senyatanya “kerja santai”) terhadap fakta realita, “penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)” dengan menerbitkan Undang-Undang Pelemahan KPK, perlakuan terhadap buruh dan rakyat, pro rakyat dimana penjajah yang mengatas-namakan ekonomi (investor asing) akan menguasai berbagai sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia, dan inkonsistensi-inkonsistensi lainnya dimana antara pikiran, hati, mulut-ucapan, serta wajah (pencitraan publik), tidak pernah konsisten ataupun kongruen.

Jokowi Dodo mengaku “humanis” kepada publik maupun terhadap para pengkritiknya, tidak pernah mempidana mereka yang mengkritik sang Presiden, demikian klaim Jokowi Dodo saat kampanye “debat calon Pilpres” periode masa jabatan periode keduanya. Faktanya, penulis mampu menyebutkan adanya putusan pengadilan yang mempidana para pengkritik sang Presiden Jokowi Dodo, diputuskan pengadilan sesaat sebelum berlangsungnya Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) periode kedua, dimana siapa lagi yang mengadu dan melaporkan, bila bukan sang Presiden itu sendiri secara pribadi?

Sejak penulis mendapati adanya fakta yang penulis ungkap sebagaimana disebutkan paling terakhir di atas, sejak saat itulah penulis menaruh curiga terhadap “wajah asli” dibalik “topeng” sang Bapak Presiden Republik Indonesia. Wahai Bapak Presiden “ganas-beringas”, siapa lagi yang kini dan kelak akan Anda jebloskan ke penjara demi amarah dan kemarahan Anda? Bila Anda tidak bersedia di-kritik dan berbesar jiwa untuk di-kritik serta untuk bertanggung-jawab dan untuk dimintakan tanggung-jawab oleh rakyat, maka silahkan turun dari jabatan kenegaraan Anda. Sang Bapak Presiden Jokowi Dodo mungkin akan menanggapi, “Bukan saya yang menjebloskan para pengkritik saya ke penjara, namun hakim, salahkan saja hakimnya di pengadilan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.