Musuh Terbesar Hukum, STANDAR GANDA, Bandul Hukum yang Bergoyang Sesuai Kepentingan Penguasa

ARTIKEL HUKUM

Penafsiran atau Interpretasi atas Fenomena Politik, Sosial, dan Hukum, Perlu Diterjemahkan sesuai Konteks Kebangsaan dan Ketatanegaraan Kekinian yang Mengandung Makna Implisit sebagai Objek Pengamatan

Saat ulsan ini disusun, pada medio awal Bulan November 2020, Indonesia sedang dilanda wabah akibat pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau Virus Corona Tipe-2, dimana Bangsa dan Negara Indonesia mencetak “prestasi” sejarah berupa kegagalan besar menangani wabah, yang bila kelak negeri ini kembali dilanda wabah Corona Virus Tipe-3 atau tipe-tipe selanjutnya, maka sejarah akan kembali ter-ulang : porak-poranda dan hanya bisa mengandalkan vaksin sekalipun sejumlah negara tetangga di ASEAN seperti China, Malaysia, Vietnam, dan Thailand sama sekali tidak membutuhkan vaksin pencegah wabah karena terbukti berhasil mengatasi pandemik secara efektif tanpa vaksin.

Para buruh berdemonstrasi, menolak kebijakan “tanpa kenaikan upah untuk satu tahun ke depan” (sebuah vonis musiman satu tahunan), sekalipun peraturan perundang-undangan yang ada menyatakan bahwa Upah Minimum Provinsi bersifat dinamis, dalam artian bisa naik namun juga bisa turun, bergantung pada keadaan ekonomi apakah sedang resesi (upah minimum diturunkan) atau sebaliknya inflasi (upah minimum dinaikkan). Seolah bergeser dari preseden kebiasaan yang ada, dimana sepanjang tahun terdapat deregulasi kenaikan nominal dibidang upah minimum masing-masing daerah terkait upah buruh / pekerja, pemerintah pusat kini meng-imbau agar para Kepala Daerah di masing-masing provinsi untuk tidak menerbitkan kebijakan yang dapat menaikkan Upah Minimum Provinsi Buruh / Pekerja.

Beberapa Kepala Daerah patuh pada imbauan Pemerintah Pusat, namun beberapa Kepala Daerah yang merasa hierarkhinya tidak lebih rendah derajatnya daripada seorang Presiden yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, menerbitkan Peraturan Daerah terkait kenaikan Upah Minimum Regional bagi para buruh, menaikkannya tingkat upah buruh dari Upah Minimum Regional tahun sebelumnya, sekalipun situasi ekonomi makro dan mikro nasional sedang dilanda resesi yang diprediksi akan berlangsung secara berkepanjangan. Akan tetapi, kebijakan yang terkesan diskriminasi demikian, pada satu daerah terjadi kenaikan Upah Minimum sementara pada daerah lain tidak terjadi perubahan Upah Minimum, mengakibatkan kecemburuan sosial kalangan buruh yang kemudian berakhir ricuh lewat aksi demonstrasi. Pemicunya, kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak pernah sinkron.

Jangankan dari segi penerapan, segi regulasinya pun sejatinya mengandung “standar ganda”. Semisal, untuk apa lagi diberlakukan istilah atau pengaturan perihal “Upah Minimum Provinsi”, bilamana kemudian masing-masing Bupati dan Walikota merasa berhak membuat tingkat “Upah Minimum Kota dan Kabupaten”-nya masing-masing secara menyimpangi tingkat “Upah Minimum Provinsi”? Tidak tanggung-tanggung, dikenal pula istilah “Upah Minimum Umum” serta “Upah Minimum Sektoral”, “Pekerja Tetap / Permanen” Vs. “Pekerja Kontrak” Vs. “Pekerja Freelance / Buruh Lepas” Vs. “Pekerja Harian” Vs. “Pekerja Masa Percobaan” Vs. “Pekerja Anak Dibawah Umur” Vs. “Pekerja Informal” Vs. “Pekerja Formal” Vs. “Pekerja Magang” Vs. “Pekerja Tetap bukan, Pekerja Kontrak pun bukan”, dan lain-lain jenis hingga yang “abu-abu” serta yang sukar diidentifikasikan secara yuridis maupun secara sosiologis.

Rezim hukum kita itu sendiri memang senantiasa penuh “standar ganda”. Bagaimana tidak, kita mengenal istilah-istilah hukum seperti “Kawasan Berikat” dan yang “Kawasan Non Berikat”, “Daerah Otonomi” dan yang “Otonomi Khusus”, adanya “Hari Buruh” namun tiada “Hari Pengusaha”, “Pegawai Negeri Sipil sukar dipecat” namun “Pegawai Swasta mudah dipecat”, Menteri Kesehatan namun tidak diangkat sebagai Kepala Gugus Tugas penanganan wabah namun justru dijabat oleh menteri dibidang ekonomi dan purnawirawan militer, Kartu Tanpa Penduduk namun juga warga perlu mengantungi kartu-kartu identitas lainnya, Ojek Online bukan moda transportasi umum namun praktiknya pemerintah “tutup mata”, berbagai Peraturan Daerah terkait tata-ruang wilayah diterbitkan namun pelanggaran terhadap zona lokasi perumahan dilanggar secara masif oleh pelaku usaha ilegal dimana justru di-“bekingi” oleh aparatur pemerintah setempat, dan berbagai inkonsistensi lainnya.

Ketegasan bersumber dari sebuah “tulang punggung” bernama konsistensi dan komitmen, tidak bisa tidak, tidak bisa “plin-plan” ataupun menampilkan “standar ganda” ke hadapan publik (muda berwajah dua), seolah-olah mempertontonkan “abuse of power” serta “abuse of authority” sehingga bisa hadir praktik “standar ganda” demikian di ruang-ruang publik secara kasat-mata dan eksplisit, seolah-olah masyarakat kita demikian bodohnya—dan memang “bodoh”, karena rakyat kita sendiri yang memilih pemimpinnya dalam ajang “pesta demokrasi” dengan dua pilihan menu yang masing-masing tidak menarik selera untuk dipilih : pilih “kecebong” atau pilih “kampret”.

Kini mari kita menyimak permainan “standar ganda” kerdil kekanakan yang dimainkan oleh pemerintah kita, dimana “standar ganda” demikian dimainkan sesuai kepentingan sang penguasa. Sebagai contoh, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) tetap hendak diberlangsungkan, sekalipun pandemik akibat Corona Virus Tipe-2 tidak menunjukkan tanda-tanda melandai kurva kejadiannya, dimana korban terus berjatuhan, ribuan kasus positif baru terjadi setiap harinya, dan kian mengkhawatirkan. Seolah belum demikian parah, Pilkada tetap hendak dilangsungkan, apapun harga yang harus dibayar serta konsekuensinya—yakni membawa resiko bagi rakyat kita itu sendiri.

Yang menjadi alibi pihak pemerintah yang tampak menjadikan pandemik yang gagal ditangani sebagai “alasan pembenar” untuk tetap memberlakukan Pilkada, ialah alasan yang seolah terdengar logis dan rasional (meski senyatanya tidak), yakni : Pilkada adalah amanat sekaligus perintah dari Undang-Undang terkait Pemerintah Daerah, sehingga pemerintah hanya menjalankan tugasnya (seolah pemerintah tersandera menjadi korban oleh diktatoriat undang-undang yang dibuat sendiri oleh pihak pemerintah itu sendiri), serta bahwasannya pandemik Corona Virus belum tentu akan usai hingga satu atau dua tahun kedepan—sekalipun, faktanya, negara-negara tetangga kita di ASEAN mampu mengendalikan dan mengentaskan wabah, sehingga sejatinya pula pemerintah Indonesia bisa saja terlebih dahulu mengentaskan wabah tanpa membiarkannya berlarut-larut barulah menyelenggarakan pemilihan umum dan kegiatan ekonomi, hal mana senyatanya pemerintah Indonesia minim ketegasan dan masyarakat Indonesia yang ternyata “ANTI PUASA” (sehingga ternyata pula Bangsa Indonesia adalah bangsa yang “munafik”. Betapa tidak, mengklaim sebagai berbangga diri karena memiliki kebiasaan ber-bulan puasa, namun faktanya saat kini Bangsa Indonesia sangat jauh dari sifat-sifat “puasa”, cenderung “cengeng”).

Bukankah pernyataan demikian, ketika kita kaitkan terhadap realita kebijakan “tiada kenaikan upah bagi buruh untuk satu tahun kedepan”, sudah merupakan “standar ganda” itu sendiri, mengingat tidak jelas wabah Corona Virus Tipe-2 di Indonesia akan usai hingga kapan, tiada kepastian pula hingga dua tahun ke depan pandemik yang diakibatkan wabah Corona Virus ini akan usai mengingat kebijakan pemerintah yang serba “separuh hati” dalam mengatasi wabah serta serba berlarut-larut, disamping adanya juga amanat dalam peraturan perundang-undangan mengenai kesejahteraan buruh dari segi pengupahan, terutama sifatnya kebijakan per setiap satu tahun sekali, yang artinya pula penundaan kenaikan upah berlaku sebagai harga mati untuk satu tahun kedepannya bila telah ditetapkan masing-masing pemerintah daerah—sehingga berbeda halnya dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah yang penundaannya dapat ditentukan secara fleksibel sedemikian rupa semisal dalam hitungan bulan, bukan tahunan layaknya evaluasi kebijakan tentang pengupahan.

Musuh sekaligus ancaman terbesar bagi sistem hukum modern, selalu ialah wajah “inkonsitensi” penerapannya, yang bisa jadi terkadang ditegakkan dan tidak jarang pula tidak ditegakkan sesuai kepentingan para pemangku kepentingan “akan dibawa kemana”, bagaikan mampu disetir serta menghamba kepada semata kehendak pemegang kekuasaan, disamping seakan bergantung pada “political will” pihak pemerintah itu sendiri lewat aparatur penegak hukumnya ataupun lewat para penyelenggara negara. Bias dalam penerapan suatu standar, ialah bentuk lain dari “inkonsistensi”, yang kita kenal pula dengan sebutan sebagai “standar ganda”.

Sebuah praktik hukum yang sarat “standar ber-ganda”, maka akan sarat pula terhadap kepentingan—sementara itu penerapan hukum idealnya “tidak mengenal syarat” sehingga tidak “tebang pilih” ataupun “pandang bulu”, runcing pada satu sisi dan tumpul pada sisi lainnya. Kompromistis dan tidak kompromistis, konsisten dan tidak konsisten, ditegakkan dan tidak ditegakkan, disimpangi dan tidak disimpangi, diterapkan dan tidak diterapkan, dieksekusi dan tidak dieksekusi, dijalankan dan tidak dijalankan, diberlakukan dan tidak diberlakukan, dijatuhi sanksi dan ditolerir, kesemua itu adalah “distorsi kognitif” yang mengandung bahaya laten dibaliknya, karena rawan disalah-gunakan sesuai kepentingan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam mengendalikan bandul agar gerak praktik hukum dapat menguntungkan kepentingan segelintir pihak berpengaruh, semisal : kadang tegak, kadang tidak tegak. Terkadang tegas, namun tidak jarang pula tiada ketegasan. Sesekali konsisten, akan tetapi lebih sering tidak konsisten. Bisa jadi diterapkan, meski bisa jadi pula tiada penerapannya. Sewaktu-waktu tidak diberlakukan serta kompromistis, namun untuk kasus-kasus tertentu diberlakukan secara demikian keras dan tiada kompromi alias tidak kenal ampun.

Dari berbagai pengamatan penulis terhadap fenomena agenda-agenda politik pemerintah, tampak jelas betapa “komunikasi politik” serta “komunikasi publik” yang dipertontonkan pemerintah pusat, terutama, sarat kepentingan serta disaat bersamaan kerap membodohi rakyatnya sendiri, konten-konten yang tidak mencerdaskan serta cenderung mengerdilkan daya berpikir rakyat banyak. Argumentasi-argumentasi yang tidak sempurna sebagai alibi kebijakan yang diambil pemerintah, selalu mendapatkan tempatnya di tengah-tengah masyarakat kita karena tampaknya memang masyarakat kita mudah “dibodohi” serta sukarela (suka dan rela) “dibohongi”.

Sebagai contoh, seorang tokoh / pengamat politik secara kurang bijak menyatakan bahwa bukanlah kegagalan sang presiden dari Republik Indonesia ketika negeri ini berjalan dalam gerakan terombang-ambing maju dan mundur seperti kapal yang terhempas ombak dan badai hebat, karena rakyatnya masih “kurang memadai” untuk dipimpin, dimana sebaliknya masyarakat di Barat telah cenderung maju dan tinggi peradabannya sehingga siapa pun yang memimpin sebagai Kepala Pemerintahan di sana semuanya akan berjalan lancar dan efisien serta efektif—suatu pandangan yang kelewat membodohi Rakyat Indonesia, menurut hemat penulis, karena bila memang peradaban masyarakat di Indonesia masih terbilang “terbelakang” bila tidak dapat disebut sebagai masih tergolong “primitif” serta “koruptif”, maka mengapa juga sistem demokrasi langsung berbiaya super mahal dan penuh “moral hazard” pemicu kolusi dan “mahar politik”, masih juga diberlakukan di Indonesia sehingga Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) kian menyerupai Negara Federal dimana setiap Kepala Daerah dipilih secara langsung, sekalipun masyarakat Indonesia belum benar-benar siap untuk demokrasi yang mensyaratkan tingkat peradaban yang tinggi rakyat suatu negara demokrasi.

Sang Presiden disebut-sebut “tersandera” oleh arus pergerakan politik lawan-lawan politiknya. Istilah demikian seolah-olah menempatkan perspektif publik kepada konstruksi dimana sang Presiden adalah “korban”. Mengapa juga, ada orang yang demikian bodohnya repot-repot menduduki kursi “korban”, bahkan mengajak anak serta menantunya menjadi sebentuk “dinasti politik kekuasaan” bersama sang Presiden? Mengapa juga sang Presiden hendak menjadi “korban” untuk dua kali masa jabatan kepresidenan? Tampaknya sang Presiden dengan senang hati menjadi “korban” untuk periode kedua masa jabatannya setelah menjadi “korban” pada periode pertama.

Sang Presiden kemudian mengeluh dan berkeluh-kesah kepada rakyat, bahwa para menterinya tidak “becus” bekerja. Lantas, kepada dan kemanakah rakyat harus mengadu dan berkeluh kesah? Menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat perubahan Undang-Undang KPK, dimana KPK lebih ditekankan sebagai lembaga “pencegahan” alih-alih “penindakan”, sehingga menggeser peran guru dan agamawan. Bantuan bagi rakyat dikala pandemik, sementara pemerintah menggelontrokan dana kepada korporasi yang memusatkan kekayaan (memperkaya korporasi) dari tender lelang pengadaan barang sembako, bukan berupa dana tunai bagi rakyat penerima bantuan, sehingga tidak tepat sasaran dari segi bantuan. Negara memiliki ratusan triliun rupiah dihamburkan untuk bantuan ini itu, namun mengklaim tidak memiliki dana untuk “lock down”. Di hadapan dunia internasional, Indonesia mengaku sebagai negara maju, namun ketika menghadapi rakyat sendiri pemerintah kita “mendadak miskin” dengan mengklaim sebagai negara miskin.

“Standar ganda” berikutnya dapat kita temukan pada rezim perijinan di Indonesia. Pemerintah Pusat sedang menggalakkan sistem perizinan terpusat, sementara itu kita ketahui bersama, siapakah yang sebetulnya hendak Pemerintah Pusat “bodohi” lewat gerakan manuver “pembodohan publik”, karena semata saat kini masih eksis serta berlaku rezim perizinan ter-desentralisasi akibat keberlakuan sistem tata negara otonomi daerah sebagaimana masih sah dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah.

Sampai dunia ini kiamat sekalipun, selama “standar ganda” sistem tata negara kita yang “Negara Kesatuan” tidak, “Negara Federal” pun tidak, namun tipe negara “Plin-Plan”, maka selama itu pula tidak akan pernah kunjung terealisasi sistem perizinan satu pintu yang sifatnya terpusat-sentralistis, dimana iklim perizinan dan investasi pun akan sangat bergantung pada keterbukaan atau tidak terbukanya pihak Pemerintah Daerah, kooperatif atau tidak kooperatifnya Pemerintah Daerah, membangkang atau tida membangkannya Pemerintah Daerah, membentur dan saling berbenturan atau tidaknya—baca: Pemerintah Pusat yang serba “tersandera” oleh Pemerintah Daerah. Yang hidup dari “standar ganda”, akan mati karena “standar ganda”, itulah kodrat yang dapat penulis ramalkan bahaya dibalik sistem yang serba ambigu dan tidak jelas orientasinya ini (“pria” tidak, “wanita” pun bukan, tidak teridentifikasi, “jadi-jadian”).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.