Hidup adalah Permainan Hukum Karma yang Sedang Berbuah

ARTIKEL HUKUM

SERI SENI HIDUP, Falsafah Buah Hukum Karma

Tidak jarang kita jumpai, orang-orang yang memiliki segudang keterampilan dan pengalaman, namun ternyata mengalami kesukaran sepanjang hidupnya dalam mencari pekerjaan untuk manafkahi keluarganya. Tidak jarang pula kita temui, para angkatan kerja yang sejatinya minim pengalaman, prestasi akademik yang buruk, ternyata mengalami kelancaran dalam segi karir dan kemudahan mengakses lapangan pekerjaan. Fakta realita demikian bukanlah mitos adanya. Mengapa demikian? Dimana letak masalahnya dan siapa yang bersalah?

Bukan salah siapa pun”, itulah jawaban yang akan dapat kita petik dari ulasan “SENI SENI HIDUP” pada kurikulum “Universitas Kehidupan” yang dibawakan hanya oleh Konsultan Shietra, yang dalam kesempatan ini kita akan membahas pertanyaan hidup yang memiliki kedekatan dengan keseharian hidup para pembaca tentang “nasib”. Karma yang “kebetulan” sedang berbuah saat kini, merupakan “faktor eksternal” diluar kekuasaan diri kita. Karenanya, manusia boleh berusaha, namun “buah karma” (vipaka, istilah dalam Abidhamma Pittaka sebagaimana dibabarkan oleh Sang Buddha, Guru Agung bagi para Dewa dan Manusia) dapat menjadi sangat “deterministik” dalam mempermainkan hidup umat manusia.

Apa yang menjadi “nasib” kita dan para umat manusia, adalah “bukan salah kita” karena merupakan “faktor eksternal” diluar kekuasaan diri kita saat kini. Kita semata hanya dapat mengimbanginya dengan banyak menghindari menanam benih Karma Buruk yang baru, dan sekaligus banyak-banyak menanam benih Karma Baik, sehingga ibarat satu gelas berisi garam yang “asin” (simbolisasi buah Karma Buruk) akan terasa “tawar” ketika kita memiliki air tawar (simbolisasi buah Karma Baik) sebesar danau untuk dituangkan satu gelas garam tersebut. Tidak ada cara lain, karena Hukum Karma tidak mengenal konsep “iming-iming to good to be true” semacam “penghapusan dosa” (abolition of sin), sebagaimana sabda Sang Buddha : “Sekalipun bersembunyi pada pulau terpencil ataupun dibalik goa tertutup, tidak akan dapat lari dari karma yang berbuah, pasti akan berbuah kepada sang pelaku-nya.

Mungkin yang satu-satunya bersalah ialah, mereka yang tidak mau mengasah dirinya dengan modal pengetahuan ataupun bekal keterampilan, tidak juga mau menanam benih Karma Baik, sekalipun kondisinya sukar mendapat pekerjaan, barulah sosok pribadi mereka layak untuk dipersalahkan. Sebaliknya, diantara kita yang ternyata telah memiliki segudang pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi “nasib baik” belum berpihak pada dirinya, maka hal itu bukanlah salah dirinya—setidaknya bukan salah dirinya pada kehidupan saat kini. Ia hanya dapat menyalahkan dirinya di kehidupan sebelumnya yang dengan egois menanam benih Karma Buruk, sehingga “buah pahit”-nya harus dipetik pada kehidupan saat kini.

Karenanya pula, kita tidak dapat bersikap apatis dengan berkata bahwa seolah-olah memiliki modal pengetahuan ataupun bekal keterampilan ternyata tetap saja tidak menjamin kepastian usaha. Bagaikan sebuah “ladang”, umpama yang diberikan oleh Sang Buddha, memiliki benih sebagus dan sebaik apapun, bila ditebar pada ladang yang gersang tidak terawat minim air dan minim pupuk, maka hasilnya pun akan minimal. Karenanya, sekalipun “nasib baik” mungkin saat kini berpihak pada kita, namun tanpa disertai modal pengetahuan dan bekal keterampilan yang memadai, maka bisa jadi buahnya “layu sebelum benar-benar sempat mekar dan berbuah”. Anak pemalas yang memiliki segudang harta warisan dari leluhurnya, itulah salah satu contoh simbolisasi yang paling tepat dan memang benar adanya dalam realita.

Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh para pendahulu kita, bahwa kita boleh jadi terampil dan penuh pengetahuan, namun “nasib” sebagaimana digariskan pada “garis tangan” masing-masing dari kita, pada akhirnya yang akan “berbicara” dan “angkat suara”. Sedikit banyak, rumor mengenai sifat “deterministik” buah Hukum Karma memang ada benarnya, sebagaimana seorang dokter yang paham benar ilmu kesehatan dan medis, tidak jarang dijumpai tewas justru karena menderita penyakit (menjadi seorang dokter pun, tidak menjamin lolos dari Karma terkait kesehatan). Meski, Buddhisme tidak memberi “vonis” sifat Hukum Karma sebagai “deterministik mutlak”—mengingat, sifat penentuan dan dominasinya tersebut masih dapat diimbangi dengan menanam banyak benih Karma Baik. Sehingga, label yang dapat kita berikan terhadap buah Hukum Karma, ialah “deterministik terkontrol”, karena sejatinya masih dapat kita “kondisikan” secara berdaya dimana pengkondisian yang kita lakukan sebagai kontrol yang masih dapat kita berdayakan secara berdaya.

Untuk melihat bagaimana kehebatan perihal “deterministik”-nya buah Hukum Karma yang bekerja pada tataran kehidupan kita sehari-hari, dapatlah kita amati lewat observasi dalam keseharian hidup kita, baik dalam lingkup lingkungan tempat tinggal, keluarga internal, ekosistem dunia kerja, kondisi jalan umum, wajah pada ruang-ruang publik, dan seluruh lingkup kehidupan, tanpa terkecuali, urban-perkotaan maupun pada pedesaan paling rural sekalipun. Kita mungkin melihat dan mendengarnya, namun berhubung kurangnya faktor kepekaan, bisa jadi kita tidak menyadari Hukum Karma yang bekerja di-latar belakang seumpama program yang bekerja di balik layar komputer kita.

Berikut salah satu contoh sederhana yang bisa jadi pernah kita amati namun selama ini tidak mendapatkan “benang korelasi”-nya, ialah sebagai berikut. Banyak diantara kalangan pedagang, menjual produk unggul bermanfaat dan berkualitas tinggi, dengan harga yang sangat terjangkau, namun ternyata sepi peminat. Sebaliknya, tidak jarang pula kita mendapati adanya pedagang barang-barang “sampah”, yang mana diakui sendiri sebagai “barang sampah” oleh sang penjual, meski demikian tidak pernah sepi dari pelanggan sehingga barang-barang “sampah” dagangannya tersebut senantiasa “laris manis” di pasaran. Salah siapa dan dimanakah letak kesalahannya?

Ada pula orang-orang yang lulus dari sekolah atau perguruan tinggi yang sama, meski dibekali ilmu yang sama, namun ternyata “nasib” keduanya setelah lulus jauh saling bertolak-belakang. Kita bisa jadi menguasai dan menerapkan metode kerja yang sama seperti para kompetitor kita, namun mengapa hasil “output”-nya bisa sangat beragam? Bila metodenya sama, namun “output”-nya bisa sangat beragam, maka bukankah kehidupan ini bisa sangat tidak ilmiah? Senada dengan itu, oleh seorang tokoh, disebutkan sebagai akibat “Faktor X”—yang tidak lain tidak bukan, ialah akibat peran determinan faktor eksternal diri berupa “buah Karma” itu sendiri.

Bila kita berbicara perihal “variabel bebas” dan “variabel terikat”, bisa jadi “buah Karma” kita kategorikan sebagai “variabel bebas” sementara keterampilan merupakan “faktor terikat”, sehingga mengakibatkan “output” bisa sangat beragam, yang secara tidak langsung menggambarkan pula betapa pentingnya peran dibalik sebuah “Hukum Karma”—atau lebih tepatnya “permainan Karma”. Karma bisa sangat mempermainkan, setidaknya itulah yang pernah disabdakan oleh Sang Buddha yang mengajarkan para siswa-Nya untuk berjuang “memutus belenggu rantai Karma” (break the chain of kamma).

Karma adalah sebuah “belenggu”, karenanya Sang Buddha tidak melekat pada Karma, sekalipun memiliki segudang “parami” yang bisa saja dinikmati olah Sang Buddha pada berbagai kelahiran kembali yang akan datang (reborn), dimana hanya saja Sang Buddha ternyata memilih untuk memutus atau mengakhiri-nya dan merealisasi “nibbana” (alam tanpa tumimbal lahir). Kini, menjadi tidak mengherankan sekaligus dapat kita maklumi bersama, bahwasannya “buah Karma” bisa menjadi sama diktatornya dengan seorang diktator paling otoriter yang pernah dikenal sejarah peradaban dunia manusia.

Adalah dusta bila terdapat acara “training” ataupun kalangan “trainer” yang mengklaim bahwa mengikuti kelas pelatihan, seminar, kursus, ataupun workshop yang diadakan olehnya, maka dijamin dan terjamin pasti sukses dan mencetak profit atau setidaknya prestasi gemilang. Di dunia ini tidak pernah kekurangan para “trainer” ataupun “motivator” bisnis, namun mengapa dunia ini masih mengenal kata “poverty” alias “kemiskinan”? Jika sang “trainer” memang se-“sakti” itu, mengapa tidak diangkat sebagai Menteri Ekonomi saja untuk mengatasi kemiskinan lokal maupun global?

Ada orang-orang yang bersusah-payah bersekolah tinggi hingga meraih gelar “Phd” dari Amerika Serikat, seperti ayah kandung dari Robert T. Kiyosakhi, namun ternyata ber-“nasib” malang, terjerat kemiskinan. Namun ada juga orang-orang yang bahkan sengaja “drop out” dari perguruan tinggi, sebelum kemudian mencetak kesuksesan gemilang dalam dunia bisnis dan karirnya, seperti seorang legendaris bernama Steve Jobs, sang pendiri Apple Inc. yang fenomenal. Ilmu pengetahuan dan harta, tidak dibawa mati. Namun Karma, dibawa mati, ibarat membawa warisan bagi diri kita sendiri untuk “modal” bagi kehidupan-kehidupan berikutnya. Steve Jobs dibekali talenta dan potensi bakat, berkat “buah Karma”, dimana “buah Karma”-nya tersebut sudah cukup memadai baginya untuk sukses tanpa gelar akademik.

Ada anak-anak yang tumbuh dari satu atap rumah yang sama, perlakuan orangtua yang sama, berbagi buku pelajaran yang sama, bersekolah pada sekolah yang sama, berangkat dan berjalan pulang sekolah pada jalan yang sama, berbagi sarapan dan gizi makan siang yang sama, bahkan bisa jadi lahir dalam kondisi “kembar identik”, namun bisa jadi “nasib” yang berbeda mengantarkan masing-masing anak pada jalan hidup dan “kodrat” yang saling bertolak-belakang, anak yang satu meraih kesuksesan karena tidak ingin menjadi seperti ayahnya yang merupakan seorang peminum, dan anak yang satu lainnya menjadi berantakan dan penuh kegagalan karena meniru teladan ayahnya. Tendensi, bakat, potensi, mentalitas, pola pikir, adalah “modal” bawaan lahir yang tidak lain tidak bukan ialah “buah Karma” itu sendiri. Kita terlahir dan mewarisi perbuatan kita sendiri, demikian Sang Buddha pernah memaparkan.

Pernahkah para pembaca mengamati dan bertanya-tanya, ada tetangga di lingkungan tempat kita berdomisi, mengalami keributan dan kericuhan domestik rumah-tangga yang demikian hebat, namun tiada satu pun tetangga yang menggunjingkan ataupun menjadikan mereka sebagai objek hinaan ataupun “bullying”. Akan tetapi, bisa jadi suatu ketika keluarga kita sendiri mengalami pertengkaran yang terdengar hingga keluar rumah, dimana ternyata tetangga menggunjingkan serta menjadikannya sebagai bahan tertawaan ataupun cemoohan. Siapa yang salah dan apa masalahnya?

Tiada yang salah ataupun yang bermasalah disini, semua itu adalah akibat “faktor eksternal” bernama “buah Karma” itu sendiri sebagai “penyebab” utamanya sehingga fenomena “output”-nya bisa demikian beragam, meski terkadang “tidak masuk di-akal”—karena itulah Sang Buddha memilih tidak melekat pada Hukum Karma, dan bahkan memilih untuk memutus belenggu Karma yang selama ini “merantai” setiap makhluk hidup, tanpa terkecuali para makhluk di alam dewata dan alam brahma.

Ada pemilik kendaraan yang baru sebentar saja memarkirkan dan meninggalkan kendaraannya di tengah jalan, namun seketika mengalami kerusakan oleh tangan-tangan “jahil” para manusia “usil” yang “nakal”, atau bahkan mengalami kehilangan karena dicuri oleh pencuri. Namun ada pula pemilik kendaraan roda empat yang memarkir kendaraan secara ilegal di tengah-tengah jalan umum sehingga hanya menyisakan satu ruas jalan, setiap harinya dari pagi hari hingga malam hari, namun tiada satu pun kerusakan ataupun gangguan tangan-tangan “jahil” ditemukan pada kendaraan miliknya. Mengapa dapat demikian kontras fenomena yang terjadi secara demikian “tidak rasional” serta “diluar akal sehat” seperti fenomena demikian? Jawabannya sama seperti pertanyaan sebelumnya, tidak kurang dan tidak lebih, dan tidak lagi menarik untuk disebut kembali.

Ada calon Kepala Daerah yang dikenal akuntabel dan transparan dalam memimpin pemerintahan, justru mengalami kekalahan hebat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah, bahkan berakhir tragis dibalik jeruji penjara akibat kriminalisasi. Ada pula calon Kepala Daerah yang tidak kompeten, korup, bahkan pernah tertangkap tangan melakukan korupsi serta mendekam di balik jeruji penjara, ternyata ketika bebas dari masa hukuman dirinya kembali mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, dan terpilih, sebelum kemudian terjaring operasi tangkap-tangan untuk kedua kalinya oleh aparatur penegak hukum atas kasus yang sama, korupsi ketika kembali menjabat. Mengapa dapat demikian kontras dan “tidak logis”? Jawabannya lagi-lagi masih mengulangi jawaban sebelumnya di atas.

Yang benar menjadi “bersalah”, dan yang salah bisa menjadi “dibenarkan”. Itulah simbolisasi “permainan buah Karma”. Untuk memudahkan memahami cara kerja Hukum Karma dalam berbuah, serta untuk mencirikan bagaimana Hukum Karma berbuah, mungkin indikator paling mudahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: Ketika kita telah berbicara dan bertindak secara baik dan benar, namun tanggapan orang lain justru mencela, menolak, tidak mendukung, menentang, menemui serangkaian kegagalan, atau bahkan mengabaikan dan memberi penghinaan, maka itulah ciri-ciri Karma Buruk sedang berbuah. Prinsip sebaliknya pun berlaku, ketika kita bersikap dan berbicara secara buruk dan jahat, namun orang lain justru membela, memberi dukungan, menyetujui, dan selalu berhasil, itulah tepatnya ciri-ciri Karma Baik sedang berbuah—dapat menjadi “bumerang” bagi diri sang pelaku, ibarat memacu kendaraan “sport” di jalan bebas hambatan—hanya saja menuju arah “neraka”.

Dengan cara demikianlah, kita baru dapat mulai memahami sekaligus memaklumi, ketika mendapati fenomena “tidak masuk diakal” seperti orang-orang baik justru ber-“nasib” malang, sementara orang-orang jahat justru tampak selalu ber-“nasib” mujur. Bukanlah sang orang baik ataupun bersikap baik yang telah ber-salah disini, namun yang salah semata ialah “buah Karma” yang memang kerap berbuah secara “tidak tepat pada waktunya”. Itulah sebabnya serta mengapa, Hukum Karma bukan tanpa kelemahan maupun kekurangan fatal, justru sarat kelemahan, salah satunya ialah kerap “berbuah tidak tepat pada waktunya”. Kita, karenanya, tidak dapat dibenarkan membuat “lompatan logika” dengan mengatakan bahwa menjadi orang baik sama artinya menyakiti diri sendiri—mengingat orang-orang baik kerap dijadikan “mangsa empuk”, atau bahkan anekdot “orang baik banyak yang benci dan dimusuhi”.

Itulah sebabnya, serta menjadi tidak mengherankan, bila di dalam Majjhima Nikaya (bagian dari Tripitaka), Sang Buddha bersabda bahwa kita perlu merenungkan betapa menjemukan dan tidak dapat diandalkannya kehidupan ini—yakni semata karena fakta bahwasannya hidup dan kehidupan ialah semata permainan Karma. Kita, semua, tanpa terkecuali, adalah objek yang saat kini, dahulu, dan kelak, dipermainkan oleh Hukum Karma yang sangat otoriter bak diktator.

Sebagai penutup, tanpa bermaksud membuat para pembaca menjadi apatis, bahkan Sang Buddha tidak pernah menyatakan bahwa “Hukum Karma adalah adil”. Bila Hukum Karma adalah adil, maka mengapa Sang Buddha memilih untuk berjuang memutus belenggu rantai Karma itu? Jawabannya selalu kembali pada jawaban semula, karena hidup ini adalah papan permainan Karma, lengkap dengan segala sikap “deterministik”-nya yang sangat tidak logis.

Karenanya, boleh juga kita menyebut “tumimbal lahir” sebagai “ajang permainan Karma”, dimana kita semua, tanpa terkecuali, menjadi bidak-nya alih-alih sebagai pemainnya, dimana sang pemain telah meninggal lama sebelum kita terlahirkan, yakni tentang diri kita pada kehidupan sebelumnya yang “tinggal sejarah” (deterministik perbuatan masa lampau terhadap diri kita di masa kini). Syukurlah bila diri kita dikehidupan sebelumnya bersikap baik dan tidak tercela, namun apakah harapan demikian dapat selalu kita andalkan adanya? Setidaknya, kita perlu mulai rajin menabung bagi kehidupan kita dimasa mendatang, dan mulai menghindari sikap-sikap “egois terhadap diri kita sendiri”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.